23 Pendekar Lembah Naga

Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah sekali. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka itu. Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana-sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu. Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, di punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes. Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian. Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar. Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kini melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang dianggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi. Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.

Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia telah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh baglan atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.

"Aaahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan dia membuka matanya. Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan ketika dia berusaha menyelamatkan suhu dan subonya. Sungguh aneh sekali. Mengapa pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Sejak tadi, setelah berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut dan mendatangkan perasaan iba dan suka. Rasanya belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini, apalagi tadi dia melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka. Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

"Jangan khawatir nona. Engkau telah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh."

"Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut. Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi terasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali punggungnya. "Aduhhhh... punggungku..." Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka di paha, pundak dan punggung."

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan sepasang matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang..."

"Maafkan? Ahh, engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang sagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tidak perlu bersikap sungkan karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw. Dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain."

"Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

"Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Scng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggeleng kepala menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subonya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka. Dan pemuda perkasa yang telah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan suhunya! Dan hubungan antara dia dan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, suhu dan subonya tentu akan bercerita banyak tentang dia! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dan takkan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang kini demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi jijik, marah dan benci.

Lie Seng memandang dengan alis berkerut, penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu penanggungan rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

"Nona... eh, siapakah namamu?"

"Aku she Sun, namaku Eng."

"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran mengapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."

"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?"

"Engkaupun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."

"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku..."

"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."

"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"

Lie Seng mengangguk.

"Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?"

Kembali Lie Seng mengangguk.

"Ah, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ah, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."

"Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya menyebutku cici kepadaku."

Melihat wajah yang cantik itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."

"Engkau tetap Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang amat besar dan agung, sebaliknya aku..."

"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak."

"AH, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biarpun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap..." Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subonya kepadanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang amat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

"Eh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan kedua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya tEnguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

"Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini."

"Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap." Dara itu lalu membalikkan tubuhnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia dapat menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, merighapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata, "Ah, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekalipun..."

"Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?"

"Engkau tidak tahu, taihiap... ah, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkaupun membenciku. Aku... aku takkan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula."

"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apapun yang terjadi denganmu, aku tidak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan. Akan tetapi Lie Seng tidak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap pada dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya dan Lie Seng melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

"Maaf... kaumaafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri dan berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku."

"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu, untuk kauperlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kaucinta, aku... aku..."

"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta padamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak terkejut. "Apakah... aku hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?" Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukan seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kaudengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa betapapun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."

"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia telah merangkul gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!"

"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"

"Enci Eng, kauanggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimanapun tentang dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kauderita ini."

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir dalam hidupku, tEngantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku kalau engkaupun membenciku. Nah, kaudengarkan baik-baik, taihiap." Dara itu dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di depannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya untuk mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya tentang dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya. Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa mempunyai rahasia sedikitpun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci setelah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguhpun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek, berjuluk Kiam-mo dan dia dulu sebagai seorang perampok besar, kemudian sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi." Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu setelah terus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, dan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang dan kemesraan yang ditujukan kepadanya, membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

"Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."

"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi bahkan memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang seperti anak mereka sendiri." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengargguk-angguk. "Sudah sepatutnya itu karena engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti."

"Jauh daripada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid..."

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Dia menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. "Apa...? Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?"

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia amat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, memperlihatkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini? Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tidak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

"Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"

"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

"Ya, aku telah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhuku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kaudengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bEngerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya. Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tidak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walaupun pada suatu waktu dia bEngelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat berita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

"Taihiap..." Terdengar suara Sun Eng yang kini sudah memandang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga..."

Lie Seng menggeleng kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya hal itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang manapun juga, maka kalau engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ah, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya! Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu tEnganti oleh malapetaka melihat pria ini nanti membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya. Ah, betapa ingin dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah daripada harus menceritakan kesemuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

"Enci Eng, sudahlah. Kalau engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, akupun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapapun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup! Akan tetapi dia ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan kalau sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu daripada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

"Dengarkan, taihiap, dengarkan baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, maka aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia ini. Setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..." Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

"Sudahlah, enci Eng..."

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanya merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu-nafau berahinya..."

"Cukup, enci Eng..."

"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi. Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

"Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"

"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.

"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun, yang kutemui hanya pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka, hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."

"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Mengerikan sekali wajahnya, pucat dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng. "Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang sudah kaudengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tidak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri. Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia makin kasihan kepada wanita ini, makin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu! Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tidak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

"Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka, perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

"Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

"Aku cinta padamu, enci Eng..."

"Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yahg gelap gulita. Dan demi Langit dan Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..." Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tidak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

Bertemu dan berpisah bagai mimpi Lie dan Sun membuat janji suci akan bertemu di awal musim semi!

Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan, namun pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal cukup menggegerkan. Apalagi Kim Hong Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat "pemberontak" yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah!

Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal. Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suhengnya itu.

Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan "pajak jalan" dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dahulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa! Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biarpun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal. Setelah di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwa-pang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka meliwati pintu gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walaupun mereka telah dikurung banyak orang.

"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.

Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia berkata.

"Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak. "Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah. Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

"Siapa dia...?"

"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"

Ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena selain kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

"Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya nyaring sekali dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jerih menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

"Pemuda sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara keren dan semua anggauta Jeng-hwa-pang merasa lega, lalu bersibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggauta Jeng-hwa-pang. Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu karena dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suhengnya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apalagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong cepat membalikkan tubuh memandang. Sin Liong segera mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini, ketika dia dilempar ke dalam lubang ular! Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu dia terkejut dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apalagi diapun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, namun diapun sudah merasa jerih.

Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.

"Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami?" bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, harus kautukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. "Pasukan Api, maju!" teriaknya.

Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek. Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah sedang mainkan tari obor.

"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bilamana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

"Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak. Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong!

Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam merasa panasaran sekali.

"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama yang amat baik dan rapi.

"Ehhh...?" Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang. Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

"Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Lebih baik melawan pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

"Wuuuut, ting-tinggg...!" Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga anggauta Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong segera berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"

"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

"Wuuuttt!" Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

"Cring...!"

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai. Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat. Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu.

Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga mulai dia merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Dengan tangan kosong dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong den menggirangkan hati Bouw Song Khi. Rantai itu terbuat daripada baja murni den digerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Batu karangpun akan hancur terkena hantaman ujung rantai, apalagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

"Plakk!" Tangan itu menangkis ujung rantai dan rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Bouw Song Khi menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu telah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li! Nenek iblis ini, bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan kedua tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka. Dalam cerita Dewi Maut, para pendekarpun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, yaitu kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka den akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw dan hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!

Setelah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi scrangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucat wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.

Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan malapetaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggap tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah. Dia meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga biarpun Bouw Song Khi berusaha menghindar, tetap saja mata kirinya menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu. Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya mendekap matanya karena terasa kenyerian yang sampai menyusup ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang sejak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.

Melihat ini, Gak Song Kam menjadi kaget bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba bagi semua anak buahnya untuk maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu mengerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan, disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini lalu menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.

"Ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang sungguh tak tahu diri dan sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!" Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang amat congkak ini, dan dia merasa ngeri melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggauta Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggauta Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia makin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya. Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dahulupun ketika Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio dan dia tahu bahwa baginya tidak ada harapan untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata dua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sutenya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas dan kini sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!

"Heiiiiikkkkk!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku dan jarum-jarum itu semua mengandung racun yang amat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!

Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek, sehingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu amat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan karena senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat. Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka diapun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia lalu meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong mempergunakan gin-kangnya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, kemudian dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.

"Jangan harap akan dapat lari lagi seperti dulu, pangcu!" Sin Liong berkata dan dia merasa muak akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apabila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak memperdulikan keadaan anak buahnya.

Akan tetapi melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang semakin panik itu menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.

Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu. Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas dan dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong telah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan telah terpelanting dan roboh pingsan. Memang sama sekali tidak terkandung niat di hati Sin Liong untuk membunuh orang, maka diapun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.

"Ha-ha, bagus. Liong-te, engkati telah berhasil merobohkannya!" Terdengar soara Han Houw bersorak dan Sin Liong melibat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu sinar pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.

"Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia memejamkan mata melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu telah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!

Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang kemudian mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu. Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!

Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.

"Trakkkk!" Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar