"Benar akulah Tung Sun Nio dahulu isteri Sie Cun Hong. Murid mendiang suamiku ini benar! Tak perlu ku sembunyikan lagi, dahulu aku adalah isteri Sin-jiu kiam-ong Sie Cun Hong. Dia seorang suami yang baik, tidak pernah menyeleweng, tidak pernah memperdulikan wanita lain. Akan tetapi terjadi perpecahan dan aku kemudian melarikan diri sehinga suamiku itu berubah wataknya, menjadi petualang cinta, hanya berbeda dengan engkau yang suka menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan, suamilku yang amat tampan itu hanya melayani wanita-wanita yang tergila-gila kepadanya, sama sekali tidak pernah memaksa seperti yang kau lakukan!"
Akan tetapi, dicela tentang perbuatannya, Ang-bin Kwi-bo sama sekali tidak peduli. Dia lalu berkata, "Nah, benar kataku! Sie Cun Hong bukan manusia baik-baik, sehingga engkau yang menjadi isterinya sampai lari meninggalkannya!"
Nenek itu menggeleng-geleng kepala dan sejenak wajahnya kelihatannya suram. "Sama sekali tidak. Kau mau tahu mengapa aku meninggalkan dia? Karena akulah yang tergila-gila dengan seorang sahabat baiknya! Akulah yang berlaku serong, tidak kuat menahan nafsu sewaktu suamiku tidak berada di rumah dan aku melakukan hubungan dengan pria lain. Sie Cun Hong tetap seorang yang mulia, seperti dikatakan muridnya ini. Ang-bin Kwi-bo, engkau tidak tahu betapa puluhan tahun aku menderita tekanan batin karena perbuatanku itu. Aku mengerti bahwa perbuatanku itulah yang membentuk watak suamiku, dan akulah yang berdosa. Namun, aku hanya dapat menyesali diri sendiri, tidak mempunyai kesempatan menebus dosa sampai matinya! Kini kesempatan itu muncul! Engkau telah menganiaya muridnya, engkau merampas pusaka peninggalan suamiku. Maka, sekarangalah aku dapat menebus dosaku dengan membela muridnya yang berbakti dan setia, jauh lebih setia daripada aku yang menjadi isterinya. Hayo serahkan kembali pusaka itu!"
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo tertawa terkekeh-kekeh dan menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku panjang, "Bagus sekali! Dan aku pun belum pernah mendapat kesempatan membalas sakit hatiku kepada Sie Cun Hong. Sekarang engkau isterinya muncul, sungguh kebetulan. Aku akan membunuhmu, akan menyiksamu seperti yang kulakukan kepada muridnya, hi-hi-hik!"
Akan tetapi nenek iblis ini terpaksa menghentikan ketawanya ketika tubuh Tung Sun Nio sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa dan tongkat kecil di tangannya berubah menjadi sinar bergulung menyambar ke arah dada Ang-bin kwi-bo! Nenek iblis ini terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tangan, kukunya seperti lima batang pisau itu menangkis tongkat.
"Triiiiikkkkk!" Ang-bin Kwi-bo meloncat jauh ke belakang, matanya terbelalak merah penuh kemarahan. Ia tadi merasa betapa jari-jari tangannya sakit dan lengannya tergetar hebat. Maklumlah ia bahwa nenek isteri Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Dengan gerengan marah ia meloncat maju, rambutnya menyambar-nyambar seperti pecut dan sepuluh buah jari berkuku runcing itu mencakar-cakar. Serangannya dahsyat bukan main dan Tung Sun Nio, nenek bekas isteri Sie Cun Hong yang bersikap tenang, cepat memutar tongkatnya dan ia harus mengerahkan semua kepandaian untuk menghadapi terjangan dahsyat dari nenek iblis itu.
"Kuatkanlah, aku akan melepaskan kaitan-kaitan ini."
Keng Hong yang sedang memperhatikan jalannya pertandingan, menoleh ke kiri ketika mendengar suara halus itu dan dia melihat betapa gadis baju kuning yang cantik luar biasa itu telah mendekatinya. Ia mengangguk lalu mengumpulkan sinkang, mematikan perasaan di kedua pundak dan kini yang terasa olehnya hanyalah bekas tusukan buku beracun di punggungnya.
Seperti kalau dia bertemu dengan pemandangan alam di pegunungan yang indah, seperti kalau dia melihat bunga-bunga mekar dengan indah, seperti dia melihat bintang-bintang gemerlapan di langit atau bulan purnama tersenyum-senyum di angkasa. Salahkah kalau dia menikmati segala keindahan itu dengan matanya, termasuk keindahan wanita cantik? Mereka bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat pula sinar kagum dan terpesona di mata Keng Hong, buktinya dia lalu menundukkan muka dengan kening berkerut dan kedua pipi yang sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali!
Keng Hong cepat memalingkan mukanya. Benar-benar dia telah memiliki watak suhunya. Tidak tahan melihat wanita cantik, tak dapat menyebunyikan rasa kagum dan terpesona sungguhpun dia sangsi apakah perasaan ini termasuk perasaan yang buruk. Betapapun juga, memang keterlaluan sekali. Dia terancam maut. Racun Ban-tok-sin-ciang mengalir di tubuhnya. Akan tetapi dia masih berkesempatan menikmati dan mengagumi wajah cantik! Karena malu kepada diri sendiri, Keng Hong lalu memejamkan matanya dan mengheningkan cipta bersiulian untuk mencoba menolong dirinya dengan kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi, makin dia kerahkan hawa sakti, punggungnya makin nyeri seperti ditusuk besi membara, sehingga terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan hanya mengumpulkan hawa bersih yang disedotnya untuk menahan rasa nyeri yang menggerogoti seluruh tubuhnya dari dala. Entah berapa lama Keng Hong bersamadhi memejamkan mata. Tiba-tiba lengannya disentuh oleh sebuah tangan halus dan terdengar suara yang berbisik halus namun mengandung penuh kekhawatiran.
"Sadarlah... bangunlah... subo terancam... bagaimana baiknya?"
Keng Hong membuka matanya dan yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah lima buah jeriji tangan yang kecil mungil menyentuh lengannya itu. Akan tetapi cepat dia mencela dirinya sendiri, dan mengalihkan perhatiannya ke depan, ke arah dua orang nenek yang sedang bertanding seru sekali. Ternyata bahwa nenek yang memegang tongkat itu terdesak hebat oleh Ang-bin Kwi-bo yang menyerang dengan kuku jari dan rambutnya. Ilmu silat yang dimainkan isteri gurunya itu baik sekali dan amat kuat, pikir Keng Hong, juga gerakan nenek itu tidak kalah cepat atau ringan dari lawan. Pertemuan tongkat dengan jari berkuku panjang yang mengeluarkan bunyi nyaring pun membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, mereka berimbang. Hanya nenek itu terdesak oleh Ang-bin Kwi-bo, oleh terjangan nenek iblis yang amat dahsyat dengan rambut dan kuku-kuku jarinya yang berbahaya sekali. Nenek bertongkat itu berkali-kali terpaksa mengelak dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan pukulan atau cakaran Ban-tok-sin-ciang dari Ang-bin Kwi-bo.
Keng Hong sendiri terluka parah dan tak mungkin dia membantu. Ia mengerling ke arah gadis itu dan berbisik, "Apakah Nona murid dari... eh, subo itu?" Dia menyebut subo kepada nenek itu, karena bukankah nenek itu isteri mendiang gurunya sehingga nenek itu boleh dibilang adalah ibu gurunya. Gadis itu mengangguk.
"Subo sebetulnya tidak kalah lihai, hanya repot menghadapi senjata yang amat banyak itu, rambut dan sepuluh kuku jari. Ban-tok-sin-ciang itu memang berbahaya sekali. Kalau nona maju membantu kurasa subo tidak akan begitu repot."
"Itulah yang menggelisahkan hatiku," Nona itu berbisik dan alis yang hitam kecil menjelirit seperti dilukis itu mengerut. "Tadi aku hendak membantu, dilarang oleh subo karena diejek iblis itu yang mengatakan subo pengecut hendak mengeroyok."
Keng Hong mengerutkan keningnya. Berabe juga kalau begitu. Dia mengenal kelicikan dan kecurangan Ang-bin Kwi-bo dan agaknya subonya ini, kalau dia tidak salah dengar tadi adalah bekas puteri bangsawan, tentu memiliki keangkuhan dan setelah diejek begitu tentu merasa malu kalau dibantu muridnya atau orang lain. Sedangkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, isteri gurunya itu agaknya akan kalah. Kalau isteri gurunya tewas, gadis ini akan tewas pula, demikian juga dia. Keng Hong mencari akal, kemudian teringat akan Siang-bhok-kiam. Nenek iblis itu mempunyai ilmu pukulan beracun yang ganas yaitu Ban-tok-sin-ciang dan untuk menghadapi ilmu dengan kuku-kuku beracun itu, paling tepat hanya menggunakan Siang-bhok-kiam karena pedang pusaka itu justeru "anti racun"! Akan tetapi pedang pusakanya itu, seperti pusaka lain, telah dirampas oleh si nenek iblis. Bahkan pedangnya itu kini terselip di pinggang Ang-bin Kwi-bo! Setelah memeras otaknya menahan rasa nyeri di punggungnya, akhirnya Keng Hong berbisik, "Nona, dekatkan telingamu..."
Nona itu mengerti bahwa pemuda ini hendak berbisik sesuatu yang tak boleh didengar nenek iblis yang tentu memiliki pendengaran amat tajam, maka ia lalu menggeser tubuhnya yang berlutut dan jantungnya berdebar keras. Telinga itu begitu indah bentuknya, rambut pelipis yang halus dan melingkar-lingkar itu menyapu mukanya, berbau harum seperti bunga mawar. Muka itu begitu dekat. Eh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong! Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan sekali. Gadis itu menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran, akan tetapi ia mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong.
Setelah Keng Hong membisikkan siasatnya, nona itu menjauhkan lagi tubuhnya lalu berkata, kini suaranya keras,
"Subo terdesak oleh nenek iblis itu!"
Keng Hong tertawa, suara ketawanya mengejek. "Ahhhhh, siapa tidak mengenal nenek iblis Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan, masih pula ia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi dan meniru-niru dari orang lain. Biarpun begitu, dia masih tidak malu-malu memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan menjijikkan!"
Terdengar Ang-bin Kwi-bo memekik marah dan meloncat mundur. "Bocah bermulut busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja, setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!" Akan tetapi ia berhenti memaki karena nenek itu sudah menerjang lagi dengan tongkatnya, marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu.
Melihat keduanya bertanding lagi, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng Hong, berkata lagi dengan suara nyaring, "Akan tetapi, kulihat nenek iblis itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh mengerikan!"
"Uwaaah! Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara tidak tahu malu ia rampas dari tanganku ketika aku pingsan, hemmm... tentu dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka guruku yang dianggap suci, tidak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia pengecut, mana berani? Ha-ha-ha!" Keng Hong tertawa, akan tetapi sesungguhnya ketika dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri bukan main hampir tak dapat dia menahan.
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo terkekeh. "Heh-heh-heh-hi-hik! Cia Keng Hong, kaukira aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu lalu memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini! Aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh isterinya! Heh-heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah isteri gurumu sendiri!"
Keng Hong memebelalakkan matanya mengangkat tangan ke atas dan mulutnya menyeringai saking sakitnya. "Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji itu...!
Gadis itu meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil memberntak, "Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah mencelakakan subo...!"
Ang-bin Kwi-bo terkekeh dan mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan tongkatnya.
Ang-bin-Kwi-bo megerahkan sinkangnya dengan amat kuat dan menangkis dengan pedang Siang-bhok-kiam.
"Krekkk!" Tongkat di tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu menjerit dan meloncat mundur. "Hi-hi-hi-hi-hik!" Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang.
"Celaka...!" Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan jerit karena khawatir dan ngeri. Sambaran Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu amat mujijat, ia terhuyung dan tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo telah meluncur ke depan dan melibat leher dan pundak Tung Sun Nio!
Sambil terkekeh-kekeh, Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu.
"Tung Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu, hi-hi-hi..."
Tiba-tiba nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan kanannya dan ia menjerit. "Aduhhh... tanganku...tanganku...!" -Ternyata tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh Tung Sun Nio dan sekali pedang tiu berkelebat, rambut yang membelitnya telah dibabat putus!
"Aihhhhh... keparat... pedang celaka...!" Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu dengan Siang-bhok-kiam.
"Srattt... krekkkkk!" Lengan nenek iblis yang kiri terbabat buntung! Ia memekik keras. Akan tetapi pekik ini dilanjutkan dengan raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung! Tubuh itu meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin Kwi-bo terguling roboh dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput.
"Subo...!" Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya. Nenek ini yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang.
"Sie Cun Hong, tidak urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..." Mereka berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dan pingsan. Ia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan siasatnya.
Nenek iblis itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justeru itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang amat lihai ilmunya Ban-tok-sin-ciang itu. Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik, dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam. Kejahatan dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal ini dikehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan bahwa Ban-tok-sin-ciang akan luntur dan punah kalau terkena hawa murni dan mujijat dari Siang-bhok-kiam. Dugaannya terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang, otomatis hawa sakti pedang itu menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok-sin-ciang seperti air memadamkan api sehingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya! Setelah melhat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong terguling pingsan!
Keng Hung mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu dalam sebuah kamar yang amat bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan amat panas, seolah-olah di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi perasaan nyeri sejenak lenyap terlupa olehnya ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari pembaringannya.
"Suheng..., bagaimana rasanya...?" Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus, wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan.
"Suheng...?" Keng Hong mengulang dengan suara terheran.
"Engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, suami subo. Berarti kita masih saudara seperguruan." Gadis itu menjelaskan.
"Aahhh... terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali."
"Aihhh, Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sesungguhnya engkaulah yag telah menyelematkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau pun telah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..." Gadis itu berhenti dan memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan!"... lukamu..., subo bilang..."
"Bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok-sin-ciang di punggungku ini tidak dapat disembuhkan?"
Gadis itu mengangguk dan...menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya, memandang heran. "Eh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?"
Gadis itu mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah. "Suheng, subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil melenyapkannya dan... dan... engkau hanya akan bertahan saapai sehari semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..." Gadis itu tidak melanjutkan menangis lagi. Keng Hong menjadi terharu. Perasaannya seperti lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Kau mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa, Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah, mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?"
Gadis itu menarik kembali tangannya, mukanya menjadi merah sekali akan tetapi ia memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran. "Suheng, selamanya aku tidak mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok pagi...ahhh..." Ia menangis lagi.
Keng Hong mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan kepadanya, kepada suhengnya! Sama sekali bukan karena... cinta kepadanya, seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apabila bertemu dengan gadis jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia!
"Sudahlah, Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo supaya suka datang ke sini dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok pagi."
Gadis itu memandang penuh harapan, lalu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan?
Tak lama kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan biarpun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong. "Subo..." Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. "Harap subo maafkan bahwa teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu telah menerima budi pertolongan Subo, teecu amat berteia kasih..."
"Ssttt, engkau benar-benar seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati orang. Namamu Cia Keng Hong, benarkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu memanggilmu."
"Benar, Subo. Teecu Cia Keng Hong."
"Keng Hong, terus terang saja, biarpun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu pengobatan, akan tetapi luka dipunggungmu akibat cengkeraman kuku dengan ilmu beracun Ban-tok-sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..." Kalimat terakhir terdengar lirih, penuh keharuan. Mata Keng Hong tak dapat ia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subonya itu, memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu menitikkan air mata. Aihhh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata keranjang yang tiada taranya!
"Subo, dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap racun. Oleh karena itu, betapapun lihainya Ban-tok-sin-ciang, namun jika benar keterangan suhu, dan jika Tuhan masih belum menghendaki teecu rasa pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu."
Seketika berserilah wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi berduka sekali. "Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?"
"Harap Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang terkena pukulan Ban-tok-sin-cinag. Tentu saja terserah kepada kebijaksanaan dan keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tidak merusak bagian yang mematikan, tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal pun berarti racun yang sudah menggeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot keluar." Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi nyawanya ini seenaknya saja, seperti orang membicarakan urusan makan minum!
Nenek itu memandang kagum, kemudian berkata dan suaranya mengandung isak! "Sungguh...!Engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!"
Keng Hong tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subonya adalah gurunya. Jelas bahwa subonya ini selamanya mencinta suhunya. Mengapa dahulu bisa menyeleweng? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak pernah berdosa? Subonya ini pun tidak terkecualikan. Ia dapat membayangkan betapa suhunya tentu sedang pergi dan subonya yang sedang kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda sahabat suhunya dan terjadilah pelanggaran.
Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa!
"Teecu menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan...eh, Sumoi... tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup."
Gadis itu cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika ia membantu Keng Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas. "Bukalah bajunya, telanjangi punggungnya!" kata subonya.
Keng Hong kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepala sendiri ketika jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya.
"Eh, Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ah, amat berbahaya...!" Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong. Mampus kau! Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh dan memaksa diri tersenyum. "Sumoi, siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi aku cukup tabah, harap jangan khawatir, aku percaya penuh akan keahlian Subo menggunakan pedang!"
Kalau gadis itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti itu. Ia mnghela napas dan berkata lirih, "Hemmm...., persis dia..! Tiada sedikit pun bedanya... hemmmmm!"
Keng Hong terkejut. Suara "Hemmm!" yang terakhir itu benar-banar mencurigakan, karena terdengar jelas subonya itu gemas. Tentu sudah tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal,
"Silakan, Subo!"
Nenek itu memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut Ang-bin Kwi-bo, dan mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf di tubuhnya menjadi tenang. Kemudian terdengar ia berkata,
"Cia Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku menggerakkan pedang ini. Sudah kuperiksa lukamu dan racun ini mengeram dekat jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti nyawamu akan melayang, sampaikan maafku kepada gurumu!"
Sunyi menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa ini, dan terdengarlah isak tertahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali.
"Teecu mengerti. Silakan!" Suara Keng Hong sedikitpun pun tidak terdengar takut, tenang sekali. Nenek itu mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar hijau berkelebat dan... "Ceppp!" Ujung pedang Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi sedu-sedan gadis yang menonton pertunjukan mengerikan ini.
Terdengar keluhan yang didekap dari mulut Keng Hong. Nenek itu melepaskan gagang pedang. Pedang Siang-bhok-kiam menancap seperempat bagian di punggung itu. Keng Hong kelihatan lemas, entah pingsan entah tidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan berwarna hitam.
"Ya Tuhan... Terima kasih..., terima kasih, Sie Cun Hong...!" Nenek itu menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak! Gadis itu pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya.
Kedua orang wanita itu menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa "operasi istimewa" itu berhasil baik!
"Yan Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi isterinya!"
"Subo...!" Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh ke arah dipan. "Dia..."
Nenek yang masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Dia pingsan, tidak mendengar. Andaikata mendengar sekalipun, mengapa? Dia tentu setuju! Adakah perawan yang lebih hebat daripada engkau?"
"Ssssttttt... Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..."
Nenek itu bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Makin banyak kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang. "Dia sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi aku percaya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah memiliki sinkang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di punggung dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah darah, engkau sudah tahu." Nenek itu lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong.
Yan Cu duduk di bangku yang diseretnya dekat pembaringan, sejenak ia termenung seperti patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Memang yang tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya normal, tanda sehat. Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh ia mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu ia membersihkan tetesan-tetesan racun hitam.
Dengan jari telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian ia memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga normal. Ia bernapas lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini. Dia tadinya merasa girang sekali endapatkan seorang suheng yang begini lihai dan begini...ganteng! Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya! Benar-benar kini berbeda sekali perasaannya. Dia hanya girang, gembira, bahagia. Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang ia tahu hanya bahwa dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum.
Dengan amat telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah ia menyuapi Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer. Karena kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya berseri melihat betapa Keng Hong makin sehat. Pada hari ke tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar dinding. Di atas meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur dan obat.
Keng Hong kaget meraba punggungnya dan hatinya terharu sekali. Ia tahu bahwa dia telah selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu sampai tertidur kelelahan di atas bangku!
Ia mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi pipi. Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita yang telah menjaga dan merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini, dan dia membalasnya dengan pandang pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi! Ia bangkit bersila dan bersamadhi. Sinkangnya dia gerakkan dan ternyata seluruh tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkangnya dapat dia gerakkan lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis! Terbayanglah semua pengalamannya semenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia bergidik. Ia berhutang budi kepada subonya, berhutang nyawa. Juga kepada gadis cantik ini.
"Ehhhhh... Engkau belum boleh duduk, Suheng...!" Tiba-tiba Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum penuh rasa jengah! Eh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang? Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini!
"Maaf, Sumoi... Mengapa tidak boleh duduk?"
Yan Cu mengangkat muka, kini berani memandang. "Subo berpesan agar engkau berbaring dan memulihkan tenaga sampai sepuluh hari. Engkau baru tiga hari..."
"Apa?" Keng Hong memotong, terkejut. "Sudah tiga hari tiga malam aku rebah di sini dan engkau terus-menerus menjaga dan merawatku di sini, Sumoi?"
Sepasang mata yang indah itu memandang Keng Hong dan seolah-olah mata itu bertanya apa salahnya dengan itu, akan tetapi bibirnya bergerak, berkata halus. "Ah, Suheng. Itu sudah menjadi kewajibanku."
"Kewajibanmu? Dan engkau menjaga terus-menerus tanpa istirahat sehingga engkau kelelahan dan tertidur di bangku. Mukamu pucat, engkau agak kurus, pakaianmu dan rambutmu kusut... Ah, Sumoi aku benar tak tahu diri, mebuat Sumoi capek sekali."
Yan Cu bangkit berdiri, meneliti pakaiannya, otomatis tangannya meraba rambutnya. "Wah, aku... Aku harus berganti pakaian... Harus mandi, rambutku... ah, tentu jelek sekali..."
Keng Hong tak dapat menahan ketawanya. "Bukan begitu, Sumoi. Engkau tetap cantik, ah, malah lebih cantik dalam keadaan begini. Engkau telah merawatku, sungguh aku harus berterima kasih!' Keng Hong meloncat turun dan menjura di depan gadis itu.
Yan Cu tersipu-sipu. "Eh-eh-eh, jangan Suheng. Aku... aku harus menjagamu, dan engkau tidak boleh turun. Kesehatanmu belum pulih. Subo bilang, kalau sinkangmu cukup kuat, dalam waktu sepuluh hari barulah Suheng boleh turun."
"Ha-ha-ha! Aku sudah cukup sehat dan kuat berkat perawatanmu, Sumoi. Lihat!" Keng Hong membusungkan dada, menarik napas panjang dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, dan... Punggungnya menempel di langit-langit. Kemudian dia melompat turun lagi, demikian ringan tubuhnya. "Nah, bukankah aku sudah pulih kembali?"
Yan Cu memandang kagum. "Engkau... engkau hebat, suheng. Baru malam tadi aku... Engkau makan dengan..." Sukar ia melanjutkan kata-katanya dan ia hanya memandang ke arah bekas mangkok dengan sendoknya.
Keng Hong memandang, terharu. "Engkau masih menyuapi aku, bukan? Terima kasih, Sumoi. Aku tidak akan mungkin membalas budimu, biarlah Thian saja yang akan membalasmu." Kembali Keng Hong menjura. "Dimanakah subo? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Subo telah tiga hari pergi seperti biasa, mencari daun-daun obat... nah itu subo datang!"
Benar saja, nenek itu sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah keranjang penuh daun dan akar obat. Keng Hong cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Subo, terimalah hormat dan terima kasih teecu atas pertolongan Subo. Sungguh teecu tidak akan dapat melupakan budi Subo dan Sumoi yang amat besar terhadap diri teecu!" Keng Hong bersoja sampai delapan kali.
Nenek itu memandang dengan wajah berseri dan penuh kekaguman. "Baru tiga hari dan engkau sudah sehat kebali. Entah betapa hebat sinkangmu, Keng Hong! Engkau benar-benar mengagumkan, agaknya sinkangmu malah sudah melebihi mendiang suhumu!"
"Subo, terlalu memuji. Kalau tidak ada Subo dan Sumoi, tentu teecu sekarang hanya tinggal nama saja. Entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi Subo dan Sumoi!"
"Keng Hong, orang yang ingat akan budi adalah orang yang baik. Syukurlah kalau engkau suka ingat akan budi orang. Untuk membalasku, engkau harus memenuhi permintaanku dan untuk membalas budi Sumoimu, engkau harus suka menurut menjadi calon suaminya. Aku menjodohkan engkau dengan muridku." Terbelalak mata Keng Hong dan otomatis dia menengok kepada sumoinya. Akan tetapi gadis itu sudah lari keluar dari kamar.
"Akan tetapi, Subo..." Keng Hong sudah bangkit berdiri dan memandang nenek itu dengan bingung. Dia benar-benar tidak dapat menggunakan pikirannya, bingung karena keputusan itu benar-benar amat mendadak dan sama sekali tidak pernah diduganya. Dia dijodohkan dengan gadis jelita itu
"Cia Keng Hong, apakah engkau hendak menolak? Tegakah engkau menolak setelah apa yang dilakukan oleh muridku? Dia sudah setuju, dan kulihat kalian memang berjodoh. Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, dia muridku. Engkau tampan gagah, dia pun cantik jelita dan gagah. Adakah gadis yang lebih cantik dari dia? Eh, Keng Hong, apakah engkau sudah mempunyai calon isteri lainnya?" Nenek itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik.
Keng Hong menggelengkan kepala. Memang dia belum mempunyai tunangan. Akan tetapi pada saat itu, terbayanglah wajah Biauw Eng di pelupuk matanya. Biauw Eng! Bagaimana dia dapat memilih gadis lain menjadi calon isterinya kalau dia sudah yakin benar bahwa Biauw Englah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya? Cintanya terhadap Biauw Eng adalah cinta yang murni, yang mendalam bukan hanya cinta berahi atau tertarik oleh kecantikan Biauw Eng saja. memang dia suka akan kecantikan, selain tertarik, akan tetapi itu bukanlah cinta! Mana mungkin dia mencinta wanita lain, biar sejelita gadis itu sekalipun? Cinta kasihnya sudah direnggut Biauw Eng. Memang Biauw Eng sekarang membencinya, karena kebodohannya sendiri, akan tetapi apa pun yang terjadi, andaikata kelak Biauw Eng menjadi isteri orang lain sekalipun, dia akan tetap mencinta Biauw Eng!
"Nah, kalau engkau belum bertunangan, mengapa ragu-ragu? Engkau harus menjadi suami muridku, karena hanya untuk jodoh muridku inilah aku bertahan hidup selama ini. Kini aku telah mendapatkan jodoh untuknya, yaitu engkau. Kalau engkau menolak, berarti engkau adalah seorang yang tak kenal budi dan akan kuanggap sebagai musuh. Aku akan membunuhmu!"
"Subo...!!" Keng Hong berteriak kaget. Nenek itu menurunkan keranjangnya. "Dengarlah, dahulu aku telah melakukan dosa terhadap gurumu. Karena itu, aku kini melihat jalan untuk menebus dosa, yaitu untuk membahagiakan muridnya. Karena itu, aku memilihmu untuk menjadi suami muridku, padahal andaikata ada seorang putera kaisar sekalipun yang melamar muridku, belum tentu akan kuterima! Engkau bahagia sekali menjadi calon suami muridku. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghancurkan harapanku menebus dosa dan sekaligus engkau menghina aku, engkau menghancurkan perasaan muridku yang juga akan merasa terhina karena ditolak. Nah, aku telah cukup bicara. Kalau menerima dan akan kuatur pernikahan kalian bulan ini juga atau engkau menolak dan harus mengadu jiwa dengan aku!"
"Subo...!!" Keng Hong mengeluh, akan tetapi nenek itu sudah menyambar keranjangnya dan pergi dari situ.
Keng Hong bangkit perlahan-lahan, kemudian menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di pembaringan itu. Pikirannya tidak karuan, gelap dan ruwet, hatinya tertekan, membuatnya bingung sekali. Apa yang harus dia lakukan? Harus dia akui bahwa kalau tidak ada guru dan murid itu, dia tentu sudah mati di tangan Ang-bin Kwi-bo! Dia berhutang budi, berhutang nyawa! Hutang benda seperti yang dilakukan gurunya, dapat dibayar, pusaka-pusaka yang "dihutang" gurunya dapat dia cari kembali dan dia kembalikan. Akan tetapi hutang budi? Hanya dapat dibalas dengan budi pula. Kalau dia menolak, berarti dia akan menjadi orang yang paling tidak mengenal budi di dunia ini! Dia masih jejaka, belum menikah belum bertunangan. Alasan apa yang dapat dia pakai untuk menolak? Yang mengatur perjodohan adalah isteri gurunya sendiri, berarti berhak untuk mewakili gurunya yang sudah tidak ada. Adapun jodoh yang demikian cantik jelita, berkepandaian tinggi, berbudi mulia, gadis yang telah menjaga dan merawatnya selama tiga hari tiga malam tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Dari sikap itu saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu tentu suka kepadanya! Bagaimana dia dapat menolak? Keng Hong menjadi pening kepalanya dan dia duduk sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.
"Suheng...!!" Halus merdu sekali suara itu, akan tetapi mendengar itu, kepala Keng Hong menjadi makin pening. Ia mengangkat muka memandang dan matanya terbelalak. Gadis itu sudah mandi, sudah menyisir rambut dengan rapi, sudah bertukar pakaian yang bersih dan indah, pakaian berwarna serba kuning. Rambutnya yang hitam gemuk dikelabang dua, diikat dengan pita sutera kuning pula. Segar dan cantik mempesonakan. Akan tetapi, melihat kecantikan gadis ini, kepalanya berdenyut-denyut rasanya sehingga dia memejamkan mata dan menekankan kedua tangannya keras-keras dari kanan kiri.
"Suheng... apakah kepalamu masih terasa pening...?"
Keng Hong mencium bau yang amat sedap harum. Perlahan-lahan dia membuka matanya dan cepat memejamkannya kembali karena melihat sepasang mata seperti dua buah bintang cemerlang menatapnya dekat-dekat di depan mukanya. Ia mengelengkan kepalanya dan dengan kedua mata masih terpejam dia bertanya,
"Sumoi, di mana Subo?" Ia heran sendiri mendengar suaranya tiba-tiba menjadi parau dan gemetar, seperti suara orang terserang penyakit demam, suara orang gelisah dan bingung dan kehabisan akal!
"Subo sudah pergi lagi, katanya hendak mencari akar jin-som di puncak paling ujung. Paling cepat lima hari lagi akan kembali. Mengapa. Suheng? Mukamu pucat sekali. Subo sudah bilang, bahwa engkau boleh turun setelah beristirahar sepuluh hari. Baru tiga hari engkau turun. Lebih baik berbaringlah dan mengasolah sampai sembuh, Suheng. Hari ini engkau boleh makan masakan daging. Kutangkapkan kelinci untukmu, ya? Ataukah engkau lebih senang daging ayam hutan? Atau kijang? Aku akan masak yang enak untukmu..."
Keng Hong merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia memaksa diri membuka mata, memandang sumoinya itu dengan tajam, lalu bertanya,
"Sumoi, apakah engkau... engkau... Tadi mendengar...?"
Gadis itu memandang, matanya kini terbuka agak lebar. Mati aku, pikir Keng Hong. Sepasang mata itu luar biasa indahnya! Akan tetapi menikah dengannya? Ahhh, bagaiamana mungkin? Biauw Eng...!
"Mendengar apa, Suheng?"
Keng Hong mengerutkan keningnya. Kalau gadis berpura-pura tidak tahu berarti gadis ini mempunyai watak yang suka mempermainkan! Akan tetapi sepasang mata itu memandangnya begitu jujur, sewajarnya dan tidak menyembunyikan apa-apa, jelas memang tidak mengerti.
"Itu... tuhhh... Tentang... eh, tentang perjodohan..."
Tiba-tiba gadis itu menundukkan mukanya. Setelah menunduk, tampak sekali betapa lentik panjang bulu matanya, betapa mancung hidungnya dan betapa runcing dagunya. Bukan main! Keng Hong tidak percaya di dunia ini ada yang lebih manis daripada wajah di depannya ini! Gadis ini mengangguk, kemudian terdengar suaranya yang keluar dari bibir yang merah basah tanpa gincu, lebih merah sedikit dari sepasang pipinya yang tiba-tiba menjadi amat merah. "Aku sudah tahu... bahkan Subo sudah memberi tahu tiga hari sebelumnya, setelah Subo berhasil menusukkan Siang-bhok-kiam itu..."
Keng Hong tertegun. "Kalau begitu.. Ketika engkau menjaga dan merawatku selama tiga hari tiga malam... eh. Engkau sudah tahu akan perjodohan itu?"
Gadis itu mengangguk dan mengerling sambil tersenyum manis, bukan sikap memikat melainkan agaknya merasa geli dan hendak menggoda. Keng Hong merasa betapa hawa pagi dalam kamar itu tiba-tiba menjadi panas. Ah, dia harus bicara dari hati ke hati dengan gadis ini. Kalau dia tidak berani nekat sekarang, nanti akan terlambat dan dia takkan dapat menghindarkan diri lagi dari ikatan jodoh ini. Dia harus dapat menyelesaikan urusan ini sebelum isteri gurunya itu pulang!
"Sumoi, mari kau ikut bersamaku...!"
"Eh... eh... kemana...?" Yan Cu berkata heran ketika pemuda itu menggandeng tangannya dan menganjaknya lari keluar dari dalam pondok. Keng Hong tidak menjawab melainkan terus menarik tangan gadis itu, setelah tiba di luar dia berkata,
"Kemana saja, asal jangan di dalam pondok. Aku... aku membutuhkan udara segar, dan aku ingin bicara kepadamu, Sumoi. Bicara dari hati ke hati, bicara sejujurnya demi kebaikan kita bersama, demi masa depan penghidupan kita!"
Gadis itu memandang dengan sinar mata heran, akan tetapi ia mengangguk dan berkata. "Marilah. Di puncak sana itu amat indah pemandangannya dan sejuk hawanya. Aku paling suka duduk melamun sendirian di sana!"
Berlari-larilah mereka dan Keng Hong sengaja hendak menguji ginkang gadis itu. Ia berlari cepat sekali.
"Wah, larimu cepat bukan main, Suheng!" Teriak gadis itu akan tetapi Keng Hong mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ginkang yang hebat juga. Ini pun tidak mau mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengimbangi kecepatan gadis itu sampai mereka tiba di puncak.
Keng Hong memandang sekeliling dan dia menjadi kagum. Memang indah bukan main pemandangan dari puncak itu. Di sebelah timur tampak menjulang puncak Pegunungan Phu-niu-san, sedangkan sebelah barat menjulang tinggi puncak Pegunungan Cin-ling-san. Di sebelah bawah tampak jurang-jurang yang curam dan anak sungai yang berlika-liku seperti ular naga. Hawanya pun nyaman sekali. Berdiam di tempat seperti inilah yang membuat manusia merasa kecil, dan merasa lebih dekat dengan alam yang maha besar, merasa bahwa dirinya tidak berarti, hanya menjadi sebagian kecil saja dari alam ini.
Mereka lalu duduk di atas rumput yang hijau tebal seperti permadani. Sejenak mereka berpandangan dan gadis itu bertanya,
"Suheng, pandang matamu aneh. Engkau kau hendak bicara apakah?"
"Sumoi, pertama-tama, siapakah namamu?"
Gadis itu membelalakkan matanya kemudian tertawa geli, menutupi mulut dengan lengan bajunya. Hemmm, bukan main manisnya kalau begini, pikir Keng Hong kagum. Ia dapat mengerti kegelian hati gadis itu. Seorang suheng yang tidak tahu nama sumoinya! Atau lebih lagi, seorang calon suami yang tidak tahu nama isterinya! Mana ada keduanya di dunia ini?
"Aihhh, kukira Suheng sudah tahu. Jadi belum tahukah?"
Keng Hong tersenyum. Sikap gadis itu kini lebih terbuka, lincah dan tidak malu-malu setelah mereka berdua berada di tempat sunyi yang amat indah itu. Sikap ini menular kepadanya dan dia pun menjadi gembira. "Kalau aku sudah tahu, masa aku bertanya lagi, Sumoi?"
Gadis itu bangkit berdiri dan menjura sambil bersoja, sikapnya lucu dan manis. "Kalau begitu, perkenalkanlah, nama saya Gui Yan Cu!"
"Saya Cia Keng Hong!" Keng Hong juga sudah bangkit berdiri dan membalas penghormatan sumoinya seolah-olah mereka itu merupakan dua orang yang baru bertemu dan baru berkenalan. Keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak. Kini Yan Cu bahkan tertawa gembira tanpa malu-malu menutupi mulut seperti tadi sehingga Keng Hong terpesona melihat deretan gigi yang putih seperti mutiara dan sekilas pandang melihat rongga mulut dan ujung lidah yang merah.
"Yan Cu sumoi, marilah kita duduk dan bicara. Aku tidak main-main lagi, aku ingin bicara denganmu mengenai diri kita dan kuharap kau suka bicara sejujurnya seperti aku, karena ini demi kebahagiaan masa depan kita sendiri."
Ternyata Yan Cu adalah seorang gadis yang selain lincah dan jujur, juga dapat diajak berunding, karena gadis itu telah dapat menghapus kegembiraannya dan duduk sambil memandang Keng Hong penuh perhatian. Melihat sikap gadis ini, sepasang matanya yang bening, sepasang bibirnya yang merah indah, rambutnya yang melambai tertiup angin gunung, diam-diam Keng Hong membayangkan betapa akan bahagia hidupnya menjadi jodoh gadis seperti ini kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng!
"Sumoi, engkau tentu sudah tahu bukan bahwa Subo telah menetapkan agar kita menjadi pasangan, menjadi calon suami isteri?"
Gadis itu mengangguk, kembali sepasang pipinya menjadi merah, akan tetapi karena maklum bahwa suhengnya bicara dengan sungguh-sungguh, ia berani menentang pandang mata suhengnya, bahkan kini pandang matanya sendiri penuh selidik.
"Bagaimana tanggapanmu mengenai urusan itu, Sumoi? Bagaimana perasaanmu ketika Subo menyatakan urusan penjodohan itu kepadamu?"
"Hemmm, apa maksudmu, Suheng? Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana!"
"Jawab saja, apakah engkau girang mendengar itu? Ataukah engkau terpaksa menerima akan tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak suka?"
Gadis itu kelihatan canggung, akan tetapi ia memaksa mulutnya menjawab. "Aku girang dan suka mendengar itu Suheng."
"Sumoi, katakanlah terus terang, apakah engkau... suka kepadaku? Mengapa engkau merasa girang dan suka mendengar bahwa engkau hendak dijodohkan denganku?"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan dia menyumpahi dirinya sendiri yang dia tahu amat kejam mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang gadis, malah tunangannya sendiri! Akan tetapi dia harus melakukan hal ini, agar urusan yang ruwet itu dapat beres.
"Aku... aku suka kepadamu, Suheng. Mengapa tidak? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa, yang... eh, amat tampan dan yang baik budi, bahkan engkau murid suami Subo yang terkenal. Apakah engkau tidak suka kepadaku, Suheng?" Kini sepasang mata yang bening dan membayangkan hati yang bersih itu seolah-olah hendak menembus jantung Keng Hong. Mampus kau sekarang, demikian Keng Hong memaki diri sendiri.
Senjata makan tuan! Dia dibalas oleh gadis itu dengan ucapan sederhana dan dengan pertanyaan langsung yang menancap di ulu hatinya.
"Aku... aku... Ah, nanti dulu, Sumoi. Sekarang engkau dulu menjawab pertanyaanku, nanti aku yang mendapat giliran menjawab semua pertanyaanmu."
Yan Cu memandang aneh, lalu menghela napas.
"Engkau aneh, Suheng. Akan tetapi baiklah, kau mau bertanya apa lagi?"
"Ketika engkau merawatku selama tiga hari tiga malam, apakah hal itu kaulakukan karena... engkau memang kasihan kepadaku, apakah karena suka, ataukah karena kau merasa hal itu menjadi kewajibanmu sebagai.. eh, calon isteri?"
Keng Hong menanti jawaban dari gadis itu dengan hati berdebar tanpa berani memandang wajah Yan Cu. Sampai lama gadis itu tidak menjawab dan selama itu Keng Hong tidak berani memandang wajahnya. Kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh keheranan,
"Aku tidak mengerti mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini, Suheng. Aku merawatmu karena merasa hal itu sudah semestinya, sudah kewajibanku, bukan hanya karena aku menjadi calon isterimu, akan tetapi karena aku kasihan kepadamu juga suka kepadamu, apalagi engkau adalah suhengku."
Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya. Dasar engkau sendiri yang tolol, makinya kepada diri sendiri, ingin menjenguk hati gadis yang murni! Mengapa tidak terus terang saja?
Mengapa tidak terus terang saja, Suheng?"
"Hahhh..?" Keng Hong kaget karena pertanyaan yang diajukan Yan Cu begitu tepat dengan suara hatinya sendiri! Siapakah yang bertanya tadi? Benarkah suara Yan Cu, atakah suaranya sendiri? Ia menjadi bingung sendiri dan memandang kepada Yan Cu dengan mata kosong.
Gadis itu tersenyum geli. "Suheng, jangan-jangan sebagian dari racun Ban-tok-sin-ciang ada yang naik memasuki kepalamu.."
Keng Hong memegangi kepalanya. "Wah... Kau menghina..." Akan tetapi dia tertawa dan gadis itu pun tertawa geli. Suasana yang tegang membingungkan tadi membuyar. "Kau terlalu, Sumoi. Apakah kau anggap aku sudah menjadi gila...?"
"Habis, pertanyaan-pertanyaanmu aneh-aneh saja, sih. Kalau ada sesuatu di hatimu, katakanlah terus terang, Suheng. Bukankah kau tadi mengajak aku untuk bicara dari hati ke hati? Aku tahu bahwa engkau masih terkejut karena keputusan Subo yang tiba-tiba menjodohkan kita. Apakah kau hendak bicara tentang ini? Ataukah tidak setuju dan terpaksa menerima karena takut kepada Subo?"
Nah, rasakan sekarang! Keng Hong menundukkan mukanya seperti seorang pesakitan mendengarkan tuduhan-tuduhan hakim. Akhirnya dia memberanikan hatinya, mengangkat muka memandang wajah yang jelita itu dan berkata, "Terus terang saja, Sumoi. Memang hal itulah yang membuat hatiku bingung bukan main. Karena berhutang hati kepada Subo yang telah menyelamatkan nyawaku, pula karena mengingat bahwa Subo adalah isteri Suhu yang tentu saja berhak mewakili Suhu, bagaimana aku berani membantahnya?"
"Jadi engkau tidak setuju dan engkau tidak suka kepadaku, Suheng?"
"Wah-wah-wah, nanti dulu, Sumoi. Disaksikan oleh langit dan bumi yang dapat kita lihat sekarang ini, sama sekali tidak demikian. Aku suka sekali kepadamu, Sumoi, dan untuk ke dua kalinya aku bersumpah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis secantik, sepandai dan semulia engkau. Aku suka kepadamu, akan tetapi bukan hanya karena suka orang lalu bisa menjadi suami isteri. Eh, apakah engkau cin... cinta kepadaku, Sumoi?" Keng Hong ingin menampar mulutnya sendiri untuk keluarnya pertanyaan ini, akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia hanya dapat memandang muka gadis itu yang kini mengerutkan kening dan bibirnya diruncingkan, agaknya berpikir keras!
Keng Hong menanti jawaban yang memutuskan ini. Kalau sumoinya ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya, berati dia kalah dan harus bertekuk lutut tanpa syarat lagi! Karena kalau sumoinya ini mencintanya, tentu dia tidak akan tega untuk menghancurkan hati dan hidupnya, dan dia akan menyerahkan diri, pasrah bongkokan membiarkan hidungnya diikat dan dituntun seperti kerbau ke meja sembahyang pernikahan! Diam-diam dia berdoa agar gadis itu menjawab sebaliknya!
Sampai lama Yan Cu tidak menjawab, melainkan mengerutkan alis dan matanya memandang jauh ke puncak Pegunungan Cin-ling-san yang tertutup awan. Tiba-tiba ia menoleh, sinar matanya seperti dua cahaya menembus dahi Keng Hong dan bertanya,
"Cia-suheng! Apakah engkau mencinta gadis lain??"
Keng Hong tersentak kaget dan matanya terbelalak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tersangka-sangka seperti datangnya ujung pedang yang menusuk ulu hati. Ia tergagap dan menjawab seperti orang dikejar harimau atau seperti maling konangan,
"Eh... wah... ini... eh itu...wah bagaimana ya? Ya begitulah, Sumoi. Begitulah..."
"Begitu-begitu bagaimana, Suheng? Engapa tidak terus terang saja? apakah ini namanya bicara dari hati ke hati?"
Keng Hong mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru bisa bicara. "Memang benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang pula. Apakah Sumoi cinta padaku?"
Wajah gadis itu berubah agak pucat, sampai lama ia menatap wajah tampan di depannya itu, lalu bertanya, "Dan gadis itu, apakah dia juga mencintamu?"
Keng Hong menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang dihatinya. Dahulu memang Biauw Eng mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak tokoh, secara terang-terangan.
Akan tetapi dalam pertemuan terakhir, Biauw Eng telah menyatakan benci kepadanya! Apakah bedanya antara cinta dan benci? Sukar membedakan kalau dia teringat akan sikap Biauw Eng.
"Tidak, dia malah... membenciku, Sumoi!"
Gadis itu menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali ia merasa geli hatinya melihat sikap dan mendengar jawaban Keng Hong merendahkan kepalanya untuk mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut dan dia menuntut,
"Kenapa kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku mencinta sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..."
Tiba-tiba Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi perut karena geli!
"Wah, kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!" Gadis itu menahan ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai keluar air mata.
Keng Hong juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng. "Baiklah, Sumoi. Memang seharusnya kita berdua sebagai manusia-manusia sadar, membicarakan urusan perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andaikata di sana tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagian besar sekali..Karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran sehingga yang aku lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!"
"Aku mengerti maksudmu, Suheng dan hal ini malah menambah kekagumanku kepadamu. Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini, apalagi menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk selama hidup. Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan meilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang lebih berpengalaman daripada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kaujelaskan padaku, Suheng. Apa sih cinta itu?"
Keng Hong mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau-balau tidak karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia lalu mengurut-urut dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah,
"Cinta? Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih, cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak mengerti!" Ia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendengarkan penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong. Ketika mendengar kalimat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan.
"Engkau mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas.
"Wah, lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat daripada kuku Ang-bin Kwi-bo!"
Mereka berdua kembali tertawa-tawa geli. "Aihhh, kiranya orang yang hendak kumintai kuliah tentang cinta juga menghijau, tidak lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan harus disertai cinta?"
Kembali Keng Hong memasang muka sungguh-sungguh. "Harus! Mutlak! Syarat utama!"
"Tapi engkau tidak tahu apa itu cinta!"
"Cinta sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati." Keng Hong membantah.
Yan Cu bangkit berdiri dan berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar. Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng. Kemudian dia mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo :
"Cinta kasih asmara begitu indah mempesona begitu rumit berbahaya manis mengatakan madu pahit mengatakan empedu dapat mencipta sorga juga menyeret ke neraka!
Cinta kasih asmara perpaduan rasa mesra suka sayang dan iba. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya Ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya Ingin mengikat dan diikat hidupnya Harus mencakup seluruhnya satupun tak boleh kurang Lengkap mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia Kurang satu saja menjadi goyah berantakan gugur Menimbulkan derita sengsara Menyeret ke neraka penuh duka!"
Keng Hong meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya sehingga membalik dan mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoinya, "Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar tentang cinta! Sajakmu itu indah sekali, Sumoi."
Yan Cu menggeleng kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan.
"Keliru dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dalam sebuah kitab, entah kitab apa aku lagi. Akan tetapi biarpun indah, sayang sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa itu disebut cinta!"
"Aku belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya bisa dimengerti karena pengalaan. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu tadi."
"Engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng, setidaknya engkau tentu lebih berpengalaman daripada aku yang sama sekali tidak tahu."
Merah wajah Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta melainkan nafsu berahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak mengangap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu berahi pula, sungguhpun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan dia menjadi bingung lagi.
"Sajakmu menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang ini cinta sedang menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dahulu mencintaku itu sekarang membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara rasa suka, sayang dan iba. Nah, engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba?"
Gadis itu mengerutkan alis dan berpikir dan menggeleng kepala. "Aku suka kepadamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?"
Keng Hong mengangguk-angguk dan tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya. "Nah, itu tandanya bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemmm, ini tentu ada hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm, ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan diikat hidupnya, wah yang tentu tibul dari kesadaran berkewajiban dan dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba menyelidiki hatimu sendiri, Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... eh, nafsu berahimu kalau kau melihat aku?"
Semenjak kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subonya, urusan cinta dia gelap sama sekali, apalagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya oleh perasaan kewanitaannya, namun tentu saja sulit sekali untuk menjawabnya. Ia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu cemberut.
"Hemmm, agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal mendekatkan mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu dia bertanya, "Apakah kalau engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai perasaan ingin sekali.. Eh, kupeluk dan kucium...?"
Sepasang mata yang indah itu tiba-tiba membelalak dan mukanya ditarik ke belakang seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi Yan Cu menjawab juga,
"Kalau hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja sama sekali tidak ada perasaan itu, Suheng!"
Keng Hong membelalakkan mata dan meloncat bangun. "Wah, celaka, aku sampai lupa..! Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!" Keng Hong lari cepat meninggalkan gadis itu mencari air di lereng gunung. Yan Cu tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan tetapi ia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung memikirkan keputusan yang diambil gurunya. Ia mengerti bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suhengnya itu telah terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan suka belum jatuh cinta. Untung suhengnya berterus terang sehingga rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subonya telah menentukan hal itu, bagaiamana baiknya?
Yan Cu masih termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka, bahkan rambutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoinya itu dan berkata,
"Nah, aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekarang. Bagaimana, Sumoi?"
"Bagaimana apa?"
"Apakah sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?"
Yan Cu mengeleng kepalanya. Keng Hong menganguk-angguk girang. "Bagus, itu tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian terakhir! Engkau dengar baik-baik, Sumoi! Aku... eh, terus terang saja... aku... Aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina, pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu berahi dengan tiga orang gadis lain!"
Wajah Yan Cu mendadak menjadi merah sekali dan mulutnya cemberut, matanya memandang merah. "Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku, Suheng?"
"Jawablah! Setelah mendengar ini ditambah lagi, aku mencinta seorang gadis bernama Sie Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini bagaimana rasanya hatimu?"
Yan Cu menjawab cemberut. "Rasanya muak mendengar yang pertama, dan terharu mendengar yang ke dua."
"Kau.. kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu, bagaimana?"
"Bagaimana... bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!"
"Tidak cemburu? Tidak iri?"
"Mengapa mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di gunung ini pun silakan!"
Keng Hong tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan berjingkrakan menari-nari saking gembiranya. "Kau tidak cinta padaku! Kau tidak cinta padaku! Aduh, Sumoiku yang baik, engkau telah menolongku!"
Yan Cu menarik tangan Keng Hong. "Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?"
Keng Hong menjadi serius kembali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia mengajak gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan wajah serius. "Benar, Subo telah mengancam bahwa kalau aku menolak, dia akan membunuhku!" Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua alisnya berkerut.
"Bagaaimana baiknya, Suheng?"
"Menolak perintahnya, berarti aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi, apalagi kalau aku melawannya. Menurut perintahnya, hem.. tanpa cinta, kita berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, di samping menghancurkan hati Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil jalan tengah saja!"
"Jalan tengah bagaimana, Suheng?"
"Kita menghadap Subo dan menyatakan terus terang bahwa kita berdua hendak membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua rela mati di tangan Subo. Aku akan menyatakan terus-terang bahwa yang menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng, dan aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita berdua akan mencarinya, kalau sudah beertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo. Karena, kalau Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti akan menumpahkan seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!"
"Aihhh, kenapa cinta kasih kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperrti orang memindahkan kursi atau meja, Suheng?"
"Bukan begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tidak akan dipindah-pindahkan seperti itu. Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari kedua fihak, saling memberi dan saling meninta, kurang satu saja menimbulkan sengsara. Biarpun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku sendiri sampai coplok? Di atas segala maca perasaan, termasuk perasaan cinta, masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita mengatasi segala akibat perasaan sehingga mencegah kita melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lalu minum racun tikus dan lain-lain perbutan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur lagi. Bagaimana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?"
Gadis itu mengangguk-angguk. "Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri harus mempelajari dulu bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak "pindah" kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta kepada orang lain sehingga tak dapat membalas cintamu."
"Wah, celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau luput..., habis bagimana kelak dengan aku?" Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya dan Yan Cu tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya.
"Kalau memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng, hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Eh, kurasa tidak baik kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah, hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya, kalau hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya kita jangan mempertaruhkan nyawa. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita. Biarpun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia akan memaafkan kita."
Keng Hong memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira dan berkata, "Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng kalau kita sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu yang manis ini!"
"Ihhh! Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!" Gadis itu melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok diikuti Keng Hong. Mereka berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rapas dari Cui Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam.
***
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah gedung Kwan-taijin. Bayangan ini berhenti dan mendekam di balik wuwungan dengan matanya dia menyapu ke bawah dan mata itu bersinar gembira ketika ia melihat bahwa keadaan di situ amat sunyi. Maklum bahwa saat itu telah menjelang tengah malam. bayangan ini lalu bangkit dan berindap-indap ke wuwungan sebelah belakang, kemudian bagaikan seekor burung garuda terbang, dia meloncat ke bawah dan kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika menginjak lantai di ruangan belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar