17 Petualang Asmara

Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa.

"Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..."

"Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu."

"Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi..."

"Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu."

"Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain."

"Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali..."

"Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau..."

"Hemmm, ceritakan tentang dia." Li Hwa memotong dan mukan terasa panas.

"Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado..."

"Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?"

Yuan menarik napas panjang. "Demi-kianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang peran-tau yang sudah menjelajah banyak nega-ra dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pembe-rontak di negeri yang indah dengan rak-yatnya ramah. Akan tetapi aku pun me-rasa bahagia karena hal ini memungkin-kan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa."

"Hemm..." Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas. Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya.

"Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku..."

Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.

"Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang..." Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih

sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, "Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu..."

"Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali."

"Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh."

"Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenub jiwa ragaku?"

"Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!"

"Li Hwa...!" Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa. "Mungkinkah ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara begini saja? Hanya karena kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!"

"Yuan...!" Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat.

"Li Hwa sayang...!" Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu. Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas.

"Yuan, jangan!"

Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata, "Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik..."

"Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula." Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya.

Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, "... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya..."

Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng--kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw--lim-pai juga masih belum berhasil. Bah-kan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan ber-tanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang te-lah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bunda-nya.

Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba--tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.

Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan me-mandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang--orang yang mengurungnya.

"Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?"

"Tosu hidung kerbau! Serahkan buntal-an di punggungmu!"

"Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!"

"Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!"

Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali.

"Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!" Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.

"Desss...! Auuduhhh... tanganku..." Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.

"Dia melawan! Bunuh saja!"

Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah menca-but senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.

"Heiii...! Kalian jahat...!" Kun Liong keluar dari tempat sembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.

"Siluman... dia siluman...!"

"Wah, golokku malah rompal..."

"Toyaku bengkok!"

"Celaka...! Dia setan..."

Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat, "Kalian ini manusia-manusia kejam!"

Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.

"Wah ini tentu temannya!"

"Setan gundul...!"

"Lari kawan-kawan...!"

Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul.

Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya, "Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan."

Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main.

"Totiang, pakaianmu robek-robek..."

Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab, "Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak..."

"Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak."

Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. "Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan."

Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.

"Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?"

"Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bu-kanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan."

"Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?"

"Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih."

"Mengapa palsu, Totiang?"

"Kalau kita melakukan suatu per-buatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keingin-an untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah muna-fik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita ter-tipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan."

Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu. "Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?"

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!"

"Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?"

Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya. "Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!"

Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya, "Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?"

"Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih."

"Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?"

"Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu."

Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus pench keagungan.

"Totlang siapakah?"

"Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini."

Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe."

Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. "Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini? Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda."

"Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga."

Kakek itu tersenyum lebar. "Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat."

Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon! Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras!

"Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!" Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.

Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.

"Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap..."

"Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San."

"Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?"

Kun Liong menghela napas. "Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Ibu." Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang penting-penting saja.

Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata, "Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib."

"Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?"

Kakek itu tertawa. "Kalau kaumaksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara."

"Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat berbahagia?"

"Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?"

Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat!

Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning, pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius.

Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya, "Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya."

Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. "Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?"

Kiang Tojin tersenyum. "Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja."

Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata, "Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe."

Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu, "Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku." Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera.

Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata, "Maafkan saya..." Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, mengge-leng kepala dan berkata, "Sungguh me-nyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbaha-ya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?"

"Benar demikian...!" Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.

"Ahhhh, seperti telah kuduga," kata Kiang Tojin. "Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo--tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat..."

Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu, "Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?"

Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. "Perkataan yang hebat...!"

"Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!" terdengar lagi ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi.

"Tahan dulu...!" Kun Liong meloncat ke depan. "Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!"

Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka?

Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya, "Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot..."

"Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat."

Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna."

Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian."

Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu!

"Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit," kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.

"Ohhh, jangan buka...!" Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, "Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki."

Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel, "Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya."

"Aihhhh... tak mungkin...!" Terde-ngar jerit tertahan dari dalam tandu.

Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. "Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit" katanya dengan alis berkerut. "Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?"

Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. "Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini..." Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.

Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, "Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah."

Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. "Sumoi, mari kita pergi..."

Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.

"Tahan dulu...!" kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, "Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?"

Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah "percakapan" bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan "jalan keluar" yang baik.

Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata, "Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya."

Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki, "Hwesio genit!"

KETIKA Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan ke-pada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu- memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali. Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggu-nung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu mem-bengkak dan sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya! Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru! Melihat bentuk pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!

"Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun," kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab.

Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.

Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

"Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa ber-bahaya."

Kerudung bagian kepala itu mengang-guk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepa-sang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!

Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus me-lenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang, mempergunakan Thi-khi-i-beng! Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan cam-puran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya

mempergunakan Thi-khi-i-beng.

"Ihhhh...!" Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika me-rasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan yang seolah-olah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang memiliki kepan-daian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan... tenaga sin-kangnya segera membanjir keluar terse-dot oleh telapak tangan Kun Liong.

"Ahhh, bodoh...!" Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot oleh-nya!

Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam!

"Kenapa mengerahkan sin-kang?" Kun Liong mengomel.

"Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa..." Nikouw berkerudung itu berkata.

"Sudahlah, jangan terlupa lagi!" Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-beng.

Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya.

Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.

"Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong..." Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu.

"Siauw-suhu mengenalnya?" Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi.

"Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang Bouw."

"Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw." Nikouw itu berkata.

"Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum." Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.

Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, "Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-suhu."

Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!

"Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benar-kah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, betapa mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya, betapa menye-satkan! Saya bukan seorang hwesio biar-pun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat tinggal terten-tu." Dia menjura ke arah nikouw di da-lam tandu.

Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang sudah bersih hatinya!

"Sumoi sekalian, mari kita pergi!"

Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, "Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya."

Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang?

"Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah, mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng kepadamu!"

Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. "Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?"

Kiang Tojin tersenyum lebar. "Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengun-tungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apa-kah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?"

Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tidak perlu berbohong. "Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah mu-rid dari Bun Hoat Tosu selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula."

Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas pan-jang. "Aaihhh... kiranya Sicu adalah mu-rid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu hendak pergi ke mana-kah?"

"Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama tee-cu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi--eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan me-negur puteranya atas kekejamannya me-lukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun."

Kiang Tojin makin terkejut dan heran. "Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk--datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan be-rat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu te-was di tangan Sicu."

"Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh siapa-pun juga."

"Ehhh? Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?"

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli- (aturan yang beralasan) menegur kepada-nya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam."

Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu."

Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu."

"Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetul-an kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai"

"Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah." Kun Liong memberi hormat lalu pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.

"Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!"

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawa-nya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu ber-usaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.

Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebas-kan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat ke-pandaian Siang-tok Mo-li, maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera mengepungnya.

"Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!" Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan.

Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah me-nerkamnya.

"Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!" Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tem-pat itu. Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan me-ngandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah me-ngejar lagi sambil berteriak-teriak.

"Wah, curang! Kalian berdua berse-kongkol!" Ban-tok Coa-ong berteriak.

"Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!" Toat--beng Hoat-su mengomel sambil memper-cepat larinya mengejar.

Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lain-nya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang me-ngejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pe-ngejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampak-lah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.

"Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedang-kan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya me-lihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu. Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung ga-ruda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

"Ehh, ke mana kau membuang pusa-ka itu?" Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebut-kan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li meno-leh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat meng-hadapi tiga orang kakek itu sambil ber-kata mengejek, "Kalian ini tua-tua bang-ka mau apa lagi? Kalian takkan dapat merampas bokor itu!"

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam me-reka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan meng-ambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!

"Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!"

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kaupakai menakuti kanak-kanak itu?"

Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kaukira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"

"Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu. Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-satunya bagi para datuk ini. Mereka me-rasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau--kalau kita gagal! Dan kalau sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bah-wa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!

Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk membunuh, kalau perlu anta-ra kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menying-kirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentang-an, permusuhan, dan kebencian, dan se-mua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya ada-lah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan "tujuan menghalalkan segala cara"!

Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Mungkin-kah menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan de-ngan cara yang baik!

Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi--eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melan-jutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat--beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha--guba inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dija-dikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat banyak itu. Kedua orang da-tuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-guha dan memasuki guha yang gelap.

"Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah--tengah kumpulan guha itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat per-bedaan keadaan guha yang satu ini de-ngan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha--guha yang lain dengan cepat tanpa ragu--ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan itu, tidak langsung terbang masuk me-lainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha, seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka takuti.

"Memang, di sanalah dia bersembu-nyi!"

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncat-an saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi. Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari luar.

"Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam guha ini! Apa kauminta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!" Hek--bin Thian-sin berteriak.

"Plok! Plok!" Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tu-buh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

"Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

"Ang-cici, aku sudah menantimu sam-pai lama sekali di sini! Aku tetap men-jadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk mem-bunuhmu dan merampas bokor!"

"Serrr... serrr...!"

Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

"Hek-bin Thian-sin!" terdengar teriak-an Bu Leng Ci dari dalam guha, "Mari kaubantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?"

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian--sin meraba-raba dagunya dan mengerut-kan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel, "Hemm... hemm, usulmu itu sebetuinya baik juga... tapi..."

"Thian-sin, jangan gila kau!" Kwi--eng Niocu berseru. "Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!"

Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Ten-tu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat me-loncat ke belakang menghindar, lalu me-nerjang maju lagi menggunakan senjata-nya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku--kuku tangannya yang panjang dan bera-cun!

"Hek-bin Thian-sin, kaupilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil mengge-rakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.

Di dalam pikirannya terjadi perang sen-diri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjata-nya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang pan-jang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan. Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu gin-kangnya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun dia tidak memegang sen-jata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha! Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Kepu-tusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, namun dia mengambil keputusan un-tuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia ter-ingat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang--tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi--eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan murid-nya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menye-rangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah mera-sa girang sekali. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menye-rangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samu-rainya menangkis.

"Cringgg...!" Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukan-nya tidak baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

"Siluman betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

"Trakkk...!" Dia berhasil menyela-matkan diri, akan tetapi dia harus me-ngorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memu-tar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat--muncrat keluar dari luka di pahanya.

"Bi Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar memban-tu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama seka-li. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia me-ngamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur guru-nya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas,

Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha dan terus melarikan diri.

"Haii, hendak ke mana engkau?" Hek-bin Thian-sin yang memang sudah memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat dan daripada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

"Singgg...!" Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang mengha-dang di depannya.

"Trangggg...!" Golok besar itu me-nangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri. Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila. Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja. Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

"Krekkk...! Auuugghhh...!" Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang namanya amat terkenal ditakuti soperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

"Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas pusaka itu."

"Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh kaucoba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekali-pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak takut, dia agaknya harus me-ngeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak leluasa. Dalam ke-adaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha me-rampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain. Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesak-tian dari Panglima Besar The Hoo! Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Le-gaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang berjanji untuk membantunya.

Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar