15 Petualang Asmara

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Biarpun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi kalau hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

"Duduk!" Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata, "Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."

Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?"

"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"

"Kau juga manusia!"

"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?"

"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"

Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!"

Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su? Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!"

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"

"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka? Tentu takkan dapat mencegah kematian karena usia tua!"

"Cerewet, hayo jalan lagi!"

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan. Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian? Jelas sekarang tampak olehnya bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata, "Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."

Kun Liong mendengarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada secrang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?"

"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci setiap manusia, membenci kebabagiaan meraka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"

"Kau juga manusia!"

"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kaubelenggu?"

"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"

Kun Liong bangkit berdiri den memandang kakek itu dengen mata terbelalak penuh kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli kau saja membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus mem-bunuhmu!"

Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huh, kaukira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su? Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!"

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"

"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dika-sihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin mempere-butkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusa-ka? Tentu takkan dapat mencegah kematian karena usia tua!"

"Cerewet, hayo jalan lagi!"

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan. Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian? Jelas sekarang tampak olehnya bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

BU LENG CI sudah menyerangnya lagi dengan hebat, memaksa Toat-beng Hoat-su melayaninya sedangkan Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka berdua lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka lari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah guha di antara batu-batu karang.

"Kita menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah. Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoat-su, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.

Kun Liong memandang kepadanya dan tersenyum. "Bi Kiok yang manis, entah sudah berapa kali kau menolong nyawa-ku. Pertama, ketika kau menolongku di kuil dahulu itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, ketika aku ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku..."

"Hemm, bagaimana kau tahu?"

"Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan seka-rang, kau lagi-lagi menolongku. Eh, anak baik, mengapa kau begini baik kepada-ku?"

Gadis itu mengerutkan alisnya, me-nunduk dan tiba-tiba dia meloncat bang-kit dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu telah terbebas dari belenggu. "Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!"

Kun Liong mengangkat kedua tangan-nya ke atas dan tersenyum. "Wah, aku lupa ketika menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu."

"Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takkan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoat-su!"

Kun Liong memandang dan tersenyum. Hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian membuatnya tergila-gila karena keindahan mulutnya, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini... hemmm, sepasang matanya itulah yang membuat dia tak mampu mengalihkan pandangannya. Mata itu... demikian indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah? Entahlah, akan tetapi dia benar-benar senang sekali memandangi mata itu!

"Begitukah...?" komentarnya atas du-gaan Bi Kiok.

"Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Kenapa kau mandah saja dibawa pergi?"

"Karena, Nona yang baik, karena aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau kau dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!"

"Eh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, mengapa sampai sekarang gundul terus?"

"Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!"

"Ceriwis!" Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.

Kun Liong terus menatap mata yang indah itu, membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan jengah, juga marah. Dia sen-diri merasa heran mengapa dia selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apa-kah karena pengalaman mereka bersama ketika kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tak pernah dapat dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kun-ci rahasia bokor emas yang diperebutkan?

"Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?" Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.

Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling itu berkesan di hati Kun Liong! "Kalau benar mengapa?"

Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya memandang tak senang, telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, "Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Le Hwesio?"

Bi Kiok menarik napas panjang. "Hemm, engkau sudah tahu pula? Bukan aku pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to-piauw-kok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si."

"Siapa menyuruhmu?"

"Siapa lagi kalau bukan Subo."

"Subomu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?"

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Bukan. Eh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?"

"Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!"

"Hemmm..." Dara itu makin terheran. "Kalau begitu, gundulmu itu ada hubung-annya dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?"

Kun Liong meringis dan meraba kepalanya. "Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang membunuhnya dan mengapa?"

"Kaucari sendiri!"

Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, "Bi Kiok...!"

Seruan itu disusul teriakan lain yang parau akan tetapi tidak kalah nyaringnya. "Kun Liong...!"

Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoat-su. Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil, wajahnya pucat.

"Kau kenapa...?"

"Sssttt...!" Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di guha itu, sampai tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, "Kalau sampai Subo atau Toat-beng Hoat-su menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong."

"Aku...? Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku menun-jukkan tempat aku manyembunyikan bo-kor tua itu. Biar aku menjumpai me-reka."

"Bodoh kau! Kaukira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Sesudah seorang di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!"

"Heh? Mengapa? Tak mungkin!"

"Hemm, kau tidak tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan orang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apakah kaukira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?"

Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati terharu, "Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini bahkan membahayakan dirimu sehdiri?"

"Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kaukira kita akan selamat kalau seorang di antara mereka menemukan kita di sini?"

"Tapi..."

"Ssstttt...!" Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak mengeluarkan suara.

"Bi Kiok...!" Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel di depan guha. "Ke mana bocah itu? Mungkinkah ia yang melarikan Kun Liong? Hemm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!" Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan guha.

Dari jauh terdengar gema suara Toat--beng Hoat-su, "Kun Liong...! Hayo lekas ke sini memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak lekas pergi bisa celaka!"

Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seolah-olah dia tidak menghendaki pemuda itu pergi. Kemudian setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari jauh terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali kuda.

Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengen perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu kemudian bertanya, "Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?"

"Aku... aku..." Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu dan memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.

"Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?"

"Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan kepadamu dan suka kepadamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat kepadamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya..."

Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang manis itu, mata yang indah mempesona itu. "Bi Kiok, betapa indahnya matamu..."

Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, "Kun Liong..."

Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, berulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yaog disenanginya! Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, "Kun Liong..."

Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik, "Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau men-jadi murid seorang datuk kaum sesat..."

"Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?"

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya, "Bi Kiok, apakah engkau cinta kepada-ku?"

Gadis itu menarik napas panjang. "Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong."

"Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku."

"Heh? Mengapa?"

"Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan..."

"Tapi... tapi... kau telah menciumku!"

Kun Liong tersenyum pahit. Presis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Biarpun yang mencium dan yeng dicium sama-sama rela dan suka?

"Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?"

"Kun Liong...!" Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

"Bi Kiok, jangan menangis...!" Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang mene-tes di pipi. "Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menya-kiti hatimu. Aku lebih suka berterus terang daripada membohongimu."

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, ke-mudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong. "Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin, juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Adapun ten-tang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan..."

"Ssssttt...!" Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi

Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, "Pemberontak yang berada di dalam guha! Keluarlah!"

"Ssst...!" Kembali Kun Liong membe-ri isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

"Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!" Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha.

"Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kaukarang cerita lain."

Bi Kiok menggeleng kepala dan kem-bali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. "Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!"

Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah, memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-per-wiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali. Gadis itu takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, "Tangkap dan belenggu dia!"

"Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?"

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara dan ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

"Jadi engkaukah ini...?" Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

"Engkau Kun Liong!"

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam

kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menge-nal nona yang dagu dan lehernya mem-buat dia terpesona itu. "Nona... siapa-kah...?"

Dara itu merengut. "Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan la-ngit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan se-gala macam pemberontak dan orang ja-hat!"

"Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!"

"Kou terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kausangkalkah itu?"

"Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantar-kannya ke tempat bokor... ehh..." Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. "Tangkap dia!" Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak, "Mundurlah kalian!" Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

"Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Pemberontak rendah!"

"Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, kata-kan sebab-sebabnya dan apa kesalahku!"

"Pertama, kau berhaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kaupun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!"

"Apa...? Bokor emas milik... suhumu...?" Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!"

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

"Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?"

"Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!"

"Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!" Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai. Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

"Heii, jangan...!" Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak meng-elak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seru-annya, karena golok itu sudah menyam-bar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

"Krookk!"

Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

"Mundur semua!" Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

"Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain mela-wan?" Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.

"Banyak sebabnya," kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. "Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua kare-na agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong."

"Bawa tali ke sini!" Li Hwa meme-rintah.

Seorang perwira datang berlari mem-bawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membe-lenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

"Bawa seekor kuda ke sini!" Kembali dia memerintah.

Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, "Sekarang kaunaiklah ke kuda ini."

"Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!" Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

"Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?" Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

"Kwan-ciangkun, kautuntun dia!" katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

"Aihh!" Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia melon-cat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

"Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?" Li Hwa membentak marah.

"Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku."

"Manusia aneh dan gila!" Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

"Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu," kata Li Hwa. "Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu..."

"Bohong! Siapa percaya omonganmu?"

"Percaya atau tidak terserah."

"Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su."

"Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu."

"Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?"

"Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya."

"Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?"

"Karena... perjanjian!"

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

"Kau cantik, Li Hwa..."

Li Hwa mendengus. "Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, se-orang penjahat golongan hitam yang ca-bul dan hina!"

"Wah-wah-wah, mengatakan kau can-tik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis ba-gaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?"

"Jangan mengatakan apa-apa!" Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya meng-angkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mah-luk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

"Hayo jawab!" Setelah agak lama ber-diam, Li Hwa membentak. Dengan ta-ngan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu ter-sentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda se-hingga biarpun dia yang dibetot ke de-pan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!

Dia diam saja.

"Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjuk-kan kepadaku!"

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepada-nya.

"Mesam-mesem jual lagak kau! Dita-nya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?"

"Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepa-daku bahwa aku jangan mengatakan apa--apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih ke-hendakmu, Nona cantik?"

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh me-ter.

"Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?"

"Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo."

"Kalau sudah tahu, mengapa kau be-rani kurang ajar?"

"Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurangajaranku?"

"Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!"

"Lagi-lagi itu! Habis kalau memang-nya engkau cantik jelita..."

"Sudahlah... sudahlah!" Li Hwa ber-kata kewalahan. "Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu."

"Kaupimpin pasukanmu melalui sepan-jang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang--ho yang airnya tidak begitu dalam, ba-nyak batu-batu besar."

Li Hwa mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini" Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemu-kan bokor itu. Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceri-takan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemu-kannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan me-nyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran men-dengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhu-nya juga menyebar orang untuk mencari-nya karena suhunya khawatir bahwa ka-lau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu di-temukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun!

"Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak me-laporkan ke kota raja?"

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. "Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau."

"Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberon-tak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpi-sah dariku setelah kami berhasil menye-lamatkan seorang gadis yang tentu kau-kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya."

Li Hwa membelalakkan matanya. "Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya."

"Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis."

"Hemm... gadis lagi!"

"Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!" Tentu saja yang dimaksud-kan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya.

"Engkau memang mata keranjang!"

Kun Liong tertawa. "Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?"

"Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?"

"Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian..."

"Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?"

"Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?"

"Di mana dia sekarang?" Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

"Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?"

"Kita lihat saja nanti keputusan pe-ngadilan di kota raja."

"Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?"

"Tentu saja!"

"Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?"

"Aku tidak percaya ceritamu."

"Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?"

"Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat."

"Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa."

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

"Plakkk!" Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!

Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal seaneh ini!

"Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya."

Li Hwa menjadi merah sekali muka-nya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.

"Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?" Kun Liong berkata dan melepaskan pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!

Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat "menangkap" dan menempel telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di

mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.

"Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ..."

Li hwa mengerutkan alisnya. "Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke dalam dusun itu." Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!

Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. "Basmi para pemberontak!"

Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menja-di sarang para pemberontak yang berse-kutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu ter-jadi dalam jarak dekat, senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk me-ngisi mesiu itu kurang praktis, maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata ta-jam bertemu!

Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pe-dangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh.

"Dar! Dar!" Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!

"Singggg... trang-trang...!"

Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata ja-lang.

"Sungguh hebat...!" Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak kaku, "Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!"

"Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhia-nati negaranya?" Li Hwa membentak marah.

"Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban da-lam perang ini. Mari kau ikut saja ber-samaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!"

"Mampuslah!" Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan.

Hendrik Selado terkejut, silau mata-nya melihat sinar pedang yang bergulung--gulung itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah menge-rahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia memper-tahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!

"Keparat, hendak lari ke mana kau?"

Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat se-kali dan biarpun berhadapan dengan pe-muda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.

Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter dalam-nya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tan-pa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.

Selagi Kun Liong berdiri bingung ba-gaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia meli-hat Hendrik lari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, "Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?"

Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat menduga bahwa pe-muda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, "Li Hwa, hati-hati...!"

"Darrr... blungggg...!"

Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.

"Bokor...! Di situ...!!" Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.

Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan.

Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.

Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel. "Heran sekali ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya."

Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya. Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi, Hendrik tidak tampak batang hidungnya.

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik da-tang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, "Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!"

Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu de-ngan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh ping-san. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat ke-cantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

"He, kau sudah sadar, manis?"

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den membentak, "Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!"

"Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah..." Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

"Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang..."

"Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!" Li Hwa berteriak lagi.

"Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?"

"Persetan dengan kamu!" Li Hwa memalingkan mukanya.

"Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!" Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

"Auuuughhh... aduuuhhh..." Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh--aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan!

Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.

"Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!"

Hendrik sudah benar-benar tergila--gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.

Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.

"Kaulihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona."

"Huh, biarkan aku mati!"

"Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini."

"Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!" Li Hwa membentak.

Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.

Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, "Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku..."

"Sssttt...!"

Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.

"Nona, aku datang untuk menolongmu..." Pemuda itu berbisik dan berjong-kok di belakangnya.

Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang--orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat.

"Aku tidak minta pertolonganmu!"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang

berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus meno-longmu." Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka be-lenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.

Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus menge-rahkan seluruh tenaganya.

"Mengapa kau menolongku?" Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya kare-na bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?

"Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi."

Akhirnya, setelah lebih dahulu men-jauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku ka-rena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.

"Lepaskan aku!" Li Hwa meronta. "Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?"

Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. "Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu."

Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuh-nya? Musuh negaranya? Ingatan itu me-ngeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalik-kan tubuh lalu melangkah hendak pergi.

"Tahan dulu, Nona...!" Yuan de Gama cepat mengejar. "Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau -pergi begitu saja, tentu kau akan ter-tangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga..."

"Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?" Tiba--tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.

Yuan de Gama terkejut, cepat ia me-nyambar tangan Li Hwa dan berkata, "Mari ikut dengan aku. Cepat...!"

Kini mengertilah Li Hwa bahwa pe-muda ini benar-benar hendak menolong-nya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menye-linap di antara pohon-pohon dan kegelap-an malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.

AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik, "Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri."

"Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"

Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, "Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga."

Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!

"Engkau siapakah?"

Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. "Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan..."

"Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!"

Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. "Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang..."

"Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!"

"Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona."

Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!

"Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?"

Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. "Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat."

Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.

"Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?"

"Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah..."

Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, "Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!"

Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik, "Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?"

"Hemmm... percaya dalam hal apa?"

"Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu."

Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk. "Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh."

Yuan tersenyum. "Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?"

Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, "Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo."

"Ya Tuhan...!" Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. "Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?"

"Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar