22 Pedang Kayu Harum

"Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sian-li. Dia melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, kedua, dia membikin sakit hati Sian-li, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila berambut riap-riapan.

"Bohong!" Biauw Eng berteriak marah dan penasaran."Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"

"Kau yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.

"Kalian yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.

"Kau......!" Tiga belas orang itu membalas.

"Kalian!" Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila.

Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, terpaksa Biauw Eng juga diam. "Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?"

"Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang kulakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?"

Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.

"Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"

Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biarpun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, biarpun ia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya, "Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sianli dan menyerang kalian?"

"Dosamu ke dua, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sianli, bukankah berarti engkau menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"

Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Percuma saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka ia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,

"Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau membunuh dua ekor kijang, maka aku lalu membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."

"Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.

"Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya. Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,

"Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"

Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan "Berkabung" karena pakaiannya yang selalu putih itu. Kini pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu ia menjawab,

"Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."

"Kenapa engkau memakai pakaian putih?"

Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar, "Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?"

Tiba-tiba wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali dan anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini lalu menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah?

"Mengapa engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah,

Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!"

Biauw Eng mengangkat muka dan memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang kelihatannya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!

"Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap tiada akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring.

"Hi-hi-hi-hi-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya, ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?"

Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapapun gilanya bantahan itu, memang sukar untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.

"Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!" Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat seperti kilat menyambar dan tahu-tahuu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.

"Engkau mau apa?" Bentaknya marah, tidak takut sedikitpun biar ia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.

"Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?"

"Bukan"

"Nah, engkau telah membunuh kesayanganku sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku, kalau tidak mau aku akan membunuhmu."

"Gila! Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk dan memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.

"Dukkk!" Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu, dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang.

"Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau lebih kuat daripada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan."

"Tidak sudi!" Biauw Eng membentak. Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak dijadikan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.

"Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar merah berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.

"Wuuuttt.. wirrrr.... cringgg....!" Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar dan masing-masing menarik kembali senjatanya ketika ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, gadis baju merah itu benar-benar memiliki sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh!

"Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!" Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang amat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru. Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata amat suka menonton pertandingan silat. Mereka kini bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi. Betapapun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tampak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng.

Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas sucinya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang memiliki kepandaian seperti wanita baju merah ini. Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara ketawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tidak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya masih bisa tertawa-tawa dan memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanas hati. Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in-sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebetulnya diperuntukkan senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkan dengan sabuknya dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in-sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk.

"Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras, akan tetapi seruannya itu disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera.

Biauw Eng maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tidak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan. Wanita itu lihai sekali, melepaskan ujung sabuk sabil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan ia tidak mau mengambilnya. Bahkan ia tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong. "Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!"

Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, namun lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu. Agaknya lawannya ini yang dianggapnya gila dan jahat, belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih.

Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi teman berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, melainkan dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya akan tetapi ia pun merasa penasaran. Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya kehilangan senjata.

Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jerih dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan. Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis seperti seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti itu diserang, tiba-tiba mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat!

Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali.

Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya karena melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak ia menerjang maju, memukul ke arah perut lawan. Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring ia terhuyung. Baiuw Eng mendesak akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri. Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanan dikepal, terus dihantamkan ke arah.... mukanya sendiri! Biauw Eng terhenti gerakannya, matanya terbelalak lebar saking herannya. Biarpun hanya sedetik dua detik ia terpesona dan terheran, namun yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawannya sudah "menyelonong" dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat ia tak dapat berkutik lagi!

Lima orang anggota pasukan baju kuning sambil tertawa-tawa menubruk dan mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, kemudian beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira. Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Ia bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi?

Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu.

Akan tetapi setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebetulnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong seperti seekor domba.

Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tidak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula. Lantainya tidak rata, melainkan penuh lekuk-lengkung sehingga kalau tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersanjung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya selebar pintu. Daun pintu bangunan itu tidak dibuka dengan engsel di kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya amblas ke dalam lantai. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah ia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuatnya adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah.... Pikirannya sendiri dan pandang matanya yang sudah berubah sehingga ia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?

Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran.

Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis pakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki.

Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat. Hati Biauw Eng berdebar tidak karuan. Mahluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan ia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah ia akan diserahkan mahluk ajaib yang akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.

Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapapun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya dan Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung, seperti itu mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.

Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup, keriput, rambutnya putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging.

Biarpun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat daripada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!

Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat daripada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.

Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan merasa ngeri hatinya. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini! Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dahulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara, akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding, yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri. Adapun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang tersohor ilmu pedangnya akan tetapi termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dahulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas sucinya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!

"Heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?"

"Dia gila segila-gilanya, Thai-houw....!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.

"Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan berurai rambut berkata sambil tertawa.

"Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu memencet hidungnya. Melihat ini hampir saja Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar ia telah memasuki dunianya orang gila.

"Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.

"Sudah, Thai-houw."

"Perlihatkan gigimu!"

Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih seperti mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk. "Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekalian. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau, kan?" Nenek itu meringis sehingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi. Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya dan biarpun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.

"Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"

Gadis berpakain merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan."

"Hemmm, begitukah? Eh, mengapa dia dibelenggu? Kalau mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang."

"Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."

"Di depanku, mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya, dan Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu ia takkan dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas daripada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigapnya, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.

"Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak. Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja ia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biarpun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum ia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya. Biauw Eng hanya melihat sinar, dapat menduga bahwa dia diserang maka cepat ia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu mengejar ke atas, kakinya ditotok dan ia roboh kembali ke atas tanah!

"Heh-heh-heh, berlutut.. rebahlah....!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi sekali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja ia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan ia sekali lagi roboh terguling!"

"Nenek iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biarpun ia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya terjengkang karena hawa pukulan itu amat kuat.

"Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!"

Nenek itu berjingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat pujian. Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Kalau ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu tidak akan harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biarpun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini. Ia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh, secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.

"Wuuuuuuttt..... bleggg!!" Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah ia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati agar ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang. Pukulannya mengenai punggung dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Anehnya, baik nona baju merah maupun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,

"Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?" Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun ia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh.

Kiaranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkannya saja. akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, lebih lihai daripada ibunya sendiri. Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas maka ia dapat pergunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah di depan tubuh yang mematikan!

"Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik daripada Hun Bwe...!" Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa totokannya yang bertubi-tubi itu semua mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, bahkan akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Ia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya. Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah ia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar bias seperti siluman saja.

"Sumoi, Subo telah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?"

Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?

"Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila!

Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak dapat menghadapi Cui Im?" Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai daripada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini?

Dan guru mana yang akan dapat menggemblengnya lebih hebat daripada nenek gila yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia ini? Segera ia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata,

"Subo...!"

"Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?"

Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apalagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kwi (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,

"Lekas engkau memberi hormat kepada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?"

Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik,

"Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya." Kemudian nona baju merah itu tertawa. "Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Akan tetapi teecu percaya dia akan sembuh."

Biauw Eng terkejut dan hampir saja ia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa menjadi murid saja harus merendah diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya! Akan tetapi kesadarannya membuat ia mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im dibiarkan enak-enak tak terhukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya?

Ia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.

"Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Eh, siapa namamu?"

"Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.

"Dukkk...!" Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lima meter jauhnya. Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Biarpun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentu akan berakibat hebat sesuatu yang tentu akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,

"Engkau she Sie? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong??"

Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada disitu gila. Apa salahnya kalau ia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!

"Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?"

"Dia? Heh-heh-heh, dia laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi.... sikeparat gila dia menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!"

Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.

"Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau sudah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?"

"Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!"

"Heh-heh-heh-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebangkara... Heh-heh-heh!"

"Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh.

Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan "sucinya" itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatangkara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila!

Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng. "Eh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?"

Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.

"Wah, ketawamu tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak.

"Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya." Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk. "Benar, hampir aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!"

Biauw Eng digandeng tangannya oleh Hun Bwe dan diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu amat luas dan biarpun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk.

Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng yang mulai dapat menyesuaikan diri, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekalipun, sama saja. Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga tidak rata pletat-pletot dan letaknya miring sehingga kalau meletakkan benda di atas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus menggunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja! Ketika ia melirik ke arah dinding, disitu terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki! Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika ia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti! Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!

"Indah, ya?" tiba-tiba nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding.

Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keingin tahuannya dan bertanya, "Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?"

"Wah, celaka....! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, maka tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama KECERDASAN!"

Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul Kecerdasan? Kecerdasan orang gila!

"Karena engkau gila maka engkau tidak dapat menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk.

"Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?"

"Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu bamanya lukisan Titik-titik Dosa."

Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu!

Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata merupakan pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biarpun permukaan itu miring.

"Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!"

Biauw Eng mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjepit sepotong daging di dalam panci, ia hampir menjerit karena yang disumpinya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum ia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip. Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang mata melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau ia menolak hidangan itu, gurunya yang gila akan marah dan sucinya itu telah memberi isyarat. Mengapa sucinya memberi isyarat? Ia sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit ia memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... Ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakkannya dan mulailah dia ikut makan.

Dapat dibayangkan betapa muak rasa perut Biauw Eng ketika mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kacoa kering, ca ular berbisa dan kadal godok!

"Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!" Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng! Gadis ini membelalakan matanya, hampir menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip kepadanya! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, terus saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan.

Setelah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat sucinya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, menjadi geli dan tertawa bergelak.

"Eh, mengapa engkau berduka? Mari bergembira!" Nenek itu menyela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan.... Gila! Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya, betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus, "Aahhh... Muridku yang baik.... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"

Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk.

Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan "kasur" batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ia bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah suoinya muram Hun Bwee berbisik.

"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... Berdiri."

Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disabarnya tangan sucinya dan ia berkata, "Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"

"Sssttttt....!" Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga suoinya. "Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"

Biauw Eng mengangguk.

"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu, hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."

Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali. "Suci, siapakah subo itu.."

"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."

Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya! Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak, Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya.

Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini.

Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata. "Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi .... aku.... Aku.... Malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.

Biauw Eng memeluknya. "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"

Hun Bwee menggeleng kepala. "Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urusan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."

Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri. "Baiklah, Suci."

Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah...Keng Hong.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.

"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."

Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong.... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir! Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.

"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."

"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh...."

"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku..."

Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!

"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"

"Untuk masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"

"Ohhhhh....!" Biauw Eng terkejut.

"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"

"Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?" Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya.

Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah "dirusak" karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah.

Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka! Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya. Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan "tiong-yong" (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.

Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam, Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kedua muridnya.

***

Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak pertemuannya dengan Siauw-bin Kun-cu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih ia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Tio Hok Gwan itu. Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu takkan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana. Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya ia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya! Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, malah gadis ini yang mencari akal muslihat bagaimana caranya melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tidak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biarpun ia dibantu oleh Siauw Lek sekalipun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apalagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi-I-beng demikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan baginya untuk dapat menandingi Keng Hong selain bantuan Siauw Lek.

Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Mereka berjumlah tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong.

Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menanti di luar kota raja sebelah barat, tak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang telah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding.

"Engkau telah menyaksikannya sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia telah menguasai Thi-khi-I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?"

"Ha-ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak dan dia memang tidak pernah mau menyebut Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengaku bahwa gadis itu tidak ada lawannya, berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja. "Antara dia dan aku tidak ada urusan sesuatu yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencapuri urusanmu?"

Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biarpun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong.

Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andaikata demikian halnya, pasti dia tidak akan segan untuk menggunakan umpan lain.

"Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah engkau dahulu merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"

Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak. "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dahulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas, kecuali.... Ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"

Cui Im tersenyum mengejek, "Hem, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Katakanlah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"

Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara kitab-kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."

"Seng-to-cin-keng? Ataukah kitab I-kiong-hoan-hiat?" Cui Im memotong.

Kakek hitam itu terbelalak. "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong-hoan-hiat. Amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan."

"Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Kalau engkau membantuku menghadapi Keng hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."

Kakek itu membelalakkan mata. "Hemmm, jangan main-main. Andaikata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimanapun."

"Hi-hi-hik, ternyata engkau biarpun sudah tua masih tetap bodoh, Kwi-ong."

"Apa maksudmu?" Kening tebal itu berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.

"Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai dapat mengalahkan bekas guruku, Lam-hai sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap dan yang lain-lain? Akulah orangnya yang telah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong-hoan-hoat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewaskan, aku akan memberimu kitab pusaka Siauw-lim-pai kepadamu."

Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar seperti telinga gajah itu bergerak-gerak. Pak-san Kwi-ong sudah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis ini yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,

"Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"

"Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah engkau perlu untuk mencobanya lebih dulu?" Cui Im meraba gagang pedang merahnya.

"Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut disini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong-hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"

"Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu. Kalau memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"

Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu, mengangguk-angguk.

"Kau tunggulah sebentar!" Cui Im berkelebat pergi dan tak lama kemudian ia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.

"Lihatlah baik-baik, bukankah ini kitab yang kau inginkan itu?" Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning memperlihatkan sampulnya dan membuka-buka lembarannya. Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Ia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong! Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng hong, setelah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang lihai benar-benar tidaklah amat sukar.

"Baiklah, Ang -kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu!" Jawabnya penuh gairah.

Cui Im menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang penting adalah menewaskan Keng Hong. Kalau hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.

"Aku tidak mau bertindak sembrono," kata Cui Im. "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang diiliki Keng Hong juga didapatnya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku tidak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi.." Cui Im menarik napas panjang karena ia benar-benar merasa penasaran dan kecewa, "dia telah dapat menguasai Thi-khi-I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagaimana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mujijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."

Pak-san Kwi-ong yang kini menjadi bersemangat karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong-hoan-jiat, berkata,

"Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"

Cui Im menggeleng kepala. "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."

"Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?" Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina. "Mereka gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."

Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius, "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu amat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"

"Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!" kata Siauw Lek.

Pak-san Kwi-ong mengangguk. "Kurasa pun begitu. Biarpun dia lihai, mustahil kita bertiga takkan dapat mengalahkannya."

Cui Im mengerutkan alisnya. "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin, sebaliknya kalau kita bisa mengajak seorang di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."

"Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?" Siauw Lek meragu.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."

Cui Im mengangguk. "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."

"Akan tetapi dia.... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."

"Hussshhh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini." Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi. Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta berahinya kepada pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani? Dia bergidik. Teringat ia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semua mati setelah berada di kamar peranakan Mongol itu selama tiga malam!

Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!

Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandang matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol daripada bahasa Han,

"Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"

"Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."

Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab. "Ah, tentu saja, aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."

Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. "Memang kita harus saling menolong dan aku berjani jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalasmu dengan membantumu."

"Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"

"Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada datang musuh besarku yang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku ingin minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."

"Ah, pemuda lihai bukan main itu?" Kemutani tampak kaget karena diapun telah menyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.

"Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan," jawab Cui Im dengan suara pasti.

"Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah mengenal pemuda itu."

"Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, hal itu kau tak usah khawatir, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"

Kemutani tampak meragu, akan tetapi pada saat itu, senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu berahinya. "Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"

"Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."

"Betul? Heh-heh-heh, engkau bersedia... Eh menemani aku semalam suntuk?" Ucapan kasar dan terang-terangan di depan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan.

Akan tetapi Cui Im kebal dan ia malah tersenyum, juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja.

Cui Im mengangguk. "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, setelah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."

"Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan dapat mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"

Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata, "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!" Ucapan Cui Im ini pun tentu akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa.

Mereka lalu berunding di dalam kamar itu mengatur siasat, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya. "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apabila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."

Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya, "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"

Pertanyaan itu sama sekali tidak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab, "Aku belum tahu. Harus kucari dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."

Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa di waktu dia bebas tugas, ia menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh.

Biarpun baru kurang lebih setahun Cui Im menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah amat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis berpakaian mewah dan indah, cantik, jelita, dan menunggang seekor kuda yang besar itu. Maklum pula bahwa di samping memiliki kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang.

Tentu saja bagi pemuda yang dipilih, hal itu merupakan pengalaman yang takkan terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan apabila Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah dan memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!

Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan ia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apalagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Dia ingin memilih seorang pemuda yang betul-betul memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya dan juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa!

Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlumba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata! Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu menerima kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tidak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar