28 Dewi Maut

"Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!"

"Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!" kata pula Pek-hiat Mo-ko.

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

"Singggg...!" Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Singggg...!" Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

"Plak-plak-plakkk...!"

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat.

Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu, "Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"

"Wuuut-wuuuuuttt...!"

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

"Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

"Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."

"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kaubantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita."

Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

"Prattt... dessss...!" Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

"Trang-trang-trakk-breetttt...!"

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

"Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

"Hong-moi...!" Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

"Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"

"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan "nona Hong" yang dulu itu, dengan "Hong-moi" yang dulu itu!

"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.

"Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!" Kembali In Hong berkata. "Jangan kau merendahkan nama ayahmu."

"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kaukira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"

"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

"Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.

"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat."

"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengaku dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan. "Memang dia lebih berharga daripada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.

"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu."

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu."

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."

Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mampu menyerah?"

"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!"

"Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"

"Eh, eh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!"

"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!"

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh begini..." katanya dengan suara berbisik.

"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!"

"Tapi... tapi... kau...?"

"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kaumaafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."

"Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"

"Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."

"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?" bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

"Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."

"Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja."

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat saja dengan ini." Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali semberangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tehanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"

"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

"Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

"Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

"Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?" Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.

"Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. "Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!"

Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab, "Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!"

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

"Hong-moi, pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu. Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

"Mundur!" teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

Dukk! Dukk!"

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka telah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun!

"Mengapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.

Pek-hiat Mo-ko tersenyum. "Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman."

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang amat hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!"

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya salah bicara..."

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan mukanya. "Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia lalu mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. "Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!"

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.

***

Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi ia menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu. Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu, yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama, "Kita bebas...!"

Bun Houw mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali."

In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita basmi mereka dan lolos dari sini?"

Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

"Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain."

In Hong terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"

"Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?" Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.

In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik. "Kaukira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidupku aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."

"Dan kau gagal..."

"Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak."

Hening sejenak. "Hong-moi..."

"Hemm...?"

"Agaknya engkau ini..."

"Ya...?"

"Angkuh bukan main!"

"Maksudmu?"

"Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang..."

"Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!"

"Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."

"Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!"

"Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah terikat oleh persahabatan!"

"Dan pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.

"Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata dan tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

"Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."

"Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu."

"Tapi kita akan celaka..."

"Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."

"Ssstt...!" In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

"Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

"Hong-moi, apa gunanya itu?" Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

"Ha-ha-ha!" Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata, "Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"

Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit."

"Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?"

"Biarkah aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku."

"Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin Ciu-kwi.

"Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kaubunuh gadis itupun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

"Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

"Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka."

"Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?"

Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga, "Siapa tahu masakan ini mengandung racun!"

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak. "Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa mereka harus meracun kita? Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita."

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu. Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti. Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir aku akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

"Memang menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.

"Asyik sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah. Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kata pula Hek I Siankouw.

"Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.

Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata. "Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di tepi pembaringan sambil berbisik, "Hong-moi, hati-hatilah..."

"Ada apakah, Houw-koko?"

"Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

"Ahhh...!" In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

"Maaf, Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai! Seperti didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

"Hong-moi..." Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

"Ada apa... koko...?"

Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

"Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!" Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga! "Terima kasih... Houw-ko..." suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh, "Houw-ko..."

"Hong-moi ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia!

"Hi-hi-hik!"

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

"Hong-moi... celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

"Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi..."

"Dalam arak mungkin..."

"Ha-ha-ha!" terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kauceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!"

"Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!"

"Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"

"Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

"Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

"Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw membentak marah.

"Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"

"Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.

"Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan," terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.

"Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. "Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."

"Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan."

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat.

Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat. Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak. Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu.

Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

"Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In Hong merintih-rintih memelas sekali.

"Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat.

"Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas sekali tubuhku..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

"Hong-moi... jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

"Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan..." In Hong mengeluh dan setengah terisak.

"Pertahankan, adikku, pertahankan..."

"Ohhh, Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

"Houw-koko..." Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

"Bagaimana, Hong-moi..."

"Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak hatimu..." kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.

"Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"

"Houw-ko..." In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."

"Hong-moi, tidak...!" Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

"Kau benar... Houw-ko, kau benar..."

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

"Hong-moi, ah, Hong-moi..." Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

"Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.

"Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

"Houw-ko...!" Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut. "Kau... kau tidak apa-apa...?"

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka, "Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."

"Ah, Hong-moi..."

"Maafkan, aku, koko..." In Hong meponta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. "Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka..."

Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang itu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

"Koko..."

"Hong-moi..." Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

"Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

"Terkutuk!"

"Keparat!"

Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!

Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.

Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?

Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul!

Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri.

Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa berutang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun juga.

Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri!

Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sore-sore dia telah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsan, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak seperti orang yang tidak bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.

Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan. Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

"Eh... eh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu.

Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid He I Siankow!

Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Tiba-tiba terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.

Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

"Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk."

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera disambarnya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

"Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar