Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat dan menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk dipergunakan sebagai sogokan atau suapan. Karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu mempergunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik! Di waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang yang mata keranjang atau gila wanita, akan tetapi semenjak dia "dilolohi" wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenanagn baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang.
Mula-mula Ang-taijin hanya menerima penyuapan berupa gadis cantik ini sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengna bunga api yang akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang makin lama akan menjadi "hobby", akan menjadi ketagihan dan pada waktu itu, Ang-taijin terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik! Dan bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus maupun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis. Dan seorang yang sudah menjadi hamba nafsu berahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Wanita bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti tiada lebih hanya sebagai benda yang akan membosankan setelah dipakai dan perlu diganti yang baru.
Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah. Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertemu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!
"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Eh, mengapa matamu....?"
Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit.... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."
Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,
"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut "siauw moi",. Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.
Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya mebisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.
"Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."
"Tun... Tunanganmu...?" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.
"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."
"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"
Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."
Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."
"Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kauperlukan?" Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.
"Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membangun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakili kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."
"Eh, jadi kalian belum menikah, jadi..... eh, belum.... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.
Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu, "Belum, Paman. Kami belum menikah..."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."
"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng.
Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?
Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan "janji" dan "kode" dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,
"Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"
"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah! Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam.
Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suaminya itu adalah "biasa" bagi seorang pembesar.
Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.
Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri. "Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."
Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.
Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.
"Taijin mau ..... apakah....? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.
Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!"
Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.
"Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!"
"Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"
"Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm......hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh......kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah....!" Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.
"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimanan aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."
Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu kau lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya......!"
"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusukkan jari-jari tangannya ke permukaan meja.
"Plongggg!!" Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.
"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!"
"Aihhh.....kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan?" Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.
Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"
Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tangah.
Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.
"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.
"Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,"
"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita denga kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm......!"
"Begini, Taijin....." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.
Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri. Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya. Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat, ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.
Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya.
Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak perbah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibuka dari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
"Celaka, Siocia.....celaka...... ah, mengerikan sekali....!"
"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.
"Sim-kongcu.....dia.....dia membunuh diri di kamarnya....!"
Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.
Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.
Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.
Eng-moi,
Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi pengahlang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.
Selamat tinggal, Sim Lai Sek
"Ah, Twako....!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu. Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!
Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi..... tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi
"di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu" amat menarik perhatiannya. Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin.
Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?
"Aduh...., Siauw-moi.... ah, kasihan sekali Lai Sek....! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini...?" Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,
"Taijin, aku ... Aku tidak mengerti.... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"
"Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mampu membahagiakan engkau.... maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang...." Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.
"Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.
"Aku... Aku sudah membacanya...." Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.
"Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.
"Jangan.... eh, tolooongg..!"
Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah.... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin...."
"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!" Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.
"Prokkk!" Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.
"Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!" Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keadaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.
Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja diundang untuk menghadapi Biauw Eng. Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu meiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya.
Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang di antara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.
"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu!" Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.
Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.
Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam!
Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.
Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,
"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.
Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini. Ruangan yang kuas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya!
Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.
Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu.
Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan kalau tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, kini memegang sabuk suteranya dia seperti harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan berdarah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya. Namun Biauw Eng mengamuk terus, kini tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, melainkan mengamuk untuk menyelematkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali kalau ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, dilemparkan sampai jauh. Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biarpun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara wanita, "Semua mundur! Biarkan aku menangkap dia!"
Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli. Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba,
"Semua pasukan mundur!" Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan dua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!
Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergiliran maka terbukalah kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, maka dengan menunggang kuda mereka jalan-jalan di kota raja dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena mereka ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.
Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa ia berada dalam cengkeraman bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sesunguhnya, apa sih artinya kematian baginya? Dia tadinya telah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka ia masih hidup sampai sekarang.
Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan ia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama.... nama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun kini tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa ia takut menghadapi kematian? Hatinya menjadi dingin sekali dan ia menghadap Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkukunya. Melihat bekas sumoinya itu dalam keadaan seperti itu, pakaianya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil. Tanpa turun dari kudanya ia berkata,
"Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Biarlah mengingat hubungan lama, aku akan mengampunimu asal engkau suka menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."
Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar. "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan kalau engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"
Wajah Cui Im menjadi merah sekali. "Perempuan rendah! Tak tahu kebaikan orang! Mampuslah!" Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubahmenjadi sinar merah karena dalam kemarahannya, Cui Im mencabut pedang merahnya dan sabil meloncat itu, ia menerjang dan menyerang dengan pedangnya dengan gerakan yang hebat dan dahsyat luar biasa!
Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika ia dikeroyok mebuat tubuhnya lemah dan lemas.
Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biarpun ia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, namun ia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak ketika ia menyambut terjangan Cui Im.
"Cring.... Brettttt!" Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!" Cui Im mengejek dan menyerang lagi, pedangnya yang berubah gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing. Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya setiap kali Biauw Eng menangkis, sabuknya menjadi putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga tinggal satu kaki panjangnya. Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri.
Akan tetapi Cui Im tertawa dan dengan mudahnya ia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang terus mengejar Biauw Eng. Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar ia mati asal ia dapat membawa serta nyawa Cui Im! Ia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba ia mendoyongkan tubuh ke kiri, mengepit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Gerakan tiba-tiba ini biarpun membahayakan dirinya sendiri akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!
"Setan!" Cui Im mendengus kaget, terpaksa menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rambutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat ia terhuyung ke belakang.
Akan tetapi Biauw Eng sudah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu. Pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan ia pun terguling. Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perlahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im.
Sinar merah berkelabat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang dan gadis ini yang merasa tak mungkin dapat menyelamatkan diri, hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!
"Tranggggg....!"
"Aiiihhhhh....!" Cui Im kaget bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat ia meloncat ke belakang dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa yang menangkisnya adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum!
Dengan sikap tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang setengah pingsan, kemudian sejenak matanya bagaikan dua ujung pedang menembus jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,
"Cui Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!" Setelah berkata demikian, menggunakan kesempatan selagi semua orang terbelalak heran dan kaget, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar ucapan Keng Hong tadi.
"Keng Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!" Cui Im menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Namun dengan menggerakkan tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena jarum-jarumnya runtuh ke bawah. Sebelum Cui Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana. Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkangnya berloncatan dari rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja.
Cui Im meloncat ke atas genteng mengejar, disusul oleh Siauw Lek, namun mereka berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya. Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung, apalagi Cui Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai, memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan diri juga jelas membuktikan keunggulannya.
"Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini tidak tenteram bagiku," kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.
"Mengapa khawatir?" katanya memandang rendah. "Dengan kepandaian kita berdua, belum tentu kita kalah olehnya. Apalagi di sana ada lima orang rekan kita yang berilmu tinggi."
"Phuhhh! Apa kaukira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka membantu aku?"
"Kalau kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu saja mereka mau tak mau membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mepunyai kepala tiga dan lengan enam, masa kita tidak mampu membinasakannya?"
Ucapan Siauw Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum bahwa mulai saat itu, ia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak lagi.
***
"Mengapa..... mengapa engkau menolongku?"
Pertanyaan lirih sebagai kata-kata pertama yang keluar dari mulut Biauw Eng ini membuat Keng Hong terharu. Ia hanya memandang ketika gadis itu yang siuman dari pingsannya bergerak perlahan, bangkit dan duduk menyadarkan tubuhnya yang masih lemas itu ke batang pohon. Wajah itu pucat, rambut yang kusut itu sebagian menutupi muka, bibirnya agak menggigil ketika bertanya dan matanya yang memandang wajah Keng Hong benar-benar merupakan ujung pedang yang menikam jantung bagi Keng Hong.
"Mengapa... Mengapa engkau menolongku? Mengapa tidak kaubiarkan saja aku mati agar tidak memperpanjang penderitaan hidupku?" Kembali Biauw Eng bertanya dan kini dua butir air amta membasahi kedua pipi yang pucat.
"Biauw Eng, masihkah engkau bertanya lagi dan haruskah aku menjawabnya? Engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat membiarkan engkau terancam bahaya, apalagi ditangan Cui Im yang jahat. Engkau mengerti bahwa aku .... Aku mencintamu..."
"Ahhh.... Jangan sebut-sebut lagi hal itu....," Suara Biauw Eng terisak.
Keng Hong menghela napas. "Aku mengerti bahwa aku tidak berhak mengatakan hal itu karena engkau telah menjatuhkan pilihan hatimu kepada Sim Lai Sek. Seharusnya aku mengubur cinta kasihku di dalam hati ynag terluka.... Ah, sudahlah, memang benar bahwa kita tidak boleh lagi bicara tentnag itu. Di manakah dia? Di mana Sim Lai Sek?"
Dengan air mata masih berlinang, pandang mata kosong dan suara menggetar Biauw Eng menjawab lirih, "Dia... dia telah mati..."
Hampir saja Keng Hong meloncat saking kagetnya. "Heh....?? Mengapa, bagaimana....?"
"Itulah sebabnya aku mengamuk di kota raja, tidak menyangka bahwa Cui Im juga berada di kota raja." Dengan singkat, dengan suara pilu Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya kepada Keng Hong. Semenjak ibunya dibunuh Cui Im dan Siauw Lek, kemudian betapa ia terancam maut oleh racun Cui Im dan betapa Lai Sek menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan kedua matanya. Biauw Eng menceritakan ini sambil bercururan air mata. "Setelah menerima budi dan cinta kasihnya yang begitu suci murni, dapatkah aku menolaknya? Dapatkah aku meninggalkannya?"
Keng Hong merasa terpukul. Bagaikan ditusukkan ke dalam matanya cinta kasih yang sedemikian besar dan murninya! Mengertilah dia kini mengapa Biauw Eng memaksa diri mendampingi Lai Sek dalam hal ini kembali menjadi bukti betapa kuat batin gadis ini yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi membalas budi orang! Alangkah mulia hati gadis ini. Jauh bedanya dengan Cui Im, bagikan bumi dengan langit. Dan masih jauh bedanya dengan dia sendiri! Mengingat akan hal ini, mukanya menjadi merah dan dia berkata,
"Lalu bagaimana, Biauw Eng? Bagaimana kalian bisa sampai di kota raja dan siapa yang membunuh Lai Sek?"
Biauw Eng melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di kota raja. Ketika menceritakan ini, matanya berapi dan ia menutup ceritanya dengan kata-kata duka.
"Sungguh menyedikan nasib yang menderita Sim-twako. Akan tetapi aku telah berhasil membalaskan sakit hatinya! Aku sudah puas, dan andaikata aku mati di tangan Cui Im sekalipun, sakit hati Sim-twako telah terbalas. Sayang..... kematian ibuku kiranya tak mungkin akan dapat kubalas, Cui Im terlalu lihai untukku...."
Diam-diam ada rasa girang yang luar biasa di Keng Hong, rasa girang yang membuat dia malu dan merasa berdosa. Mengapa dia bergirang hati mendengar kematian Lai Sek? Ia tidak mengaharapkan hal ini terjadi, akan tetapi hal itu terjadi di luar harapan dan pengetahuannya. Betapapun juga, sudah menjadi kenyataan bahwa Lai Sek telah tewas dan hal ini berarti bahwa Biauw Eng telah bebas! Bebas hatinya, dan dahulu gadis ini amat mencintanya!
"Biauw Eng...., mengapa engkau berduka akan hal itu? Engkau tahu bahwa aku selalu siap membantumu menghadapi Cui Im, bukan hanya untuk membalaskan sakit hatimu, juga membalaskan sakit hati ibumu, juga membalaskan segala perbuatan kejinya terhadap dirimu, betapa ia dahulu berusaha merusak namamu. Kemudian, ia malah mencuri kitab-kitab pusaka suhu. Antara dia dan aku terdapat perhitungan besar. Biauw Eng, marilah kita bersama menghadapinya dan percayalah mulai saat ini, aku tidak akan membiarkan engkau diganggu orang, tidak akan membolehkan engkau hidup menderita dan berduka, tidak akan membiarkan engkau terpisah lagi dari sampingku Biauw eng, engkau tentu maklum betapa sesungguhnya selama ini aku mencintamu, semenjak kita berjumpa. Betapa bodoh dan aku tolol aku dahulu, tidak dapat menghargai cinta kasih seorang gadis sepertimu. Engkau maafkan semua kesalahan-kesalahanku yang lalu, Biauw eng dan aku bersumpah bahwa semenjak saat ini aku Cia Keng Hong akan mencintamu dengan selalu jiwa ragaku..."
Biauw Eng mengeleng-geleng kepala lirih, air matanya mengucur lagi ketika berkata lirih, "Terlambat, Keng Hong.... terlambat sudah...."
Keng Hong memandang kaget dengan penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu? Telambat bagaimana, Biauw Eng?" Ia menjadi tegang dan tanpa disadarinya dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin sekali.
Biauw Eng menunduk, membiarkan tangannya di pegang. Diam-diam ia merasa betapa dari kedua tangan pemuda yang menggenggam tangannya itu keluar getaran hangat yang menyentuh hatinya, yang mendatangkan rasa bahagia, tenteram dan aman, seolah-olah dalam kelelahan yang hebat tiba-tiba mendapatkan sandaran yang melindungi.
"Terlambat... " Ia memaksa mulutnya bicara lirih. "Engkau pun tahu bahwa sejak dahulu, cintaku hanya untukmu, jiwaku adalah milikmu, akan tetapi tubuhku.... telah ku serahkan kepada Sim Lai Sek, jasmaniku telah menjadi milik mendiang Sim Lai Sek..." Tiba-tiba kedua tangan Keng Hong yang memegang tangan gadis itu terlepas dan seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, pandang matanya penuh penasaran ditujukan kepada Biauw Eng, hatinya dibakar cemburu dan dia lalu bangkit berdiri dengan gerakan kasar.
"Biauw Eng! Sungguh tidak kusangka.. seorang gadis seperti engkau mudah saja menyerahkan diri kepada orang yang belum menjadi suamimu. Ah... Semua perempuan sama saja di dunia ini.... lemah dan mudah dibujuk nafsu....! Engkau perempuan murah...!" Biauw Eng juga bangkit berdiri, tidak kasar seperti Keng Hong, melainkan berdiri perlahan, pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah pemuda itu, kemudian ia berkata, suaranya tidak selemah tadi, melainkan tegas dan nyaring mengaandung kemarahan yang ditahan-tahan,
"Sudah kuduga bahwa cintamu kepadaku hanyalah cinta nafsu belaka, dan hanya tubuhku yang kau cinta, maka kini begitu mendengar bahwa tubuhku telah dimiliki pria lain, engkau menjadi kecewa dan marah! Cia Keng Hong, aku tadi hanya ingin mengujimu, sebelum aku mengambil keputusan dan ternyata bahwa aku mengambil keputusan untuk tidak sudi di sampingmu! Dahulu, setiap hari aku menangisimu, setiap hari bersembahyang untukmu akan tetapi ternyata bahwa pria yang kucinta sepenuh jiwaku, hanyalah seorang laki-laki yang diperhamba nafsu. Aku bukan seperti engkau, Keng Hong, aku tidak pernah tergelincir digoda nafsu, dan mendiang Sim Lai Sek adalah seorang pria yang tahu menghormati wanita, tidak sepertu engkau...." Teringat akan Lai Sek, kembali Biauw Eng menangis. Ucapan itu bagaikan cengkeraman maut yang mencabut semangat dari tubuh Keng Hong. Tahulah dia Biauw Eng hanya mengujinya dan dia yang diuji telah jatuh! Hatinya menjadi gelisah, rasa takut akan kehilangan gadis yang sungguh-sungguh dicintanya ini membuat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng dengan kedua kaki lemas!
"Ah, ampunkan aku, Biauw Eng..., ah, betapa bodohku selalu mencurigaimu! Ampunkan aku yang mencintamu dengan jiwa ragaku. Aku bersumpah...., hidupku takkan ada artinya kalau engkau meninggalkan aku. Biauw Eng.. maafkan ucapan dan sikapku tadi, dan ketahuilah bahwa aku dibikin gila oleh rasa cemburu yang besar. Rasa cinta kasih selalu mendatangkan rasa cemburu, Biauw Eng, dan harap engkau dapat mengerti perasaanku ini dan...."
"Cukuplah, Keng Hong. Engkau bilang bahwa engkau mencinta maka engkau bisa cemburu. Sebaliknya aku pun pandai mencintamu harus pula pandai membencimu. Aku pernah mencintamu dengan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci murni, bukan hanya mencinta jasmanimu sehingga biarpun aku tahu betapa jasmanimu bermain gila dengan wanita lain, cinta kasihku kepadamu tidak pernah goyah. Dan sekarang aku... Aku.... ben.....benci.....ahhhhh!" Biauw Eng tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tercekik isak tangis, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Keng Hong.
"Biauw Eng .... jangan pergi.... engkau tidak membenciku! Biauw Eng, kembalilah... Eangkau mencintaku, aku yakin akan itu.... ah, Biauw Eng...!"
Akan tetapi jeritan hati Keng Hong ini tidak terucapkan lehernya seperti tercekik dan dia hanya berdiri bengong dengan muka pucat dan wajah muram memandang ke arah bayangan Biauw Eng yang makin mengecil kemudian lenyap. Ia menarik napas panjang, menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar kepada batang pohon. Masih terasa olehnya kehangatan bekas tubuh Biauw Eng dan tak terasa pula mata pemuda itu menjadi basah. "Biauw Eng.... apa artinya hidup ini bagiku sekarang.....?" Ia mengeluh dengan hati hancur. Kemudian dia menjadi seperti orang beringas dan ditamparnya kedua pipinya sendiri kanan kiri menjadi biru-biru dan membengkak. Setelah matanya berkunang dan tubuhnya tergelimpang miring baru dia berhenti menampari mukanya sendiri dan dia menangis terisak-isak. Keng Hong, pemuda gagah perkasa yang memiliki kesaktian jarang ada bandingnya itu menangis seperti anak kecil! Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, hatinya diremas-remas.
***
"Bodoh! Engkau laki-laki tolol! Rasakan sekarang....!" Seperti orang gila memaki-maki dirinya sendiri dan makin dia ingat dan kenangkan, makin sakit rasa hatinya, teringat betapa dia telah melakukan hal-hal yang amat tidak patut dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Teringatlah dia betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh nafsu berahi, betapa dia melayani wanita-wanita bermain cinta. Dan dia telah memaki-maki Biauw Eng sebagai gadis tak tahu malu, bahkan sebagai perempuan murah karena gadis itu menyerahkan tubuhnya kepada Lai Sek. Andaikata gadis itu menyerahkan tubuhnya kepadanya, agaknya akan lagi sikapnya. Ah, dan ternyata gadis itu hanya mengujinyaa, membohong dan sama sekali belum pernah menyerahkan tubuhnya, apalgi hati dan cinta kasihnya, kepada pria lain! Biauw Eng selamanya hanya mencinta dia, dan kalau gadis itu dahulu memilih Lai Sek hanya karena gadis itu hendak membals budi. Ah, betapa mulianya gadis itu, betapa mendalam cinta kasihnya. Dan sebaliknya betapa rendahnya dia, betapa cintanya dikotorkan oleh nafsu semata. Dan sampai saat ini, dia tahu benar dan dapat meraba dengan perasaannya, betapa gadis yang merasa sakit hati dan bertekad untuk membencinya itu sebetulnya masih mencintanya. Bahkan, untuk mengatakan membencinya dengan mulut saja sampai tidak terucapkan.
"Aduh, Biauw Eng.... bagaimana aku dapat menemukan engkau kembali? Bagaimana aku bisa mendapatkan engkau kembali....?" Keng Hong mengeluh dan menyembunyikan muka di antara kedua lengan yang dia tumpangkan di atas kedua lutut yang dia angkat naik. Sampai lama dia duduk di bawah pohon seperti itu, kedua pipinya membiru dan bengkak-bengkak, pandang matanya kosong dan sayu.
Menjelang senja, setelah duduk seperti itu selama setengah hari, tiba-tiba ia meloncat berdiri dan mengepal tinjunya. Bhe Cui Im! Wanita itulah yang menjadi gara-gara! Wanita itulah yang pertama kali menyeretnya ke dalam gelombang permainan nafsu!
Wanita itu yang menjatuhkan fitnah secara keji kepada Biauw Eng, bahkan kemudian membunuh ibu Biauw Eng dan hampir membunuh Biauw Eng kalau saja dia tidak ditolong Lai Sek. Wanita itu sebenarnya membuat Biauw Eng berhutang budi kepada Lai Sek dan menjadi biang keladi pertama sehingga timbul pertentangan dan keretakan dalam cinta kasih antara dia dan Biauw Eng. Dan Cui Im pulalah orangnya yang harus dia cari, tidak saja untuk mendapatkan kembali semua pusaka yang dicuri gadis itu, yang membuat dia dimusuhi banyak tokoh kang-ouw, juga untuk membunuhnya karena perbuatan-perbuatannya yang kejam dan yang dahulu hampir membunuhnya dalam tempat persembunyian gurunya. Masih ada urusan di dalam hidupnya! Masih banyak tugas memanggilnya dan pada saat itu, tugas terpenting adalah membasmi Cui Im dan Siauw Lek yang dia kenal dari cerita Biauw Eng tadi, disamping merampas kembali semua benda pusaka yang dicuri Cui Im.
Timbul kembali semangat hidup dalam diri Keng Hong yang tadinya sudah melayu. Dan pada saat itu juga dia lalu berlari meninggalkan hutan itu, kembali ke kota raja untuk mencari Cui Im!
Ternyata tidak mudah bagi Keng Hong untuk mendapatkan keterangan tentang Cui Im. Sekian banyakknya orang yang menyaksikan pertempuran di gedung bangsawan atau pembesar Ang, tidak ada yang mengenal Cui Im, hanya semua orang merasa kagum kepada wanita cantik yang menunggang kuda dan berhasil mengalahkan pembunuh pembesar Ang itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti diketahui, Cui Im adalah seorang pengawal rahasia yang memang tidak dikenal oleh orang biasa kecuali para perwira pengawal. Apalagi karena Cui Im dan Siauw Lek belum lama menjadi pengawal rahasia kaisar.
Setelah melakukan penyelidikan selama tiga hari, barulah Keng Hong berhasil mendapat keterangan dari seorang perwira yang sedang mabuk di dalam restoran, yang agaknya tergila-gila dan kagum kepada Cui Im.
"Ha-ha-ha, hebat bukan main dia! Kiraku, diantara tujuh orang pengawal rahasia kaisar, dialah orang pertama yang paling lihai! Cantik seperti bidadari dan kepandaiannya,.... Aaahhh....., hebat! Juga kepandaiannya dalam hal... Hi-hi-hik, matipun tidak penasaran seorang pria yang diberi kesempatan mengenalnya luar dalam! Ang-kiam Bu-tek, memang dalam segala macam pertandingan, ha-ha-ha!"
Mendengar ocehan perwira mabuk ini, Keng Hong yang juga makan di restoran itu mendekat dan bertanya, suaranya di buat-buat seperti orang yang punya gairah namun takut-takut. "Saya berkesempatan menonton ketika mengalahkan pembunuh Ang-taijin. Sungguh saya terpesona dan sekaligus jatuh cinta! Ah, Tai-ciangkun yang baik, dimanakah rumah wanita perkasa itu? Ingin...., ingin.... aku belajar kenal...."
Dengan mata merah karena mabuk perwira itu memandang Keng Hong. Tentu dia sudah marah kalau saja hatinya tidak terlalu senang disebut tai-ciangkun (panglima besar) tadi.
"Ho-ho-ho, engkau...? Biarpun engkau cukup tampan, akan tetapi untuk mencium telapak kakinya pun jangan harap...., akan tetapi siapa tahu.... sekali waktu kalau dia sedang berkeliling kota raja naik kuda dan dia merasa suka! Ahhh.... dia pengawal rahasia, tentu saja tempatnya di dalam istana...." Tiba-tiba perwira itu seperti orang tersentak kaget, agaknya dia telah membuka rahasia yang tidak boleh dibicarakan, maka dia membentak,
"Heh, cacing tanah! Mau apa kau tanya-tanya? Pergi sebelum kutendang mukau!" Keng Hong menjura dan cepat mengundurkan diri. Ia tidak marah, malah tersenyum dan berkata, "Terima kasih!" Memang dia berterima kasih karena dari ocehan perwira mabuk ini dia dapat mengetahui kemana dia harus mencari Cui Im.
Di dalam istana! Memang amat berbahaya dan besar resikonya, akan tetapi baginya, jangankan harus memasuki istana, walaupun harus menempuh lautan api dia akan mengejarnya juga.
Malam hari itu juga Keng Hong menyelinap di antara kegelapan malam di luar komplek istana, menanti saat baik baginya selagi para peronda baru saja lewat, melompat naik ke atas pagar tembok dan menggunakan kepandaiannya untuk melayang turun di sebelah dalam tembok. Biarpun para pengawal luar mengadakan penjagaan ketat, namun gerakan Keng Hong yang luar biasa cepatnya itu tak dapat terlihat oleh mereka karena di dalam kegelapan itu, andaikata ada yang kebetulan memandang ke tepat Keng Hong meloncat, tentu hanya akan melihat berkelebat bayang-bayang hitam yang secepat kilat.
Keng Hong menyelinap memasuki taman istana yang berada di belakang. Cepat dia bersembunyi di balik pohon cemara ketika melihat seorang penjaga, agaknya anggauta pasukan pengawal yang menjaga taman, berjalan perlahan, tangan kiri memegang lampu, tangan kanan memegang golok terhunus, celingukan memandang ke kanan kiri dan menyoroti bagian-bagian gelap dengan lampunya. Tiba-tiba penjaga ini terkejut melihat bayangan hitam menyambar. Namun dia tidak sempat bergerak, tidak sempat dia berteriak, bahkan dia tidak tahu mengapa tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Keng Hong cepat menyambar lampu yang terlepas dari tangan penjaga itu, meniup padam dan menyeret tubuh yang telah ditotok dan dicengkeram pundaknya itu ke balik pohon cemara.
"Aku bukan penjahat pengacau istana, juga tidak ingin menganggumu. Akan tetapi, kalau engkau tidak memberi tahu dimana aku dapat bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pengawal rahasia kaisar yang baru, terpaksa aku akan membunuhmu." Setelah berbisik demikian Keng Hong menekan leher si penjaga yang segara dapat mengeluarkan suara kembali. Tubuhnya gemetar ketakutan dan dia berkata gagap.
"Kau... Siapa.... mau apa....?"
"Aku musuh pribadinya, dan aku hanya akan bertemu dia, tidak akan mengacaukan istana. Lekas jawab, dimana dia?" Keng Hong menekan pundak orang itu yang mengeluh kesakitan dan cepat menjawab,
"Pondok para pengawal rahasia.... di belakang istana sebelah kiri.. ada tirai bambunya berwarna kuning...!"
Keng Hong menotok kembali orang itu sehingga selain tidak mampu bergerak, juga tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya berkelebat ke arah yang ditunjuk penjaga itu. Setelah melewati taman yang luas itu, menghindarkan pertemuan dengan para penjaga, akhirnya dia melihat pondok yang bertirai bambu kuning itu. Ia berindap-indap mendekati dan betapa girang rasa hatinya ketika dia mengintai dari balik pintu samping, dia melihat Cui Im sedang duduk mengobrol sambil makan minum bersama Siauw Lek, hanya berdua saja di ruangan yang luas dan sunyi itu, bahkan pondok ini, sebagai pondok para pengawal rahasia, tentu saja tidak ada pasukan penjaganya.
Saking girang dan lega hatinya dapat menemukan musuh besarnya, Keng Hong lalu meloncat.
"Cui Im, akhirnya aku dapat menemukan engkau disini!"
Siauw Lek meloncat bangun dan mencabut senjatanya, pedang hitam yang selalu tergantung di pinggang. Namun Keng Hong tidak memperdulikan, pandang matanya ditujukan kepda Cui Im yang sama sekali tidak kelihatan gugup seperti Siauw Lek, bahkan wanita ini masih duduk, hanya memutar tubuh menengok sambil tersenyum.
"Hi-hi-hik, pancinganku berhasil melalui perwira mabuk itu ternyata berhasil, dan napas penjaga taman juga kau caplok Keng Hong? Betapa bodoh engkau!"
Keng Hong terkejut, akan tetapi sikapnya tenang. "Cui Im, tak perlu banyak cakap lagi. Kita sudah sama mengetahui mengapa aku datang mencariku. Lekas serahkan kembali semua kitab dan senjata rahasia kepadaku!"
Cui Im tertawa mengejek. "Hi-hi-hik, enak saja kau bicara, Keng Hong. Yang bodoh menjadi makanan yang pintar, yang lemah menjadi injakan kaki yang kuat, hukum ini sudah berlaku semenjak aku masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni. Engkau bodoh dan lemah, bahkan sampai sekarang pun masih bodaoh. Keng Hong, tengoklah engkau telah terkurung dan takkan dapat menyelamatkan diri. Engkau akan mati sebagai seorang penjahat dan pemberontak yang berani mengacau di istana kaisar!"
Siauw Lek sudah meniup peluitnya dan setiap orang pengawal rahasia membawa peluit semacam ini untuk memanggil teman. Terdengarlah suara berisik dan ketika Keng Hong melirik, ternyata di situ telah muncuk Pak-san Kwi-ong dan empat orang kakek yang kelihatannya menyeramkan dan berkepandaian tinggi, sedangkan di belakangnya telah muncul pasukan pengawal yang jumlahnya paling tidak ada tiga puluh orang, terdiri dari para pengawal dalam istana!
Keng Hong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, namun dia tidak menjadi gentar. Ancaman bahaya maut bukanlah apa-apa bagi seorang yang memperjuangkan kebenaran, apalagi dalam menghadapi kejahatan, dan kedatangannya adalah untuk menentang Cui Im, untuk merampas kembali pusaka yang menjadi haknya, bahkan pusaka-pusaka yang harus dia kembalikan kepada para partai persilatan besar yang menjadi pemiliknya, serta menghukum Cui Im atas segala kejahatan yang dilakukannya terutama sekali terhadap diri Biauw Eng dan terhadap dirinya sendiri.
"Ha-ha-ha, bukankah ini murid Sin-jiu Kiam-ong? Eh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa bocah ini kesasar sampai di sini?" Pak-san Kwi-ong bertanya.
"Pak-san Kwi-ong, mau apalagi dia kalau tidak mau membikin kacau? Gurunya dahulu pun seorang pengacau besar tentu muridnya sama saja!" jawab Cui Im. Tujuh orang pengawal rahasia yang menjadi jago-jago nomor satu dari istana itu telah mengurung dengan sikap mengancam.
Melihat ini, Keng Hong berkata tenang, "Pak-san Kwi-ong, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang macam engkau dan Cui Im, juga Kim-lian Jai-hwa-ong yang nama busuknya sudah kudengar di mana-mana, dapat menjadi pengawal-pengawal kaisar yang terkenal bijaksana. Akan tetapi hal itu bukan urusanku dan aku pun tidak peduli. Kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengawal, juga sama sekali tidak akan membuat kekacauan. Aku datang khusus untuk menemui Cui Im dan untuk membereskan perhitungan pribadi dengan dia. Harap kalian tidak mencampuri!"
"Ha-ha-ha, bocah lancang! Engkau sudah memasuki istana seperti maling, bagaimana kami tidak akan mencampuri?"
"Kalau tidak lekas dienyahkan, bocah ini membahayakan keselamatan kaisar. Serang!" Cui Im yang cerdik sudah berseru dan menerjang maju karena kalau Keng Hong diberi kesempatan bicara, mungkin akan mengubah keadaan. Bersama Siauw Lek ia sudah maju, mencabut pedang merahnya dan Siauw Lek sudah pula mencabut pedang hitamnya. Pak-san Kwi-ong, sudah pula menggerakkan senjata rantainya sehingga sepasang tengkorak di ujung rantai beterbangan! Demikian pula Gu Coan Kok Si Iblis Cebol sudah maju dengan tongkatnya, Si Tinggi besar bongkok Hok Ku sudah menyerang dengan cakar besi beracun, Kemutani mainkan sepasang hui-to di kedua tangan, dan Thai-lek Sin Cou Seng sudah menggerakkan pecut bajanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan nyaring. Melihat sinar-sinar berkelebatan menyerangnya, dan kesemuanya merupakan senjata-senjata ampuh dan berbahaya digerakkan oleh tangan-tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat maklum bahwa serangan-serangan itu dahsyat, Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, memutar pedang itu sehingga tampak berkelebatnya sinar hijau menyilaukan mata dan dia pun menggunakan tangan kirinya mendorong ke depan.
Terdengar berturut-turut suara nyaring disusul teriakan-teriakan kaget ketika tujuh orang itu merasa senjata mereka membalik dan disusul angin dorongan yang kuat sekali ke arah mereka!
"Aku Cia Keng Hong tidak bermaksud mengacau istana, tidak pula memusuhi para pengawal, melainkan hendak berurusan dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im!" Seruan Keng Hong yang dikeluarkan deangan pengerahan tenaga khikang, keluar dari pusarnya ini amat nyaring sehingga menggema di seluruh istana, mengejutkan semua penjaga yang tidak berada di tepat itu, dan menggetarkan jantung para pengurung yang menjadi bengong dan berubah wajahnya.
"Serang pemberontak!" Kembali Cui Im berseru dan semua pengawal yang tadinya terkejut itu sudah siap mengurung Keng Hong.
Pada saat itu, terdengar suara yang berwibawa, "Hentikan pertempuran!"
Semua orang menengok dan para pengawal terkejut ketika melihat hadirnya tiga orang yang mereka tahu amat berpengaruh dan amat dekat dengan kaisar yaitu Laksamana The Ho yang menjadi panglima besar menguasai armada, Ma Huan seorang sakti dan terpelajar beragama Islam yang diperbantukan kepada laksamana itu dalam perantauannya yang datang, dan Tio Hok Gwan, si tinggi kurus sederhana yang selalu mengantuk dan berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal pribadi Laksamana The Ho.
"The-tai-ciangkun, dia adalah seorang pemberontak yang memasuki istana seperti penjahat!" Cui Im berusaha mempengaruhi pembesar itu. Akan tetapi The Ho mengangkat tangannya dan berkata,
"Harap para pengawal minggir semua dan biarkan aku bicara dengannya. Aku datang atas nama sendiri!" Mendengar ucapan ini, semua pengawal lalu minggir.
The Ho memandang Keng Hong yang masih berdiri tegak. Ketika Keng Hong memandang dan melihat sinar mata pembesar ini, dia terkejut sekali. Cepat-cepat dia menyimpan Siang-bhok-kiam dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, lalu berdiri kembali.
"Orang muda yang gagah, engkau siapakah?"
Tadi begitu bertemu pandang dengan The Ho, Keng Hong segera mengenal seorang sakti, kini melihat sikap dan mendengar suaranya, dia benar-benar menjadi kagum dan tunduk. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa di bawah naungan kekuasaan kaisar, terdapat pengawal-pengawal macam tujuh orang itu disamping pembesar seperti ini. Betapa mungkin kuda yang baik dapat bekerja sama dengan harimau yang ganas, betapa burung hong dapat terbang bersama dengan burung-burung gagak. Mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara halus itu, dia cepat menjawab singkat dan hormat.
"Hamba Cia Keng Hong."
"Cia Keng Hong, engkau bukan seorang pekerja istana, telah berani memasuki istana di waktu malam tanpa ijin. Apa kehendakmu?"
Dengan sikap penuh hormat Keng Hong menjawab, "Mohon maaf kepada Paduka, Taijin, hamba mengaku telah berbuat lancang. Akan tetapi hamba tidak bermaksud mengacau istana, melainkan hendak bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang menjadi musuh besar hamba."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara The Ho menegur, "Cia Keng Hong, sungguh lancang dan besar dosamu! Kalau aku tidak melihat engkau seorang muda yang gagah perkasa, tentu engkau akan kusuruh tangkap dan menerima hukuman berat. Karena engkau belum melakukan sesuatu yang merusak, biarlah atas nama kaisar kami ampuni. Pergilah sekarang dari tempat ini dan jangan sekali-kali engkau berani lagi masuk tanpa ijin karena tidak ada pengampunan dosa dua kali!"
Suara ini berwibawa sekali dan di dalam hatinya Keng Hong sudah tunduk dan tidak berani melanggar. Akan tetapi karena dia masih merasa penasaran melihat betapa orang-orang macam Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong bisa menjadi pengawal kaisar, dia lalu bertanya.
"Jadi, hamba tidak boleh menganggu musuh besar hamba ini?" Ia memandang ke arah Cui Im yang tersenyum mengejek.
"Tidak boleh! Dia adalah pengawal yang berada dalam istana, bagaimana engkau boleh menganggunya?"
"Kalau begitu.... apakah istana melindungi orang-orang jahat dan keji macam Bhe Cui Im, Siauw Lek dan...."
"Cia Keng Hong!" The Ho membentak, suaranya mengguntur, bukan mengandung kemarahan, melainkan mengandung bantahan dan peringatan. "Bukalah matamu, pergunakan pikiranmu dan lihatlah kenyataan! Istana mempergunakan orang-orang pandai menjadi pengawal, bukan membutuhkan riwayat hidupnya, melainkan tenaganya! Istana tidak akan memperdulikan urusan pribadi semua petugasnya, dan tidak mengenal siapa keji siapa tidak sebelum menjadi petugas istana! Urusan pribadi antara engkau dan dia sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan istana, kalau engkau hendak menyelesaikan urusan pribadimu itu di luar lingkungan istana, di luar pelaksanaan tugas di istana, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan siapa. Akan tetapi, kedatanganmu malam-malam tanpa ijin memasuki istana, hal ini adalah urusan istana! Mengertikah engkau ataukah pura-pura tidak mengerti??"
Keng Hong terkejut sekali, merasa mukanya seperti ditampar dan matanya seperti dibuka lebar-lebar oleh ucapan yang keluar dari mulut The Ho ini. Betapa lancang dan bodohnya dia yang mencari Cui Im ke dalam istana sehingga dia membuat kesalahan dan perbuatannya ini saja sudah cukup untuk mendatangkan maut baginya, bisa dianggap pemberontakan. Dan biarpun pembesar yang memiliki pandang mata begitu tajam berwibawa ini seolah-olah marah kepadanya, namun ternyata telah menginsyafkannya dan telah mengampuninya. Tak terasa lagi Keng Hong menjatuhkan diri memberi hormat kepada The Ho dan berkata,
"Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih kepada Paduka atas kemurahan hati Paduka yang telah memberi ampun." Setelah berkata demikian, Keng Hong bangkit, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Tunggu dulu, Cia Keng Hong!" Tiba-tiba The Ho berkata dan Keng Hong cepat membalikkan tubuh, memandang tajam akan tetapi menanti dengan sikap tenang.
Laksamana yang bermata tajam berwibawa itu tersenyum. "Kedatanganmu amat menarik perhatianku, orang muda. Engkau tidak bisa pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu."
Keng Hong memandang dengan alis berkerut. Apa pula kehendak pembesar yang berwibawa ini?
"Apakah yang harus hamba tinggalkan?" tanyanya, sikapnya tenang sekali sehingga The Ho dan Ma Huan, dua orang yang memiliki pandang mata waspada itu, diam-diam merasa kagum sekali. Jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda seperti ini dan diam-diam menyesalkan bahwa pemuda seperti ini kini seolah-olah menjadi seorang pelanggar. Bepatapun juga, mereka tadi hanya menyaksikan sepak terjang Keng Hong segebrakan saja dan ingin mereka menyaksikan kelihaian pemuda ini.
"Aku bukan seorang yang menginginkan benda milik orang lain," jawab The Ho tertawa. "Akan tetapi aku mempunyai semacam penyakit, yaitu kalau bertemu orang pandai, hatiku belum merasa puas kalau belum menyaksikan kepandaiannya. Karena itu, sebagai imbalan keputusanku mengampunimu, aku minta agar engkau meninggalkan pertunjukkan ilmu silatmu dan suka melayani pengawalku barang sepuluh jurus! Tio Hok Gwan, kau cobalah kelihaian Cia Keng Hong ini, akan tetapi hati-hatilah, sekali ini engkau bertemu tanding."
Tio Hok Gwan si pengantuk itu mengangguk dan melangkah lebar menghadap Keng Hong. Pemuda ini merasa serba salah. Menolak berarti dia tidak menghargai sikap pembesar yang baik itu kalau dia menerima berarti dia harus melawan si tinggi kurus yang baru langkahnya saja saja mendatangkan kesan bahwa si pengantuk ini tentu seorang ahli Iweekeh yang memiliki sinkang kuat sekali.
Juga dia tidak dapat menerka apa yang dikandung dalam hati pembesar itu di balik "ujian" ini. Maka dia lalu menjawab, "Baiklah, karena hamba telah melanggar dan berada di sini, hamba tidak dapat membangkang perintah Paduka. Akan tetapi hendaknya Paduka tidak menganggap hamba kurang ajar dan ingin memamerkan kepandaian, karena sesungguhnya hamba tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Mana dapat dibandingkan dengan Locianpwe ini yang menjadi pengawal Paduka?" Setelah berkata demikian, Keng Hong berdiri tegak dan siap menghadapi Tio Hok Gwan.
Sejenak kedua orang ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter, saling memandang penuh perhatian seolah-olah dengan pandang mata mereka itu mereka hendak mengukur keadaan lawan.
"Cia Keng Hong, sambutlah!" Tiba-tiba Tio Hok Gwan berseru dan tubuhnya sudah bergerak ke depan, sekaligus mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah dada Keng Hong.
"Wuuuttttt!" Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan sebelum kepalan itu datang, Keng Hong sudah merasai hawa pukulannya. Tidak salah dugaannya, pengawal yang mukanya seperti orang kurang tidur ini memiliki sinkang yang hebat. Cepat dia mementang kedua kaki memutar tubuh miring kekiri untuk mengelak dan dengan kontan dia membalas dengan pukulan tangan kiri ke arah lambung lawan. Tio Hok Gwan yang agaknya benar-benar hendak mengandalkan kemenangan, tidak mengelak seperti Keng Hong, melainkan cepat menggerakkan tangan kanan dengan jari terbuka menerima hantaman Keng Hong.
"Desss!" Dua telapak tangan bertemu dan mengeluarkan bunyi keras. Akibatnya, tubuh Keng Hong terpental ke belakang sedangkan tubuh Tio Hok Gwan tiga tindak ke belakang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar