Betapapun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan tangan kirinya yang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai! Keng Thian Siansu tadinya telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu kehilangan tongkat terampas lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa. Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauwkang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu jari-jarinya telah saling cengkeram! Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lwee-kang.
Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarikmenarik dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kukukukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
Tenaga lwee-kang dari hwesio itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih, maka setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang biarpun dilakukan tanpa mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya melebihi silat.
Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang, orang bertanding mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang
"tidak kelihatan" namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.
Bu Pun Su maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kunlun- pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun tongkatnya lenyap, berarti ia akan selamat nyawanya. Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar daripada nyawanya! Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya.
Batuknya makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu. Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!
"Ayaaaa..." Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dah melompat ke belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tosu tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.
Kini Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.
"Bu Pun Su, kau memang pengecut dan tak tahu malu!" Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata! Bu Pun Su tersenyum mengejek,
"Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!"
"Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku dan sekarang kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan laki-laki?" Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini.
"Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus diadakan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhah nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula."
"Jahanam, kau memaki aku anjing?"
"Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kaubilang aku membunuh dua orang cucu muridmu?"
"Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng." Bu Pun Su tertawa geli. "Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya mana ada setan yang suka?" Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. "Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!" Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. "Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang hendak kaubunuh tidak tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?"
"Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam." Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan lapat-lapat suara ini yang mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, dijawab oleh auman binatang-binatang buas!
"Kong Mo Taisu, kaukira aku tidak dapat menduga? Kiranya siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauwlim- si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tidak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ah, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati melaksanakan permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?" Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, lalu langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar ia hanya diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di mana wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-tho. Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidakpercayaannya.
"Apapun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-limsi!" kata Hek Bin Taisu.
Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke guanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si. Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Kong Mo Taisu biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa bertahun-tahun akan tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apalagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggungnyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu! Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang menimbulkan marahnya.
"Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauwlim- si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!" Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.
Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lwee-kang dan ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu amat berbahaya. Akan tetapi di samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudiah berkatalah Bu Pun Su,
"Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan sehingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat sehingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!" Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja kakek ini menggeser kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat kosong, dan hanya sejari terpisah dari anggauta tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.
"Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?" Bu Pun Su bicara terus dan cepat menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
"Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu berahi didahului dengan penggundulan rambut kepala." Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
"Akan tetapi kau biarpun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!" Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus lebih serangan-serangannya tak pernah berhasil? Apalagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu! Pukulan rantai ke arah kepala kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasai sambaran angin pukulan yang benarbenar dahsyat.
"Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat..." kata kakek sakti ini dan cepat ia mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat saia, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata! Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca Pendekar Sakti).
Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya gerakannya biasa saja, namun lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai itu biarpun terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkokbengkok.
Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lwee-kang tinggi yang membuat rantai itu menegang.
Jangankan rantai, biarpun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.
Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh tangan kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya! Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
"Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak takkan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan melupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!" Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya! Semua tosu Kunlun- pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
"Curang...!" Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya. Diam-diam ia telah menyediakan tenaganya di pundak. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan, menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.
Terdengar suara "krek… krek... krek....!" dan satu demi satu mata rantai itu hancur! Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.
"Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri." kata Bu Pun Su menarik napas panjang, Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu amat jahat dan tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok.
Sebaliknya Bu Pun Su menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai tentang kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su untuk menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.
Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran. Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Siankoan, selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.
Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di Sian-koan ia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang.
Kemudian ia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
"Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah..." Ia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia menjumpai Im Giok, lebih dulu kakek ini telah mencari keterangan tentang terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.
"Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu tidak kuat menanggung dosa..." gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
"Kiang Im Giok, omongan apakah yang kaukeluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkat muka dan dada, arahkan pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?" Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuatnya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awutawutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya dengan mata penuh harap dan tanya. Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
"Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain." Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,
"Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah.
Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu..." Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
"Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok.
Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Kau semenjak kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah.
Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?" Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,
"Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk."
"Banyak sekali yang dapat kaulakukan, Im Giok.
Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini."
"Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw." Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan orang akan kedukaannya, mendatangkan, perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.
"Baiklah, Im Giok. Aku pun sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki tentang pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai." Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
"Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw," katanya, kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya.
"Di mana adanya sucimu?" tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai bersembahyang.
"Kalau tidak pergi, tentu ada di rumah," jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan sucinya itu.
"Hemm, aku ingin bertemu dengan dia." Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberitahu kepada siapapun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa sucinya itu telah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa sucinya itu pergi jauh dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
"Im Giok, disamping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati sucimu itu.
Jangan sampai dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan menyemarkan nama baik kita. Betapapun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itupun anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas sepak-terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat." Setelah banyak-banyak memberi nasi hat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Setelah kakek ini pergi, Ang I Niocu lalu menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san. Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, disamping memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.
Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam perjalanannya, ia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Pulih kembali kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus.
Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang itu masih ada sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasanhiasan rambut yang indah, yang dahulu selalu dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu. Sepasang telinganya yang sebagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Antinganting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh kemanisan dan keindahan yang tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu. Mata ini sekarang agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dahulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti sinar mata kanakkanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masak-masak dulu sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.
Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat sesuatu yang merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi, kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya, yang nampak hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru. Kemudian bajunya terbuat dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan membayangkan bentuk tubuhnya yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang ini yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapapun menariknya gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan berlaku kurang ajar karena Ang I Niocu selain bersikap agung, juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih kesayangannya. Dalam perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.
Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali.
Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.
Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu makin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari ketika ia tiba di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pekhong- ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedusedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
"Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tidak tahu malu!" laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling. Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata,
"Suamiku, mengapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminangku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?"
"Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!" Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, "Suamiku, mengapa kau begitu keji...?"
"Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!" Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling dan mengaduh-aduh.
Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
"Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!"
"Jangan banyak cerewet...." Kata-kata si suami ini terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahu-tahu telah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan! Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
"Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?" Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
"Ampunkan hamba... dia itu, adalah suami hamba.
Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu dicerai.
Suami hamba menggunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai turunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba..." Sejak tadipun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama.
Akan tetapi bagaimana jalannya?
"Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?"
"Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?" perempuan itu bertanya heran.
"Biarpun andaikata ia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekalipun?"
"Apapun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya..." jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
"Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau harus diberi hajaran. Rasakan ini!" Tiba-tiba lakilaki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
"Lihat baik-baik daun telingamu!" kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali pedangnya. "Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!" Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis itu sambil berkata, "Aku sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali." Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat! Sambil duduk di atas kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan semua peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
"Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku. Perempuan tadipun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji." Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diamdiam ia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik kalau ia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju ke Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini adalah daerah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya.
Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan perampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing. Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san dan menyerbu Minsan Sam-kui ini, akan tetapi para pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita lukaluka.
Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.
Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu mereka oleh karena memang tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal) yang gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan lioklim dan kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang amat hebat.
Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah.
Sifatnya yang lemah lembut berubah beringas dan ia kejam sekali. Berbeda dengan suhengnya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lwee-kang dan pedangnya amat tangguh dan lihai. Memang dahulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwa-kang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lwee-kang kepada pemuda tampan ini.
Adapun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, kalau Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak dan telengas.
Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Biarpun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi kalau Kwan Liong mainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa mainkan sepasang pedang dan karenanya ia diberi julukan Siangkiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang! Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang! Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahanlahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini tertarik sekali akan keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Ia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah-putih kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.
"Indah nian tempat ini..." pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu. Keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya menggugah jiwa seninya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Serangkaian sajak tidak terasa telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona oleh keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.
"Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan Hanya mengandalkan kaki dan hati!" Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali maka dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata itu.
Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ. Makin lama orang-orang yang mengintainya ini makin mendekat, menyelinap diantara pohon-pohon. Setelah mereka datang dekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpemandangan tajam itu dapat melihat mereka.
Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu berkata, suaranya merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,
"Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!" Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab.
Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang lakilaki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.
"Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?" Seorang diantara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, tertawa bergelak, cengar-cengir, seperti monyet memandang kepada kawankawannya.
"Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah kalau kau yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?" Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah. Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi, maka kini ditanya nama dan asal usulnya, ia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.
"Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan Hanya mengandalkan kaki dan hati Kau masih bertanya maksud.keperluan? Tanyalah kepada burung di puncak pohon Terbang ke sini berkehendak apakah ? Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tidak peduli tentang sajak, akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu tentang keanehan orang-orang kang-ouw, maka biarpun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang parau,
"Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sukar dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukannya orang-orang yang tidak menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis." Biarpun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,
"Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!" Setelah berkata demikian Ang I Niocu lalu berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar dan menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata,
"Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!" Ang I Niocu mengerti bahwa ia berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apabila lewat di daerah mereka harus "membayar pajak jalan" atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!
"Berapa aku harus membayar pajaknya?" tanya Ang I Niocu. Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan di dunia kang-ouw agar jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi, orang-orang itu saling pandang dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.
"Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!"
"Setuju...! Biar hilang sombongnya!"
"Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!" Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawatawa dan berkata,
"Kau dengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kautanggalkan dan kau berikan kepada kami." Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu.
Ang I Niocu tetap tersenyum akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan cahaya berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang ia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya? Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu makin tergiur hatinya.
"Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!" Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih. Si Hidung Hitam tahu-tahu kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah, ada pula yang daun telinganya pecah dan ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut! Ang I Niocu melempar rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis dan langkah tenang ia turun dari tempat itu menghampiri kudanya.
Dengan perlahan ia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Ia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.
Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.
"Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!" katanya sambil menepuk punggung kuda itu. Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar