Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada saat itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya. Ma Hoa dan Ang Niocu memang amat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.
Ma Hoa melihat keadaan Bu Pun Su yang berbahaya itu, lalu melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Ia melompat di depan Bu Pun Su dan cepat sekali ia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkis jarum-jarum hitam hingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.
"Eh, anak lancang, lekas kau mundur, Im Giok! Jangan perbolehkan kawanmu ini maju!" kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.
Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li dan tersenyum. "Kalau kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!"
Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata penuh mengandung kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.
Makin sunyilah keadaan di situ sekarang dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam ia pun amat kagum terhadap Bu Pun Su. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu, akan tetapi Kam Hong Sin terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapapun juga ia tilak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.
"Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!"
Bu Pun Su tersenyum dan dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.
"Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?" tanyanya dengan tenang.
"Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!" Terdengar suara tertawa riuh rendah dan ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.
"Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha, ha, ha!"
Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, "Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan daripada kalian semua, mengapa mentertawakannya?"
Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.
"Kam-ciangkun," kata kakek itu kemudian, "lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biariah lain kali kalau ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf."
"Tak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biarpun aku mempertaruhkan jiwaku.
Kalau Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapapun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu."
"Hm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik agar kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!"
Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia lalu mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu ia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur. Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, ia telah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hwat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi! Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera ia menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun takkan lebih kuat dan meyakinkan daripada pegangan ini.
"Ciangkun, perhatikan baik-baik!" kata Bu Pun Su.
Kam Hong Sin maklum bahwa tentu kakek itu akan mempergunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu makin tinggi di atas punggungnya! Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya ditendangkan ke belakang dengan perlahan hingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Ia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang digunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Ketika Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang! Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat hingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su! "Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja" Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walaupun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam ia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu! Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia berkata keras, "Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Kalau demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami.
Ha, ha, ha,"
Biarpun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Ketika Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bu Pun Su dengan mengerutkan keningnya, membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata, "Pergilah, pergilah..."
Ang I Niocu dan Ma Hoa tak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari situ tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.
Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang hendak mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam gua itu.
"Inilah gua penyimpanan harta-pusaka itu." katanya.
"Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya guanya," kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.
"Kita harus mencari rahasianya," keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari. Ia adalah seorang yang sudah mempunyai pengalaman luas, maka biarpun tanpa bantuan peta, ia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentu bukan sengaja dipasang di situ, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang ditengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan. Maka ia lalu menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu.
Bu Pun Su lalu menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, "Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang keluarkanlah obat untuk muridku itu!"
"Obat itu tidak ada padaku," jawab Hai Kong Hosiang.
Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar hingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.
"Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan."
"Bawa dulu aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kauserahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil harta ini!" Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu hingga lubang tadi tetutup kembali.
"Benarkah harta itu berada di tempat itu?" tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.
"Wi Wi, aku adalah seorang laki-laki sejati. Pernahkah aku membohong?" Bu Pun Su mendongkol sekali dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka "Lihatlah sendiri, perempuan curang!"
Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lalu melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama ia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.
"Aduh, bukan main hebatnya!" katanya hingga ucapan yang pendek itu cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.
Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata, "Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!"
Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki, dan ketika mereka datang para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.
"Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!"
Hai kong Hosiang dan kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.
"Muhambi, apakah yang terjadi?" teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.
"Tidak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu."
Hai Kong Hosiang menjadi pucat. "Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?"
"Entahlah," jawab Mahambi, dukun itu. "Seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!"
Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia segera berkata, "Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku memenuhi janjiku mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!"
"Sabar dulu, Bu Pun Su," kata Hai Kong Hosiang yang segera ia memegang pundak dukun itu sambil mengancam, "Buatkan lagi obat itu untuk kami!"
Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. "Harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi."
"Aku pergi!" kata Bu Pun Su. "Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.
Cin Hai dan Lin Lin yang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan mereka lalu berhenti dan beristirahat dalam sebuah gua di luar hutan.
"Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali," kata Cin Hai.
"Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andaikata Suhu gagal, aku pun masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku," kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.
Tiga ekor burung sakti, Yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, melihat kedua orang itu berhenti di dalam gua, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, karena tempat itu memang kurang menyenangkan bagi mereka. Tempat itu merupakan tanah tak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula gua-gua besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam gua pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.
Akan tetapi oleh karena panas terik matahari membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka gua di mana mereka berteduh merupakan tempat yang enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.
"Lin-moi," kata Cin Hai sambil membelai kepala Sinkong- ciak yang mendekatinya, "Kalau kita sudah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw.
Betapapun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya."
"Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu."
Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar gua sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.
Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu telah mengenal Song Kun dan telah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.
"Obat sudah didapatkan!" teriak Song Kun dengan wajah berseri. "Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada dalam tangan tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!"
Cin Hai menjadi pucat dan ia memandang penuh ketidakpercayaan.
"Kau tidak percaya?" kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. "Inilah obat itu!" Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.
"Song Kun! Betulkah bicaramu itu?" tanya Cin Hai dengan hati berdebar.
"Kauanggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus diragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan berkeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin.
Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau ia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta." Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.
"Suheng!" teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.
"Kautolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya.
Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan biarpun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin.
Akan tetapi, jangan kau memaksanya menjadi isterimu kalau ia tidak suka."
Song Kun tertawa bergelak, "Sute, kau membolakbalik omonganmu sendiri. Kau tidak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benarbenar mencinta kepadanya?"
"Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya."
"Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau obat ini akan kubuang dan membiarkan ia mati."
Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah ia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang! Cin Hai menjadi bingung karena ia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.
"Jangan buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!"
"Dan menjadi isteriku?" tanya Song Kun.
"Soal itu.terserah kepadanya," jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.
Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.
"Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kaukira aku takut mati?" Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat. Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya dan segera mencabut pedangnya Ang-ho-sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tak boleh dipandang ringan itu.
Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai lalu mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan menerjang sambil berseru, "Song Kun, jangan kaulawan dia yang masih lemah.
Akulah lawanmu!" Dengan tikaman hebat ia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun. Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya, "Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!"
Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang terlampau tangguh baginya itu, apa lagi karena ia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu. Sekali lagi kedua orang muda yang lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan tiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho-sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.
Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebat. Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini ia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasardasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang dapat mengimbangi kehebatan Ang-ho-sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal yang jarang menemukan tandingannya.
Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi ia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba ia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang. Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapapun juga, ia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang hingga jiwa Lin Lin takkan tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi, "Jangan lempar botol itu!"
Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau dan pada saat yang tepat, pedang Ang-ho-sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepala, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat cepat hingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya! Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya.
Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya! Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka, karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik dan menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu! Melihat hal ini, tak tertahan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya! Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, ia tidak boleh merasa kuatir karena betapapun juga, tentu Song Kun takkan mau memberikan obat itu kepadanya. Maka ia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak, "Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!"
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini.
Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis. Dalam keadaan sabar, gerakannya menjadi tenang dan kuat, dan dalam keadaan marah dan menggelora, maka kini gerakan pedangnya menjadi berubah ganas seakan-akan seorang iblis mengamuk! Setiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut! Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, "Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,"
Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.
"Benar-benar kulemparkan botol ini!" teriaknya mencoba sekali lagi, akan tetapi kini Cin Hai tak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan ia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang! Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggitinggi.
"Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!" katanya girang.
Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka di jidatnya.
Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.
"Tua bangka!" ia memaki supeknya. "Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!"
Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. "Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kaulawanlah dia!"
Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata, "Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!"
"Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah pantas kalau dibasmi.
Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiokmu dan juga wakilku!" kata Bu Pun Su yang berdiri dengan tegak dan wajahnya nampak bersungguhsungguh.
Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan itu.
Pedang Ang-ho-sian-kiam berubah menjadi gulungan sinar merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali. Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang atau pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongengdongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut huikiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada! Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biarpun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, akan tetapi karena pemuda itu selalu menjalankan penghidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna dan setelah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, akhirnya ia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, walaupun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat! Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, Cin Hai secepat kilat menusuk ke arah dadanya. Ia masih berusaha miringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cukiam telah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang! Cin Hai memandang ke dalam jurang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya! "Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!"
Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.
Mereka lalu menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.
Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam gua agar jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, ia dan suhunya lalu duduk tanpa bergerak maupun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas! Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, ia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tibatiba ia mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu! Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru, "Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?"
"Siapa yang menjadi Suhu? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kaubantu aku, Hai-ko kekasihku!" Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.
Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya "kekasihku" satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar kuatir, timbul persangkaan dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka ia lalu menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.
"Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!" Dalam pelukan Cin Hai yang kuat, Lin Lin tidak berdaya, akan tetapi, ia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.
"Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!" kata kakek jembel itu dengan suara mengharukan karena ia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.
"Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!"
Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai! Bu Pun Su dan Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai gua, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tidak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika ia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali! "Bagaimana baiknya, Suhu…?" tanya Cin Hai dengan bingung.
"Sabar dan tunggulah saja perkembangannya terlebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!"
Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan ia memandang sekeliling bagaikan seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, ia lalu maju berlutut dan berseru, "Suhu...!"
Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.
"Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?" tanya Cin Hai. Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab, "Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ah, kau mengimpi barangkali!"
Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhunya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, ia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya. Lin Lin lalu mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru dan kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.
"Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, Lin Lin menjadi terganggu pikirannya. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkanmu seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu." kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya. Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam gua itu. "Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!" kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu, kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol.
Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata, "Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawankawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki."
"Memang hal itu aneh sekali," kata Kwee An. "Hai Kong terkenal jahat dan banyak tipu muslihatnya hingga maut pun seakan-akan jerih mencabut nyawanya. Ia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang akan tetapi kini tiba-tiba ia muncul dan sebelah matanya masih dapat digunakan, bahkan ia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu ia menggunakan akat muslihat yang keji. Mari kita menyelidiki mereka!"
"Cin Hai tentu tahu akan hal ini karena ia sedang pergi mencari Suhu itu, maka sudah pasti ia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil," kata Ang I Niocu.
Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa lalu keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.
Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.
"Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?" teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.
"Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!" Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.
Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi ia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari dan sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan gua besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.
Ma Hoa berlari masuk gua dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat, "Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!" Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.
"Lin Lin!" Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu.
"Ini aku... Ma Hoa…!"
Akan tetapi Lin Lin yang kumat lagi gilanya itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk dipakai menangkis dan menjaga diri. Ia merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi oleh karena ilmu pedang gadis itu benarbenar lihai dan gerakannya amat sulit untuk diduga semula, terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin! Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang lihai itu, pasti dengan mudah saja ia telah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam gua itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali Ma-Hoa berseru, "Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!"
Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara! Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera lari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang mempertahankan diri dengan sibuknya.
"Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia telah berubah ingatan!" seru Ma Hoa menahan isak.
Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit, "Lin Lin...!"
Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit, "Enci Im Giok...!" pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena ia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas dalam pelukannya! Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini. Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan gua itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ, akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan gua, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.
Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ia bangun dan ketika melihat bahwa ia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, ia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian ia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.
"Enci Im Giok..."
"Lin Lin, kau kenapakah...?" bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya. Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang, ketika ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.
"Enci Hoa... kau juga datang…?"
"Eh, eh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?" tegur Ma Hoa. "Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan hebat hingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?"
Lin Lin memandangnya dengan terheran-heran.
"Benarkah? Sudah datang lagikah penyakitku itu? Ah, celaka..." dan ia lalu menangis sedih.
Ma Hoa dan Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.
"Lin Lin," kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. "Tadi ketika Ma Hoa masuk ke dalam gua ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian tiba-tiba kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu karena kami sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ah, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?"
Lin Lin lalu menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian ia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun dan mendapatkan obat penawar pengaruh racun dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya "penyakit gila" yang kadang-kadang menyerangnya itu.
Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat dapat ditewaskan oleh Cin Hai hingga sebuah diantara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, telah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.
"Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiokcouw?" tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.
"Mereka sedang pergi ke dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu."
Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu Dara Baju Merah yang dulu dianggapnya telah tewas itu, biarpun ia telah mendengar Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga ia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput daripada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.
"Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa ia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya," kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.
"Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan gua rahasia yang telah ditemukan itu," kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.
Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakapcakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu kini telah mempunyai calon.
"Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, agar kau dihajarnya!" kata Ang I Niocu balas menggoda. Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, ia berbisik, "Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!" Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan ia menggunakan saputangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.
"Terima kasih, Adikku, terima kasih," jawabnya sederhana.
Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.
Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.
"Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!" baru kali ini Cin Hai melihat suhunya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin.
"Obatnya yang kausebut daun semut merah itu, benarbenarkah obat itu penolak racun ular hijau?"
"Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?" jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.
"Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?"
"Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!" jawabnya.
"Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?"
"Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Kemudian aku menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah pohon kembang yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu telah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, maka kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!"
Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.
"Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah seperti orang gila dan kemudian tertidur setelah marah-marah?" tanyanya.
Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Memang, memang demikian," katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, "Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu mengalir di seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat yang besar, peristiwa itu tidak mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada saat kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!"
Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, "Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?" tanyanya tak sabar.
"Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula ia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula ia akan terserang hal itu."
Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.
"Dan di mana perginya Hai Kong dan kawankawannya?" tanya pula Bu Pun Su.
"Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di gua itu?" kata Dukun Mahambi sambil menganggukanggukkan kepala. "Manusia-manusia macam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman."
Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, "Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak ia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lancouw.
Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula."
Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke gua di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke gua Tun-huang! Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di gua Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Ia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, maka ia dapat menduga bahwa pendeta jahat dan kawan-kawannya itu tentu berada di dalam gua, sedang mengambil harta pusaka.
Dengan sekali melompat, Bu Pun Su telah berada di depan gua, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.
"Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!"
Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari gua itu dengan muka merah karena marah.
"Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau telah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!"
"Apa katamu?" bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.
"Harta Pusaka itu telah kaucuri dan kau bawa pergi, mau berkata apalagi?" Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu! Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tidak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata, "Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!" Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam gua dan tak lama kemudian ia keluar lagi dan berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang dan akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha!" Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.
"Kaumaksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu jago tua Hok Peng Taisu?" tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.
"Dasar kau yang bodoh," tegur Bu Pun Su. "Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang serakah dan bodoh!"
"Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!" tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya. Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dulu.
"Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!"
"Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!" Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan sekarang harta pusaka telah tercuri orang lain, untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu? Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar telah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu. Orang ini masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, lalu menggunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut : Harta pusaka di gua rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka! Tadinya Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa raguragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang mempergunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru setelah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.
Mereka ini tidak tahu bahwa diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka tentang maksud mereka mencari Hok Pen Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke gua di mana Lin Lin berada.
Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhunya itu tiba di gua, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Ia lalu menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.
"Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan," berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. "Ketika ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, ia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu Lin Lin?"
Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. "Entahlah, aku tak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi."
"Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tidak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk orang!" kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasihat ini.
Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, "Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu telah datang. Ingat baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!" Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa kalau tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya! Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan tentang perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata.
Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhunya ini akan tetapi ia merasa kecewa juga mengapa suhunya itu tidak datang menemuinya.
"Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan," kata pula Bu Pun Su. "Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhumu agar ia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang amat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Gua Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!" Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, "Tiga burung kubawa serta!"
Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.
Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, "Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua?"
"Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana," kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya. Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan gua itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.
"Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tak baik kalau selama itu kita menganggur saja.
Lebih baik kita bersemadhi dan membersihkan napas melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu."
Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, ia lalu duduk bersila di dalam gua itu, bersamadhi memperkuat tenaga dalamnya.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.
Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.
"Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin karena munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apabila sepekan telah lawat dan ia telah sembuh, ia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini."
Kemudian, Kwee An lalu menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.
Mereka berdua pergi ke gua-gua Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di sanalah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan gua rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.
Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-jaga itu, Nelayan Cengeng berkata, "Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil.
Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?"
Kwee An menjawab, "Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana kalau Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kami?"
"Jangan kuatir, betapapun juga, aku tetap tidak percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pasti ia terkena pengaruh jahat, Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapapun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat harta pusaka terjatuh ke tangan orang-orang jahat."
"Kalau kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?" tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.
Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena ia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. "Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu adalah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu saja sudah sepatutnya kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!"
"Yang berhak?" tanya Kwee An dengan heran.
"Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?"
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, "Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!"
Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali den cepat mereka menengok. Ternyata di atas mereka telah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning.
Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin ia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.
"Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?" tiba-tiba kakek botak itu bertanya.
Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!"
Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.
"Nelayan Cengeng, biarpun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya," katanya.
Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, ia teringat akan cerita gadis itu tentang suhunya yang baru, maka ia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.
"Bagaimana dengan murid kita itu?" tanya Hok Peng Taisu.
"Baik, baik, dan terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah memberi bimbingan padanya. Kepandaian yang kauberikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!" jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
"Ah, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji.
Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang kita bicara tentang hal penting. Eh, siapakah anak muda ini?"
"Dia adalah calon suami murid kita."
Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An tentang harta itu tadi saja sudah membuat ia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.
"Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku hendak mempergunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!"
Nelayan Cengeng memandangnya tajam, "Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?"
"Ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kauberikan kepada pemuda ini tadi!"
Nelayan Cengeng mongangguk-angguk. "Kalau begitu, aku setuju membantumu."
Kakek botak itu berkata, "Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin.
Bagaimana, sanggupkah kalian?"
Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu minta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata. Nelayan Cengeng menarik napas panjang dan berkata, "Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan."
Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah gua itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga telah tertotok roboh olehnya.
"Bukan main!" seru Kwee An dengan kagum sekali karena ia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan ataupun melihatnya! Tak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari gua dan menuju ke tempat mereka dan kini ia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali.
Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.
"Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, diantara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki.
Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah kepadamu. Nah, aku pergi!" Dan sebelum Kwee An maupun Nelayan Cengeng membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ! Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Ketika harta pusaka itu diperiksa, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, maka Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata, "Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian daripada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang amat membutuhkannya."
Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. "Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda mempergunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki."
"Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!"
Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantungkantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.
Demikian pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An sebagaimana yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.
"Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Pek Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw," kata Ang I Niocu. "Kita harus menjalankan tugas membagibagi harta pusaka itu dengan baik."
"Harta ini harus cepat dibagi dan jangan ditundatunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita," kata Kwee An. "Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi."
"Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menanti sampai Lin Lin sembuh?" Ma Hoa berkata ragu-ragu.
"Tak perlu," jawab Ang I Niocu. "Bukankah Susiokcouw telah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Gua Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur."
"Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,"
Yousuf menyatakan kesanggupannya.
Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An masing-masing mendapat sekantung.
Setelah berpamit kepada Yousuf dan kawan-kawannya, empat orang pendekar itu meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka.
Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin.
Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Timbullah desasdesus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang menderita sengsara.
Setelah tinggal di dalam gua batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin telah pulih kembali seperti sediakala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali. Hal ini dapat ia rasakan karena kalau biasanya tiap hari ia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga terpaksa Cin Hai memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, kini denyutan kepala itu lenyap sama sekali! Bahkan ketekunan berlatih dan samadhi membuat ia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di depan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya, "Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau telah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhumu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang telah menolongmu."
Lin Lin dan Cin Hai terkejut. "Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?"
Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, "Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau."
Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. "Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu.
Ternyata Tuhan telah memberi berkah yang berlimpahlimpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan kau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!" Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai menjadi merah mukanya.
"Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah," kata Lin Lin dengan girang.
Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. "Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dulu menyusul Suhumu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting." Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu dan menuturkan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
"Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan dulu ke negeriku agar dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda."
Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang amat penting dan memang telah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara dan bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.
"Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku."
Setelah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan tentang tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Bukan main terkejut dan marahnya Lin Lin mendengar ini, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.
Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan sucinya dan sambil menangis ia bersumpah, "Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalas dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci."
Setelah berdiam di makam subo dan sucinya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini telah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula! Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut ia berkata, "Lin-moi, jangan kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang telah melepaskan hwesio itu dulu dan tidak membinasakannya sehingga ia masih hidup dan kini mendatangkan malapetaka pula."
Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
"Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!"
Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang amat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena ia tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya. Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu mereka melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya, seringkali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan dalam pandangan mata Cin Hai, apabila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya daripada tarian Ang I Niocu sendiri! Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya ia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar