"Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang..." Ciok Lee Kim berbisik dan saputangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng. Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang sudah kewalahan. Kwi Beng kini juga kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua saputangan Ciok Lee Kim, apalagi sekarang dia memecah perhatiannya.
"Cus-cus... plakk!" Dua kali ujung saputangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini lalu memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu. Andaikata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapapun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh. Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa biarpun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun merekapun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.
Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, kini mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal kalau mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini. Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu ingat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dehulu terlalu banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tuapun dia masih dimusuhi orang!
"Tahan...!" bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berobah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. "Sam-wi tiga orang tua mengapa bersikeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukan takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena baru sekarang selama hidupnya, dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya. "Orang muda, kalau tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya."
Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.
"Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoat-su yang biarpun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Siankouw ini merupakan tangan kananku, sehidup semati denganku."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?"
"Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!" Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biarpun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya.
"Wiir... siuuuuttt...!" Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!
"Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!" Bun Houw membentak, tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri!
"Aihhh...!" Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.
"Singgg... tranggg... aihhhh!" Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw, pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang di tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!
"Plakkk...! Hemm, kau hebat, orang muda!" Bouw Thaisu sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu terobek!
Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yaitu ilmu sin-kang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang amat mujijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri. tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan! Maka tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biarpun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, amatlah berbahaya bagi mereka!
Bun Houw menjadi makin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, dan Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini. Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa, akan tetapi kalau sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!
"Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!" Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk makin hebat, pedangnya merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung sekaligus sehingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.
"Adikku, jangan putus asa. Encimu datang membantumu!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!
"Keng-cici (kakak Keng)...!" Bun Houw berteriak, girang bukan main karena biarpun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu.
Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itupun tak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak dan membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Biarpun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, namun sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.
Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat dan tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.
"Mampuslah...!" Cia Giok Keng melihat tosu itu terhuyung sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya.
"Hayaaaaa...!" Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
"Plakk!" Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh.
"Sratttt...!" Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.
"Enci, aku tidak perlu dibantu. Kaubantulah Tio-twako... dia terdesak!" Bun Houw berkata.
Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja. Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali sedangkan Liok-te Sin-mo yang sudah hampir depat mengalahkan Tio Sun menjadi marah sekali, cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu.
Bun Houw masih gelisah memikirkan kedua orang saudara Souw. Tio Sun sudah mending keadaannya, karena dia tahu bahwa encinya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan encinya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.
"Bun Houw, kau terlalu sembrono!" sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. "Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!"
Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, eh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.
"Cici, maaf!" Teriaknya kembali. "Tapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!"
Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam dan kepalanya memakai topi, ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api. "Kiranya Si Iblis Kuburan!" bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya makin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo. Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Keparat, siapa engkau?" bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.
"Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!" bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.
Kini terkejutlah semua tokoh itu. Kiranya wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!
"Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?"
Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.
"Enci, awass...!" Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.
"Plak-plak, cringgg... bresss...!"
Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Biarpun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini seperti hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu sudah mengancam ubun-ubun kepala Giok Keng dengan pukulan maut.
Tiba-tiba saja ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandangnya dengan sikap tenang.
"Kau...? Huh...!" Demikian kata Giok Keng, dan wanita ini tidak memperdulikan lagi laki-laki yang sebenarnya telah menyelamatkan nyawanya itu, dan dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya seperti digerayangi tenaga mujijat yang membuat napasnya sesak. Maka ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang.
"Yap-suheng...!" Bun Houw berteriak girang. Biarpun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.
"Sute, engkau sekarang hebat sekali!" Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan kedua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terbuyung ke belakang!
Melihat datangnya wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sutenya yang tidak nampak batang hidungnya lagi.
"Maju semua...! Kepung dan keroyok...!" teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apalagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas mainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!
Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu merekapun meloncat ke belakang dan melarikan diri.
"Hemm, aku ingin bertemu dan bertanding sendiri kelak berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai!" Bouw Thaisu berkata dan diapun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.
"Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!" Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu. Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu benar-benar amat lihai sekarang. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, dan Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah. Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa biarpun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apalagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya. Akan tetapi sekarang, biarpun masih ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena biarpun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.
Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, namun sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggauta keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik, "Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!" Sengaja menempelkan pedangnya di leher wanita yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.
"Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana..."
Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya pucat, kemudiah perlahan-lahan menjadi merah sekali. Dia melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu tertumpuk di sebelah dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali!
Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan, menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.
"Hyaaaaaatttt...!" Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw sudah meloncat dan seperti seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.
"Heiittt...!" Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang melayang datang, akan tetapi Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja! Bu Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal perbuatan ini lebih berbahaya daripada menangkap pedang telanjang. Dia mengerahkan tenaga, mendengarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Namun sia-sia belaka dan tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!
"Augghhkkkk...!" Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di depannya, maka dia lalu menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun Houw.
"Bukkk! Dessss...!" Sedikitpun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!
"Auukhhh... auukhhhhh...!" Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar. Mengingat akan penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya, masih belum begitu memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah sekali. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasihat orang tuanya, maka dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang dirampasnya dari tangan Bu Sit.
Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi leher dengan kedua tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!
"Ampun... ampunkan aku..."
Bun Houw meludah penuh kejijikan. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandang matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa memandangnya lalu melemparkan pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan totokan tubuh Kwi Eng.
Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu dan Kwi Eng mengenakan pakaiannya cepat-cepat, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang menghampiri Bu Sit.
Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih berlutut setengah menangis minta-minta ampun, seolah-olah tidak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan! Akan tetapi, begitu Kwi Eng telah tiba dekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan ketika pedang menyambar, dia meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu.
"Ha-ha-ha, majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!" Bu Sit mengancam Bun Houw.
Bun Houw memandang pucat, tak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu akan melakukan hal securang itu.
"Serang dia, Houw-ko! Jangan perdulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanam ini keparat!" Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.
"Cobalah, majulah dan jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan bereeceran keluar!" Bu Sit menghardik.
Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.
"Jangan maju, selangkah saja aku akan bunuh dia!" Bu Sit berkata lagi dan kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak.
Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. "Houw-koko, kauserang dia, kaubunuh dia! Aku lebih suka mati daripada diculik dan dibawanya!"
Akan tetapi Bun Houw tetap tidak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap untuk menyerang apabila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani bergerak? Betapapun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.
"Ha-ha-ha, sampai bagaimanapun engkau tidak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa, ha-ha-ha..." Pada saat itu, tampak sinar hijau menyambar seperti sinar halilintar dari belakang, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.
"... ha-ha-ha... augghhhh...!" Suara ketawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng!
Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, dia tidak berani bergerak. Sekarang, setelah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul kepala Kwi Eng, cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw. Bagaikan terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dengan telapak tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.
Pada saat itu, Bu Sit berdiri limbung, dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apalagi dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya.
"Dessss...!" Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi.
Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu. Dengan lengan kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna kehijauan. Dia tahu bahwa Bu Sit terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok-hong-pang!
Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk pinggangnya. Dia tetkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka dilepaskannyalah rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir jatuh, maka cepat Bun Houw memegang lengannya, menahannya.
"Ah, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?" Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran.
Kwi Eng menggigit bibirnya. "Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi..." Dia lalu duduk di atas tanah.
Bun Houw cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki kiri dara itu patah! "Ah, benar saja kakimu yang kiri ini... tulangnya patah. Harus cepat diobati, Eng-moi. Kautahankan rasa nyeri sedikit..." Dara itu mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar juga hatinya ketika jari-jari tangan meraba kulit kaki yang halus sekali, halus lunak dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya sehingga seolah-olah dia melihat urat-urat darah di bawahnya. Namun dia mengusir semua ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan darah di dekat lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya patah, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik dan membenarkan letak tulang yang patah itu, kemudian mengambil bungkusan obat penyambung tulang, setelah mencampur obat dengan air, lalu menaruh obat di sekeliling pergelangan kaki itu, dibalutnya pergelangan kaki itu dengan kain yang dia ambil dari robekan bajunya dan sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan kanan kiri kaki diganjal dengan kayu sehingga kedudukan tulang yong patah itu tidak akan berobah lagi. Semua ini dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum karena sedikitpun tidak terdengar keluhan dari dara itu dan setelah selesai membalut, dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatapnya dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata!
"Sakit...?" Kini Bun Houw bertanya.
Kwi Eng menggeleng kepala. "Sedikit..." bisiknya, akan tetapi dia lalu menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia menangis sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Butiran-butiran air mata mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
Bun Houw menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur. "Bahaya telah lewat, musuh telah tewas. Mengapa kau berduka, Eng-moi? Kau kan tidak... belum... tertimpa bahaya..."
Tangis itu makin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, mengguncangnya halus dan berkata, "Eng-moi, kenapakah? Katakan kepadaku, mengapa kau begini berduka?"
Perlahan-lahan Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari tirai air mata dia memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut ketat dan dua pasang sinar saling melekat, saling menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara menggetar, "Houw-koko, kau... kau telah... menyelamatkan aku... dari malapetaka yang lebih hebat daripada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas budimu...?"
"Hushhhh... perlukah hal itu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang datang membantu kita? Enciku Cia Giok Keng dan suhengku Yap Kun Liong!"
Kwi Eng mengangguk dan berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. "Ah, jangan pergunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong." Bun Houw lalu menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan mukanya.
"Houw-koko...!"
Bun Houw melangkah perlahan dan menjawab, "Hemmm...?" Jantungnya berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
"Di dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihatku... yang seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah, tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku..."
Bun Houw terkejut, juga bingung. "Apa... apa yang kaumaksudkan, moi-moi?"
Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
"Koko... engkaulah satu-satunya pria yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku."
"Hemmm... maksudmu?"
"Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya..."
Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Kiranya demikian "mendalam" perasaan hati dara ini. Kiranya Kwi Eng hendak menyatakan bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
"Maksudmu... kau... kau cinta padaku?" Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga mengangkat muka memandang. Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba kedua lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bur Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka. Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam mabok sehingga seolah-olah ciuman itu takkan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir dengan napas terengah-engah, sejenak mereka saling pandang, pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan malu, Kwi Eng menunduk dan Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka berdekapan.
"Eng-moi..."
"Koko..."
"Jangan... tak benar ini..."
"Mengapa tak benar...? Aku rela..."
"Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan..."
"Bagiku engkau sudah selamanya kukenal..."
"Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa tugasku masih jauh daripada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kau berjanji?"
Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum. Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang demikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan yang diciptakan untuk dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya! Dan Kwi Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri kewanitaannya, yang tahu benar saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat! Rangkulannya makin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air mata itupun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih pujaan hatinya!
Pada saat itu, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
"Hong-moi...!" Tak terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu berkelebat, dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu.
"Eh, kau memanggil siapa, Houw-koko?" Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan kiri.
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi. Seperti kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga aku salah lihat..." Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya itulah yang dilihatnya tadi. Dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan kebencian ditujukan kepada Kwi Eng. Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Andaikata benar demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu! Gadis yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap orang wanita yang berdekatan dengan dia! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan kalau tadinya dia merasa amat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa jijik dan tidak suka. Dicinta oleh seorang wanita yang demikian besar cemburunya, yang demikian kejamnya, sungguh mengerikan. Biarpun cantik seperti dewi, akan tetapi selalu melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut! Biarpun gadis itu amat cantik, amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya maut, akan tetapi kalau sekejam itu perangainya, dia kelak akan menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si Dewi Maut itu. Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang melepas pasir beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si Dewi Maut itu pula?
Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pohon-pohon dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang pertempuran oleb Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itupun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee Kim menyandarkan pemuda itu dan dia merayu Kwi Beng. Makin dipandang, makin tergila-gila Si Kelabang Terbang itu kepada pemuda ini.
Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan memaki, "Perempuan iblis, setelah aku kalah, kaubunuhlah aku!" bentaknya dan berusaha menggerakkan kaki dan tangannya, akan tetapi anggauta badannya itu seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim membelai pipi dan leher pemuda itu. "Aihh, sayang kalau orang seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kaulayanilah aku dan bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku."
"Cih, perempuan tak tahu malu!" Kwi Beng memaki. "Kau sudah gila!"
"Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia dalam usia begini muda? Biarpun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup dan apapun permintaanmu akan kupenuhi, sayang." Ciok Lee Kim berlutut, merangkul dan menciumi. Dia benar-benar sudah tergila-gila melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jari tangannya yang sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
"Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!" Kwi Beng merasa jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencegah jari-jari tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa ngeri dan jijik sekali.
Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya. In Hong yang melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya dia tercengang, dan setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, kemudian melihat Bun Houw yang lebih baik mati daripada tunduk kepada rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang itu. Memang sadah lama dia merasa benci kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak rayuannya itu, dan betapa jari-jari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
"Iblis betina cabul tak tahu malu!" bentaknya sambil meloncat dekat.
Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera diapun meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum pernah melihatnya, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu pemuda itu ketahuan orang lain. Dengan gerakan galak dan angkuh dia mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu sepasang saputangan sutera merah dan begitu kedua tangannya bergerak, terdengar suara bersiutan dan saputangan itu diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar merah. Dengan demonstrasi tenaga sin-kang ini agaknya Ciok Lee Kini hendak menakut-nakuti gadis muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu siapa adanya wanita muda ini, dan tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal ketua Giok-hong-pang yang telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka Panglima The Hoo, permainan nenek itu seperti permainan kanak-kanak saja.
"Bocah yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan mencampuri urusanku?" bentak Ciok Lee Kim, karena biarpun dia marah sekali, timbul pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw sudah menggigil baru mendengar namanya saja.
"Hui-giakang Ciok Lee Kim, setelah engkau lari terbirit-birit dari Lembah Bunga Merah, kiranya engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa, hanya yang jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke neraka."
Tentu saja Ciok Lee Kim menjadi marah bukan main mendengar ucapan yang memandang rendah dan menghina ini. Sepasang matanya melotot, mulutnya mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan bayangan tubuhnya yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan kiri, yaitu gerakan saputangannya yang di dalam tangannya dapat berobah lemas atau kaku menurut penyaluran tenaganya. Kini ujung saputangan merah yang kiri menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong sedangkan yang kanan menotok ke arah buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya dan Kwi Beng yang menyaksikan ini, menjadi terkejut bukan main dan mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya hendak menolongnya itu.
Gerakan Ciok Lee Kim memang hebat. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang Terbang, mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi kelabang yang beracun, dan gerakannya memang amat cepat, gin-kangnya amat tinggi seolah-olah dia pandai terbang. Maka serangannya yang ditujukan kepada In Hong dalam keadaan merah itupun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar.
Akan tetapi, In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi daripada Ciok Lee Kim, hanya berdiri dengan tenang dan menanti datangnya serangan lawan itu seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak saja layaknya. Begitu serangan dengan dua helai saputangan itu tiba, In Hong menggerakkan kedua tangannya, yang satu menyampok saputangan yang menotok ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kedua menangkis saputangan yang menotok dada terus dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tenaga sakti.
"Desss... brukkkk!" Tubuh Ciok Lee Kim terbanting ke atas tanah dan wajah nenek itu menjadi luar biasa sekali, kaget, heran, tak percaya, dan juga kesakitan karena pantatnya yang tepos (tipis) itu terbanting keras ke atas tanah sehingga seperti remuk rasa ujung bawah tulang pinggulnya! Akan tetapi semua perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang meluap-luap. Dia melupakan rasa nyeri di pantatnya dan sudah meloncat lagi dengan amat cepat, terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh. Amat indah nampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan dan saputangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat mengelilingi tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja kedua tangannya bergerak menangkis. Kwi Beng menonton dengan melongo. Dia melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi yang sedang menari-nari. Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya!
Padahal nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-matian, akan tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya bahkan jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran.
"Nenek menjemukan, mampuslah!" Tiba-tiba gadis itu berseru nyaring dan tiba-tiba nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana datangnya tahu-tahu berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu berkelebat, nampak darah memancar dan tubuh nenek itu roboh, lehernya hampir putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali telah lenyap menjadi sabuk dara itu!
Dengan langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya dan seketika Kwi Beng terbebas dari totokan. Dia bangkit dan memandang mayat Ciok Lee Kim dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata kagum. Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum pernah dia melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura dengan hormat kepada In Hong.
"Saya Souw Kwi Beng menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lihiap yang gagah perkasa. Kalau tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya telah menjadi mayat."
In Hong balas memandang dan tersenyum. "Belum tentu iblis ini akan membunuhmu. Betapapun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapapun tentu akan menentang iblis tak tahu malu ini!" Dengan gemas In Hong menggunakan kakinya menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi Beng bergidik, merasa betapa dara cantik jelita yang seperti dewa ini amat ganas terhadap musuh! Namun, rasa kagumnya mengusir kengerian ini dan dia memandang dengan rasa kagum yang tidak disembunyikannya sehingga In Hong yang menangkap pandang mata itu menjadi agak merah kedua pipinya yang tentu saja menambah kejelitaannya.
"Lihiap sungguh memiliki kepandaian seperti Dewi Kwan Im! Dia ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya amat dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat, bahkan kalau saya tidak salah lihat, lihiap hanya satu kali saja mempergunakan pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi..."
"Sudah, saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap kaulupakan saja semua ini." Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Nanti dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini, melupakan lihiap yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya? Harap lihiap sudi memperkenalkan diri."
In Hong mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi mengapa begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang begitu berlebihan? Dia teringat kepada Bun Houw dan dia lalu menjawab singkat, "Namaku Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah."
"Hong-lihiap... harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh... saya ingin berkenalan lebih erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin memperkenalkan Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap, percayalah, saya tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan terdorong oleh kekaguman hati dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas budi kebaikan lihiap..."
"Cukup!" Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin. "Saudara Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku mau pergi!"
"Nona Hong...!" Kwi Beng memanggil.
Pada saat itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat Kwi Beng. Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak saja dia sudah lenyap dari depan Kwi Beng yang menjadi bingung, mencari-cari dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga dan berulang-ulang dia menarik napas panjang.
"Aihhh, kau berhasil membunuhnya? Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!" Tio Sun berteriak girang ketika melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di situ dengan leher hampir putus.
Kembali Kwi Beng menarik napas panjang dan dia kini malah duduk di atas rumput, termenung seperti orang kehilangan semangat.
"Eh, apa yang terjadi, adik Beng? Kau kenapakah?"
Kwi Beng mengangkat muka memandang sahabatnya itu. "Hampir saja aku mati di sini, Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh iblis betina itu." Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim.
"Hehh? Jadi bukan kau yang membunuhnya? Dewi? Dewi siapa?"
"Dewi Maut agaknya..." Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan kehebatan nona cantik tadi.
"Harap jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?"
"Aku sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Ketika aku terancam maut dan sudah tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang amat lihai. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak kecil, kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya bergerak dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi..." Kembali pemuda ini termangu-mangu.
"Siapa dia? Siapa gadis yang amat lihai itu?"
Kwi Beng menggeleng kepala. "Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh iblis itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Hong begitu saja?"
Kwi Beng mengangguk dan termenung lagi.
"Kita harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini tewas, adik Kwi Beng. Akan tetapi di mana adik Eng? Aku sedang mencarinya, dan tadipun terpisah ketika melawan Bu Sit."
Mendengar ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya, dan mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri, lupa akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia meloncat berdiri dan berseru, "Celaka! Kita harus mencarinya, twako!"
Akan tetapi Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung, mukanya agak pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan wajahnya berseri gembira melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng!
Tio Sun merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng di dalam pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang tampak dan teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan hatinya terasa panas!
Akan tetapi Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak, "Eng-moi, kau terluka...?"
Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri dan bibirnya tersenyum. "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."
"Tulang kakimu patah?" Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah mengapa masih bisa tersenyum-senyum dan berseri-seri wajahnya?
Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan bercerita kepadanya. "Hampir aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya..."
"Ah, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang..." Tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.
"Sayang?" Tio Sun bertanya heran. "Mengapa sayang?"
"Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya lebih dulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka tentang Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"
"Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?" tanya Kwi Eng yang kini dipondong okh kakaknya sendiri.
"Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."
"Eh? Dewi? Dewi siapakah?"
"Seorang gadis yang amat lihai, dan kalau tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat."
"Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."
Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, "Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?" Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.
"Dia seorang yang aneh sekali, setelah membunuh iblis itu lalu pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Aih, dia... ya, tentu saja, siapa lagi..." Bun Houw menggumam.
Kwi Eng mengerutkan alisnya. "Houw-koko, apakah yang kaupanggil nona Hong tadi?"
Bun Houw mengangguk. "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang." Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Benar-benar seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu?
Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri.
"Enci Keng...!" Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.
"Bun Houw...!" Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.
Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.
"Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?" Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat.
Kun Liong menggerakkan tangannya. "Harap kalian jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?"
Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya! "Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap."
"Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?" Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan?peranakan barat. "Dan siapakah kalian berdua?"
"Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!" Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. "Ayah dan adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."
Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. "Siapa? Siapakah ayah bundamu?"
Kini Kwi Beng yang menjawab, "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."
"Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kusangka mereka sudah tidak ada lagi..." Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk-bujuk kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.
"Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng."
Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia mengangguk-angguk. "Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu... aih, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup..." Suara Kun Liong tergetar karena terharu.
Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng. "Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai..." kata Tio Sun, akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua pipinya basah.
"Yap-suheng...!" begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.
"Sudahlah, adikku, sudahlah...!" Giok Keng memegang tangan adiknya dan berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus "dosa" encinya yang sebetulnya tidak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu.
"Sute, engkau hendak bicara apakah?" Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang.
"Yap-suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?"
"Houw-te, jangan... jangan bicara demikian..." Giok Keng merangkul adiknya dan menangis. "Kau... kau tidak tahu..."
"Biarlah, enci!" Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya. "Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap-suheng sudah berobah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!"
"Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?" Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.
"Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!" Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya.
"Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?" tanya Kun Liong dengan suara tenang dan sikap sabar.
"Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"
Kun Liong menarik napas panjang. "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani tantanganmu yang mentah itu..."
Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Yap Kun Liong! Berhenti kau...!"
Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.
"Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah..."
"Tapi, enci..." Bun Houw bersikeras.
"Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?" Melihat encinya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya.
"Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."
"Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam." Wanita itu menghapus air matanya, "Dan kau telah berani menghinanya!"
Bun Houw menunduk. "Maafkan, enci... maafkan..."
"Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku akan kembali ke Cin-ling-pai melaporkan hal ini kepada ayah."
"Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka."
"Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat."
Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. Penuturan encinya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?
"Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."
"Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw-koko!" Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan.
Bun Houw tersenyum memandang dara itu. "Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."
"Aku akan menyertaimu, Houw-te."
Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik. "Terima kasih, twako. Nah, kaubawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali."
Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.
"Houw-koko...!" Kwi Eng berseru memanggil.
Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!
"Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali," kata Bun Houw.
Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, "Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu..."
Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu.
***
Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan gagah nampah keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seolah-olah semangatnya melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam hidupnya. Semenjak kecil, hidupnya yang merupakan sebuah perahu kecil itu selalu dihantam dan dilanda ombak penghidupan yang membadai, yang mengombang-ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih dapat mengatasi itu semua, biarpun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, namun masih belum tenggelam.
Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga kehilangan suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya berobah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tidak ada seorangpun manusia lain mengganggu lamunannya.
Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dewi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari?cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya. Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang mempunyai dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Sudah menjadi kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah kesemuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa.
Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, untuk mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah yang seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan untuk masa depan belaka! Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sesungguhnya bukan cinta kasih melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya. Celakalah kita kalau mengikatkan diri terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!
Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadep diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian setiap saat, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandang mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita akan bebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi. Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta terhadap seseorang, terhadap semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya.
Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup biarpun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini, oleh karena itu, betapapun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan terjebak di dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam diri!
Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun Houw. Dua orang sumoi dan sutenya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena encinya didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya. Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biarpun keras hati, namun gagah perkasa dan tidak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apalagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng! Akan tetapi ayah mertuanya tak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng dan menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus "dosa" isterinya!
Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi terguncang batinnya dan berobah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ah, semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu mendatangkan malapetaka bagi orang lain, sejak dahulu! Mula-mula, di waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan malapetaka bagi ayah bundanya sendiri (baca cerita Petualang Asmara), kemudian hubungannya dengan banyak orang, terutama dengan dara-dara cantik, diapun hanya mendatangkan malapetaka bagi mereka. Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali. Dia telah kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh orang, sekaligus kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian kehilangan mertuanya yang menjadi gila, kini kehilangan hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga.
Ketika dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan hidup orang-orang lain. Kalau demikian, apa pula artinya hidup baginya? Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup?
"Perlu mencari pembunuh isteriku!" demikian dia membentak, seperti menjawab pertanyan hatinya sendiri, "Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!" Dengan tekad yang tiba-tiba muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan lari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring otaknya!
Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu. Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat, dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat, sungguhpun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar