"Biarlah, Sumoi. Biar cepat selesai urusan ini sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita."
Hui Lan tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat sedikitnya tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba. Melihat sepintas saja, Sui Kiat mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tidak keliru pandangannya yang tajam, karena sesungguhnya pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, Bouw Kwa Teng adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini digabung dan muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.
Kong-goan Siang-houw dua orang jagoan itu diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap demikian tenangnya, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.
Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka akan jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang pria berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.
Akan tetapi, dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"
Sutenya yang kurus, yang tadi memimpin latihan, menjadi ketakutan dan cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan peluh membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.
Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat lalu masuk ke dalam untuk mengundang gurunya sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu-tamu itu. Ruangan tamu itu merupakaan ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang laki-laki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Laki-laki itu usianya sekitar enam puluh tahun, namun tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini, hitam seperti arang! Bukan mukanya saja yang hitam, agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, semua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya demikian lebar dan tajam. Pantaslah perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak! Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa dua orang guru silat yang oleh kedua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanyalah seorang laki-laki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!
Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.
Hemm, sama sekali bukan seorang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya, ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biarpun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.
Dia pun membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"
"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."
Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"
"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."
Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah kepada kami sampai dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberitahukan kepada kami sebagai rekan, dan ke dua, andaikata ada murid kami yang keliru, sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."
"Maaf, karena sungguh tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan." kata pula Su Kiat, sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan alis berkerut. Diam-diam ia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suhengnya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.
i"Baiklah, akan tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang yang memiliki kepandaian sampai tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini adalah untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan kepada para muda di Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka terlampau rendah untuk menjadi guru silat."
"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang menentukan tinggi rendahnya dan tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"
Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu tanpa gugup. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami, dibenarkan untuk menjadi guru silat. Yang dapat menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang kini menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."
"Bagus! Sudah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian dan Su Kiat membiarkan saja sumoinya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Kiranya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi, jangan hanya seorang yang maju. Biar kedua Kong-goan Siang-houw maju bersama, aku ingin metihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!" berkata demikian, Hui Lian sudah meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga dipergunakan sebagai tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.
Kakek muka hitam arang itu nampak tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Tentu saja sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang amat disegani, mereka merasa sungkan dan malu kalau harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.
Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.
"Di sini muridku ada dua orang yang menjadi penguji, dan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil." katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat, selama lima puluh jurus!"
"Tidak perlu Suheng maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biarlah kalian maju berdua, atau boleh juga dengan guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"
"Sumoi ....!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoinya yang dianggapnya terlalu lancang dan tekebur.
"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"
Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa marah karena menganggap bahwa tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.
"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami maju bersama? Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"
"Huh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"
"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini akan menjadi muridnya. Dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya kalau begitu. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"
Sebetulnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok seorang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi penasaran sekali mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan kepada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tidak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis Itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang sebelah lengannya buntung. Maka, mendengar permintaan Cu-Hoat, dia mengangguk. Melihat suhu mereka memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.
"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" tiba-tiba Su Kiat berkata memperingatkan. Dia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di kota itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Hui Lian yang biarpun berhati keras, namun ia juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suhengnya, maka ia pun mengangguk sambil tersenyum.
Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"
"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Melihat sepasang lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, karena ilmu silat yang sumbernya dari. Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau, dan kedua lengan itu amat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu mencengkeram remuk tulang! Memang kedua orang itu tidak mau main-main, begitu menyerang langsung saja mempergunakan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan seperti harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang mempergunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.
Namun, gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan ia tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Ia bahkan berkata yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seperti ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya! Dan lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidaki memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan kedua tangannya. Sesungguhnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis maupun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang, maupun untuk melompat dan bergeser.
"Haiiittt!!" Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada saat yang hampir berbareng, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada. Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan dan angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.
"Plakk! Plakk!!" Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lagi dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat. Kembali ada angin keras menyambar yang mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.
"Aih, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.
"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkan kami yang tidak tahu diri .....!"
Su Kiat tersenyum. Kiranya Cin-ling-pai masih mempunyai nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang. Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam guha di tebing jurang.
"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoinya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"
Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, sekali ini aku tidak akan main-main!"
Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja, gadis itu telah memperlihatkan kehebatannya dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang hebat dan mereka tidak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka jatuh dalam segebrakan saja menghadapi gadis ini! Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri dan kini mereka tidak mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka dan tahu-tahu, tubuh itu menyambar dari atas seperti seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri dan bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!
Kong-goan Siang-houw sudah meloncat bangun lagi dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun, kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya hanya berkelebat dan lenyaplah tubuh itu, yang nampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, seperti burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, kembali tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, kini dengan kepala di bawah dan kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.
Kedua orang harimau Kong-goan ini selama hidupnya belum pernah mendapat lawan yang seperti pandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka sudah berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun tetap saja kalah cepat karena tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas dan robohlah mereka seperti sehelai kain. Kiranya, dengan kecepatan yang tak terhindarkan mereka, gadis itu telah menotok pundak mereka yang membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biarpun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Biarpun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.
"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Akan tetapi, aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu. Melihat ini, Hui Lian berkata kepada suhengnya.
"Suheng, biarkan aku mewakilimu meghadapi Bouw-kauwsu!"
Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap kau suka mundur. Engkau sudah lulus ujian, kini Bouw-kauwsu hendak mengujiku, biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.
Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu memiliki keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan sedemikian cepatnya seperti gadis itu, seolah-olah pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja. Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal, dia sendiri belum tentu menang dengan mudah kalau menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu! Biarpun Ciang Su! Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai daripada gadis itu. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andaikata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!
"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku sudah banyak berkurang, maka marilah kita bermain-main dengan senjata sebentar, dan tidak hanya mengandalkan tenaga dan kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh," Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya dan begitu pedang tercabut dan digerakkan, nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang senjata pusaka yang ampuh. Namun, Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi.
"Bouw-kauwsu, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Bouw Kwa Teng mengira telah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang memiliki kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat pula akan hebatnya tenaga gadis itu, dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini, dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan. Akan tetapi tak disangkanya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak mempergunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jerih. Menggunakan senjata, apakah tidak memalukan, dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biarpun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, kini melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang? Selagi dia meragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka kepada ketua ini, berkata dengan suara halus.
"Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."
"Sebetulnya aku merasa sungkan, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"
Berkata demikian, Ketua Hek-houw Bu-koan ini sudah memutar pedang pendeknya dan pedang itu pun lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata. Tak mungkin dia dapat menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.
Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, pria yang buntung lengan kirinya ini yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa darinya itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka berdua mendapatkannya karena selama bertahun-tahun tubuh mereka kemasukan makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia. Makanan berupa jamur dan sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sukar dilawan oleh siapapun juga di dunia persilatan. Dan Su Kiat kini menghadapi lawan yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan gin-kangnya. Seperti juga yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan. Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung, namun guru silat ini yang sejak tadi sudah menduga akan kehebatan ginkang lawan, cepat memutar pedangnya, selain melindungi seluruh tubuhnya, juga menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas. Tadi, ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan. Baik Hui Lian maupun Su Kiat telah melakukan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di guha itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan gin-kang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.
Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah mampu menyentuh ujung baju lawan, apalagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu mampu mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.
"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.
"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya bergerak cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.
"Trakkk!" Dan pedang di tangannya terdorong ke belakang. Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual ketika mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.
"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi dan tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seolah-olah dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu. Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat mempergunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!
Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, namun dia merasa ada sesuatu menyentuh leher dan dadanya, dan lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena Su Kiat telah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata, "Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"
Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya dan meraba ke arah lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.
"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri ketika mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa kalau lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuhnya atau setidaknya melukai dengan berat.
"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiapi dan Lihiap, berhak membuka perguruan silat di manapun juga."
Melihat sikap guru mereka, dan mendengar guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.
Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka amat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka. Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu telah keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, bahkan dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu. Suheng dan sumoi itu mulai bekerja dan tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan beberapa jenis pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.
"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menanti apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah kalau ia sudah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu." Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena para murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang kini menjadi besar karena ditambah bangunan, Su Kiat berkata kepada sumoinya dengan sikap serius. Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suhengnya menunduk dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan ia merasa malu dan canggung sekali. Betapapun juga, urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya. Ia pun mengerti bahwa pada jamannya itu, setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah dalam usia paling banyak dua puluh tahun. Dan ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suhengnya, yang juga menjadi pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara banyak pemuda yang telah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, ia selalu menolak dengan halus.
"Tapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."
"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria kalau dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suhengmu, dan karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang kalau mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku. Kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan demikian banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Jatuhkanlah pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"
Mendengar suara suhengnya yang bersungguh-sungguh, dan sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini, Su Kiat cepat menghiburnya.
"Sumoi, mengapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga kali peristiwa kita alami, tiga peristiwa terpenting dalam kehldupan. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang amat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau menghadapi peristiwa pernikahan, mengapa harus berduka? Apalagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan, dan engkau berhak memilih sendiri calon suamimu."
"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja kepadamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."
Wajah Su Kiat berseri. "Ah, jadi engkau sudah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik yang telah meminangmu, akan tetapi, bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya baik sekali, halus dan sopan. Juga dia telah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?" "
Di lubuk hatinya, Hui Lian agak kecewa karena pemuda yang dlmaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah walaupun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tidak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagaI putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.
"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal Itu kaukehendaki."
"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."
"Aku mengerti, Suheng. Engkau aturlah saja, dan aku akan mentaati karena kuyakin bahwa segala yang kaukehendaki itu memang benar dan tepat." Setelah berkata demikian, Hui Lian meninggalkan suhengnya, kemudian memasuki kamarnya untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoinya dengan wajah berseri, mengira bahwa sumoinya sebagai seorang gadis, tentu malu membicarakan urusan perjodohan itu.
Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat lalu membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang dikagumi, karena bukan saja ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.
Dua bulan kemudlan setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.
Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walaupun ia menjadi isteri tanpa cinta kasih, suaminya yang pernah lulus di kota raja itu suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang. Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walaupun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi, apa yang nampak indah dari luar, belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya.
Terdapat perbedaan cara dan selera kehidupan antara Hui Lian dan Tee Sun. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat Hui Lian sudah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan amman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya. Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup penuh kekerasan, Hui Lian sering kali ikut pergi berburu bintang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan kadang-kadang Hui Lian rindu akan keadaan hidup seperti ini. Makin sering ia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.
Pada dasamya, Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang berbau harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun maupun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian. Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng walaupun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena pernah kakinya terluka oleh terkaman harimau buas.
Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan memang dia telah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri seorang pemburu yang gagah berani, namun melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta. Tanpa mempedulikan bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!
Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa ia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya. Wanita ini mengira bahwa Su Ta Touw benar-benar cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Namun ia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.
Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun dan marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu ketika engkau jauh dariku, dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau telah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"
Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau ia tidak ingat bahwa penuduhnya itu suaminya dan suaminya itu bertubuh lemah, tentu sudah ditamparnya Tee Sun.
"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh orang secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia dan hajar dia yang berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.
Akan tetapi, tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apalagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saia lebih kuat dari padanya itu. Akan tetapi sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!
Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoinya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjina dengan pria lain!
"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjina dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap waiah tampan suami dari sumoinya itu.
Tee Sun menarik napas paniang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, akan tetapi banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"
"Bagus!" Tiba-tiba muncul Hui Lian yang agaknya sejak tadi sudah mengikuti dan mendengarkan ketika suaminya mengadu kepada suhengnya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kaukira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"
"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.
Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, namun sia-sia saja. Keduanya sudah merasa panas dan percekcokan itu pun berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoinya, terpaksa Su Kiat pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.
"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.
"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap saat marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, maka perceraianlah jalan terbaik."
Akhirnya bercerailah Hui Lian dari Tee Sun. Hui Lian kembali tinggal bersama suhengnya, membantu suhengnya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati dan dengan nekat dia pun melakukan pendekatan dan melimpahkan rayuan-rayuan mautnya. Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Ia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga ia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi ia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Ia mengira bahwa sekali ini benar-benar ia bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka, ia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!
Ketika ia minta persetujuan suhengnya, Su Kiat memandang kepada sumoinya dengan alis berkerut. "Dia? Ah, Sumoi, sudah kaupikir baik-baikkah kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Ingatlah bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rusak rumah tanggamu, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tidak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik daripada Tee Sun, karena dia demikian kasar dan terlalu pandai bermanis muka."
"Tidak, Suheng. Justru karena aku bercerai karena dia, maka sebaiknya kalau kini aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, dan pula sekali ini aku percaya bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."
Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoinya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw. Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suhengnya.
Pada bulan-bulan pertama, Hui Lian merasa berbahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw! Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dia dahulu begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu berahi yang membadai. Kini, setelah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang aseli, yaitu pembosan! Laki-laki macam ini tak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum terdapat, akan tetapi mudah merasa bosan. Mulailah berubah sikap Su Ta Touw dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang laki-Iaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik. Hui Lian merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu kalau harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suhengnya. Betapa tepat peringatan suhengnya dahulu. Akan tetapi, segalanya telah terlanjur. Ia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau sudah berada di luar rumah, suaminya itu berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya
Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai setahun lagi. Sudah dua tahun ia menjadi isteri Su Ta Touw dan ketika ia mendengar bahwa suaminya itu main gila dengan seorang wanita tetangganya lagi, dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak!
Ketegangan memuncak ketika ia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu telah berjina dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak mendekatinya. Suami itu menuduh bahwa isterinya mengandung sebagai hasil perjinaannya dengan Su Ta Touw!
"Benarkah semua keributan di sebelah itu." Ia bertanya kepada suaminya. Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal.
Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sukar mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya. Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.
Pada suatu malam, di waktu hujan, ia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang dibuka dari dalam! Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat kelakuan suaminya itu. Ia membiarkan sampai beberapa lama, kemudian secara tiba-tiba ia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar.
"Jahanam busuk!" bentaknya dan bergidik ia menyaksikan perbuatan suaminya dan nyonya tetangga itu. Su Ta Touw terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak berlari keluar. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendangnya, sedemikian keras tendangan itu sehingga tubuh suaminya terlempar keluar jendela! Hui Lian mengejar keluar, dan menyeret rambut suaminya, ditariknya kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh mereka.
"Ampun.... ampunkan aku... ah, ampunkann......" Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka.
"Bangunlah dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan, aku akan membunuhmu begitu saja!"
"Tidak... tidak... ah, ampunkan aku ....." Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tidak berani melawan Hui Lian, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih jauh sekali di bawah sehingga dalam segebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan membunuhnya.
"Desss!" Kembali sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang dan bergulingan. Dia mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh tubuhnya basah oleh lumpur.
"Ampunkan aku... aku bersumpah tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ah, ampunkan aku."
"Jahanam keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!" Kembali kaki Hui Lian menendang dan tubuh itu pun terpelanting keras. Ia menendang untuk melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau ia menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu akan putus nyawa laki-laki itu.
"Tidak, sekali ini aku taubat benar-benar, aku bersumpah ..... demi nenek moyangku, demi .... nama dan kehormatanku .... aku ...."
"Cukup!" Hui Lian membentak marah. "Bangkitlah dan lawan aku sebagai seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!"
Melihat kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi semakin ketakutan dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah di mana dia merlutut!
Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin marah, "Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan ia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan maut.
"Sumoi, tahan .....!" Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya sudah berdiri disitu.
"Sumoi, apalagi yang kaulakukan ini?" kembali laki-laki menegurnya dengan suara keras penuh teguran.
"Suheng ....!" Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, menangis sejadi-jadinya di pundak Su Kiat, Su Kiat menarik napas panjang dan mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian menceritakan dengan suara terisak-isak akan semua perbuatan suaminya yang sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung belang. Kemudian diceritakannya pula peristiwa perjinaan suaminya dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinaan itu kini menumbuhkan kandungan dalam perut nyonya itu.
Su Kiat menggeleng-gelengkan kepala, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok sedemikian dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu berahi?
"Suheng, sebelum engkau datang, aku tadinya hendak membunuhnya sebelum aku bunuh diri. Malu aku hidup di dunia ramai ini....."
Su Kiat terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoinya, dan dia khawatir kalau-kalau sumoinya akan benar-benar membunuh diri. "Sumoi, pikiranmu itu keliru. Agaknya memang sudah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki yang tidak benar. Akan tetapi, membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Mari kita selesaikan urusan ini sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini, kemudian mari kembali membantuku, membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?"
Diam-diam Hui Lian menyalahkan suhengnya yang dulu membujuknya agar menikah, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suhengnya demikian baik, dan siapa lagi orang di dunia ini kecuali suhengnya yang dapat ditangisinya di waktu ia menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya?
"Mari kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini, menemui orang tuanya." Tanpa pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap perlu.
Pada keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila perempuan dan tidak bertanggung jawab itu.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, dalam waktu lima tahun, Hui Lian kembali menjadi janda. Ia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu belaka bahwa ia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah menjanda sampai dua kali! Karena itu, biarpun tidak ada orang berani mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan ia pun berpamit kepada suhengnya.
"Suheng, perkenankanlah aku pergi dari dusun ini," katanya pada suatu senja.
Su Kiat terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoinya telah mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoinya itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria. Sudah berbulan-bulan sumoinya tinggal lagi di situ bersama dia setelah bercerai dari Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Sebelum sumoinya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya berbahagia bersama sumoinya. Ketika sumoinya menikah dengan Tee Sun dan pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka. Namun, perasaan ini di lawannnya dengan keyakinan bahwa sumoinya pergi untuk menempuh hidup baru yang berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula. Kemudian, sumoinya bercerai dan menikah lagi. Kini, setelah sumoinya bercerai untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya, baik untuk melatih para murid maupun untuk urusan rumah tangga, dia merasa seolah-olah matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu. Kehidupan menjadi amat berbahagia baginya, seolah-oleh dia menemukan kembali dirinya dan kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghialng bersama dengan perginya Hui Lian dari sampingnya. Karena itu, mendengar sumoinya berpamit, dia terkejut bukan main sampai berubah air mukanya.
"Kau .... kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?" tanyanya gagap.
"Aku ... aku hendak pergi merantau, ke mana saja, Suheng."
"Ah, apa artinya ini, Sumoi? Kenapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku, membantuku? Apakah kita .... tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi, dimana kita mengalami segala hal berdua, pahit maupun manis? Kenapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan aku? Dan aku khawatir sekali karena engkau pergi tanpa tujuan."
"Aku mau mencari pengalaman, Suheng, dan aku .... aku berusaha melupakan segala yang pernah terjadi denganku di sini, juga agar semua orang melupakan semua itu ... aku mungkin akan mencari keluarga orang tuaku di San-hai-koan."
"Bukankah aku pengganti keluargamu, Sumoi?"
"Benar, benar sekali, Suheng!" Hui Lian memegang tangan suhengnya yang terletak di atas meja. "Engkau keluargaku, engkau pengganti orang tua dan Kakakku juga Guruku dan sahabatku. Ahh .... betapa aku telah bersikap tak mengenal budi, akan tetapi ... aku ingin pergi, Suheng. Aku ingin menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang tak mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Perkenankanlah aku pergi, Suheng. Untuk setahun, dua tahun .... Tanpa ijinmu aku tidak berani pergi. Tapi, kasihanilah aku, Suheng ...."
Su Kiat memejamkan kedua matanya. Aih, sumoi, tidakkah seharusnya engkau yang mengasihani diriku, bisik hatinya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan membuka mata, memandang wajah sumoinya penuh haru, penuh rasa sayang.
"Baiklah, Sumoi. Aku tidak mungkin dapat mencegah kehendakmu. Aku hanya mendoakan semoga engkau akan menemukan kebahagiaan ...."
"Aih, Suheng! Engkau seperti dapat menjenguk dan membaca isi hatiku! Benar sekali, aku rindu akan kebahagiaan, Suheng! Selama ini hanya kebahagiaan palsu yang kuraih, dan aku rindu sekali. Aku akan pergi untuk mencari kebahagiaan, Suheng."
Su Kiat tidak menjawab dan dia masih duduk termenung setelah lama sekali Hui Lian meninggalkan tempat itu, meninggalkannya. Ingin dia pun pergi mencari kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin dia mencari kebahagiaan kalau baru saja kebahagiaan sendiri meninggalkannya? Dia sekarang tahu benar. Hui Lianlah sumber kebahagiaannya! Dan kini Hui Lian telah pergi, membawa kebahagiaan menjauhi hatinya yang menjadi penuh dengan kesepian, penuh kekosongan dan kerinduan.
Betapa banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui mulut ataupun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan! Mencari kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang ingin mencari kebahagiaan, seolah-oleh kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat di cari, dapat ditemukan dan digenggam agar tidak pergi lagi! Su Kiat mengira bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian karena ia MEMBUTUHKAN kehadiran Hui Lian YANG MENYENANGKAN hatinya. Orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber kebahagiaannya karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang dapat menyenangkan hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui kedudukan, atau nama besar, atau benda atau keadaan bagaimanapun juga, semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dianggapnya bahwa itulah yang akan menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya!
Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu sama dengan kesenangan? Apakah orang yang senang hatinya itu berbahagia? Apakah kesenangan itu dapat dinikmati selamanya? Hal ini dapat kita pelajari dengan mengamati diri sendiri, mengamati kesenangan-kesenangan kita, yang kita cari dan kejar-kejar itu. Betapa banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang mendatangkan kesenangan. Namun, betapa rapuhnya kesenangan itu sendiri, seperti gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona kanak-kanak yang mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung itu pun meletus dan lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang ataupun keadaan, yang tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan kejengkelan! Adakah kesenangan yang abadi?
Jelas bukan! Yang kita sebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan! Kesenangan dapat kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, namun kesenangan memiliki muka yang banyak sekali, seperti sepotong dadu yang mempunyai banyak permukaan, dan permukaan yang lain itu sama sekali tidak menyenangkan!
Kita semua mengejar kebahagiaan secara membuta, mengira bahwa kebahagiaan terletak disini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan itu! Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak dikenalnya, sesuatu yang tidak diketahuinya? Kebahagiaan tidak mungkin dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup, sedangkan pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati. Kesenangan adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang telah kita kenal, melalui pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal melalui pengalaman, bukanlah kebahagiaan lagi, melainkan menjadi kesenangan dan seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan.
Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam kebahagiaan. Akan tetapi kita mengenal dan mengerti akan ketidak-bahagiaan karena kita semua mengalaminya, merasakannya. Justeru karena tidak bahagia inilah maka kita mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak-kebahagiaan dan mencari kebahagiaan. Mengapa kita tidak menghadapi saja ketidak-bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba lari, melainkan menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan nampak benar oleh kita bahwa kita tidak berbeda, tidak terpisah dari ketidak-bahagiaan itu sendiri. Ketidak-bahagiaan itu adalah kita sendiri, pikiran kita yang selalu mencari senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan menghindarkan kerugian, selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan terhadap diri sendiri inilah, yang akan membuat kita waspada dan mengerti, yang akan menghentikan ketidak-bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam batin.
Dan kalau sudah tidak ada lagi ketidak-bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah kita masih mengejar kebahagiaan? Kiranya tidak, karena tanpa adanya ketidak-bahagiaan, maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justeru karena kebahagiaan sudah ada pada kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak-bahagiaan, seperti matahari yang terbebas daripada halangan awan yang menggelapkan.
Tuhan Maha Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-lengkapnya. Bukan hanya kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap, bahkan yang berada di luar diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-olah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Matahari, bulan, bintang, angin, air tanah dan segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan segala logam dan minyak di dalam tanah, semua itu bermanfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah kebahagiaan, bagi mereka yang mampu menerimanya, dan mau menerimanya. Akan tetapi kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau muncul ketidak-bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena sang aku yang ingin ini dan itu tiada hentinya, diantaranya ingin bahagia pula!
Sungai Yuan yang airnya jernih itu mengalir ke timur menuju ke Telaga Tung-ting yang terletak diperbatasan Propinsi Hu-nan dan Hu-pai. Ketika sungai itu melewati pegunungan yang penuh dengan hutan cemara, airnya mengambil jalan berkelok-kelok dan dari tempat ketinggian itu nampak seperti seekor ular perak yang amat panjang.
Pemuda itu mengagumi pemandangan alam yang amat indah ini, smabil duduk di atas padang rumput di puncak bukit yang datar itu dan memberi kesempatan pada tubuhnya untuk beristirahat. Dari tempat dia duduk nampak di kejauhan Danau Tung-ting yang luar biasa luasnya itu, seperti lautan. Danau inilah yang memberi nama kepada dua propinsi, yaitu Propinsi Hu-nan (sebelah selatan danau) dan Propinsi Hu-pai (sebelah utara danau). Danau atau Telaga Tung-ting ini di sebelah selatan menampung air dari sungai-sungai Yuan, Siang, Ce, dan Li dan menghubungkan air danau dengan Sungai Yang-ce-kiang yang amat besar itu. danau itu menjadi semacam waduk alam yang amat besar, yang mengatur pasang-surutnya air Sungai Yang-ce.
Di pagi hari menjelang siang itu, pemuda tadi duduk mengaso dan termenung. Alangkah jauhnya sudah dia menjelajahi bumi. Telaga atau Danau Tung-ting yang nampak dikejauhan seperti laut membentang luas itu juga dikunjunginya beberapa hari yang lalu, sempat berperahu dan mengail ikan disana. Alangkah jauh dan lama dia menjelajah.
Dia tidaklah terlalu muda lagi. Usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih dari kain kasar yang kuat dan bersih. Hanya pita rambut dan ikat pinggangnya yang berwarna biru. Dia sesungguhnya bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang wanita, yaitu Kok Hui Lian! Kita tahu bahwa wanita ini meninggalkan Hek-bun, dusun tempat tinggalnya, meninggalkan suhengnya, untuk melakukan perantauan, untuk menghibur hatinya yang penuh dengan kekecewaan dan kedukaan. Sekali merantau, ia menemukan hiburan di dalam kehidupan baru ini, sehingga ia lupa akan janjinya untuk pulang ke tempat tinggal suhengnya. Sudah dua tahun ia merantau dan sudah jauh tempat yang dijelajahinya. Bahkan sudah pula ia mengunjungi San-hai-koan di mana mendiang ayahnya pernah tinggal dan bahkan menjabat sebagai gubernur. Namun, ketika ia melakukan penyelidikan, ternyata ayah dan ibunya, juga seisi rumah, telah menjadi korban perang, semua telah tewas, kecuali ia seorang yang diselamatkan seorang pendekar yang menurut cerita suhengnya kemudian, bernama Cia Hui Song, putera dari Ketua Cin-ling-pai.
Ia berhasil menemui seorang paman, yaitu adik misan ayahnya yang menjadi seorang pembesar di San-hai-koan. Akan tetapi ternyata paman itu bersikap congkak dan tinggi hati, membuat ia merasa sungkan untuk mengenalkan dirinya dan akhirnya ia meninggalkan San-hai-koan dan menganggap bahwa orang tuanya tidak meninggalkan anggauta keluarga lain kecuali dirinya sendiri. Ia berkunjung ke makam ayah ibunya dan bersembahyang.
Kini ia telah tiba di tempat sunyi yang indah itu, dan duduk mengagumi keindahan pemandangan alam sambil melamun. Ia teringat akan masa lalunya, teringat kepada Ciang Su Kiat, orang yang tadinya menjadi gurunya, menjadi pengganti orang tuanya, sahabatnya, dan kemudian menjadi suhengnya. Dan ia menjadi terharu. Setiap kali termenung dan terkenang kepada suhengnya, makin jelas teringat olehnya betapa baiknya suhengnya itu terhadap dirinya. Dan betapa malang nasib suhengnya. Pernah suhengnya bercerita tentang lengannya yang buntung. Lengan kiri itu dibuntungi sendiri sebagai pernyataan bersalah terhadap Cin-ling-pai! Di depan ketua Cin-ling-pai, ayah dari Pendekar Cia Hui Song yang menyelamatkannya, suhengnya itu membuntungi lengan kirinya sendiri, sebagai penebusan dosa dan sebagai protes pula atas peraturan yang amat keras dan bengis dari Cin-ling-pai. "Dosa" suhengnya itu adalah karena Su Kiat membunuh seorang tihu untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang disiksa sampai mati oleh tihu itu karena ayahnya mencuri perhiasan untuk membiayai pengobatan anak bungsunya
Kasihan sekali suhengnya! Dan keterlaluan sekali Ketua Cin-ling-pai itu. Apakah ketua itu tidak melihat bahwa suhengnya tidak melakukan kejahatan, melainkan hendak membalaskan kematian dan sakit hati ayah kandungnya? Biarpun suhengnya melupakan urusan itu, namun kini perasaan penasaran membuat Hui Lian mengambil keputusan untuk mengunjungi Cin-ling-pai dan setidaknya ia akan menegur Ketua Cin-ling-pai atas kebengisan dan kekejamannya itu!
Tiba-tiba Hui Lian tersentak dari lamunannya ketika ada suara melengking merdu, naik turun dengan lembutnya, memasuki pendengarannya. Ia segera memperhatikan dan itu adalah suara suling yang ditiup secara aneh. Suara itu demikian lembut, naik turun dengan halusnya, dalam lagu yang selamanya belum pernah ia mendengarnya. Akan tetapi hanya sebentar saja suara itu terdengar, karena segera menjauh dengan amat cepatnya, seolah-olah suling itu dibawa terbang lalu saja.
Hui Lian bangkit berdiri, memandang ke sekeliling untuk mencari peniup suling, akan tetapi tidak nampak sesuatu dan kini suara suling itu telah makin sayup-sayup kemudian menghilang di kejauhan. Ketika ia memandang ke bawah, di sebuah lereng yang penuh rumout hijau gemuk, ia melihat puluhan ekor domba digembala oleh seprang anak laki-laki yang usianya belasan tahun. Anak itukah Si Peniup Suling, pikirnya. Karena ingin tahu sekali, masih tertarik oleh suara yang aneh tadi, Hui Lian meninggalkan puncak bukit itu dan menuruni bukit menuju ke lereng bukit dimana anak laki-laki itu sedang menggembala dombanya.
Ketika mengerahkan ilmunya berlari cepat, dalam waktu singkat saja Hui Lian telah tiba di lereng bukit itu. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat di mana anak laki-laki berusia belasan tahun itu menggembala tiga puluh ekor dombanya, ia terkejut dan cepat menyelinap dibalik batang pohon sambil mengintai ke depan. Tak jauh dari situ, ia melihat empat orang yang mengerikan. Mereka itu dua orang pria dan dua orang wanita, keempatnya sudah berusia enam puluh tahun lebih. Agaknya mereka adalah dua pasang suami isteri. Yang sepasang merupakan kakek dan nenek biasa saja, bahkan kakek tinggi besar itu nampak gagah dan isterinya, nenek yang tubuhnya masih ramping itu memperlihatkan bekas kecantikannya. Namun, pasangan ke dua amat mengerikan. Yang pria tinggi kurus dengan muka yang cukup tampan akan tetapi seperti topeng saja, karena tidak nampak pergerakan pada kulit muka itu! dan isterinya, yang juga berpakaian hitam-hitam seperti suaminya, dapat dibilang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat dan membayangkan kekejaman. Dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa empat orang itu bukanlah kakek dan nenek sembarangan.
Dugaannya memang tidak keliru. Dua pasang suami isteri tua itu bukan lain adalah Lam-hai Saing-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan kisah ini, dua pasang suami isteri sesat ini pernah saling bermusuhan ketika mereka saling memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) belasan tahun yang lalu. Kemudian, karena dari permusuhan itu mereka sama-sama tidak memperoleh keuntungan, mereka lalu bersekutu dan akhirnya mereka bertemu dengan tokoh datu sesat Lam-hai Giam-lo yang amat sakti dan menjadi sekutu atau anak buahnya. Lam-hai Giam-lo telah mendapatkan seorang murid yang kaya raya dan kini datuk ini tinggal bersama muridnya, mempunyai banyak anak buah yang terdiri dari tokoh-tokoh sesat yang pandai seperti dua pasang suami isteri itu.
"Aahh, kebetulan sekali. Perut kita lapar dan lihat domba-domba yang muda dan gemuk itu!" terdengar Ma Kim Li, nenek isteri Siangkoan Leng yang menjadi Sepasang Iblis Laut Selatan itu berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan domba yang makan rumput dan berkeliaran di situ. Anak penggembala itu duduk di bawah pohon, kadang-kadang meneriaki domba yang berkeliaran telampau jauh. Melihat pakaiannya yang terbuat dari kain Liu-jang, yaitu kain yang terbuat dari bahan rami yang terkenal di daerah Hu-nan, mudah di duga bahwa anak ini adalah suku bangsa Miao, suku bangsa yang banyak terdapat di daerah itu.
"Benar sekali! Daging domba muda dan gemuk itu dibakar setengah matang, diberi garam saja sudah lezat bukan main," kata suaminya.
"Aku masih menyimpan sisa garam dan bumbunya," kata Tong Ci Ki yang mukanya pucat seperti mayat.
"Aku lebih suka mengganyang otak domba itu mentah-mentah, segar dan memperkuat tulang!" kata suaminya yang bernama Kwee Siong.
"Mari kita tangkap, seorang seekor dan boleh makan menurut selera masing-masing," kata Siangkoan Leng, suami dari Ma Kim Li. Mereka serentak muncul dari balik semak-semak dan menghampiri sekumpulan domba itu. Melihat ada empat orang kakek dan nenek menghampiri domba-dombanya yang menjadi gelisah, ana penggembala berusia sekitar tiga belas tahun itu pun cepat bangkit dan lari menghampiri.
Ketika anak itu melihat betapa empat orang kakek dan nenek itu masing-masing menangkap seekor domba muda, dia terkejut sekali dan dalam bahasanya sendiri, bahasa suku bangsa Miao, dia berteriak, "Lepaskan domba-dombaku, jangan tangkap mereka!"
Anak itu berusaha untuk mengambil kembali domba-dombanya dari tangan empat orang kakek dan nenek yang menangkapnya, akan tetapi Ma Kim Li yang berdiri paling dekat, mendorongkan tangan kirinya dan tubuh anak itu pun terdorong ke belakang, terjengkang dan terguling-guling, di atas rumput. Sambil tertawa-tawa empat orang kakek dan nenek sesat itu hendak pergi dari situ membawa empat ekor domba muda yang kini mengembik ketakutan. Anak laki-laki itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak menangis, bahkan cepat dia bangkit lagi dan lari mengejar.
"Kembalikan domba-dombaku! Kembalikan, kalian pencuri-pencuri busuk!"
Mendengar mereka di maki pencuri busuk, Kwee Siong yang berjuluk Si Tangan Maut, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang seperti topeng itu sama sekali tidak menunjukkan apa-apa, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Hemm, besar juga nyali anak ini. Tentu otaknya lebih segar dan menguatkan tulang daripada otak domba. Nak, mari ikut bersamaku!" katanya dan Kwee Siong sudah melemparkan domba yang tadi dipegangnya ke atas tanah, lalu tangannya menjangkau untuk menangkap leher anak laki-laki itu.
"Tua bangka busuk, jangan ganggu anak itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja tubuh anak itu tertarik ke belakang sehingga terluput dari cengkeraman tangan Kwee Siong. Kakek itu terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya seorang dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Dia seorang laki-laki muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih kasar namun bersih, dengan ikat rambut dan ikat pinggang berwarna biru. Wajahnya yang tampan sekali itu membayangkan kemarahan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
Empat orang tua itu kini menghadapi pemuda yang bukan lain adalah Hui Lian itu, dan mereka semua memandang marah.
"Eh, pemuda liar dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak Siangkoan Leng sambil melangkah maju, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak mengancam dan wajahnya beringas.
Dengan suara lantang dan ketus Hui lian berkata, "Melihat sikap kalian, kalian adalah empat orang tua bangka yang tidak miskin, juga bukan orang sembarangan. Tidak malukah kalian mengganggu seorang anak penggembala domba dan merampas domba-dombanya? Kembalikan domba-domba itu!"
"Wah, bocah itu sudah bosan hidup!" bentak Kwee Siong yang tadi sudah melempar dombanya karena hendak menangkap anak penggembala. Sambil membentak, dia sudah menerjang maju dan mengirim tamparan kedua tangannya bergantian ke arah kepala Hui Lian . Tamparan ini bukan sembarangan tamparan, melainkan tamparan yang mengandung tenaga kuat sekali, merupakan serangan maut. Jangankan kepala orang, batu karang pun akan remuk terlanda tamparan kedua tangan yang amat kuat itu.
Dengan tenang Hui Lian mengangkat kedua lengannya ke kanan kiri. Ketika dua pasang lengan itu bertemu, kedua lengan Kwee Siong terpental dan kesempatan ini dipergunakan Hui Lian untuk melanjutkan kedua tangannya yang menangkis itu untuk mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Kwee Siong terkejut dan mengelak ke belakang, namun hawa dorongan yang kuat masih menerjangnya dan membuat tubuhnya terjengkang keras! Hanya dengan berjungkir balik sajalah dia terhindar dari bantingan keras.
Tentu saja hal ini mengejutkan empat orang itu. Pemuda berpakaian putih itu bukan saja mampu menangkis tamparan kedua tangan Kwee Siong Si Tangan Maut, bahkan mampu membalas menyerang yang nyaris membuat Kwee Siong terbanting roboh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar