"Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.
"Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo.
Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.
Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.
Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.
"Plak! Plak! Plak! Plak!" Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan. Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.
Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.
Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena bacokan golok sehinga terluka cukup parah.
"Memandang muka Kim Hwa Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ.
"Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.
"Hemm, apa maksudmu?" bentak Hek-liong-ong marah.
"Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.
"Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat."
"Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.
"Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?
"Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!" Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.
Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.
"Pergilah!" Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.
"Trang... krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!
"Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.
Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.
"Sute...!" Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat.
"Ha-ha-ha!" Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.
"Dukkk...!" Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.
"Sluppp...!" Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!
"Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
"Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?" Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara "krekk!" dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!
Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. "Eh, kenapa main-main dengan perut orang?"
Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara "plakk" dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.
"Terima kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.
Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.
"Siapa engkau, bocah setan?" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.
"Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.
"Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?" teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, "Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"
Sin Liong tersenyum, "Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."
"Keparat!" Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!
Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya. Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya.
"Plakk...! Aihhhhh...!" Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!
"Bocah setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?"
Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian.
Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi "subengnya" dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!
"Aihhh!"
"Ohhh...!"
Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.
Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.
"Manusia-manusia curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!
Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.
"Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.
Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!"
Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam. Akan tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.
Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar. Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.
Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini! Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!
Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos.
Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali. Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.
"Hyaaaaattt... aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.
Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.
"Hemmm...!" Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.
"Aihhhh...!" Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi.
"Celaka!" teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak sanggup mempelajarinya!
Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Wuuuutttt...!" Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.
"Krekkk...! Takkk...!"
"Ahhhh...!"
"Heiii...!"
Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!
Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari "pengoperan" Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.
Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"
Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.
Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.
"Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya dan tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat.
Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata, "Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini."
Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu "pangeran". Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang. "Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!" Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.
Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang.
Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang lantang, "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"
"Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.
Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti orang yang kurang percaya.
"Dia ini? Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga?" Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main...! Ingin aku mencobanya!" Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!
Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.
Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!
"Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya dan dengan gerakan sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil memandang tajam wajah yang tampan itu.
"Ehh...?" Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, melainkan karena mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau?" Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.
"Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, "Sam-lo, dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!" Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!
Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.
"Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai sahabatmu."
"Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?"
Sin Liong ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!"
"Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kautunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang, "Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat diselesaikan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!"
Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.
"Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"
Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.
"Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu, tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.
"Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan membalapkan kudanya yang besar dan gagah.
Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.
Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.
"Bunuh pembesar lalim!"
"Basmi penindas rakyat!"
Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!
Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata, "Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"
Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek. "Hayo kalian cepat berlumba, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!" Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlumba untuk merobohkan sang pangeran.
Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Pek-lian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!
"Ha-ha, Sin Liong, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!
"Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun.
Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. "Kau... kau membunuh mereka?"
Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. "Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?"
Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja?"
Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya lagi. "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!"
"Betapa kejam!"
Pangeran itu tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!"
Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.
"Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu." dia mencoba untuk membantah.
"Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang pemberontak-pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."
Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.
"Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"
Han Houw tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan."
"Ah... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?"
Han Houw tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."
Sin Liong mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?"
"Ha-ha-ha, kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?"
"Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku."
Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya.
"Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.
"Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"
"Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.
"Eh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkaupun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja."
Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Houw-ko."
Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.
"Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. "Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?" tanyanya heran.
Han Houw tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?"
Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk. "Baiklah."
Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw dan Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung!
Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.
"Mengapa, berhenti, Houw-ko?" Akhirnya dia bertanya.
"Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kaugantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan," kata pangeran itu sambil tersenyum.
Sin Liong juga tersenyum. "Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah..."
"Ah, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja."
"Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang? Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!"
Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali.
Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.
Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya tentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.
"Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?"
Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houw, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu..."
"Aku bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.
Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.
"Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.
"Aku tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.
Kembali Han Houw tersenyum. "Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.
"Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek," jawabnya pendek.
"Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan dengan kakek aneh itu, Liong-te?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.
"Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.
"Apanya yang luar biasa aneh?"
"Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"
Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."
"Bukan main...!" Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. "Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."
Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.
"Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya."
Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"
"Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran..."
"Getaran? Bagaimana maksudmu?"
"Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu."
Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. "Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya."
Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.
Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!
Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.
"Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."
"Hemm, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kaumaksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia?"
"Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi."
"Hemm..., Bu Beng Hud-couw?" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.
"Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama..."
Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.
"Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!"
Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini. "Houw-ko, aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."
"Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.
"Crotttt...!" Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung!
Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.
"Oughhhhh... pangeran... mengapa...?" Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.
Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti, "Plong...!" dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?"
Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"
Sin Liong mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?"
Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.
"Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar