Lam Tok terkejut dan membalikkan tubuhya. Tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat memegang lengan penyerangnya itu dan sekali sentakan, tubuh anggauta Kui-jiauw-pang itu terangkat ke atas lalu dibanting ke atas tanah. Orang itu tewas seketika.
Lam Tok sudah pula memutar pedangnya, akan tetapi pengeroyokan semakin ketat dan kembali pundak kirinya terkena goresan cakar setan.
Karena luka dipunggung dan pundaknya itu terasa nyeri sekali, Lam Tok lalu meniru perbuatan Si Kong tadi.
Dia meloncat dan menyerbu diantara para anggauta Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, menyelinap diantara mereka dan merobohkan banyak orang.
Akhirnya dia dapat lolos, melarikan diri dan dikejar oleh Tung-giam-ong dan Gin Ciong.
Kembali Lam Tok dapat dikejar dan terpaksa melayani datuk timur dan puteranya itu. Akan tetapi luka-luka beracun di punggung dan pundaknya membuat gerakannya lambat dan terpaksa dia mundur terus sampai tiba di dekat jurang.
Karena tidak mungkin mundur lagi, dia mengamuk menghadapi pengeroyokan dua orang itu dan akhirnya, sebuah pukulan tangan kiri Tung-giam-ong mengenai dadanya. Pukulan itu adalah satu jurus dari Thai-yang Sin-ciang. Dadanya yang terpukul terasa panas dan tubuhnya terjengkang masuk ke dalam jurang yang menganga di belakang Lam Tok.
Tung-giam-ong dan Gin Ciong menjenguk ke dalam jurang. Ternyata jurang itu amat dalam dan tertutup kabut sehingga mereka tidak dapat melihat tubuh Lam Tok.
"Ha-ha-ha, lenyaplah sudah seorang sainganku!" Tung-giam-ong tertawa bergelak karena girangnya.
Ketika terjatuh tadi, pikiran Lam Tok masih terang.
Tahulah dia bahwa bahaya maut mengancam dirinya. Dia berusaha untuk menggunakan kedua tangan meraih, kalau-kalau ada sebatang pohon terjulur, akan tetapi tangannya tidak dapat menangkap apa-apa dan dirinya tenggelam dalam kabut. Tidak ada lain jalan baginya untuk menyelamatkan diri kecuali mengerahkan tenaga saktinya melindungi tubuh dari bantingan ke dasar jurang.
"Wuuuuttt…… bukk…….!!"
Tubuh Lam Tok terbanting ke atas dasar jurang itu. Dia sudah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi pinggulnya dari bantingan itu.
Akan tetapi ternyata dia mendarat dengan mulus dan lunak. Kiranya di tempat itu terdapat banyak daun kering, bertumpuk sampai tebal sehingga merupakan tempat lunak seolah dia terbanting ke atas kasur tebal!
Akan tetapi rsa nyeri di punggung dan pundaknya karena terluka cakar setan membuat dia pening sekali. Apalagi bekas pukulan Tung-giam-ong tadi masih terasa panas sekali olehnya, maka setelah merintuh satu kali, Lam Tok lalu jatuh pingsan.
Lam Tok membuka matanya dan dia segera teringat bahwa dia habis dikeroyok Tung-giam-ong dan terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat pula bahwa punggung dan pundaknya terluka oleh cakaran setan anggauta Kui-jiauw-pang yang mendatangkan rasa nyeri bukan main.
Akan tetapi dia merasa heran karena punggung dan pundaknya tidak terasa sakit sama sekali. Juga rasa panas akibat pukulan Tung-giam-ong sudah lenyap! Dan bajunya tersingkap seolah ada yang menanggalkannya sebagian.
Terdengar gerakan orang disebelah kirinya dan Lam Tok segera menengok. Ketika melihat bahwa seorang pemuda duduk diatas batu di sebelahnya, dia segera bangkit, kaget karena dia mengenal pemuda itu sebagai Si Kong!
Dia menoleh ke kanan kiri. Dia tidak lagi berada di dasar jurang, melainkan dalam sebuah hutan, rebah di atas rumput hijau. Lam Tok adalah seorang yang cerdik sekali maka sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi.
Tentu pemuda ini yang telah memindahkannya dari dasar jurang. Dia mengerahkan sinkang ke punggung dan pundaknya.
Tidak terasa nyeri. Juga dadanya yang tadi terasa panas kini telah biasa kembali. Lam Tok dapat menduga bahwa dia telah di tolong oleh Si Kong.
Akan tetapi, dia bangkit duduk, memandang kepada Si Kong lalu bertanya, suaranya dingin karena dia masih ingat bahwa pemuda ini yang menyebabkan kematian Cu Yin.
"Engkau disini?"
Si Kong memberi hormat dan berkata sopan, "Saya melihat locianpwe rebah pingsan di dasar jurang itu." Dia menuding ke depan dimana terdapat jurang.
"Engkau memindahkan aku kesini dan engkau yang mengobati aku sehingga lukaku sembuh?" tanyanya lagi dan pandang mata datuk itu mengamati wajah Si Kong penuh selidik.
"Benar, locianpwe. Melihat locianpwe terluka goresan cakar beracun dan akibat pukulan yang berhawa panas, aku lalu mengobati locianpwe dengan menyedot racun dan melawan hawa panas dengan sinkang.
Sayang aku tidak mempunyai mustika batu giok seperti yang dimiliki nona Tang Hui Lan sehingga bekas racun itu belum bersih benar, akan tetapi dengan pengerahan sinkang, locianpwe tentu akan dapat mengusirnya keluar."
"Hemm, mengapa engkau menolong dan menyelamatkan aku?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara membentak seperti orang menuntut.
"Mengapa tidak, locianpwe? Melihat engkau atau siapa saja menggeletak pingsan dan terancam bahaya maut, tentu saja aku turun tangan menolongmu."
"Tapi…… tadi aku berusaha untuk membunuhmu! Bahkan mengeroyokmu dengan si jahanam Tung-giam-ong itu. Dan engkaupun tentu sudah mati di tanganku kalau saja Cu Yin tidak mengorbankan nyawa untukmu!"
Si Kong memejamkan kedua matanya dan mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara parau penuh permohonan.
"Ah, locianpwe, aku mohon janganlah locianpwe bicara lagi tentang Yin-moi!"
Si Kong membuka matanya yang menjadi basah air mata. Hatinya tertusuk ketika dia teringat akan Cu Yin, gadis yang sesungguhnya dikasihinya itu.
"Cu Yin begitu mencintamu, mengapa engkau pernah menolak cintanya?"
"Aku tidak menolak, hanya…. merasa tidak berharga untuk melakukan perjalanan bersamanya, pula tidak patut dipandang orang kalau seorang gadis seperti ia melakukan perjalanan bersama seorang pemuda.
Akan tetapi…. ah, semua itu telah berlalu, locianpwe dan aku memang bersalah kepada Cu Yin. kalau locianpwe masih merasa menyesal dan hendak membunuh aku, silakan. Aku tidak akan melawan."
Melihat pemuda itu demikian sedihnya, kemarahan Lam Tok menghilang, bahkan timbul rasa suka di hatinya terhadap pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya ini dan berkata dengan nada keras.
"Sudahlah, pergilah, pergi jauh-jauh sebelum aku berubah pikiran. Pergi tinggalkan aku seorang diri!"
Si Kong menghela napas dan bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada datuk itu. "Selamat tinggal, locianpwe."
Lam Tok diam saja, wajahnya dingin dan dia bersila sambil memejamkan matanya untuk menghimpun hawa murni dan menghilangkan sisa racun dari punggung dan pundaknya. Si Kong memandang dengan terharu, maklum betapa sedihnya datuk yang kehilangan puterinya itu, dan dia lalu pergi meniggalkan Lam Tok.
Si Kong berlari cepat ke tempat dimana pertempuran tadi berlangsung. Dan seperti yang diharapkannya, jenazah Cu Yin masih menggeletak disitu, tidak ada yang mengurus, sedangkan mayat-mayat para anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah dibawa rekan-rekan mereka.
Dia merasa kasihan sekali kepada Cu Yin. Tak disangkanya nasib gadis jenaka itu demikian menyedihkan. Tewas di tangan ayah kandungnya sendiri dan jenazahnya terlantar tidak ada yang mengurusnya.
"Maafkan aku, Yin-moi. Baru sekarang aku dapat mengurus jenazahmu. Semoga arwahmu mendapat tempat yang layak di alam baka."
Si Kong lalu menggali sebuah yang cukup dalam. Dengan hati kasihan dan terharu terpaksa dia menguburkan jenazah itu begitu saja, tanpa peti, tanpa upacara sembahyang, tanpa apa-apa.
Dan setelah dia merebahkan jenazah itu di dalam lubang, dari atas dia melihat jenazah itu dan kembali kedua matanya basah. Cu Yin yang nampak demikian cantik rebah di lubang itu, seperti orang sedang tidur pulas saja.
Selamat berpisah, Yin-moi, semoga kita dapat saling bertemu kembali di alam lain."
Dia menguatkan batinnya, menutupi jenazah itu dengan daun-daun kering sehingga tidak nampak lagi dan barulah dia tega untuk menutup lubang itu dengan tanah kembali.
Setelah selesai, dia mengambil sebuah batu besar yang digulingkannya ke depan makam itu agar dapat menjadi semacam nisan atau tanda. Dengan mengerahkan sinkangnya, dia lalu mengukir beberapa huruf di permukaan batu, yang berbunyi:
"Yang tercinta Siangkoan Cu Yin."
Setelah duduk bersila di depan batu nisan itu selama setengah jam, Si Kong lalu bangkit dan sekali lagi memandang ke arah gundukan tanah, berbisik, "Selamat tinggal Yin-moi." Dia lalu mengerahkan tenaganya dan sebentar saja hilang dari tempat itu, berlari cepat sekali di antara pohon-pohon besar.
Ketiga ketua Kui-jiauw-pang bergembira menerima Tung-giam-oang yang diajak oleh puteranya menjadi tamu kehormatan Kui-jiauw-pang. Toa Ok semakin senang mendengar bahwa Lam Tok telah tewas oleh Tung-giam-ong. Lam Tok merupakan satu diantara para datuk yang disegani dan sekarang datuk itu telah tewas.
"Kami mengucapkan selamat atas kemenangan Tung-giam-ong atas Lam Tok. Mari minum secawan arak untuk menghormati Tung-giam-ong dan menghaturkan selamat datang!" Semua orang minum arak untuk menyambut ucapan selamat dari Toa Ok itu. Tung-giam-ong sendiri juga dengan gembira minum araknya.
"Sebagai ayah dari sahabat baik kami Tio-kongcu, kami harap agar Tung-giam-ong berterus terang tentang tujuan perjalanannya kesini," kta pula Toa Ok.
"Ha-ha-ha-ha, Toa Ok masih pura-pura bertanya lagi!" Tung-giam-ong tertawa, memandang kepada semua yang hadir dan minum lagi arak dari cawannya. Mereka semua lengkap duduk di meja perjamuan itu. Toa Ok, Ji Ok, Sam Ok, Coa leng Kun, Tio Gin Ciong, kelima Butek Ngo-sian dan empat orang tokoh Pek lian-kauw See-thian Su-hiap.
"Biarpun kamu sudah daoat menduga, akan tetapi akan lebih baik kalau engkau mengatakannya kepada kami, karena sebagai seorang tamu kehormatan, kami harus dapat melayanimu sebaik-baiknya, Tung-giam-ong!"
Kembali Tung-giam-ong tertawa, lalu memandang kepada puteranya dan berkata, "Puteraku telah mengadakan hubungan dengan Kui-jiauw-pang, itu saja sudah menunjukkan bahwa kedatanganku sebagai sahabat, bukan musuh.
Akan tetapi aku mengingatkan Toa Ok dan Ji Ok. Kalian sudah mengundang para datuk termasuk aku untuk mengadakan pertandingan disini untuk menentukan siapa yang paling lihai di antara para datuk. Karena undangan itulah aku datang, dan kedua, akupun tertarik oleh berita tentang Pek-lui-kiam, maka akupun hendak memperebutkannya pula!"
Kini dia memandang kepada Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan sinar mata menantang.
"Bagus, memang sudah kami duga, Tung-giam-ong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah ayah dari Tio-kongcu, kami mengajak engkau untuk bekerja sama. Pertama-tama, engkau bantulah kami untuk mengusir semua datuk dan tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan pedang Pek-lui-kiam.
Setelah semua datuk dapat kita kalahkan, barulah diantara engkau dan kami berdua bertanding untuk menentukan siapa datuk yang paling lihai," kata Toa Ok.
"Ha-ha-ha-ha! Aku orang tua tidak begitu berminat untuk mengejar nama. Tanpa menjadi datuk paling lihai di dunia akupun sudah dikenal orang. Akan tetapi bagaimana kalau pertandingan, pemenangnya bukan saja menjadi datuk terlihai, akan tetapi juga berhak memiliki pedang pusaka Pek-lui-kiam?"
Toa Ok dan Ji Ok saling pandang, kemudian tertawa bergelak. Toa Ok kembali mengangkat cawannya dan berkata
"Tung-giam-ong, mari kita minum untuk itu. Kami setuju sekali karena sebagai datuk terlihai, tentu saja berhak menjadi pemilik Pek-lui-kiam!"
Bukan main girang rasa hati Tung giam-ong. Tentu saja baginya jauh lebih ringan memenuhi syarat yang diajukan Toa Ok daripada kalau dia sendiri harus memperebutkan Pek-lui-kiam itu diantara banyak datuk dan tokoh kangouw. Dia lalu menerima ajakan minum arak sampai tuga cawan penuh.
Selagi mereka minum dengan gembira, tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan wajahnya pucat. Toa Ok memandang penjaga itu dengan marah. "Berani benar engkau mengganggu kami! Apa kau tidak takut untuk dihukum mampus?"
"Ampun, Toa-pangcu ," penjaga itu melapor,
"diluar terdapat seorang pemuda yang minte bertemu dengan pangcu, dan… dan puncak ini sudah terkepung pasukan yang besar jumlahnya!"
Semua orang menjadi kaget mendengar ini. Tanpa banyak kata lagi Toa Ok memberi isarat kepada para pembantunya dan Tung-giam-ong juga segera bangkit dan ikut keluar.
Serombongan orang yang menjadi pimpinan itu keluar membawa senjata masing-masing. Toa Ok berjalan di depan, diikuti Ji Ok dan Sam Ok, lalu Tung-giam-ong.
Mereka terkejut dan terheran melihat bahwa yang datang hanya seorang pemuda saja.
Akan tetapi Tung-giam-ong dan Bu-tek Ngo-sian mengenal pemuda itu dan sudah tahu akan kelihaiannya, maka mereka memandang dengan alis berkerut, tidak gentar karena mereka kini ditemani tiga pangcu dari Kui-jiauw-pang dan yang lain-lain.
"Hemm, orang muda, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak bertemu dengan kami?"
Aku datang untuk menantang pembunuh pendekar Tan Tiong Bu di Sia-lin dan minta kembali Pek-lui-kiam yang dirampasnya!" kata Si Kong sambil memandang tajam kepada Sam Pangcu atau Ang I Sianjin yang berjubah merah.
Mendengar tantangan ini, semua orang tersenyum mengejek. Pemuda itu hanya seorang diri dan mereka terdiri dari limabelas orang jagoan.
"Ha-ha-ha, katakan siapa engkau sebelum kami membunuh engkau, jangan sampai mati tanpa nama!" gertak Toa Ok.
Si Kong tersenyum. Pemuda perkasa ini tidak begitu tolol untuk mendatangi sarang harimau itu seorang diri pula.
Dia telah bertemu dengan Pek Bwe Hwa dan Hui Lan, telah diperkenalkan pada Panglima Gui Tin dan Cang Hok Thian yang sudah memimpin pasukannya mendaki puncak dan mengepung puncak yang menjadi sarang Kui-jiauw-pang itu. Dia muncul seorang diri akan tetapi teman-temannya menanti di belakangnya, siap untuk turun tangan kalau dia dikeroyok!
"Toa Ok, biarkan Ang I Sianjin melawan aku, ataukah engkau sendiri yang akan maju?"
Toa Ok mengerutkan alisnya. "Bocah sombong! Katakan siapa namamu!"
"Toa Ok, apakah engkau sudah lupa kepadaku?
Ingat, ketika engkau bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah, kita sudah pernah saling berhadapan, akan tetapi kalian begitu pengecut untuk melarikan diri!"
Toa Ok terbelalak dan mengingat-ingat. Kini teringatlah dia akan pemuda yang membawa tongkat dan hendak menerjangnya ketika mereka sudah terluka oleh perlawanan Ceng Lojin.
"Hemm, kiranya engkau bocah di Pulau Teratai Merah itu?"
"Benar, namaku Si Kong. Aku menantang Ang I Sianjin atau siapa saja yang menghalangiku untuk merampas kembali Pek-lui-kiam."
"Engkau akan mampus dikeroyok!" kata Gin Ciong yang membenci pemuda yang pernah di cinta Cu Yin itu.
Si Kong tersenyum dan menatap tajam wajah Toa Ok yang kelihatan masih ragu-ragu. Kemudian dia berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
"Toa Ok, jangan mencoba untuk main keroyokan! Aku tantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Kalau kalian mau main keroyokan, dibelakangku terdapat banyak kawan-kawanku, dan juga pasukan kerajaan telah mengepung sarang Kui-jiauw-pang ini!"
Toa Ok adalah seorang datuk yang cerdik. Dari laporan penjaga tadi, dia tidak perlu menyangsikan kebenaran ucapan Si Kong, bukan gertakan kosong belaka.
Akan tetapi dia ditemani banyak orang pandai, kalau bertanding satu lawan satu belum tentu kalah. Dia juga melihat kebawah dan dibelakang Si Kong, teraling pohon-pohon dan semak-semak, kelihatan bayangan beberapa orang.
"Si Kong, apakah engkau menepati janji untuk bertanding satu lawan satu dan tidak mengerahkan pasukan?"
"Pasukan kerajaan akan maju kalau pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai bergerak, dan kawan-kawan akan maju kalau teman-temanmu maju pula!
Engkau sebagai orang nomor satu disini, hayo majulah dan tandingi aku, murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!" tantang Si Kong yang sudah marah sekali.
Mendengar disebutnya pemuda itu sebagai murid Pendekar Sadis, agak gentarlah hati rasa Toa Ok, dan dia lalu menoleh kepada Ji Ok dan berkata, "Ambilkan Pek-lui-kiam!"
Ji Ok melompat pergi memasuki rumah induk. Si Kong yang mendengar ini, tersenyum.
"Bagus, pergunakan Pek-lui-kiam kalau engkau merasa jerih kepadaku dan aku hanya akan menggunakan tongkat bambu ini!" Si Kong memalangkan tongkat bambu yang sudah di bawanya ke depan dada.
Tak lama kemudian Ji Ok datang lagi sambil membawa pedang pusaka Pek-lui-kiam. Toa Ok menerima pedang itu lalu digantungkan di punggungnya, sedangkan tangan kananya memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundaknya.
Agaknya dia akan membawa pedang pusaka itu agar jangan sampai dirampas orang lain dan juga agar dia dapat mempergunakannya dan mengandalkan keampuhannya kalau sampai dia terdesak.
Selain itu, juga kalau pihaknya terdesak dan dia terpaksa melarikan diri, dia dapat membawa serta pedang pusaka itu.
"Bocah sombong, sekarang saatnya bagimu untuk mampus ditanganku!" Toa Ok membentak untuk mengecilkan hati lawannya.
Akan tetapi Si Kong tersenyum mengejek.
"Toa Ok, ketika engkau menyerbu Pulau Teratai Merah dulu, masih untung guruku memberi maaf kepadamu sehingga tidak mencabut nyawamu.
Akan tetapi sekarang aku tidak akan memberi maaf lagi karena kejahatanmu sudah meningkat dengan pemberontakan!"
Mendengar ucapan ini, Toa Ok menjadi marah sekali dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya menerjang maju. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Si Kong, dibarengi dengan menyambarnya tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan sinkang yang panas. Tangan kiri ini ampuh sekali, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan tongkatnya.
Namun Si Kong telah siap siaga. Dia maklum akan kelihaian datuk dari barat ini. Tongkatnya diputar secara aneh menangkis tongkat ular dan menyambar ke bawah menotok tangan kiri lawan yang terbuka dan didorongkan kepadanya.
Toa Ok kaget karena dari kedudukan menyerang sekarang mendadak dia diserang! Tongkat ularnya mental kembali ketika bertemu tongkat bambu yang mengandung getaran kuat itu dan kini telapak tangan kirinya terancam totokan tongkat bambu.
Dia cepat menarik kembali tangan kirinya dan tongkatnya sudah menyambar ke arah kedua kaki Si Kong. Dengan gerakan ringan bagaikan burung walet tubuh Si Kong meloncat ke atas sehingga tongkat ular itu lewat di bawah kakinya.
Ketika tubuhnya masih terbang ke atas, tongkat bambunya sudah menyambar ke bawah, menotok ke arah belakang kepala Toa Ok.
Kembali Toa Ok terkejut karena serangan balik Si Kong itu sama sekali tidak disangka-sangka.
Memang disitulah letak kelihaian ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, gerakannya sukar diduga lebih dulu dan amat aneh, tidak seperti ilmu tongkat pada umumnya.
Ilmu tongkat Pemukul Anjing ini memang amat hebat dan pernah dengan ilmu itu Yok-sian Lo-kai malang melintang di dunia kang-ouw, dan menjadi tokoh nomor satu diantara seluruh kaipang (perkumpulan pengemis).
Toa Ok harus memutar tubuhnya dilindungi oleh tongkat ularnya untuk dapat terhindar dari bahaya maut. Tongkatnya menangkis tongkat bambu yang menotok ke arah tengkuknya itu.
"Trakkk!"
Tongkat ular bertemu tongkat bambu dan tongkat ular mental kembali dengan kuatnya.
Memang tongkat bambu ini cocok sekali untuk ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, seolah dalam ruas-ruas tongkat yang kosong itu kini terisi tenaga sinkang yang kuat sekali, membuat tongkat bambu itu terasa keras dan berat ketika bertemu tongkat ular.
Tiba-tiba Toa Ok melompat ke belakang dan sambil melompat itu tangannya bergerak. Sinar hitam menyambar ke arah Si Kong.
Melihat sambaran senjata-senjata rahasia itu hebat sekali, Si Kong melepaskan capingnya dan sekali melemparkan caping itu, topi lebar itu berputar dan semua jarum hitam itu menancap pada caping dan runtuh ke atas tanah. Si Kong cepat menerjang ke depan dengan tongkatnya sehingga Toa Ok harus melindungi dirinya dengan putaran tongkat ularnya yang membentuk perisai melindungi seluruh tubuhnya.
Melihat betapa Toa Ok sudah maju dan bertanding dengan pemuda itu dengan serunya, hati Tung-giam-ong menjadi tidak enak.
Yang dikhawatirkan adalah kalau Toa Ok kalah dan pedang Pek-lui-kiam yang aseli di punggung Toa Ok itu sampai berpindah tangan terampas oleh pemuda lihai itu.
Dia tidak dapat membantunya karena sebelumnya sudah berjanji terlebih dahulu. Akan tetapi dia ingin mengetahui kekuatan pihak lawan, maka diapun meloncat ke depan sambil menantang.
"Siapa yang akan melayani aku? Marilah kita bertanding satu lawan satu!"
Sebelum Hui Lan atau Bwe Hwa menyambut tantangan datuk besar dari timur itu, dari arah kiri meloncat seorang laki-laki tua yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan sikapnya gagah. Orang ini bukan lain adalah Lam Tok Siangkoan Lok, datuk dari selatan itu.
Begitu muncul, dia langsung menghadapi Tung-giam-ong Tio Sun sambil tersenyum lebar.
"Tua bangka dari timur yang curang dan pengecut. Tentu engkau mengira bahwa aku sudah mati, bukan? Tidak, aku tidak mati sebelum mencabut nyawamu yang rendah itu!" Setelah berkata demikian, Lam Tok sudah mencabut pedangnya.
Tung-giam-ong Tio Sun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat Lam Tok seperti melihat orang melihat setan, melihat orang yang sudah mati hidup kembali!
Bagaimana mungkin Lam Tok masih hidup dan segar bugar setelah menerima cakaran-cakaran beracun dari cakar setan, menerima pukulan sinkangnya dan kemudian bahkan terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam?
"Kau….. kau masih… hidup?"
kata-kata ini keluar dari mulutnya dan seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya masih terbelalak dan mulutnya ternganga. Akan tetapi diam-diam majikan Pulau Biruang itu telah mengerahkan tenaga Thai-yang Sin-ciang di tangan kirinya, siap untuk menyerang dengan pukulan jarak jauh.
"Hemm, andaikata aku sudah mati, aku akan hidup kembali hanya untuk mencabut nyawamu!"
kata Lam Tok dan dia menggerakkan tangan kirinya. Tiga batang anak panah meluncur seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tung-giam-ong.
Akan tetapi pada saat itu, Tung-giam-oang sudah siap siaga dan dia lalu memukulkan tangan kirinya ke depan. Hawa pukulan yang amat kuat menyambut tiga batang anak panah itu dan tiga batang anak panah beracun itu runtuh ke atas tanah.
Lam Tok menerjang ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya siap melancarkan pukulan Jeng-kin-lat (Tangan Seribu Kati). Tung-giam-ong melihat serangan dahsyat dan berbahaya. Dia menggerakkan senjata tombak cagaknya menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.
"Tringg…. cringgg……!!"
Dua senjata itu bertemu dua kali dan kedua orang datuk itu terhuyung mundur beberapa langkah.
Akan tetapi Lam Tok sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Dia menyerang dengan pedangnya, memainkan ilmu silat Lam-hai Sin-ciang yang bergelombang, dan tangan kirinya juga membentuk cakar garuda mengirim serangan bergantian dengan pedangnya. Tung-giam-ong terpaksa harus memutar tombak cagaknya melindungi dirinya.
"Tranggg……!"
Kembali pedang berdentang ketika bertemu dengan tombak cagak dan pada saat itu, tangan kiri Lam Tok menyambar ke arah dada lawannya. Bukan main hebatnya serangan tangan kiri ini karena menggunakan tenaga seribu kati dan tangan kiri yang ampuh itu mengandung racun yang berbahaya sekali.
Maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli racun yang lihai, Tung-gia-ong terpaksa menghindarkan diri dengan elakan ke kiri sambil menusukkan tombak cagaknya ke arah lambung Lam Tok
Cringgg…….!"
Kembali kedua senjata saling bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya kembali saling serang dengan hebatnya.
Sementara itu, ketika Ji Ok melihat betapa kakaknya mulai terdesak melawan Si Kong, dia lalu meloncat ke depan dengan maksud untuk mengeroyok. Toa Ok dan Ji Ok memang biasanya maju bersama dan pasangan ini merupakan lawan yang amat tangguh.
"He-he, tidak boleh main keroyokan! Engkau adalah lawanku, Ji Ok!" terdengar bentakan dari samping dan seorang kakek tinggi besar berkepala botak telah melompat dan menyambut Ji Ok dengan melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan sikapnya menantang.
Ji Ok segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pai Ong Loa Thian Kun. Dia dijuluki Pai Ong (Raja Utara) karena semua orang kang-ouw di utara menganggap dia sebagai rajanya dunia kang-ouw.
"Pai Ong! Jangan mencampuri urusan kami!" Ji Ok membentak marah.
"Heh-he-heh! Engkau dan Toa Ok yang mengundang kami semua naik ke sini. Sekarang aku sudah datang dan melihat ramai-ramai mengadu kepandaian ini, aku tidak mau ketinggalan.
Toa Ok sudah mendapatkan lawan, kalau engkau maju, akulah lawanmu untuk menentukan siapa yang lebih lihai diantara kita, dan siapa yang lebih berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!"
Ji Ok adalah seorang datuk besar dari barat. Tentu saja dia tidak gentar melawan Pai Ong. Dia menggerakkan kepala dan rambutnya yang tadi sebagian terurai ke depan, kini tergantung dibelakang punggungnya sampai ke pinggang. Wajahnya yang menyeramkan seperti wajah monyet penuh rambut itu nampak marah, matanya kemerahan dan hidungnya mendengus-dengus. Tangannya meraih kepunggung dan dia telah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang pecut penggembala yang berekor panjang.
"Pai Ong, jangan mengira bahwa aku takut melawanmu!"
"Tar-tar-tarr…..!"
Pecutnya meledak-ledak di udara dan nampak asap mengepul saking kuatnya pecut itu melecut, dan di lain saat dia sudah menyerang Pai Ong dengan pecutnya.
Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, menyambut lecutan itu dengan gerakan menggunting dengan sepasang goloknya. Ji Ok tidak membiarkan pecutnya digunting dua batang golok. Ditariknya kembali pecutnya dan kini tiba-tiba dia menyerang kedua kaki lawan dengan sabetan pecutnya.
Pai Ong melompat ke atas akan tetapi dari atas menyambar sinar hitam yang bukan lain adalah rambut panjang Ji Ok yang menyambar begitu dia menggerakkan kepalanya. Ternyata Ji Ok dapat menggunakan rambutnya untuk menyerang dengan cepat dan berbahaya karena rambut itu mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Pai Ong kembali menangkis dengan golok kirinya, dengan maksud untuk menyabet putus rambut itu, sementara golok kanannya sudah membacok ke arah pinggang lawan. Dari kedudukan menyerang kini Ji Ok malah terserang hebat. Maka dia mencelat ke belakang untuk mengelak, lalu memutar tubuh dan kembali menyerang dengan pecutnya. Dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebatnya. Setiap serangan mereka merupakan serangan maut yang berbahaya.
Melihat betapa Toa Ok dan Ji Ok sudah maju dan berkelahi dengan para pendatang itu, Sam Ok atau Ang I Sianjin menjadi marah. Bagaimanapun juga, tadinya puncak Kui-liong-san adalah sarang dari perkumpulannya.
Dialah tuan rumah disitu. Kini, agaknya perkumpulannya terancam oleh Si Kong dan kawan-kawannya, bahkan Lam Tok dan Pai Ong, dua orang datuk besar itu, menentang Kui-jiauw-pang seperti berpihak kepada Si Kong.
Dia merasa berbesar hati karena bagaimanapun dia memiliki seratus orang lebih anggauta Kui-jiauw-pang dan dan seratus orang lebih anggauta Pek-lian-pai. Kalau dia mengerahkan semua pembantunya maju, pihaknya tidak akan kalah.
Agaknya Tio Gin Ciong berpendapat sama dengan Sam Ok. Melihat betapa ayahnya, Tung-giam-ong kini telah di lawan oleh Lam Tok, dia menajdi marah sekali. Diapun meloncat ke depan dengan maksud untuk membantu ayahnya menghadapi Lam Tok.
Akan tetapi pada saat itu, muncul Pek Bwe Hwa dan Hui Lan. Hui Lan melompat ke depan saat Sam Ok dan Gin Ciong maju sehingga dara ini menghadapi dua orang lawan.
Tanpa banyak cakap lagi Sam Ok dan Gin Ciong sudah menggunakan senjata masing-masing untuk menerjang Hui Lan. Sam Ok menggunakan pedang di tangan kanan dan kipas di tangan kiri, sedangkan Gin Ciong juga menggunakan pedangnya.
Biarpun dara itu diserang oleh dua orang lawan, namun Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar. Hok-mo Siang-kun (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) telah berada di kedua tangannya dan begitu ia memainkan sepasang pedang itu, nampak sinar hitam bergulung-gulung, dan gulungan sinar yang seperti sepasang naga bermain di angkasa.
Begitu gadis itu memainkan sepasang pedangnya, Sam Ok dan Gin Ciong terkejut dan main mundur, mencoba untuk mengepung dara itu dari kiri dan kanan. Segera dua orang pengeroyok itu melakukan serangan bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan itu terpental kembali begitu bertemu dengan dua gulungan sinar hitam itu.
Coa Leng Kun merasa tidak enak kalau tinggal diam saja.
Dia melompat ke depan untuk membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Bwe Hwa melompat ke depannya dengan muka kemerahan karena gadis ini sudah marah sekali melihat Coa Leng Kun. Ia teringat betapa ia hampir celaka, dipengaruhi sihir empat orang tokoh Pek-lian-kauw kemudian ia dikeroyok oleh Leng Kun dan See-thian Su-hiap.
Ia yang tadinya tertarik dan kagum kepada Leng Kun ternyata hanya ditipu saja oleh pemuda berpakaian serba putih dan yang bersenjata suling itu!
"Jahanam Coa Leng Kun, sekarang tiba saatnya aku membasmi manusia berwatak rendah dan hina seperti kamu!"
Melihat munculnya Pek Bwe Hwa, Leng Kun terkejut bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, maka dia lalu menoleh kearah See-thian Su-hiap dan berkata, "Su-wi totiang, bantulah aku!"
See-thian Su-hiap memang sudah siap untuk bertanding, maka mendengar permintaan Leng Kun, mereka berlompatan dan mengepung gadis itu.
Melihat ini, Cang Hok Thian melompat ke depan dan membantu Bwe Hwa. Dua orang muda ini berhadapan dengan lima orang lawan dan mereka segera bergerak mengamuk, membuat lima orang pengeroyok itu mengepung dengan hati-hati.
Pertempuran itu menjadi semakin hebat ketika Bu-tek Ngo-sian maju pula mengeroyok. Dua orang dari mereka membantu Toa Ok yang sudah terdesak oleh Si Kong, dua orang lagi membantu Ji Ok yang juga kerepotan menghadapi serangan Pai Ong, dan seorang lagi membantu Tung-giam-ong yang sedang bertanding melawan Lam Tok.
Panglima Gui Tin melihat betapa pertandingan itu sudah tidak adil lagi, melainkan main keroyokan.
Maka diapun memberi aba-aba kepada pasukannya. Beratus-ratus pasukan kerajaan menyerbu dan mengepung tempat itu, mengepung sarang Kui-jiauw-pang dan pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menyambut mereka.
Terjadilah pertempuran sengit dan hiruk-pikuk di puncak Kui-liong-san. Akan tetapi pasukan kerajaan berjumlah tiga sampai empat kali lebih banyak dibandingkan pasukan pemberontak, maka pertempuran itu menjadi berat sebelah.
Gui Tin yang berpengalaman dalam pertempuran segera melihat bahwa pasukannya akan menang dengan mudah.
Dia lalu memilih belasan orang pembantunya yang memiliki ilmu silat tinggi untuk membantu para pendekar yang dikeroyok. Bu-tek Ngo-sian dan See-thian Su-hiap tidak dapat lagi membantu kawan-kawan mereka karena mereka sendiri menghadapi pengeroyokan para prajurit.
Kini Si Kong berhadapan satu lawan satu dengan Toa Ok. Ketika dia mendapat kesempatan, pemuda itu memutar tongkat bambunya dan melibat tongkat ular lawan.
Selagi mereka saling betot, Si Kong mempergunakan Hok-liong Sin-ciang untuk menyerang dengan tangan kirinya. Ilmu silat Hok-liong Sin-ciang ini merupakan ilmu silat istimewa dari mendiang Ceng Lojin.
Pukulan yang dilakukan tangan kiri Si Kong itu mendatangkan hawa pukulan yang amat dahsyat. Karena tongkat mereka seolah menjadi satu sama lain, tidak ada jalan lain bagi Toa Ok kecuali menangkis dengan dorongan tangan kiri pula.
"Plakkk!"
Dua telapak tangan bertemu, akan tetapi Si Kong sudah menyimpan tenaga Hok-liong Sin-ciang dan menggantikan dengan ilmu Thi-ki-i-beng! Seketika Toa Ok merasa betapa tenaga sin-kangnya membocor keluar dari tangan kirinya, tersedot oleh telapak tangan kiri Si Kong.
Dia terkejut sekali dan teringat akan ilmu Thi-ki-i-beng yang amat berbahaya itu. Cepat dia menyimpan kembali tenaga sin-kangnya. Setelah tidak lagi menggunakan sin-kang, tempelan telapak tangan itu terlepas dengan sendirinya. Akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Si Kong menghantam ke arah tongkat ular dengan tangan miring seperti sebatang golok.
"Krekk!" Tongkat berbentuk ular itu patah menjadi dua potong.
Marahlah Toa Ok. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan mencabut pedang di punggungnya. Tampak sinar terang berkilat ketika pedang tercabut dan sekali ini Si Kong maklum bahwa yang berada di tangan Toa Ok itu adalah pedang Pek-lui-kiam yang aseli dan karena itu ampuh sekali.
Sinar terang itu menyambar ke arah lehernya dari samping. Si Kong menggetarkan tongkat bambunya untuk menangkis.
"Crokk!"
Tongkat bambunya putus menjadi dua potong. Si Kong terkejut sekali. Tongkat bambunya itu tidak akan putus bertemu dengan senjata tajam yang manapun juga.
Akan tetapi sekali ini, begitu bertemu Pek-lui-kiam lalu putus, padahal dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya!
Terdengar Toa Ok tertawa mengejek dan kakek itu terus menyerang dengan gencar.
Si Kong menggunakan dua potongan bambu di tangan kanan dan kiri untuk menyambut, akan tetapi berturut-turut tongkat bambu yang sudah menjadi pendek itu putus lagi. Dia lalu membuang potongan tongkat bambu itu dan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran Pek-lui-kiam.
Biarpun Toa Ok menyerang dan mendesak dengan pedang pusakanya, namun gerakan Si Kong terlampau gesit sehingga semua serangannya hanya mengenai tempat kosong saja.
Makin cepat Toa Ok menyerang, semakin cepat pula Si Kong bergerak mengelak dan dia sudah menggunakan ilmu silat Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya seperti seekor burung walet saja gesitnya.
Setelah lewat lima puluh jurus sejak Toa Ok mencabut Pek-lui-kiam Si Kong mendapatkan kesempatan yang baik.
Secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang. Tangan kiri Toa Ok melakukan pukulan dengan sin-kang panas ke arah dada Si Kong dalam jarak dekat. Akan tetapi Si Kong menerima pukulan itu dengan dadanya.
"Bukk!"
Telapak tangan Toa Ok melekat pada dada Si Kong dan seketika hawa sin-kang membanjir keluar dari tangan kiri Toa Ok, tersedot oleh ilmu Thi-ki-i-beng!
Toa Ok terkejut bukan main, akan tetapi Si Kong sudah mengerahkan tenaganya dan menggunakan tangan kanan untuk merenggut pedang Pek-lui-kiam daru tangan kanan Toa Ok.
Karena Toa Ok sedang sibuk hendak melepaskan tangan kirinya, maka dia tidak dapat mempertahankan pedang itu yang dapat terampas oleh Si Kong. Dia menggereng marah dan menggerakkan tangan kirinya tanpa pengerahan sin-kang.
Akan tetapi dia terlambat. Si Kong sudah memukulnya dengan jurus Hok-liong Sin-ciang dan pukulan itu tepat mengenai ulu hatinya.
Dess….!!"
Tubuh Toa Ok terlempar seperti bola dan jatuh terbanting ke atas tanah tanpa bergerak lagi. Isi dadanya sudah remuk oleh pukulan yang amat hebat itu!
Pada saat yang hampir bersamaan, Hui Lan sudah merobohkan Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan pedang hitamnya. Dada Ang I Sianjin tertusuk pedang dan diapun roboh dan tewas seketika. Setelah merobohkan Sam Ok, Hui Lan mengamuk dan robohlah Tio Gin Ciong dan Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap.
Mendengar teriakan maut puteranya, Tung-giam-ong terkejut dan perhatiannya terpecah sehingga Lam Tok berhasil memukul dada datuk besar timur itu dengan tangan kirinya. Pukulan itu beracun dan hebat sekali sehingga tubuh Tung-giam-ong terjengkang keras dan diapun tewas seketika.
Dapat dibayangkan betapa paniknya Ji Ok yang masih dapat bertahan melawan Pai Ong. Akan tetapi karena hatinya sudah merasa takut melihat robohnya teman-temannya, terutama robohnya Toa Ok, dia main mundur dan mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Dia memutar pecutnya dengan cepat, membentuk perisai yang lebar menutupi tubuhnya dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan. Tiga batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Pai Ong. Datuk utara ini cepat mengelak sambil meloncat ke kiri dan kesempatan itu di pergunakan oleh Ji Ok untuk melarikan diri.
Akan tetapi baru lima langkah dia lari, Pai Ong menggerakkan tangan kirinya dan golok di tangan kirinya itu meluncur dan menancap di punggung Ji Ok sampai tembus ke dadanya dan Ji Ok roboh. Diapun tewas seketika.
Yang masih bertahan terhadap Bwe Hwa hanya Coa Leng Kun. Pemuda ini masih dapat bertahan karena dia dibantu oleh dua orang dari Bu-tek Ngo-sian yang lihai.
Melihat betapa Bwe Hwa belum dapat merobohkan lawan yang mengeroyoknya, Hui Lan melompat dan membantu Bwe Hwa. Kini pertermpuran itu menjadi berat sebelah dan dengan mudah pedang Kwan-im-kiam di tangan Bwe Hwa menyambar dan melukai leher Coa Leng Kun.
Dua orang Bu-tek Ngo-sian itu, orang pertama Ciok Khi dan orang kedua Sia Leng Tek, menjadi gentar akan tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri sedangkan tiga orang adik mereka juga sudah terdesak oleh pengeroyokan banyak prajurit. Mereka berdua menjadi nekat melawan dua orang gadis perkasa itu.
Akan tetapi karena hati mereka sudah gentar, permainan pedang mereka menjadi lemah dan hampir berbareng mereka roboh oleh tusukan pedang Hui Lan dan pedang Bwe Hwa.
Para anggauta Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah banyak yang tewas melawan pasukan kerajaan yang tiga empat kali lebih banyak jumlahnya. Tiga orang dari See-thian Su-hiap dan tiga orang dari Bu-tek Ngo-sian masih bertahan, akan tetapi Si Kong, Hui Lan dan Bwe Hwa menerjang mereka dan dalam waktu singkat saja mereka semua sudah roboh dan tewas.
Apalagi karena Si Kong mempergunakan Pek-lui-kiam yang amat ampuh sehingga sepak terjangnya menggiriskan.
Begitu sinar berkelebat, sudah ada seorang lawan yang tewas! Melihat ini, sisa anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menjadi ketakutan dan mereka membuang senjata dan berlutut menyerah.
Panglima Gui Tin lalu menyuruh pasukannya untuk menangkapi mereka, kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Setelah memeriksa keadaan pasukannya, dia lalu memerintahkan pasukannya untuk bekerja, mengubur semua jenazah dan mengobati mereka yang terluka.
Sementara itu, Lam Tok berhadapan dengan Pai Ong. Mereka saling pandang dan Lam Tok yang lebih dulu berkata, "Ha-ha-ha, kita berdua saja yang masih hidup diantara empat orang datuk besar.
Apakah engkau masih ada hasrat untuk menjadi datuk paling lihai di kolong langit ini?" Pertanyaan ini mengandung tantangan.
Pai Ong tertawa pula, "Ha-ha-ha, ucapanmu benar, Lam Tok! Karena kita berdua memilih pihak yang benar, tidak menuruti hasutan Toa Ok dan Tung-giam-ong yang bersekongkol dengan pemberontak, maka kita masih hidup. Ini berarti kita memilih pihak yang benar."
"Tepat sekali, Pai Ong! Pek-lian-kauw selamanya memang membujuk dan menghasut para tokoh kangouw sehingga terseret ke dalam pemberontakan melawan pemerintah. Dan kalau seorang datuk masih dapat terbujuk omongan manis, dia tidak berhak menjadi seorang datuk yang berpendirian gagah perkasa dan bebas.
Akan tetapi mengingat sekarang yang tinggal hidup hanyalah Pai Ong datuk dari utara dan aku Lam tok datuk selayan, lalu bagaimana pendapatmu?"
"Lam Tok, aku sudah merasa malas untuk memperebutkan sebutan Datuk Nomor Satu di Dunia. Kalau yang ada tinggal dua orang datuk saja, apa artinya mendapat sebutan Datuk Nomor Satu? Tidak kau boleh memakai sebutan Datuk Terlihai, aku tidak ingin merebutnya. Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam, itulah yang dapat diperebutkan!"
"Tepat sekali! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih berhak memperoleh pedang pusaka Pek-lui-kiam!" kata Lam Tok.
"Bagus, aku setuju!" teriak Pai Ong. "Siapa pemilik Pek-lui-kiam biar tanpa sebutan apapun, menjadi bukti bahwa dia yang terlihai!"
Pada saat itu Si Kong melangkah maju menghampiri dua orang datuk yang saling tantang itu dan memberi hormat kepada mereka. "Ji-wi locianpwe, pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tanganku."
"Bagus, Si Kong. Serahkan pedang pusaka itu kepadaku. Sejak aku melihat betapa engkau mengubur jenazah puteriku, aku telah berubah pikiran dan membantumu menentang mereka yang menjadi musuh-musuhmu.
Karena engkau tidak termasuk seorang datuk, maka serahkan pedang Pek-lui-kiam kepadaku!" kata Lam Tok yang kini mengerti mengapa puterinya dahulu jatuh cinta kepada pemuda perkasa ini. Dia berterima kasih sekali ketika melihat Si Kong mengubur jenazah Cu Yin dan timbul rasa sukanya kepada pemuda ini
Bukan diserahkan kepada Lam Tok. Itu kurang adil karena disini ada dua orang datuk yang masih hidup. Orang muda, serahkan pedang itu kepada siapa di antara kami yang menangkan pertandingan memperebutkan Pek-lui-kiam" kata Pai Ong.
Si Kong kembali memberi hormat kepada dua orang datuk itu. Kini pandangannya terhadap dua orang datuk itupun sudah berubah. Dua orang datuk itu tidak seperti yang lain, tidak tunduk terhadap pemberontak Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, bahkan menentang mereka.
Dia beranggapan bahwa dua orang datuk ini masih memiliki jiwa pahlawan dan berpendirian, walaupun mereka memiliki watak yang aneh dan menurut kehendak mereka sendiri.
"Ji-wi locianpwe, pedang pusaka ini adalah milik pendekar Tan Tiong Bu, karena itu tidak dapat dimiliki siapapun, harus kukembalikan kepada yang berhak."
"Akan tetapi Tan Tiong Bu telah mati, terbunuh oleh Ang I Sianjin!" tegur Lam Tok.
"Benar, locianpwe. Akan tetapi dia masih mempunyai seorang anak perempuan dan kepada anaknya itulah pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan. Dara itulah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam sebagai peninggalan ayahnya."
"Ah, mana bisa begitu?"
Pai Ong mencela. "Siapa yang terkuat dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam. Karena itu kita bertiga akan membuktikan siapa yang terkuat dan siapa yang berhak memiliki Pek-lui-kiam!"
Akan tetapi Lam Tok menghela napas panjang dan berkata,
"Apa yang dikatakan Si Kong benar!
Apa gunanya kita memperebutkan sebuah pusaka yang sesungguhnya menjadi hak milik seseorang?
Memalukan saja! Apa engkau suka kalau disebut sebagai seorang pencuri?
Aku tidak! Sudahlah, Si Kong, aku tidak akan memperebutkan pusaka Pek-lui-kiam itu. Dan engkau, Pai Ong, kalau engkau masih penasaran untuk memperebutkan kedudukan datuk nomor satu, kupersilakan engkau mendatangi tempat tinggalku di Lembah Sungai Heng-kiang. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Lam Tok meloncat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon.
"Bagaimana locianpwe? Apakah engkau tidak sependapat dengan locianpwe Lam Tok?" tanya Si Kong kepada Pai Ong.
"Tentu saja tidak. Sebelum aku dapat kau kalahkan dalam pertandingan, aku tidak rela engkau membawa pergi Pek-lui-kiam!
Kalahkan aku dulu, baru engkau berhak menentukan apa yang akan kau lakukan dengan Pek-lui-kiam!"
"Sesungguhnya, locianpwe, aku sendiri tidak ingin memiliki pedang pusaka itu. Aku hanya hendak mempertahankan bahwa pusaka itu harus diserahkan kepada puteri pemiliknya, sebelum pusaka itu dibawa pergi oleh Ang I Sianjin."
"Kalau begitu, mari kalahkan aku lebih dulu!" Kakek tinggi besar berkepala botak ini mencabut sepasang goloknya.
"Akan tetapi engkau licik kalau engkau hendak menghadapi sepasang golokku dengan pedang pusaka itu."
Si Kong tersenyum dan memungut sebatang kayu dari bawah pohon. Dia membuang ranting dan daun kering dari cabang kayu itu dan memegangnya sebagai tongkat.
"Pedang Pek-lui-kiam tidak akan kupergunakan untuk melawanmu, locianpwe. Cukup dengan sebatang kayu ini saja. Kalau aku kalah terhadap locianpwe, pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan."
Pai Ong tersenyum dan wajahnya berseri. "Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan dapat dipercaya. Marilah kita tentukan siapa diantara kita yang berhak membawa pergi Pek-lui-kiam. Mulailah, Si Kong."
"Aku telah siap, locianpwe. Harus mulai lebih dulu."
"Bagus, lihat golok!" Kakek tinggi besar itu sudah menggunakan sepasang goloknya untuk menyerang. Serangannya memang dahsyat sekali karena dia menggunakan seluruh tenaga dan kecepatannya. Karena maklum bahwa lawannya, biarpun masih muda, memiliki ilmu silat yang tinggi, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh.
Golok kanan membacok miring dari atas ke bawah ke arah leher Si Kong sedangkan golok kiri bergerak dari lain jurusan menyambar pinggang. Si Kong tidak berani memandang rendah lawannya yang dia tahu merupakan orang yang tingkat ilmu silatnya tidak berada di bawah tingkat mendiang Toa Ok.
Dengan ringan sekali Si Kong mengelak mundur sehingga serangan sepasang golok itu mengenai tempat kosong. Ketika datuk itu memutar goloknya untuk menyerang lagi, Si Kong mendahuluinya dengan serangan balasan.
Tongkatnya tergetar ujungnya dan sekali bergerak seperti ular-ular mematuk, ujung tongkatnya sudah mengarah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Pai Ong.
"Hemmm…..!" Pai Ong menggereng dan kedua goloknya sibuk menangkis totokan itu dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu terpotong oleh goloknya. Namun biarpun ditangkis sepasang golok yang tajam, tongkat itu tidak terpotong melainkan terayun dan membuat gerakan melingkar menyerang lagi dengan totokan ke arah lambung kakek tinggi besar itu.
Pai Ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu dapat menggerakkan tongkatnya demikian cepat dantidak terduga. Karena tidak sempat menangkis, dia meloncat kebelakang untuk menghindarkan diri dari serangan cepat itu.
Kemudian, setelah memutar sepasang goloknya, dia menyerang lagi dengan dahsyat. Namun, gerakan tubuh Si Kong terlampau cepat baginya, juga amat aneh sehingga dia menjadi bingung. Makin lama permainan tongkat Si Kong semakin banyak perubahannya yang sama sekali tidak tersangka-sangka sehingga setelah lewat lima puluh jurus kakek tinggi besar itu mulai terdesak.
Si Kong tidak berniat buruk terhadap Pai Ong. Bagaimanapun juga, datuk utara ini telah memperlihatkan bahwa dia tidak sudi menjadi pengkhianat seperti Toa Ok dan Tung-giam-ong. Bairpun dia disebut datuk besar dunia kangouw, akan tetapi dia masih memiliki kegagahan. Karena itu, Si Kong tidak ingin mencelakainya.
Melihat lawannya sudah terdesak, Si Kong mempercepat gerakan tongkatnya sehingga Pai Ong menjadi semakin bingung. Seolah-olaj tongkat itu berubah menjadi banyak sekali, mengurung dirinya dari berbagai penjuru. Karena bingung menghadapi tongkat itu, Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, berniat untuk menggunting tongkat yang ampuh itu agar terpotong.
Suatu saat dia melihat bayangan tongkat itu dan secepat kilat sepasang goloknya menggunting dari atas ke bawah. Si Kong sengaja memperlambat gerakan tongkatnya sehingga tampaknya hampir terjepit sepasang golok. Pai Ong sudah merasa girang sekali, akan tetapi pada saat terakhir, tongkat itu hilang dan sepasang goloknya bertemu sendiri di udara.
"Traangg…..!!"
Pada saat itu, ujung tombak Si Kong bergerak dua kali menotok ke arah pergelangan tangan Pai Ong sehingga kedua tangan itu kehilangan kekuatannya dan sepasang golok itupun terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Si Kong melompat mundur, memberi kesempatan kepada Pai Ong untuk memungut sepasang goloknya kembali.
Pai Ong terbelalak, mukanya berubah sedikit pucat.
Dia harus mengakui kekalahannya, akan tetapi hatinya masih penasaran sekali. Harus diakuinya bahwa pemuda itu memiliki ilmu tongkat yang hebat, akan tetapi mungkin dalam perkelahian tangan kosong pemuda itu tidak akan mampu mengalahkannya. Untuk menebus rasa malu karena kalah dalam pertandingan menggunakan senjata, Pai Ong berkata tanpa memungut sepasang goloknya.
"Harus kuakui bahwa engkau memiliki ilmu tongkat yang luar biasa dan aku mengaku kalah dalam permainan senjata. Akan tetapi, aku baru mengakui kekalahanku kalau engkau mampu menandingi aku dalam pertandingan tangan kosong dan penggunaan sin-kang."
Si Kong tersenyum maklum. Kakek tinggi besar itu dikenal sebagai seorang datuk besar. Tentu saja dia sukar mengakui kekalahannya terhadap seorang pemuda sepertinya.
Dia dapat memaklumi hal ini dan sambil tersenyum dia menjawab, "Kalau locianpwe mengajak bertanding dengan tangan kosong, akan kulayani, akan tetapi harap locianpwe suka mengalah dan tidak menjatuhkan tangan yang terlalu keras bagiku."
Pai Ong memandang kagum. Pantas saja Lam Tok enggan bermusuhan dengan pemuda ini. Seorang pemuda yang luar biasa. Sudah jelas dapat mengalahkannya, akan tetapi tetap merendahkan diri.
"Engkau terlalu merendahkan diri, Si Kong. Mari kita uji kekuatan masing-masing."
"Aku sudah siap, locainpwe," kata Si Kong sambil membuang tongkatnya.
Dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. Pai Ong mengerutkan alisnya dan bersungguh-sungguh karena dalam pertandingan ini dia harus mempertahankan kedudukannya sebagai datuk besar yang patut disegani semua orang.
Akan tetapi Si Kong kelihatan tenang-tenang saja dengan bibir tersenyum seolah dia sudah merasa pastu bahwa dia tidak akan kalah oleh lawannya.
Sikap percaya diri ini ditanamkan mendiang Pendekar Sadis kepadanya bersama ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
"Lihat serangan!"
terdengar Pai Ong membentak karena dia melihat pemuda itu agaknya tidak mau mendahului menyerang. Tubuhnya menerjang maju dan dia sudah mengirimkan pukulan yang mendatangkan hawa panas sekali. Inilah ilmu pukulan Hok-ciang (Tangan Api) yang meangdung sin-kang amat kuat.
Si Kong mengenal pukulan ampuh, maka diapun mengelak dan selanjutnya memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) sehingga tubuhnya bergerak amat cepat.
Dengan penuh penasaran Pai Ong melancarkan serangan bertubi-tubi, namun tidak satu pun dari semua pukulannya mengenai sasaran.
Dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya, Pai Ong menyerang dan agaknya tidak memberi kesempatan kepada Si Kong untuk membalas serangannya.
Hebat memang kakek datuk utara ini. Serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Bahkan orang yang berdiri dalam jarak sepuluh meter dari tempat pertandingan itu, terpaksa mundur menjauh karena merasakan sambaran angin yang panas.
Si Kong sama sekali tidak mampu membalas. Setiap kali dia mengelak dari satu serangan lawan, maka serangan lain telah menyusul sebagai sambungan, seolah jurus-jurus itu telah dirangkai dan tiada putusnya. Diam-diam pemuda ini merasa kagum bukan main.
Tingkat kepandaian datuk utara ini bahkan lebih unggul dibandingkan tingkat kepandaian Tok Ok.
Andaikata pertandingan Pai Ong dan Lam Tok diadakan, tentu Pai Ong akan merupakan lawan tangguh dari Racun Selatan itu.
Hampir seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan belum juga ada pukulan Pai Ong yang mengenai tubuh Si Kong. Pai Ong sudah mulai lelah dan dia semakin penasaran.
Pada suatu saat, tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah dada Si Kong dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar.
Si Kong yang tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, menganggap sudah cukup dia memberi kesempatan kepada lawannya.
Diapun lalu menggerakkan kedua tangannya menyambut dua serangan Pai Ong itu. Tangan kirinya dengan telapak tagan terbuka menyambut pukulan ke arah dadanya dan tangan kanannya mengibas ke bawah untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.
"Plak! Plak!"
Dua pasang tangan bertemu di udara dan mata Pai Ong terbelalak. Dia merasa betapa kedua tangannya bertemu benda lunak yang langsung menghisap tenaga sin-kangnya. Tenaga sinkangnya membanjir keluar disedot telapak tangan yang lunak itu.
Tentu saja dia terkejut setengah mati.
Dalam dunia persilatan hanya para hwesio Siauwlimpai yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu mereka yang dapat menggunakan tenaga dalam untuk menyedot tenaga lawan.
Akan tetapi dia teringat akan ilmu menyedot seperti itu yang pernah dimiliki mendiang Pendekar Sadis.
Maka, tanpa disadarinya mulutnya mengeluarkan apa yang terasa di hatinya.
Pendekar Sadis….?"
Si Kong yang tidak bermaksud mencelakai lawan memang sudah hendak melepaskan ilmu Thi-ki-i-beng, ketika mendengar disebutnya nama gurunya, lalu melepaskan kedua tangannya dan meloncat mundur ke belakang.
Pai Ong memejamkan mata dan menghirup hawa murni untuk memulihkan tenaganya, kemudian dia membuka matanya dan maklum bahwa kalau lawannya yang muda itu menghendaki, dengan mudah lawan akan mengirim pukulan maut selagi dia tidak berdaya tadi. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya.
"Si-taihiap (Pendekar besar Si), aku Pai Ong Loa Thian Kun mengaku kalah dan dengan kekalahanku ini, engkaulah yang berhak memakai gelar Jago Silat Nomor Satu di dunia dan pedang pusaka Pek-lui-kiam memang pantas menjadi milikmu."
Si Kong cepat membalas penghormatan kakek itu. "Locianpwe, harap jangan bersikap seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin disebut Jago Nomor Satu, dan akupun sama sekali tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam untuk pribadi. Locainpwe telah mengalah kepadaku, aku berterima kasih sekali."
Wajah Pai Ong menjadi kemerahan. "Ahh, betapa bodohnya kami yang menyebut diri datuk besar persilatan, betapa sombongnya seperti katak dalam tempurung!
Aku telah mendapat pelajaran yang amat berharga, orang muda. Mulai saat ini Loa Thian Kun hanya seorang biasa, tidak ada lagi Pai Ong. Selamat tinggal!"
Orang tua itu lalu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon besar di bawah puncak. Si Kong menghela napas panjang dan diam-diam bersyukur bahwa mendiang gurunya telah mewariskan ilmu-ilmu yang dapat menundukkan orang-orang sakti seperti para datuk besar itu.
Mereka semua sudah bubaran.
Para pasukan kerajaan, setelah menguburkan semua jenazah, lalu ditarik mundur dan kembali ke kota raja oleh Panglima Gui Tin dan juga Cang Hok Thian.
Percuma saja Cang Hok Thian yang amat terpesona oleh Bwe Hwa mencoba untuk membujuk Bwe Hwa agar mau ikut pulang bersamanya, dan ingin dia perkenalkan kepada ayah bundanya.
Bwe Hwa menolak halus dan minta agar Cang Hok Thian meninggalkannya. Hok Thian terpaksa ikut Panglima Gui Tin pulang, di dalam hatinya mengambil keputusan bahwa dia harus berjodoh dengan gadis itu atau tidak akan menikah dengan gadis lain.
Setelah semua orang pergi, Si Kong juga melakukan perjalanan seorang diri menuruni puncak.
Akan tetapi baru tiba di lereng bawah puncak, gerakan dua orang telah membuat dia membalikkan tubuh dan ternyata yang mengejarnya adalah Pek Bwe Hwa dan Hui Lan!
Dia berhenti dengan jantung berdebar. Tadi dia telah berpamit dari dua orang gadis ini dan kini mereka mengejarnya.
Apa yang mereka kehendaki? Hatinya menjadi tegang dan gelisah, akan tetapi dia menekan hatinya sehingga kelihatan tenang saja ketika dua orang gadis itu tiba di depannya.
"Lan-moi dan Hwa-moi, ada urusan apakah kalian mengejarku?" tanya Si Kong sambil memandang ke kiri. Tanpa disengaja, dia berhenti tak jauh dari makam Siangkoan Cu Yin ketika dua orang gadis itu menyusulnya!
Dua orang pendekar wanita itu adalah puteri-puteri para pendekar yang gagah perkasa dan keduanya mewarisi watak ibu mereka yang terkenal keras dan terbuka.
Mendengar pertanyaan Si Kong, Hui Lan menjawab, "Kong-ko, kami berdua mengejarmu karena hendak menanyakan sesuatu yang kami harap Kong-ko akan menjawab dengan sejujurnya dan terbuka, sesuai dengan watak kita yang menghargai kebenaran an kejujuran!"
Debar jantung di dada Si Kong makin menggebu. "Pertanyaan tentang apakah?"
Sekarang Bwe Hwa yang melangkah maju. "Kong-ko, ketika engkau meninggalkan kami berdua dari guha dahulu, mengapa engkau meninggalkan sajak itu? Aku masih ingat bunyinya!" kata Bwe Hwa yang lalu membacakan sajak itu.
"Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!"
"Nah, mengapa engkau meninggalkan sajak itu dan meninggalkan kami tanpa pamit?
Kong-ko, apakah engkau tidak menghargai perasaan kami terhadapmu?" Hui Lan bertanya secara terbuka sehingga wajah Si Kong berubah kemerahan.
"Engkau harus menjawab sejujurnya, Kong-ko. tidak perlu ada rahasia diantara kita, semua harus dijelaskan agar tidak terkandung pikiran buruk satu sama lain. Apakah kami berdua yang kau maksudkan dengan Sepasang Burung Hong itu dan engkau menganggap dirimu seekor burung gagak yang papa, yang tidak pantas berdekatan dengan kami?"
Si Kong harus menelan ludah berulang kali untuk menenteramkan hatinya yang berdebar gelisah menghadapi dua orang gadis yang bicara secara terbuka itu. Lebih gelisah daripada harus menghadapi dua ekor singa betina yang marah!
"Eh… hemmm……. aku…… terus terang saja kau telah mendengar percakapan kalian ketika aku habis mandi. Hatiku menjadi gelisah dan bingung. Aku merasa tidak berharga untuk kalian, merasa tidak pantas. Aku tidak ingin melihat kalian berduka atau kecewa, maka kupikir… sebaiknya aku meninggalkan kalian.
Percayalah, Lan-moi dan Hwa-moi, tidak ada maksudku untuk membikin kalian berduka. Aku… aku merasa lebih baik aku menjauhkan diri, aku sungguh tidak berharga untuk kalian…."
Kami tidak perlu menyembunyikan, Kong-ko, bahwa kami berdua kagum dan tertarik kepadamu. Karena itu buanglah keraguanmu bahwa pilihanmu akan membuat seorang diantara kami menderita kecewa atau berduka. Kami sudah saling menceritakan rahasia hati kami masing-masing dan kami berani menghadapi kenyataan dengan hati terbuka," kata Hui Lan.
"Benar, Kong-ko. Andaikata engkau memilih Hui Lan, akupun tidak akan merasa sakit hati atau mendendam kepada kalian." kata Bwe Hwa.
"Dan andaikata engkau memilih enci Bwe Hwa, akupun rela dan menganggap bahwa engkau bukan jodohku," kata pula Hui Lan.
"Engkau boleh menganggap kami sebagai wanita tidak tahu malu membicarakan urusan cinta kami, akan tetapi kami sudah bersikap terbuka dan jujur, maka harap engkau terbuka dan jujur pula terhadap kami," sambung Bwe Hwa.
Si Kong mengeluarkan keringat dingin. Tentu saja tidak sedikitpun terdapat pendapat bahwa dua orang gadis itu tidak tahu malu, bahkan dia kagum sekali terhadap keterbukaan mereka.
Kalau di dunia ini semua orang bersikap terbuka dan jujur, tentu dunia tidak seperti sekarang, penuh pertikaian dan kesalahpahaman.
"Aih, Lan-moi dan Hwa-moi, apakah yang harus aku katakan?" Si Kong menghela napas panjang dan sekali lagi dia menengok ke kiri, ke arah kuburan Cu Yin.
"Kepada kalian aku merasa kagum dan hormat. Kalian bagiku merupakan pendekar-pendekar wanita yang gagah dan patut dikagumi selain berilmu tinggi juga berbudi luhur. Perasaan kalian terhadap diriku sungguh merupakan kehormatan yang berlebihan bagiku."
"Tidak perlu berbelit-belit, Kong-ko!" kata Hui Lan. "katakan saja, siapakah diantara kami berdua yang kau cinta? Ataukah, engkau tidak mencinta kami berdua?"
Si Kong menggeleng kepala dan menghela napas lagi.
"Cintaku telah terbawa mati oleh Cu Yin yang sekarang bermakam di sana. Kalian bagiku terlampau tinggi untukku. Aku hanya kagum dan hormat, dan terus terang saja, sayangku kepada kalian bukan seperti yang kalian duga. Maafkan keterus teranganku ini, akan tetapi sesungguhnya, tidak ada perasaan cinta asmara dalam hatiku."
Dua orang gadis itu saling pandang dan wajah mereka menjadi agak pucat, akan tetapi lalu menjadi kemerahan kembali.
"Kong-ko, siapa itu Cu Yin?" tanya Hui Lan sambil menoleh dan memandang makam baru itu.
"Ya, siapa gadis yang telah mampu menjatuhkan hatimu itu, Kong-ko?" tanya Bwe Hwa penasaran.
Si Kong menghela napas.
"Sebelum ia tewas aku pun tidak tahu bahwa aku mencintainya. Kasihan Cu Yin. Ia bukan berkedudukan tinggi seperti kalian. Ia hanyalah puteri Lam Tok yang tewas oleh anak panah ayahnya sendiri ketika ia berkorban untukku, menghadang anak-anak panah yang ditujukan kepadaku."
Dua orang gadis itu menunduk, merasa terharu.
Mereka adalah dua orang gadis perkasa yang gagah, maka keterusterangan Si Kong tidak membuat mereka menjadi sakit hati.
Mereka menerimanya dengan wajar dan dapat menekan perasaan sendiri.
Mereka maklum bahwa cinta asmara tidak mungkin terjadi sepihak saja, dan juga cinta tidak dapat dipaksakan.
Mereka tidak marah, tidak sakit hati dan hanya pandangan mereka terhadap Si Kong berubah.
Kini mereka melihat pemuda itu sebagai seorang sahabat yang mereka kagumi, tidak lagi mengharapkan balasan cinta darinya.
"Menyedihkan sekali…." Kata Hui Lan sambil memandang ke arah kuburan itu.
"Kasihan gadis itu….," kata pula Hui Lan.
Sikap kedua orang gadis itu menerima keterusterangannya yang menolak cinta mereka membuat Si Kong semakin kagum kepada mereka.
Demikian bijaksana. Pantas kalau mereka berdua merupakan dua orang gadis yang disebut pendekar yang berbudi luhur dan tidak mementingkan kesenangan diri sendiri.
"Nah, selamat tinggal, Lan-moi dan Hwa-moi. Aku hendak melanjutkan perjalanan untuk menyerahkan Pek-lui-kiam ini kepada yang berhak."
"Selamat berpisah, Kong-ko," kata Hui Lan.
"Selamat tinggal, Kong-ko," kata Bwe Hwa dan kedua orang gadis itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mereka dapat menerima kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan gagah, tanpa penyesalan, melainkan penuh keikhlasan dan kemakluman.
Setelah dua orang gadis itu pergi, Si Kong menghela napas panjang.
Dia telah berbohong dalam usahanya agar tidak membuat salah satu dari mereka kecewa dan menyesal. Kalau hanya seorang saja yang mencintanya, alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Lan atau Bwe Hwa.
Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia memilih salah satu, yang lain akan merasa kecewa dan menyesal.
Pula, dia melihat betapa buruk nasib Cu Yin, gadis yang mencintainya.
Dia tidak ingin kalau kedua orang dara perkasa itu mengalami nasib buruk pula.
Dengan perlahan dia menghampiri makam Cu Yin, lalu duduk bersila di depan makam itu sampai hampir sejam lamanya. Setelah itu, dia lalu pergi menuruni gunung Kui-liong-san untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Ci-bun, dimana Tan Kiok Nio tinggal mondok dirumah pamannya, yaitu Hartawan The Kun.
Ketika tiba di kota Ci-bun, Si Kong langsung saja menuju ke rumah Hartawan The Kun. Hari masih pagi, akan tetapi didepan rumah keluarga hartawan itu sudah menunggu banyak pengemis besar kecil laki perempuan.
Setiap hari rumah itu pasti didatangi para pengemis yang minta sumbangan dan tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Melihat ini, Si Kong mengangguk-angguk dan tersenyum senang. Kalau semua hartawan di dunia ini bermurah hati seperti hartawan The Kun, akan berkuranglah kesengsaraan di dunia.
Hartawan The Kun bahkan merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang di waktu musim panen gagal.
Dia membuka tangannya untuk memberi atau menyumbang, bahkan yang memerlukan sesuatu dapat meminjam darinya tanpa bunga.
Ketika Si Kong memasuki pekarangan, seorang tukang kebun yang sedang menyapu di pekarangan itu menyambutnya dan tukang kebun ini bertanya ramah.
"Kongcu mencari siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung? Si Kong tersenyum pula. Kalau majikannya murah hati, tak mungkin pembantu-pembantunya galak dan sombong. Tukang kebun inipun ramah dan hormat sekali.
"Maafkan kalau aku mengganggu, paman. Aku ingin bertemu dengan The-wan-gwe. Dapatkah paman melaporkan ke dalam?"
"Kalau kedatangan kongcu mengenai urusan sumbangan, sebaiknya kongcu menanti sebentar," kata tukang kebun itu dengan sikap ramah dan halus.
"Ah, tidak, paman. Aku mempunyai urusan lain yang amat penting dengan The-wan-gwe."
"Kalau begitu harap tunggu sebentar, biar kulaporkan ke dalam." Tukang kebun itu melepaskan sapunya lalu melangkah memasuki rumah besar itu.
Tak lama kemudian tukang kebun itu sudah keluar bersama seorang kakek yang di kenal Si Kong sebagai The-wan-gwe. Si Kong segera memberi hormat kepada hartawan itu.
"Engkau siapakah orang muda dan ada keperluan apakah ingin bertemu dengan aku?" kakek itu memandang wajah Si Kong dengan penuh selidik.
Si Kong tersenyum. "Apakah The-wan-gwe sudah lupa kepadaku? Aku pernah membantu membagi-bagi beras di sini." Si Kong mengingatkan dan hartawan itu segera teringat.
"Ah, kiranya engkau, Si Kong….! Aku, aku sudah tua dan menjadi pelupa. Mari masuk, kita bicara di dalam!" Hartawan itu menawarkan dengan sikap ramah sekali.
"Baik, loya (tuan tua) dan terima kasih."
"Ha-ha-ha, engkau jangan menyebut loya kepadaku, cukup kau sebut paman saja. Bukankah manusia di dunia ini merupakan satu keluarga yang besar?" Si Kong semakin kagum. Orang tua ini melaksanakan ujar-ujar dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak orang yang hafal akan ujar-ujar bijaksana itu dan dapat menirukan dengan suara lantang dan indah.
"Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!"
dan ada pula ujar-ujar yang berbunyi,
"Cintailah orang lain seperti kamu mencintai diri sendiri!"
Akan tetapi semua itu tinggal menjadi slogan belaka. Kalau dengan saudara sendiri saja sudah bertengkar, bagaimana dapat menganggap manusia di empat penjuru sebagai saudara?
Kalau kepada saudara sendiri saja kita tidak dapat mengasihi, bagaimana mungkin mencintai orang lain? Akan tetapi The-wan-gwe agaknya melaksanakan segala pelajaran yang bijaksana itu dalam kehidupan sehari-hari. Dia, yang dulu pernah bekerja kepada hartawan itu, kini diterima sebagai anggota keluarga!
Setelah tiba di ruangan tamu, dengan sikap ramah Hartawan The mempersilakan Si Kong duduk.
Mereka duduk berhadapan dan hartawan itu bertanya, "Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu Si Kong?"
Si Kong tersenyum. Baru pertanyaan itu saja sudah menunjukkan sikap yang murah hati dari hartawan itu. "Sebetulnya saya tidak mempunyai keperluan apapun dengan paman The, melainkan dengan nona Tan Kiok Nio. Akan tetapi rasanya tidak pantas kalau saya minta tolong kepada tukang kebun tadi untuk memanggilkan nona itu."
Hartawan The tersenyum lebar.
"Kiok Nio? Dia berada di dalam. Tentu akan merasa heran mendengar engkau berkunjung kepadanya."
Untuk menghilangkan prasangka yang bukan-bukan Si Kong cepat berkata, "Dalam pertemuan antara kami dahulu, nona Tan Kiok Nio minta kepadaku untuk menyelidiki tentang pembunuh ayahnya dan pencuri pedang pusaka milik ayahnya."
"Ah, itukah? Dan engkau telah berhasil?"
Si Kong mengangguk dengan wajah berseri. "Bagus!" kata hartawan itu. "Kiok Nio tentu akan senang sekali mendengarnya! Kau tunggu sebentar, aku akan memanggilnya untuk menemui engkau disini!" Hartawan itu lalu masuk kedalam dan Si Kong menanti di atas kursinya.
Tak lama dia menanti. Bunyi langkah kaki yang halus terdengar dan dia memandang ke arah pintu sebelah dalam. Muncullan Tan Kiok Nio, gadis yang cantik manis itu.
Dengan pandang mata penuh harapan gadis itu menghampiri Si Kong. Pemuda ini segera bangkit untuk memberi hormat.
"Tan-siocia….," katanya lembut.
"Ah, Si-taihiap. Engkau sudah datang? Dan bagaimana dengan pembunuh itu?"
"Harap nona suka duduk. Ceritanya agak panjang, akan tetapi aku telah berhasil menemukan pembunuh itu dan membawa pedang Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepadamu. Nah, terimalah pedang ini, nona Tan Kiok Nio."
Si Kong menjulurkan tangan memberikan pedang itu. Melihat pedang itu, Tan Kiok Nio menerimanya lalu mendekap pedang itu dengan kedua mata basah. Akan tetapi ia tidak menangis dan menelan kembali tangisnya.
"Terima kasih, taihiap. Akan tetapi bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menemukan kembali pedang ini dan bagaimana pula dengan pembunuh itu? Siapakah dia?"
"Pembunuh itu berjuluk Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang di Kui-liong-san. Akan tetapi dia telah tewas dan beruntung sekali aku dapat berhasil merampas pedang pusaka milik ayahmu ini. Ceritanya panjang, nona."
"Ceritakanlah, taihiap!"
Si Kong lalu menceritakan pengalamannya sehingga Ang I Sianjin sampai tewas dan pedang itu dapat dirampasnya. Tentu saja dia hanya menceritakan garis besarnya saja yang ada hubungannya dengan Ang I Sianjin dan pedang Pek-lui-kiam.
"Demikianlah, nona." Si Kong mengakhiri ceritanya. "Pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan orang itu akhirnya dapat kurampas kembali dan aku segera ke sini untuk menyerahkannya kepadamu."
Kiok Nio kini tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia mendekap pedang itu sambil menangis dan terdengar ia berkata seperti berdoa, "Ayah…. Ibu….. tenang-tenanglah ayah ibu beristirahat di alam baka. Pembunuh ayah ibu telah terbalas, dan pedang Pek-lui-kiam telah dikembalikan kepadaku…."
Pada saat itu hartawan The memasuki ruangan tamu dan melihat keponakannya menangis sambil mendekap pedang, dia bertanya, "Heii, pedang itukah milik ayahmu? Sekarang sudah kembali, mengapa engkau menangis, Kiok Nio?"
Kiok Nio menghapus air matanya. "Aku…. aku terharu, paman. Pembunuh ayah ibu sudah dapat ditewaskan dan pedang ayah dapat dikembalikan!"
"Hemm, sepatutnya engkau bersyukur dan berterima kasih kepada Si Kong, bukan malah menangis."
Kiok Nio kini memandang kepada Si Kong dengan mata kemerahan bekas tangisnya. "Terima kasih, taihiap……" Dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Kong.
Pemuda itu terkejut dan cepat dia pun berlutut. "Jangan begini nona. Sebetulnya tanpa bantuan banyak pendekar lainnya, belum tentu aku akan dapat merampas pedang ini. Bangkitlah, nona."
Kiok Nio bangkit dan Si Kong juga bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadapan dan Kiok Nio berkata dengan suara gemetar, "Taihiap, engkau terimalah pedang pusaka ini!" Ia menyerahkan pedang dan dengan bingung Si Kong terpaksa menerimanya karena pedang itu dilepaskan dari pegangan Kiok Nio.
"Tapi, pusaka ini harus kembali kepada yang berhak, nona. Tidak dapat aku menerimanya! Yang berhak memiliki adalah engkau, nona."
"Tidak, bukan aku yang berhak, melainkan engkau, Si-taihiap. Ketahuilah bahwa dulu pernah ayah memberi tahu kepadaku pemilik sesungguhnya dari pusaka ini adalah seorang sakti bernama Pek In Losian yang tinggal di Pulau Bayangan.
Aku tidak berhak menyimpannya, dan karena engkau yang dapat merampasnya dari Ang I Sianjin, maka engkaulah yang berhak memilikinya. Sekali lagi terima kasih, taihiap. Sampai mati aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini." Gadis itu terisak lalu berlari masuk. Si Kong masih memegang pedang itu dengan kedua tangannya dan termenung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Ha-ha-ha!" The-wan-gwe tertawa. "Tidak tahukah engkau, Si Kong, mengapa Kiok Nio berlari masuk sambil menangis?"
"Saya….. saya tidak mengerti, paman."
"Si Kong, berapakah usiamu sekarang ini?"
"Duapuluh satu atau duapuluh dua, paman. Mengapa?"
"Dan engkau belum terikat, maksudku belum menikah atau bertunangan?" tanya Hartawan The Kun tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Belum," Si Kong menggeleng kepalanya dengan bingung.
"Bagus sekali! Sudah cocok kalau begitu, Kiok Nio berusia sembilanbelas tahun dan iapun belum mempunyai calon suami. Si Kong, kami sekeluarga akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dan Kiok Nio dapat menjadi jodoh masing-masing."
Si Kong terbelalak. "Ah, mana mungkin? Aku….. aku seorang yatim piatu….."
"Sama dengan Kiok Nio. Dengar, Si Kong. Aku tidak mempunyai anak dan Kiok Nio sudah kami anggap anak sendiri. Aku sudah tua, malas berusaha. Kalau engkau menjadi suami Kiok Nio, kalian akan mewarisi seluruh hartaku dan engkau dapat melanjutkan usahaku."
Tapi……, tapi……"
"Tidak ada tapi, Si Kong. Kiok Nio pasti setuju. Ketika ia berlari masuk sambil menangis, aku sudah tahu.
Karena itulah maka ia menyerahkan pedang pusaka ayahnya kepadamu. Anggaplah itu sebagai tanda pengikat perjodohan, ha-ha-ha!" Hartawan The Kun tertawa girang sekali karena dia tidak melihat alasan bagi Si Kong untuk menolak perjogohan itu. Kiok Nio cantik sekali, berilmu tinggi, dan menjadi pewaris hartawan itu pula.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hatinya ketika Si Kong berkata dengan suara tegas.
"Tidak, paman. Maafkanlah aku. Aku merasa amat terhormat sekali akan penawaranmu, akan tetapi, aku tidak dapat menerimanya. Aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk berjodoh.
Aku masih hendak berkelana, aku mendengar keterangan nona Kiok Nio tadi, aku hendak mengembalikan pedang pusaka ini kepada yang berhak, yaitu pemiliknya yang berjuluk Pek In Losian di Pulau Bayangan itu."
"Si Kong, jangan mengecewakan hatiku. Aku sungguh berharap engkau akan menerima tali perjodohan ini!"
"Maafkan kalau aku mengecewakan hatimu, paman. Akan tetapi perjodohan adalah urusan hati pribadi, tidak mungkin dapat dipaksakan.
Selamat tinggal, paman!" Si Kong melangkah keluar dengan cepat. Ketika dia tiba dipekarangan, ada sesuatu yang memaksa dia menoleh dan memandang ke atas. Dan disana, di jendela loteng yang menghadap ke pekarangan, dia melihat Kiok Nio memandang kepadanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya.
Ada rasa haru menusuk hatinya. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan melanjutkan langkahnya, keluar dari pekarangan rumah Hartawan The Kun, terus keluar dari kota Ci-bun!
Setelah tiba diluar kota Ci-bun, dia merasa hatinya ringan dan bebas. Dia memang ingin bebas, tidak terikat. Dia ingin menjadi pengelana, menjelajahi banyak tempat, bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru.
Sampai disini tamatlah seluruh cerita Serial Siang Bhok Kiam
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar