Salak dan gonggong anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, melainkan srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas! Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah lapar betul dan ingin menikmati daging manusia muda itu!
"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit dan dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!" Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.
Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran di hati Sin Liong, terganti oleh keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Dia tersenyum. "Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar kautambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"
"Bocah setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa, dan dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.
Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan diapun lalu menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan mundur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat.
Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya dan mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi-i-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah di tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak. Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek-sin-kun dan dengan tenaga sin-kang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek-sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.
Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut namun mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnya pun mulai lancar kembali. Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apalagi hanya seorang anak-anak!
Akan tetapi, pada saat itu, empat ekor anjing srigala tadi sudah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah. Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan siap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi, anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Sebaliknya malah, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong. Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar lengking yang menyeramkan dan pada saat itu, putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sin-kang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga sedikit gerakan saja tali-tali itupun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!
Srigala yang masih menggigit kakinya itu terlempar ke atas ketika Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya.
"Prakk!" Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya. Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, diangkatnya dan sekali dia membantingkan tubuh srigala itu, terdengar suara "krakk!" dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu! Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong menggunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat. Pukulannya itupun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.
"Nguikk!" Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.
Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, seperti melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh dan memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh. Melihat ini, kakek cebol itu cepat melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar biasa...!" Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.
"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa tubuh itu hanya luka-luka sedikit, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sin-kang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia lalu mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tidak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya ketika menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang telah mati dan melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri. Kemudian, diapun tidak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia lalu menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya. Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lalu membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.
Sebelum dia mengambil keputusan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai hampir tiga tahun. Karena ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang. Akan tetapi, kakek ini memang seorang yang amat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan.
Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang-kadang mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau memperdulikan segala petaturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw. Ketika itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin, dari apa yang dinamakan golongan hitam di selatan. Dan yang mempunyai harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan). Mereka bertiga ini selain terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal memiliki kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang amat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan adalah anak buah mereka atau setidaknya mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.
Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur oleh munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu dengan pembongkaran rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga itu adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul! Seluruh hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu. Betapapun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain.
Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh di dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek. Bagi dunia kang-ouw di selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat.
Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa bahwa dia pernah menghalangi mereka menjadi bengcu. Akan tetapi, mengapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Kalau dia tidak merasa bermusuh dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri?
Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian! Dari sebuah kuil tua sekali di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang terisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai barang keramat dan tidak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat.
Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw sungguhpun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Dan di luar tahunya siapapun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.
Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya, di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.
Ketika Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa heran sekali. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.
"Eh, eh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong. Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.
"Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biarpun sudah tidak berbahaya lagi."
Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringatlah dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan. Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?"
Kakek itu terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kaukira masih hidup saat ini?"
Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu makin kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?"
Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi diapun berwatak aneh dan biasanya diapun tidak mau tunduk kepada siapapun juga.
"Aku memang mau begitu."
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."
"Akupun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."
"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."
"Huh, apa kaukira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya berbakti kepada kong-kongmu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."
"Buktinya?"
"Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."
Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya sakit juga. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tidak berusaha menolongnya, padahal dia telah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas. "Betul juga, mereka tidak suka kepadaku," katanya.
Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?"
Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah ibu, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"
"Eh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"
Sin Liong menggeleng kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kong-kong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."
"Dan beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!"
"Apa kebetulan?"
"Kau sebatangkara, aku sebatangkara, aku suka kepadamu dan..."
"Dan aku tidak suka padamu!"
"Kenapa?"
"Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kong-kong."
"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia sudah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya?"
"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."
"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku penasaran."
"Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.
"Mau apa? Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal di sana bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!"
"Tidak, aku mau pergi saja!"
"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"
"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"
"Kalau tidak karuan yang kautuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."
Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek, "Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"
"Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu demi satu, apa kaukira aku kalah?"
"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kong-kong merupakan seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kong-kong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana aku belum tahu."
Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu. Sin Liong hanya mendengar suara "plak-plak!" akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang!
Sin Liong hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya. "Uh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalatpun tidak akan mati kautampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?"
"Eh, apa engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu. Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian dalamnya, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah. Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kong-kongnya, namun yang dipelajarinya baru teorinya saja, karena kong-kongnya agaknya sudah dapat menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.
"Bagaimana? Kau masih memandang rendah kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.
"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?"
Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan diapun berkata, "Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."
Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kong-kongnya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, setelah melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.
"Baik, saya mau ikut locianpwe," katanya.
Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya lari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya
kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.
Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, setiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sin-kangnya mengobati luka di dalam dada Sin Liong. Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sin-kang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sin-kang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.
Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir.
Mulailah Sin Liong dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kong-kongnya.
Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.
Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang amat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan itu semua, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersamadhi atau merenung. Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.
"Ha-ha-ha, kiranya Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang datang berkunjung. Ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!" Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.
Sin Liong memperhatikan tiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya nampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan. Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu (baca cerita Pedang Kayu Harum). Karena dia tidak pandai bicara, maka dalam segala macam pertemuan, dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan).
Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tidak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang pria yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanyapun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali. Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan daripada manusia karena selain bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itupun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal. Akan tetapi, biarpun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesunggubnya dia lihai bukan main, tidak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal memiliki kepandaian tentang racun-racun jahat.
Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga kalau dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau mengobrol denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.
"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak memiliki arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."
"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami datang untuk membuat perhitungan denganmu. Marilah kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian," kata pula Phang Sun.
"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kukira kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi lautan. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian mengotori pemandangan yang begini indah. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tidak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau telah menjatuhkan fitnah atas diri kami ketika diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah sedangkan Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.
Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. "Aih-aihh, jadi kiranya hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"
Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar.
"Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.
"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kaulemparkan ke atas kepala kami. Hayo kaulawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barangkali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.
"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"
Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biarpun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, namun dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono mempergunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh. Maka sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah untuk landasan menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.
"Wuuuttt... bresss...!" Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Demikian cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki gin-kang istimewa, maka melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat betapa kakek cebol itu menggunakan gin-kangnya yang hebat, diapun lalu berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!
"Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji karena memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main dan dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.
"Dukk! Dukkk!"
Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sin-kang tadi.
"Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini, Ouwyang Bu Sek terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya dan terdengar suara mencicit nyaring.
"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat diapun mendorongkan tangannya menyambut.
"Plakk!" Dua telapak tangan kanan bertemu dan melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sin-kang yang amat kuat dan kini mereka saling mendorong. Biarpun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, namun dia dapat mempertahankan dan Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sin-kang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.
"Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sin-kangnya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.
Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai.
Namun, biarpun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan orang sembarangan melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sin-kang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang. Andaikata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek, akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya, membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali dan kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang mengandalkan sin-kangnya untuk menangkis. Namun dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang.
Betapapun juga, setelah mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.
"Desss...!" Biarpun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.
Pada saat itu terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampak berkelebat sesosok tubuh yang dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong. Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya tiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia cepat meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sin-kang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.
Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia sudah meloncat bangun lagi, kini kakek ini mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak terluka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil aneh itu.
Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biarpun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka ketika dia melihat Sin Liong mendesak, dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.
"Plakk...! Aahhhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia berusaha untuk menarik kembali tangannya sambil mengerahkan sin-kang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!
Melihat wajah temannya yang terbelalak matanya dan pucat mukanya itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka diapun menerjang dan menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong. Pada waktu itu, Sin Liong telah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.
"Plakkk!" Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itupun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"
Akan tetapi celaka, makin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak, "Lepaskan!"
Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itupun sudah disimpannya kembali dan dua orang yang tadi melekat kepadanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.
Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat dua orang temannya sudah terluka dan dirobohkan, dia lalu menjura. "Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia lalu menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.
Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri, lalu dia merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak dan sesenggukan sehingga Sin Liong menjadi bingung sekali.
"Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali dan dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.
Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ah, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek diselamatkan oleh seorang anak-anak..."
Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.
"Dan mengingat betapa aku menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak memperdulikannya dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa takkan terharu?"
Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."
Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"
"Nama saya Sin Liong..."
"Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"
Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"
"Habis she apa?"
"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."
"Justeru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kong-kongmu..."
"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kong-kong..."
"Kalau bukan kong-kongmu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi-i-beng? Yang kaupergunakan tadi adalah Thi-khi-i-beng, bukan? Hayo kaucoba terima ini!" Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong.
Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia "minum" tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.
"Plakk!" Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika tenaga sin-kangnya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat melepaskan sin-kangnya dan ternyata daya lekat itupun lenyap. Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi-i-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi-i-beng itu tidak menggunakan tenaga sin-kang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sin-kang tersedot, sukarlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang maupun berusaha menarik tangan tentu dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja. Ouwyang Bu Sek yang bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi-i-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi-i-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sin-kangnya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggauta tubuhnya yang melekat.
"Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.
"Apa yang memalukan, locianpwe?"
"Kau!"
"Saya...?"
"Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kaubuang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"
"Eh? Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya harus menyebut apa?"
"Aku adalah suhengmu, mau sebut apa lagi?"
"Suheng?" Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suhengnya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suhengnya?
"Ya, sute, aku adalah suhengmu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"
"Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"
"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau telah menjadi pencuri yang menemukan kalau menggunakan Thi-khi-i-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sin-kang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."
"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sukar sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya kalau dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tidak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang demikianlah sifat Thi-khi-i-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."
"Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sin-kang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sin-kang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenega orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"
Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.
"Aku adalah suhengmu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau ikut bersamaku melakukan upacara pengangkatan guru kepada guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"
Sin Liong tidak membantah pula dan dia lalu mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa terheran-heran. Benarkah kakek ini mempunyai seorang guru yang tinggal di tempat terpisah? Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!
Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah guha kecil yang lebarnya hanya satu meter, guha kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.
Kakek itu merangkak masuk dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat diletakkannya peti hitam itu di atas batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.
"Sute, cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.
Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat diapun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, lalu terdengar dia berkata, "Suhu, teecu membawa sute datang menghadap suhu dan perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."
Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. "Cepat kautiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."
Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiripun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa. Kakek itu sekali lagi memeriksa dan setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.
"Kriyeeettt...!" Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya mengembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!
"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."
Aneh sekali ular yang "berdiri" dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.
"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Ben Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."
Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas lalu membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang amat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Akan tetapi kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat. "Aku telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."
Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam guha, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi guha rahasia itu.
"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.
"Ha-ha, itu akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan biarpun orang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."
"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"
"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar guha di depan batu dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi membimbing agar sute dapat mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."
Sin Liong hanya meniru saja ketika suhengnya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.
"Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."
Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhunya merasa senang dan lain-lain?
"Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."
"Heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."
"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku tentang suhu itu." Sin Liong merasa tertarik sekali.
Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di depannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.
"Guru kita, yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang sudah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," kakek itu mulai bercerita dengan suara sungguh-sungguh. "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya..."
"Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"
Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."
Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"
Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Tapi dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah memiliki tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Kalau sudah ada kontak, biar di sinipun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke manapun dalam sekejap mata."
"Bagaimana caranya?"
"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."
Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu. Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita sudah buta akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.
Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri. Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain. Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini adalah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat "bertemu" dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat "bercakap-cakap" dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula "bercakap-cakap" di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?
Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek. Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.
***
Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan para partai yang banyak terdapat di selatan. Para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat pada waktu itu adalah golongan hina atau rendah. Sebaliknya malah, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri! Betapapun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri dapat berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.
Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai maupun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi dan tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya. Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendeknya orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan sekali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya oleh karena perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa terancam kedudukan mereka oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat kepada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.
Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat. Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka perkumpulan itupun tidak menyediakan meja kursi dan para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu. Ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang daripada bersamadhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon. Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Lucunya, seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin "lain daripada yang lain" sehingga muncullah sikap bermacam-macam. Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang di "pasang" agar menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"
Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian amat besar, tidak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.
Semenjak pagi para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil partai persilatan, wakil-wakil perkumpulan dan golongan, juga perorangan, memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat kegembiraan besar karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa.
Di antara para wakil-wakil partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, sikapnya gagah sekali akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jagoan muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai daripada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang kepadanya dengan agak segan karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!
"Ahhh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan duduk di tempat kehormatan...!" Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan "sicu" berubah menjadi "taihiap". Demikian angkuhya pemuda itu lalu duduk di "tempat kehormatan" yang sebenarnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya diletakkan di belakang panggung dan di tempat yong agak tinggi.
Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang amat banyak dan tidak seorangpun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san. Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suhengnya untuk mewakili suhengnya yang sudah tua dan malas pergi di tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan diapun menyusup di antara banyak tamu. Dia tentu hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang.
Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang sudah memiliki tingkat lumayan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya lalu mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong sehingga mereka berdua lalu menikah di Cin-ling-san (baca cerita Dewi Maut).
Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu, adalah anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukanlah seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu. Seperti kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya tinggal bekas-bekas anggautanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san atau bahkan banyak yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.
Ketika itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya telah boleh diandalkan untuk mewakili perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia ingin mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi!
Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itupun sudah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, "Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini telah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya kita kini mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!"
Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka. Sin Liong memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu tentu ampuh sekali.
"Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, seorang kakek berusia empat puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan.
Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu, segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti "tahu diri" dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biarpun tidak secara resmi menjadi "raja pengemis" namun telah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.
Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.
Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka? Daripada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar