"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.
"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.
Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.
Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi begitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.
Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil menghitung dari pintu guha. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.
"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.
"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.
"Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.
"Trakkk!" Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!
Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa sebagai bekal tadi. Di bawah penerangan sinar lilin-lilin yang lumayan terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar hitam.
"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.
"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."
Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.
"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.
"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.
Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.
"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.
"Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.
"Tidak, tidak!" Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"
"Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia? Mari kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.
Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!
Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.
"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.
"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"
"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.
"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."
Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."
"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan di sini, dan orang ini tewas sedangkan dia hanya dapat merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi memang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"
Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.
"Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"
Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"
Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.
Akan tetapi, ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan menentang mereka."
Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hendak membela negara! "Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.
"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta karun ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."
"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"
Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.
"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."
Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya, "Eh, jalan ke mana, nona?"
"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kaulihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan melihat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"
Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang memasuki guha dari pintu atau mulut guha itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.
"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.
Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sambil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.
"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"
"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.
"Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."
Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.
"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"
"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen mereka.
"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tonn Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."
Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama kedua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk. "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"
"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!
Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dun ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini daripada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya. "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap sekarang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"
"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang). Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.
Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan. Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun bergerak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.
Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada saat itug kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut sedungkan si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu!
Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantuman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.
"Brettt...!" Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.
"Iblis-iblis busuk yang curang!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut guha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.
"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.
Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"
Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.
Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka diapun menerjang daun pintu itu.
"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.
"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."
Hui Song memandang dan menggeleng kepala. "Terlalu berbahaya..." Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.
Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"
Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!" Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan o-leh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, terutama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!
"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"
"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."
"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."
"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."
"Baik, Cin-moi."
"Berhati-hatilah."
Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya , menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seckor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru, "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!" Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan gin-kang gadis itu.
"Baik, Song-ko, aku meloncat!"
Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.
"Cin-moi, awas...!" Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.
"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.
"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.
"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.
Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.
Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sinkangnya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun tertidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.
Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.
"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membeayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja akan dibunuh.
Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin. "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"
Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu parah.
Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.
"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.
Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya mencelat ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.
"Bukk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.
"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.
"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"
"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.
"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.
Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.
"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.
Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu-yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang membuat gadis itu agak kewalahan.
Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya dan mengeluh. "Aihh... kepalaku... pening...!"
"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.
"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.
"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?" Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.
Akan tetapi dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka. Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ.
Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.
Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.
"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.
"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"
Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar setan..."
Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.
"Mana setannya? Di mana?" tanyanya.
Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.
"Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."
Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!
Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.
Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.
Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.
Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini.
Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-ca-kap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bukan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka kami setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepada Ong-ya?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Kita harus mencoba lagi besok pagi-pagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu merupakan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke penginapan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesukaran sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi guha di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan. Ketika mereka pergi, Sui Cin tinggal di situ dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mampu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu. Ia mulai curiga mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai bebe-rapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking girang dan kagetnya. Tentu saja ia mengenal Hui Song! Akan tetapi karena ia masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song depot bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap dan gerak-geriknya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin. Ia membayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyeberangi. Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang? Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.
Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Guha Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya!
Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenal kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Sehari lamanya ia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di dekat Guha Iblis Neraka.
Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar. Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar!
Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung.
Karena ia tidak sadar betul ke mana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi di mana dan untuk apa ia tidak tahu! Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.
Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, ia melihat serombongan orang Mongol lagi dan sekali ini di antara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana. Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kulau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri. Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.
"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya, nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kauberitahu siapa diriku ini, nek?"
Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.
"Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yang ternyata sudah mengenal akupun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.
"Heh-heh-heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."
Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang. "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang." Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tar-tarr...!"
Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya. Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap! Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini memiliki gin-kang yang menakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"Heh-heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!" Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin. Gadis ini secara otomatis menggerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang yang cepat sekali menyambar-nyambar di antara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas kerena ia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya. Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.
"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."
Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."
Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat nenek itu mengeluarkan seguci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh ia mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.
"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk, tertidur dan setelah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.
"Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-nimangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kaukira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang meninabobokkan cucunya!
Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.
Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika it sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!
"Nenek iblis jahanam!" Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Kini nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.
"Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang di antara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.
"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak. "Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh--heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li. Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengerlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar