Mereka bertiga dengan cepat namun dengan pengerahan gin-kang agar gerakan mereka ringan tak bersuara, menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya, Siangkoan Ci Kang berhenti dan bersembunyi di balik semak-semak, memberi isarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan ia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.
Pantas saja mereka harus berindap-indap karena kalau mereka mengeluarkan suara berisik, tentu dua ekor ayam hutan itu akan terbang pergi. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tidak dapat didekati manusia. Akan tetapi, mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu? Bi Lian juga memandang, dengan penuh perhatian. Akan tetapi baginya, dua ekor binatang itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa, sedang bertanding. Akan tetapi setelah ia memperhatikan, ia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja. Semua serangan si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tak pernah mengenai sasaran. Sibulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang, pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga beberapa kali si kelabu tertendang dan terjengkang!
Biarpun demikian, bagi Bi Lian semua itu tidak ada artinya. Akan tetapi kalau ia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tak pernah berkedip, seolah hendak menelan dengan pandang mata mereka setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu, dan beberapa kali ia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali.
Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Ketika si kelabu yang sudah mulai lemah itu, dan yang mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah, untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.
"Bressss..... ! Keok..... !" Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepatnya, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagak sekali, mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!
Biarpun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang, berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak begitu besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali. Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya amat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri. Akan tetapi pada detik terakhir, ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dapat terbang meloloskan diri dari Musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu kini berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!
"Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana kamu akan mampu menandingi seekor musang?" Ayam berbulu emas itu terlalu sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan Siapa lawannya. Mungkin karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi, dia menjadi kepala besar ddn tidak takut melawan siapapun juga!
Musang itu agaknya juga tercengang. Tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu sudah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi! Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di situ, dia sudah menerkam lagi dengan ganasnya. Musangpun seekor binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar di hutan.
"Wuuuttt....... bresss.....!" Bi Lian hampir bersorak. Ketika musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu menerjang dari atas mematuk dan menendang kepala musang. Musang itu terkejut. Patukan dan tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walaupun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas. Berkali-kali hal ini terjadi dan Bi Lian menonton dengan hati tegang. Biarpun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, namun tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu, apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika ia menengok ke arah ayah ibunya, ia melihat kedua orang itu seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.
Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untUk menangkap ke atas. Akan tetapi, dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput karena dia naik ke atas, kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tidak lagi menendang melainkan mencakar. Kedua kaki dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan keras itu mematuk ke arah mata kiri.
"Bresss...... !" Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit dan dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Diapun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itupun terbang ke atas, hinggap di sebuah dahan pohon cemara dan diapun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang! Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga iapun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Mendengar tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!
Akan tetapi, kembali Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Ia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus hebat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang ia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat. Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun ia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, namun di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis!
Melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu, ia tidak merasa heran. Tentu saja serangan-serangan ibunya hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat ia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya. Gerakan ayahnya itu mirip gerakan ayam jantan hutan bulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepala kedepan belakang, betapa kepala itu kadang-kadang mengelak ke bawah dan kebelakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu, berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi. Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah, lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung mulut, dan kedua kaki masih menendang ke arah dada. Teringatlah Bi Lian akan "jurus" yang dipergunakan ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, dan membuat musang itu lari ketakutan.
"Ihhh....... bagus sekali......!" Ibunya melempar tubuh ke belakang dan terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biarpun tadi ia terheran-heran dan juga geli, kini setelah ia mengerti, ia memandang kagum kepada mereka. "Aih, kiranya ayah dan ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru? Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"
Ayah dan ibunya mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan main," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang amat besar. Dan sekali ini, engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia berhasil mengalahkan seekor musang! "
"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku dapat menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."
"Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang ayah ibu cipatakan itu?"
"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, dan dicampur dengan ilmu silat kami. Kau yang telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."
Mendengar ucapan ayahnya itu, Bi Lian girang sekali dan mulai hari itu juga, iapun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai pula keliaran. Disamping itu, karena ilmu itu dicampur dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung pula kehalusan dan kelembutan, didorong oleh sin-kang (tenaga sakti) yang amat dahsyat Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekun, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiamsut. Pada suatu pagi ketika ia sedang berlatih di puncak yang sunyi, di mana ia bersama ayah ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya. Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiamsut. Sebelumnya ia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.
Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang dan pandang matanya ditujukan ke bawah. Ia melihat seorang penunggang kuda membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi, Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya kalau dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Ada bagian berbatu-batu kecil yang licin sekali pada jalan mendaki. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh kalau menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.
Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu kalau melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau ia dapat datang lebih dulu dan memperingatkan penunggang kuda itu. Maka, Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu. Akan tetapi, kuda itu berlari cepat dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas ketika kuda itu sudah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau ia bertriak memperingatkan juga, karena selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan dan isaratnya. Maka, iapun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Kalau hanya bahaya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi, di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan amat dalam. Kalau sampai penunggang kuda itu terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.
Penunggang kuda itu kini nampak jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan kuda, gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.
Kini kuda memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, ketika empat kaki kuda itu menginjak batu-batu kecil, kuda itu tergelincir! Agaknya kuda itu telah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan empat kakinya. Akan tetapi, setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kaki nya menginjak batu kerikil dan tergelincir pula sehingga akhirnya, kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan. Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, dan pada saat itu, iapun terbelalak kagum melihat penunggang kuda itu tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah Sekali.
Pemuda itu dengan sikap amat tenang menghampiri kudanya yang tidak mampu bangkit kembali. Kuda itu tadi terjatuh lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki, dan baru tubuhnya berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, kalau tidak tentu tubuhnya akah terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.
Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya mampu menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tidak mampu bangkit. Agaknya dua kaki depannya patah tulang, juga kepalanya terluka dan berdarah. Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu di punggungnya dan pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.
"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.
"Prakkk! Kuda itu terkulai, tidak lagi nampak kakinya bergerak-gerak. Kemudian, pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang!
Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan diapun melompat keluar dari tempat pengintaiannya. "Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.
Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di depannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!
" Apa..... ? Mengapa..... ? Aih, nona, kenapa nona marah dan memaki aku? Siapakah nona dan apa kesalahanku maka nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!
"Manusia busuk! Kaukira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kaukira aku tidak tahu apa yang kaulakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi, engkau bahkan membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Selain kejam, juga engkau telah merusak tempat ini dan aku tak dapat membiarkan saja!" "Ah, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi marah, nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga ketika tersenyum wajah itu memiliki daya tarik yang amat kuat. Akan tetapi, mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali. "Akan tetapi, nona. Aku tidak merugikan siapapun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah kudaku sendiri, dan kubuang bangkainya di dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, nona?"
"Masih bertanya kenapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu itu, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya kenapa aku marah?"
Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ah, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, nona? Kalau begitu, maafkanlah aku, nona. Karena aku tidak mengerti dan......"
"Sudahlah! Engkau seorang kejam dan melihat bahwa engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"
Ditantang begitu, pemuda itu kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walaupun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!
"Nona, aku tidak ingin berkelahi denganmu, bahkan kalau engkau suka, aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Tan Hok Seng dan aku….. "
"Aku tidak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.
Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu kini tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi denganmu. Akan tetapi, mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, nona, aku sama sekali tidak kejam terhadap kuda itu. Aku seorang penyayang kuda, dan kuda itu selama ini menjadi sahabat baikku. Akan tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, kedua kaki depan patah tulang, kepalanya juga retak. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlalu lama? Lebih baik dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya."
Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya, ia seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja berpikir panjang dan berpemandangan luas. Mendengar alasan yang dikemuka kan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, ia dapat menerimanya dan ia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang di sayangnya itu. Ia dapat menerima alasan itu dan ia tidak marah. Akan tetapi diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai dimana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.
"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang. Sekarang hanya ada dua pilihan. Engkau ambil bangkai kuda itu dan kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk atau engkau harus menghadapi seranganku!"
Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, lalu menarik napas panjang.
"Nona, bagaimana mungkin menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya. Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidakmungkinan ini, maka ia justeru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!
"Hemmm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, engkau harus menandingiku!" Lalu ia menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!" Biarpun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun ia menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan ia dapat bersikap keras mau menang sendiri!
Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya di dalam hati bahwa gadis yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa gadis itu sudah matang dan dewasa, kulitnya putih mulus dan kulit muka dan lehernya demikian halus, tangannya demikian kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang. Rambutnya panjang di kuncir dan melilit leher sampai pinggang. Sepasang mata yang demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan, ditambah manisnya dengan tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!
"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...... "
"Sudahlah, sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini. Hok Seng cepat mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang amat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, diapun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.
Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau ia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai, maka iapun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu. "Dukkk!" Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tak disangkanya bahwa lengan yang kecil gadis itu mengandung tenaga yang demikin kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.
"Huh, jangan pandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika kembali Bi Lian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, dan memang Bi Lian mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli gin-kang. Dan iapun mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sin-kang dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lengannya mulur hampir setengah lengan panjangnya!
Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Namun, sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuh mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Ternyata pemuda itu, biarpun cukup gesit dan bertenaga besar, namun dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh dibandingkan Bi Lian. Padahal, Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja ia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka iapun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau ia menghendaki, tentu pemuda itu tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus!
Tiba-tiba nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!"
Mendengar suara ayahnya, Bi Lian meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka. "Ayah dan ibu, orang ini telah membunuh kudanya yang jatuh terluka dan membuang bangkainya ke dalam jurang."
Bi Lian melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang dan baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"
"Aih, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya. Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Mohon maaf kepada paman dan bibi yang terhormat bahwa saya telah lancang melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sesungguhnya nona ini tidak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan, terpeleset dan jatuh di sini. Kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya, maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan maksud agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Akan tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa saya sadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini…….. "
Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.
"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Biarpun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami telah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."
"Dengan segala senang hati, paman. Pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadinyapun saya sudah segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya...."
"Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.
"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.
"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan untuk berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.
Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki Jimu silat yang amat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya! Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu saja amat sakti itu. Mendengar undangan itu, tentu saja Hok Seng menjadi girang bukan main, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.
"Ah, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada paman dan bibi yang terhormat....... "
"Ah, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami kalau engkau memang mau memaafkan anak kami." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia sudah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang dikenal oleh para penduduk sebagai sepasang pendekar yang sakti dan yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini, sepasang pendekar itu kedatangan seorang gadis cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi ketika ayah ibunya muncul. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Adapun isterinya juga merupakan tokoh yang tidak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung, juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja. Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan biarpun dia belum pernah melihat mereka menggunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu. Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, di bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil terpelihara rapi, dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna.
Biarpun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan ia sendiri. Maka, begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, ia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.
"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke lembah ini?" Siangkoan Ci Kang bertanya, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.
Pemuda itu nampak berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya amat buruk.
"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan yang tertimpa malapetaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena dia sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya. "Saya seorang yatim piatu dan dengan susah payah melalui kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi, sungguh malang nasib saya, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan, saya ditolong seorang pendekar yang tidak memperkenalkan dirinya sehingga saya dapat bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."
"Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang memandang tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercaya. Pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar. "Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama saya Tan Hok Seng, paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri paman dan bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apabila kiranya paman dan bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada paman dan bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh. Apa saja asal paman dan bibi sudi menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling pandang. Suami isteri yang sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing hanya dengan melalui pandang mata saja itu saling kedip dan dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk. Suami isteri ini sebetulnya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, apa lagi masih ada puteri mereka yang mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi, apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main. Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan mempunyai cucu. Maka, kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru. Biarpun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya amat sopan, baik dan nampaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlalu rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tidak terlalu lama dia tentu akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan setelah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka tentu kamipun tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.
"Orang muda, apakah selain yatim piatu, engkau tidak mempunyai seorangpun anggauta keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan." Pertanyaan ini sambil lalu dan tidak kentara, namun Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam diapun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi mantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya hidup sebatang kara, bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."
Mendengar ini, kembali suami isteri itu saling pandang dan mereka sungguh mengharapkan sekali ini puteri mereka akan menemukan jodohnya. Atas pertanyaan kedua orang itu, Tan Hok Seng lalu menceritakan pengalamannya, sampai dia difitnah dan selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, dia bahkan dihukum buang oleh pemerintah.
"Sejak kecil saya kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak memiliki kepandaian, saya sejak kecil bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari manapun. Setelah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan dan kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."
Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana!
Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng ini memang seorang pemuda yang penuh semangat. "Kemudian, bagaiaman tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik.
Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, suhu....." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)...."
Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak mengapa, boleh engkau menyebut guru kepadaku."
Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan main dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut "Suhu" dan "Subo". Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Memang mereka tidak ragu lagi, dan tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang ditolak oleh puteri mereka.
"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, dan lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kahg.
"Suhu, agaknya kemajuan dan keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena ada di antara mereka yang sudah bertahun-tahun menjadi perajurit pengawal tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari, istana ribut-ribut karena kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan dalam kamar teecu!"
"Hemm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" tanya Toan Hui Cu sambil memandang tajam.
"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Pula, bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri Itu jelas fitnah."
"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah yang mencelakakan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu dapat berada di dalam kamar teecu, tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak dapat banyak membela diri. Teecu dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar mengingat akan jasa-jasa teecu sehingga teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncul seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."
"Ah, kalau orang benar ada saja penolong datang." kata Toan Hui Cu dengan girang.
Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya dan bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"
"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena setelah teecu dihukum, dia mendapat kedudukan, menggantikan teecu."
"Dan engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.
Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia banyak membaca dan tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tidak mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu, dengan tegas dan mantap diapun menjawab, "Sama sekali tidak, suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."
"Hemm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kaulakukan?"
Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.
"Teecu akan melaporkan ke pengadilan agar ditangkap dan hal itu dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."
Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Kalau namamu sudah bersih, engkau menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"
"Tidak sama sekali, suhu. Teecu sudah bosan dengan kedudukan itu karena di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan pementingan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."
Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini, engkau menjadi murid kami dan kami mengharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kaupelajari." Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya.
Ketika ia bertanya, ia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya, "Bi Lian, Tan Hok Seng ini kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang, dia adalah sutemu, akan tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."
"Sumoi......!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tidak segan memberi hormat lebih dahulu walaupun dia mendapatkan kehormatan untuk menjadi saudara tua. Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimanapun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat, jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suhengnya? Akan tetapi tidak enak juga kalau disebut su-ci (kakak seperguruan) oleh seorang pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua dalam hatinya. Maka iapun tidak membantah dan ia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.
"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, suheng."
Demikianlah, sejak hari itu, Tan Hok Seng menerima gemblengan dari kedua orang gurunya setelah mendemonstrasikan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Ternyata menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dasar ilmu silat pemuda ini sudah lumayan. Dia mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sin-kangnya yang kurang. Maka, Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sin-kang, sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan kedua suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka Kim-ke Sin-kun.
Tentu saja suami isteri yang selamavbelasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tidak bermimpi bahwa mereka menerima murid seorang yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!
Mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran Tang Gun! Telah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang hendak mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar! Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan, dia diselamatkan dan dibebaskan seorang yang lihai sekali dan yang mengenakan kedok, bahkan bukan saja dia dibebaskan, juga dia diberi bekal sekantung uang emas. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskannya itu.
Tang Gun, atau sebaiknya kita kini menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani menggunakan nama lama karena betapapun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Juga, kalau dia memperkenalkan nama lama kepada suami isteri yang menjadi gurunya itu dan kemudian mereka itu mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu tidak akan sudi menerimanya sebagai murid. Dan dia mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walaupun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan "fitnah" adalah orang yang telah menangkapnya itu.
Tan Hok Seng, dengan pengalamannya yang banyak, karena sejak remaja dia sudah merantau dan mengalami banyak penderitaan, dapat membawa diri, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Bahkan setelah sebulan lewat dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu, Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada "suheng" itu. Siapapun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng. Dia amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik, Hok Seng bekerja tak mengenal lelah, dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biarpun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah dan terhormat, kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya. Dan ketekunannya mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main. Diapun cepat memperoleh kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu, akan dapat menjadi mantu mereka!
Setengah tahun kurang lebih lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya semakin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu sore, mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Keduanya berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah. Dan dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini, dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoinya! Juga dalam hal tenaga sin-kang, dia telah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walaupun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.
Setetah selesai latihan, mereka beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menghapus keringat dengan kain. Lalu keduanya duduk berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bahgku batu.
"Aih, sumoi. Sampai kapanpun aku tidak akan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoinya dengan sinar mata kagum. Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena ia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka iapun selalu bahkan merasa bangga dan gembira kalau suhengnya memandang seperti itu. Andaikata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandang matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh berahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya dan tentu ia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali. "Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sin-kang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."
Hok Seng menghela napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini, Bi Lian merasa heran. Belum pernah selama ini ia melihat suhengnya bermuram seperti itu.
"Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kaupikirkan?"
Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ah, sumoi, betapa inginku memiliki ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami." "Suheng, aku pernah mendengar ibuku berkata bahwa engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang dan kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu. Ceritakanlah kepadaku, suheng. Aku ingin mendengarnya."
"Memang benar demikian, sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha dengan tekun sehingga dari seorang perajurit pengawal aku berhasi1 menduduki jabatan perwira, dipercaya oleh istana. Akan tetapi, terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan dalam kamarku. Jelas aku difitnah. Karena itu, aku tekun berlatih silat agar memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."
"Engkau hendak membalas dendam?"
"Tidak, hanya aku akan membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang salah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."
"Kenapa kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, dahulu engkau tidak mengambil tindakan, suheng?"
Hok Seng menggeleng kepala dengan sedih dan terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya ketika dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.
"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sumoi. Ketika itupun aku sudah melawan, namun aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum aku tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup, aku akan membongkar rahasianya itu, sumoi. Sebelum kepandaianku cukup, tidak akan ada artinya, bahkan aku mungkin akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia amat lihai, sumoi."
Hati Bi Lian tertarik. Ada perasaan setiakawan terhadap suhengnya yang difitnah orang itu. Juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah itu jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.
"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"
"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."
Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat ia akan Hay Hay yang juga she Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Akan tetapi ia menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja. Ia tidak ingin suhengnya mendengar tentang Ang-hong-cu, tidak ingin orang lain mendengar bahwa adik kandung suhengnya yang juga pernah ditunangkan dengannya pernah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Juga seorang pendekar wanita lain, Cia ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, menjadi korban Ang-hong-cu itu, akan tetapi kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok. Kalau ia bercerita tentang Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita iu dan ia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa mereka itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah, Bi Lian tidak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng seorang she Tang yang mengingatkan ia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.
"Tang Bun An? Hemmm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".
"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dahulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."
"Apakah dia memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya. Ia teringat akan Ang-hong-cu yang pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi.
"Dia memang bermata tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis maupun berjenggot. Mengapa engkau bertanya demikian, sumoi?"
"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, kenapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja dan membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, lebih baik, bukan?"
"Mana mungkin, sumoi? Aku merasa belum manlpu menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum aku yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi." Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."
Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoinya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoinya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.
"Akan tetapi, aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, sumoi."
"Itu mudah saja, suheng. Engkau masuk dengan menyamar, menyelundup. Kemudian diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"
"Akan tetapi hati-hati, sumoi. Dia itu selain lihai juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"
"Jangan khawatir, suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."
Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dan menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah dan akan membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar,kedua orang suami isteri itu sebetulnya merasa tidak setuju. Akan tetapi, mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul dengan lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka merekapun membeeri persetujuan mereka. "Akan tetapi engkau tentu ingat akan pengakuanmu dahulu, Hok Seng, bahwa engkau tidak menaruh dendam kepada orang yang melempar fitnah kepadamu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Dan kalian jangan sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi menentang petugas pemerintah." pesan pula Toan Hui Cu.
"Harap suhu dan subo tenangkan hati," Jawab Hok Seng tenang. "Teecu bukan mendendam, melainkan karena dorongan sumoi, teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih menjadi seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."
Tentu saja di dalam hatinya, pemuda ini sama sekali bukan bermaksud "membersihkan nama" karena bagaimanapun juga, namanya yang aseli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi? Yang jelas, dia mendendam kepada Tang Bun An yang kini menurut penyelidikannya telah menjadi seorang perwira tinggi, kedudukannya yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya karena telah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menghadapkan dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dan dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak perduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian kalau memungkinkan keadaannya, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!
Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang demikian besar kekuasaannya seperti Menteri Cang Ku Ceng, untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thai-kam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang kabarnya menurut desas-desus menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka iapun hanya minta waktu seminggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu baginya untuk mengintai hanya malam hari. Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu sembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thai-kam itu ke dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan yang dipercaya penuh oleh perwira thai-kam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu dan melakukan perondaan secara rahasia.
Memang tidak mudah bagi perwira Thai-kam itu untuk mempercaya seorangpun di dalam istana kecuali tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya dari dusun itu. Hampir semua wanita di dalam istana itu, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya mempunyai hubungan dengan pria misterius yang tak pernah diJihat orang memasuki istana itu. Kalaupun ada yang melapor, mereka itu hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya. Agaknya, tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Anehnya, Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memsuki istana bagian puteri. Maka, terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau peJayan baru. Karena kalau diJakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi. Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini ia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng dan menteri yang bijaksana ini mempergunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong. Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira Thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam ia melakukan pengintaian dan perondaan, dan dari pagi sampai sore ia bersembunyi saja di dalam kamar. Namun, belum pernah ia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, orang-orang Thaikam yang melakukan perondaan Kui Hong memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira, dan lupalah Kui Hong bahwa ia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan dalam kamar hotel mewah bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali. Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit.
"Adik Mayang, sekarang bersiaplah. Kita mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat di sini." "Ehhh?" Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang cantik itu cerah dan mulutnya tersenyum. Mayang segera mengerti. "Maksudmu, kita berlatih silat, enci Hong?'
Kui Hong mengangguk. "Kita harus selalu siap, dan kita perlu berlatih, terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku. Seranglah aku dan keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai di mana tingkatmu."
"Baik, enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!"
"Aih, engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar subomu, maka aku tahu bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat yang hebat. Nah, mari kita main-main sebentar!"
"Baik, enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!" Setelah melihat bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang lalu mulai menyerang. Karena iapun dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu menyerang, ia mainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai Emas) yang ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw. Gerakannya amat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari tangannya mengeluarkan angin berdesir.
"Bagus!" Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang. Iapun tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah ia bahwa Mayang sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong telah mempelajari banyak macam ilmu silat, namun belum pernah ia melihat ilmu silat seperti yang dimainkan Mayang, maka iapun bersikap hati-hati sekali.
Serang menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu, dan terdengar angin berkesiur setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan kalau sesekali terjadi adu lengan, keduanya tergetar dan, mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum. Makin lama, serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main. Ilmu silat gadis Tibet itu memang tangguh sekali. Terpaksa ia harus mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini, tubuhnya bagaikan kapas saja dan Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh tangannya yang menyerang.
Kui Hong menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya. Harus diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tidak kalah dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Ia sendiri, kalau tidak mendapatkan gemblengan dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, tentu akan mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang!
Sampai lima puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biarpun tidak sangat mudah, ia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimanapun lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan lebih kuat tenaganya. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang, dan ia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai dan dapat diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu dan anak buahnya. "Cukup, Mayang!" katanya sambil melompat ke belakang. "Engkau lihai sekali!"
"Ihh, enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang membuat tubuhmu begitu ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!" "Itu adalah Bu-eng Hui-teng, yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa, kita berdua akan mampu menjaga diri kalau mereka muncul." Kata Kui Hong sambil mengusap keringat dari lehernya, seperti yang dilakukan pula oleh Mayang. "Sekarang, mari menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur pernapasan," kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan yang siap benar untuk memberontak sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka. Mayang mengangguk dan keduanya lalu duduk bersila di atas pembaringan, mengatur pernapasan.
Sebagai seorang pelarian, tentu saja Tang Gun tidak berani begitu saja memasuki kota raja. Kalau ada yang mengenalnya, tentu akan terjadi geger. Pasukan pemerintah tentu akan mengejar dan menangkapnya dan biarpun di sampingnya ada sumoinya. Siangkoan Bi Lian yang amat lihai sekali, kalau pasukan pemerintah mengepungnya, tentu mereka beruda tidak akan mampu melawan, bahkan sukar untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Oleh karena itu, ketika memasuki pintu gerbang kota raja, Tang Gun menyamar sebagai seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya sudah penuh uban, dengan kumis dan jenggot palsu. Siangkoan Bi Lian yang berjalam di sampingnya mengaku sebagai uterinya. Penyamaran itu cukup baik sehingga tak seorangpun mengenalnya.
Mereka masuk ke kota raja setelah hari menjelang senja. Cuaca sudah mulai redup dan remang-remang. Tang Gun mengajak sumoinya agar langsung saja mencari seorang bekas anak buahnya yang dipercaya benar, karena mereka harus lebih dahulu menyelidiki, di mana adanya Tang Bun An yang mereka cari-cari itu.
Bekas anak buahnya itu bernama Gu Kiat dan sebagai seorang perajurit pengawal istana tentu dia tahu akan segalanya tentang Tang Bun An yang kabarnya menjadi perwira itu. Dan Tang Gun pernah menyelamatkan Gu Kiat, maka dia merasa yakin bahwa Gu Kiat yang hidup sebatang kara tanpa keluarga itu pasti akan suka membantunya. Gu Kiat kebetulan duduk di ruangan depan rumahnya ketika Tang Gun atau yang kini dikenal sebagai Tan Hok Seng tiba. Dia cepat keluar dari pintu rumahnya dan memandang heran kepada pria dan wanita yang tidak dikenalnya itu. Apa lagi ketika melihat betapa wanita muda itu amat cantik, keheranannya bertambah.
"Paman hendak mencari siapakah?" tanya Gu Kiat sambil melirik ke arah wajah Bi Lian yang nampak cantik sekali tersinar lampu gantung di depan rumah itu.
Hok Seng membalas penghormatan tuan rumah dan berkata, "Saya mempunyai urusan penting sekali untuk disampaikan kepada saudara Gu Kiat."
"Saya sendiri yang bernama Gu Kiat."
Hok Seng berkata kepada Bi Lian, "Anakku, engkau tunggu sebentar di sini, aku mau bicara empat mata dengan saudara ini." Bi Lian mengangguk dan Hok Seng lalu berkata kepada Gu Kiat yang masih memandang keheranan itu. "Saudara Gu Kiat, dapatkah kita bicara empat mata di dalam? Apa yang saya bicarakan ini amat penting dan tidak boleh diketahui orang lain."
"Tapi .... tapi……, siapakah paman?" Gu Kiat bertanya ragu.
Hok Seng berbisik, "Aku Tan Hok Seng dan aku ingin bicara tentang guci emas istana. Mari kita bicara empat mata di dalam."
Gu Kiat nampak terkejut bukan main, matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat ketika dia memandang kepada Hok Seng. Bi Lian tidak mengerti, hanya mengira bahwa kini orang itu telah mengenal Hok Seng yang menyamar. Padahal Gu Kiat terkejut sekali karena mendengar bisikan tentang guci emas istana tadi. Dahulu, pernah sebagai perajurit pengawal dia mencuri guci emas istana dan perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lain. Kalau tidak ada Tang Gun yang menyelamatkannya, tentu dia sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tidak mengherankan kini dia terkejut setengah mati mendengar laki-laki setengah tua yang tak dikenalnya itu berbisik tentang guci emas istana! Maka, mendengar permintaan orang itu untuk bicara empat mata di dalam, dia lalu mengangguk dan memberi isyarat kepada orang itu untuk memasuki rumahnya. Bi Lian tidak ikut masuk, melainkan duduk menanti di atas bangku di ruangan depan itu. Biarlah suhengnya yang melakukan penyelidikan di mana adanya Tang Bun An yang telah melempar fitnah kepada suhengnya itu. Nanti kalau sudah berhadapan dengan musuh itu, baru ia yang akan menandinginya.
Setelah berada di dalam ruangan sebelah dalam, hanya berdua saja dengan Gu Kiat, Hok Seng lalu berkata lirih, "Gu Kiat, pandanglah baik-baik. Aku adalah Tang Gun yang menyamar!"
Gu Kiat memandang tajam dan dia segera mengenal bekas atasannya itu, mengenal suara dan pandang matanya. "Tang-ciangkun…….!" katanya terkejut dan heran. Disangkanya bahwa bekas komandannya ini telah tewas.
"Ahhh, jangan menyebut aku ciangkun lagi, aku sudah bukan seorang perwira."
"Tapi..... tapi…… apakah kehendak Tang-kongcu, (tuan muda Tang) mendatangi saya?" Jelas bahwa Gu Kiat ketakutan karena kalau sampai diketahui orang bahwa dia kedatangan tamu bekas perwira yang menjadi orang hukuman dan pelarian ini, dirinya tentu saja akan celaka.
"Dengar baik-baik, Gu Kiat. Aku pernah menolongmu, dan sekarang saatnya engkau membalas budi itu, dan menolongku kembali. Pertama, lupakan bahwa namaku Tang Gun. Sekarang namaku adalah Tan Hok Seng, dan engkau boleh menyebutku Tan-kongcu. Mengerti?"
Diingatkan akan "budi" itu, Gu Kiat mengangguk patuh. "Saya mengerti." katanya lirih.
"Dan ke dua, aku ingin mendengar tentang diri Tang Bun An. Nah, ceritakan tentang dia!"
Di dalam hatinya, Gu Kiat tersenyum. Akan tetapi, wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia menjawab. "Ah, dia? Setelah engkau pergi, dia diangkat menjadi seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana."
"Hemm, sudah kuduga. Di mana sekarang dia tinggal?"
Gu Kiat menggeleng kepalanya. "Bagaimana saya bisa tahu? Sekarang dia sudah berhenti menjadi perwira."
"Berhenti?"
"Dia mengundurkan diri dan sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana dia berada."
Tentu saja Hok Seng kecewa bukan main mendengar berita ini. Musuh besarnya itu telah lolos, dan tidak lagi berada di kota raja!
"Akan tetapi, saya dapat membantumu, kongcu. Di antara kawan-kawan yang pernah menjadi anak buahnya, tentu ada yang tahu di mana adanya bekas perwira itu."
Wajah yang tadinya dibayangi kekecewaan itu, menjadi cerah kembali. "Ah, baik sekali! Terima kasih dan ternyata engkau seorang yang mengenal budi, Gu Kiat. Kapan engkau akan melakukan penyelidikan itu? Lebih cepat lebih baik!"
"Memang sebaiknya begitu, kongcu. Malam ini juga saya akan pergi menyelidiki di antara kawan-kawan. Dan sebaiknya kalau kongcu dan eh, siapakah nona yang menunggu di depan itu?"
"Ia sumoiku."
"Sebaiknya kongcu dan nona bersembunyi saja di rumah saya ini. Kalau bermalam diluaran, amat berbahaya. Kong-cu berdua bermalam di sini, mengaso, dan saya akan pergi melakukan penyelidikan. Mudah-mudahahan saja malam ini juga saya sudah bisa mendapatkan keterangan." Hok Seng menjadi girang bukan main. Dia memesan kepada bekas anak buahnya itu agar tidakkeliru menyebut namanya karena dia sudah berganti nama sejak menjadi pelarian, dan sumoinya sendiripun rnengenalnya sebagai Tan Hok Seng. Setelah itu, mereka lalu keluar dan mempersilakan Siangkoan Bi Lian masuk ke dalam. Setelah mereka berada di ruangan, dalam Hok Seng memperkenalkan sumoinya kepada Gu Kiat.
"Gu Kiat, ini sumoiku Siangkoan Bi Lian. Sumoi, saudara Gu Kiat ini dahulu pernah menjadi anak buahku yang setia dan sekarang dia suka membantu kita dan malam ini juga dia akan melakukan penyelidikan tentang perwira itu. Malam ini kita tinggal di sini, lebih aman."
Bi Lian mengerutkan alisnya dan dia menatap tajam wajah tuan rumah.
"Kenapa harus menyelidiki lagi? Asal diberitahu di mana tinggalnya dan kita dapat menyelidiki sendiri."
"Aih, engkau belum tahu, sumoi. Orang yang kita cari itu ternyata sudah tidak menjadi perwira lagi, dan Gu Kiat ini tidak tahu ke mana dia pergi. Oleh karena itu, malam ini juga dia hendak mencari keterahgan dari kawan-kawannya yang dulu pernah menjadi anak buah perwira tua itu."
"Hemm, begitukah?" Bi Lian merasa kecewa mendengar berita itu.
"Harap Tan-kongcu dan Siangkoan-siocia (nona Siangkoan) tenangkan hati. Kalau ji-wi (kalian) tinggal di sini malam ini, kiranya lebih aman dari pada kalau tinggal di luar. Dan percayalah, malam ini tentu saya sudah mendapatkan berita tentang perwira itu. Pakailah dua kamar di depan kamar saya, itu memang kamar tamu, dan kalau ji-wi membutuhkan makan minum, kiranya di dapur masih ada persediaan lengkap untuk masak dan membuat air teh. Juga masih ada arak di dalam almari. Silakan, harap ji-wi tidak sungkan."
Hok Seng merasa girang sekali. "Saudara Gu Kiat, terima kasih. Ternyata engkau seorang sahabat yang baik sekali."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar