Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya ke-dudukan. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hi-lang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum ter-jadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa ta-kut timbul karena kita tidak mau kehi-langan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yahg telah mengikat batin kita, seperti kcluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, ki-ta takut akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!
Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, den timbullah ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.
Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan. "Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."
Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk. "Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kaulakukan sekarang?"
"Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..." Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.
Nenek itu tersenyum. "Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."
Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya! "Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."
Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"
Yelu Kim tersenyum lebar. "Anak bo-doh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau-bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bah-wa aku yang mengutusmu untuk mengo-bati pemuda itu."
Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terhang dari ne-nek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Heriman Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lam-bang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.
"Terima kasih atas bantuan subo se-hingga aku mendapatkan kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah malukainya."
"Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."
Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perke-mahan suku Khin, begitu ia dikenal seba-gai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira den penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk meng-obati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkan-nya ke dalam kamar Ci Kang.
Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas se-buah pembaringan, hanya memakai sepa-tu dan celananya saja. Tubuh atasnya te-lanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.
"Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum. "Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu. "Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"
Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.
"Ahhh...!" Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini. "Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
"Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."
"Baiklah, silakan nona," Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamaar menjadi segar.
Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam. Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sin-kang untuk menyedot racun. Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sin-kangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sin-kangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.
"Uhhh...!" Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-
gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang mata itu kini perlahan-lahan- terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu! Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
"Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?" tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
"Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!" Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua tepalak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
"Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?" Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah dia mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
"Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."
"Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."
"Ah, tak perlu memuji," kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri."
Pemuda itu terkejut. "Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"
"Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."
"Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."
"Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."
Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. "Ah, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini." Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.
"Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?" Sui Cin bertanya heran.
Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.
"Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!"
"Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menye-sali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, be-rani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."
"Apa...?" Sepasang mata Ci Kang terbelalak. "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"
Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya me-ninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan- yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai di-musuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
"Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."
"Ayah!" Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!" Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
"Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"
Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.
"Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."
Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.
"Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu." Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
"Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali." katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
"Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang." Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
"Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..." kata Ci Kang yang merasa sungkan.
"Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini." kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela. Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut. Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah beru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pdmuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah? Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu. Pandang mata itu se-perti merayap-rayap dan seolah-olah te-rasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja. Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga. Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Guha Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterang-an tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat men-jadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini se-hubungan dengan tugas yang diberikan o-leh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian me-sra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu su-dah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dira-banya dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah ia merasa be-tapa dahi itu panas sekali dan kulit tu-buh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bu-kan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, akan tetapi bersama kemba-linya tenaganya, datang pula suatu pera-saan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin. Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
"Nona...!" Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali. Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, le-hernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara "brettt..." dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.
"Lepaskan...! Ah, lepaskan...!" Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.
"Jahanam busuk, kuhancurkcn kepalamu!"
Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ke-tika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih. Dia menyam-bar sepotong kayu dari dekatnya dan me-nerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuata kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
"Hyaattt...!" Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras. Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sin-kang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang menpndung tenaga sin-kang amat kuatnya itu.
"Ihhh...!" Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menengkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.
"Dukkk...!" Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergu-nakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidek berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek. Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk me-lihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya te-rasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya me-nerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
"Nona, maafkan aku...!" katanya dengan suara gemetar dan tubuhnya mela-yang keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kautebus dengan nya-wa!" Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.
Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.
"Jahanam, jangan lari kau!" Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi telah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.
"Song-ko, mari kita pergi dari sini!" Sui Cin berkata. Ia telah mengikat baju yang robek dengan saputangan. "Tak perlu dicari lagi!"
Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui
Cin telah mengenalnya! Ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.
"Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!" bentaknya marah.
Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, hanya merasa heran. Tidak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak memperlihatkan sikarp kurang ajar, apalagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan telah menentang Sim Thian Bu mati-matian ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya? Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul setelah pemuda itu makan nasi dengan akar obat, mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, dan tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, ia merasa tidak senang.
"Kalau begitu carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.
"Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu. Sui Cin tidak menjawab dan terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, mcrupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.
Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui Song menyusulnya dan pemuda ini berdiri di depan gadis itu. Mereka saling berpandangan sampai lama tanpa berkata-kata, masing-masing meng-atur pernapasan yang agak memburu ka-rena berlari cepat tadi.
"Cin-moi... ah, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali? Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi mengapa engkau merawatnya, padahal, bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, mengapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"
Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Setelah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah ia menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engktu yang lebih dulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?" Sui Cin masih terguncang batinnya oleh peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka ia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan bersikap serius. Hal inipun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya amat membenci Ci Kang, padahal ia sendiri, walaupun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya amat marah, masih belum merasa bahwa ia membenci pemuda putera datuk sesat itu.
Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan diapun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan kembali dan keduanya merasa seolah-olah mereka tidak pernah berpisah, apalagi saling berpisah sampai tiga tahun lebih.
"Aaihh, betapa cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."
Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Guha Iblis Neraka itu, dan bagaimana pula sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini."
"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kusingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedengkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Setelah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Ia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Guha Iblis Neraka itu. Akan tetapi, harta itu telah diambil orang lain lebih dulu yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana ketika menolongku, terluka kepalamu oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, dan bahkan menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu berakhir dan kita saling berpisah lagi. Aku lalu menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.
"Nah, karena tidak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur dan ikut dengan rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini dan aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."
"Sekarang dengarkan pengalamanku." Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Dan akupun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Guha Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke sana. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."
"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."
Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa menyesal karena kalau tidak kuobati, dia mungkin akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka, aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."
"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"
"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."
"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"
"Sudahlah, Song-ko, aku tidak mau bicara lagi soal itu. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi kenapa engkau malah ribut-ribut?"
"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan aku tentu sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa tidak cemburu melihat itu...?"
"Cemburu...?"
"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai saat inipun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkaupun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Kini sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itupun berobah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.
Sampai lama Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuatnya bingung dan sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa ia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini. Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan berwatak cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, iapun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan iapun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Dan baik ia sendiri maupun Hui Song adalah anak-anak tunggal!
"Cin-moi..."
"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis dan sekutunya telah menduduki kota San-hai-koan, dan kekuatan mereka semakin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas kita lebih dahulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang saling berunding tentang hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"
Wajah Hui Song berobah merah. Dia seperti menerima teguran dan merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!
"Ah, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita... ah, sudahlah. Engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang mari kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"
"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk telah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa, lebih besar hasilnya kalau aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti akupun secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."
"Akan tetapi, para kepala suku itupun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.
"Itu adalah soal nanti. Kini yang penting adalah menentang para pemberontak, bukan? Kalau pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku utara yang menyerang mereka, dan pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu, Cin-moi. Baikiah, aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."
"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencenaku menghadapi para pemberontak."
Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapapun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin tentang cintanya, jawaban yang masih belum meyakinkan hatinya bahwa gadis itupun mencintanya.
Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan. Asmara adalah nafsu berahi yang menciptakan ikatan. Namun, asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau sedikitpun. Hal ini adalah manusiawi, karena nafsu berahi terbawa oleh badan sejak lahir. Yang penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tidak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.
Pemuda itu menangis seorang diri! Lucu nampaknya, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi beser, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis! Akan tetapi, tangis tak terlepas daripada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk bersilih ganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak dapat menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu akan terganggu kesehatannya.
Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Sejak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterima dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, setelah berada seorang diri di tempat sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya dan diapun menangis tersedu-sedu sembil ber-lutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya! Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnyapun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan diapun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.
Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati. Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan, membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi. Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang? Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya! Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodohm melainkan justeru waspada karna bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.
Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi ayahnya sendiri sehingga hampir dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa dia senang menentang kejahatan, yang dilakukan oleh ayahnya dan kawan-kawan ayahnya akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat. Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis. Walaupun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawa, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tidak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula. Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dia alami bersama Sui Cin! Dia tahu benar bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa dia telah jatuh cinta sejak dahulu kepada nona itu!
Dan teringatlah dia akan ulahnya kepada Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang dilakukannya tadi? Dia telah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tidak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.
"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!
Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biarpun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan. Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang dan sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!
"Hi-hi-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, orang sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek dan menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang. Ci Kang yang tiba-tibe saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh melihat wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!
Tahulah Ci Kang bahwa dia berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskannya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas. Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarangpun, sebelum membunuhnya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati, apalagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.
"Iblis betina, engkau telah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku dan kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.
Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit ia menggunakan telunjuk tangen kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit badanmu sampai penuh darah, dan kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"
Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tidak nampak gentar. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apapun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau memperdulikan gadis itu. Sebetulnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang telah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak berahi kepada orang lain.
Gui Siang Hwa sudah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya. Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apalagi orang yang memiliki kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya! Ia mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka agar dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.
"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar setelah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak!" kata Gui Siang Hwa. Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.
Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran! Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Pakaiannya amat sederhana, rambutnyapun dibiarkan riap-riapan ke belakang dan mukanya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan smar mencorong!
"Engkau orang jahat!" Gedis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Akan membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak mampu melawan sama sekali. Sungguh jahat!"
Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa tentu gadis ini merupakan kekasih Ci Kang. Ia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka iapun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja ia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini. "Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu. Akan tetapi, Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan dengan sekali serang saja. Ia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebetulnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berobah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!
Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya mengenal gerak serangan ini, karena ia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali ia menggagalkan serangannya ke arah perut.
"Trangg...!" Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya.
Dengan penasaran Siang Hwa lalu menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Ia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.
Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dulu. Ia terkejut bukan main ketika lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan dan terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar amat hebat. Ujung kebutan itu menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berobah kaku seperti kawat-kawat baja dan kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.
Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa gadis muda yang baru datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam guha bewah tanah itu. Munculnya gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, walaupun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Bagi Ci Kang pada saat itu, mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tidak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya daripada kedukaan dan penyesalan.
Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah lewat. Kini tiada keraguan lagi dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya telah mengenal semua gerakan silatnya, dan iapun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subonya. Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali ia kebobolan dan hampir celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung ia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimanapun juga, hal ini mengecutkan hatinya dan Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu. Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam guha di bawah tanah sehingga ia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walaupun ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikitpun keinginan di hatinya untuk mencelakakan orang lain. Perasaan inilah yang membuat ia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang dan kini ia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.
"Hyaaaattt...!" Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika ia berlatih silat di dalam guha bawah tanah dan ujung kebutannya membuat gulungan sinar yang membuat pandang mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan ia berteriak kesakitan lalu meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja ia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sin-kang, tentu ia sudah roboh.
Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"
Yang ditanya tersenyum dan wajahnya tidak lagi nampak menyeramkan karena kepucatan wajahnya setelah tersenyum karena wajah itu menjadi manis sekali. "Aihh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau lihai dengan pedangmu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita tentang seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"
Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subonya? Belum pernah ia mendengar subonya mempunyai seorang puteri. Memang, subonya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!
"Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?
Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapapun juga, maka iapun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Ia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.
Pada saat itu ada angin menyambar kuat dan tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kchijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.
"Hui Cu, apa yang kaulakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika ia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu berobah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kaukerjakan di sini?" Nenek ini sejenak bingung dan terkejut melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan kalau sampai hal ini ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi geger. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!
"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan akan membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... eh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena ia tahu bahwa subonya sedang marah.
Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang kepada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum ia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba dekat Ci Kang dan ia bersikap melindungi. "Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"
"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.
"Tidak! Siapapun tidak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah dan ia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, akupun terpaksa akan tega melukaimu!"
Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarang bergerak. Ia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apalagi setelah kini tahu bahwa gadis itu puteri subonya. Mana ia berani menyerang atau menentangnya?
"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.
"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"
Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa? Kau... kau cinta pemuda itu?"
"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh, aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."
Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka ia menoleh kepada Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman, "Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapapun juga tentang Hui Cu, terutama kepada suhumu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu dan engkau akan kubunuh!"
Mendengar suara subonya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan iapun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tidak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."
"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.
Hui Cu memandang kepada Ci Kang dan kemudian kepada ibunya dengan ragu-ragu. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"
"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.
"Pergilah dulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan sucinya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.
"Mau apa kau?" ibunya membentak.
"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.
Nenek itu mendengus marah akan tetapi segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek. "Sumoi yang manis, agaknya engkau tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hati, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Kalau engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.
Akan tetapi Hui Cu menolak, menggeleng kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.
Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah panggilan subonya, maka sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoinya.
Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia lalu menepuk dan mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang lalu bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.
"Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang. Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar kekotoran yang mengelilingi keluarganya.
"Sucimu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan sucimu."
Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tidak mengerti. "Kenapa akan kaulakukan itu?"
"Karena ia jahat dan berbahaya bagi orang lain dan ibumu juga."
"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"
"Kalau mungkin, walaupun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka itu hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."
"Engkau... benci kepada mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung dan mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapapun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta dan benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapapun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang seperti Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.
"Tidak, Hui Cu. Aku tidak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."
Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat dan tak perlu dia merasa malu atau menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.
"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis dan tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."
Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar