Yousuf penasaran sekali lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi, makin lama ia makin heran hingga ia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su! Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
"Ayah, ia tentu menggunakan ilmu sihir!" Lin Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya. Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba orang Turki ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, ia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek itu, "Kau berlututlah!"
Ini adalah semacam ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tak terasa pula mendapat desakan hebat dan tibatiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi setelah mengeluarkan bentakan bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel! "Ha, ha, ha! Aku tua bangka jembel tak layak menerima penghormatan ini!" kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya membuyarkan ilmu sihir Yousuf hingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel! Yousuf terkejut sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apabila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri! Yousuf lalu melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su! Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti lalu sambil mengibaskan sayapnya menangkis pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun memiliki tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi! "Ha, ha, ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu semenjak kecil!" kata kakek jembel itu sambil tertawa girang.
Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang dulu ia ambil dari gua di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.
Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah ketika ia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah pindah tangan.
"Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?" kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. "Han Le Sute... mengapa kau mendahului Suhengmu? Ah, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini..." setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.
Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pan Su, tokoh yang telah terkenal namanya di seluruh penjuru.
Lin I Lin dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki. "Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar," kata Lin Lin dengan hormat.
Bu Pun Su menghela napas. "Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri yang harus minta maaf. Ketahuilah, kadangkadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi anakanak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku telah pikun dan telah terlalu tua..." Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai.
Syukur bahwa kau terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kaukeluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal." Memang, nama Yousuf kalau diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.
Yousuf kembali menjura, "Saya yang bodoh dan rendah mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-suhu yang sakti?"
Bu Pun Su lalu berkata lagi, "Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kongciak ke sini? Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Dan pedang yang menceritakan padaku bahwa Suteku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah pedangnya! Coba kaututurkan pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini," perintahnya kepada Lin Lin.
Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Lin Lin dengan singkat menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk. "Ya, ya, ya. Aku kemarin telah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula." Kakek ini menghela napas dan ketika mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang dan dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah.
Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar di udara.
"Hm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu ia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku.
Terutama merak ini semenjak kecil telah ikut aku di pulau itu. Setelah aku meninggalkan pulau, maka suteku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?"
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya hingga ia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
"Lin Lin," kata Bu Pun Su, "Kau memang berjodoh dengan pedang ini maka Suteku sengaja memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan pedang sembarangan dan yang tinggal sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai mempergunakan pedang pendek, maka biarlah pedang potong ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu."
Lin Lin merasa girang sekali dan ia lalu menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian ia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata, "Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama Hanle- kiam untuk memperingati nama Suteku Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Suteku, yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami."
Bukan main girangnya hati Lin Lin yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.
"Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini kepadamu. Aku telah satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan kepandaian kepadamu. Jangan menganggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, nanti dia tidak berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekalipun."
Lin Lin segera bertanya dengan berani, "Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!" Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak, "Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan kalau kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu."
Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula, "Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali."
Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini ia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Ia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata, "Lo-suhu, terima kasih atas nasihatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh."
"Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang memiliki kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang." Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu setelah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini.
Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa telah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.
Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio! Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari Kwi-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah.
Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.
Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut dengan girang sekali.
"Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!" Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya ini.
"Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong."
Tong Kak Hosiang tersenyum, "Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu," Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio."
Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.
"Tiong-ko!" Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.
Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling.
Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai.
Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar.
Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah mencurahkan keharuan hati masing-masing. Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang, "An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan saja!"
Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.
"Tiong-ko, kau..."
Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.
Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.
"Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau." Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.
"Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik.
Kebijaksanaanmu yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja."
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. "Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?" Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.
Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata, "Aah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kauperjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian.
Sedangkan aku, yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua."
Cin Hai yang mendengar ucapan ini, menganggukangguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Setelah menuturkan pengalaman masing-masing dan melepaskan kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.
"Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Seringkali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil."
Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik, "Coba, kaudengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?"
Kwee An memasang telinga dengan penuh perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.
"Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa..."
Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya. "Itulah Kwi Sianseng!" katanya.
Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?"
Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia membelalakkan kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar.
"Kau juga??"
Cin Hai bertanya heran, "Apa maksudmu?"
"Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha, ha, jangankan kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di kepalaku."
Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap seketika.
"Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!"
Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula. Di depan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan kakek-kakek yang sedang berpikir keras.
"Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?"
Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.
Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang, "Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri."
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala seperti burung makan padi. "Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!" ia memuji. "Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?"
Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah kakek-kakek itu menjawab lantang, "Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal..." ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.
"Anak bodoh dan tolol!" gurunya memaki dan Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol. Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi, "Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal..." Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.
Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya kaku, Cin Hai menjawab dari luar, "Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!"
Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng. Cin Hai berkata, "Kwi Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat."
Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu. "Jiwi ini siapakah?"
"Kwi Sianseng," kata Kwee An, "sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!"
Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya, "Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baikbaik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!" Kemudian ia teringat kepada Cin Hai yahg telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, "Dan kongcu yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?"
Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil menjura, "Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?"
Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu berkata, "Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!"
Cin Hai tertawa bergelak. "Kwee Sianseng, sekarang hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!"
Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya, "Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan kira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan menjadi pandai!"
Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup! Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmuilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.
Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu, "Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!" Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati.
Akan tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kwi-sianseng itu telah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih! Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kwi-sianseng.
Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.
"Hebat, hebat... mereka telah menjadi orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa," katanya kemudian ia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. "Mereka hebat sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka." Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kwi-sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
"Jangan kaulakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu," kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya. Semenjak saat ini Kwi-sianseng mempunyai kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.
Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwisianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an.
Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok. Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad dan memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.
Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.
"Perampok ganas, pergilah dari sini!" katanya dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran. Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kongciak-sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali. Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental den sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.
Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini den tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.
Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu, "Taihiap yang gagah perkasa telah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!"
Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya dihormati sedemikian oleh piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata, Lo-piauwsu janganlah beriaku demikian. Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?"
Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri, "Tan-kauwsu! Kaukah ini?"
Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tangkauwsu, guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tankauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang, "Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Culocianpwe, tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!"
Kemudian ia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya, "Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?"
Cin Hai ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang. Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tankauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata, "Tan-kauwsu, sesungguhnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau takkan dapat menduganya dia ini siapa biarpun kau akan mengingatingat sampai semalam penuh! Biarlah aku membantumu.
Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!"
Tiba-tiba pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata! "Taihiap... aku... aku... ah, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!"
Kwee An memandang heran dan segera berkata, "Eh, eh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?"
Akan tetepi Cin Hai mengejapkan mata kepada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut di depannya.
"Tan-kauwsu, memang benar kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya.
Kau dulu berkeras hendak membunuhku, dan sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kautanam dengan kedua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kaupikir-pikirkan perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An menghela napas dan berkata, "Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendahTiraikasih Website http://kangzusi.com/ rendahnya, akan tetapi akan tiba masanya ia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya."
Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka mencoba-coba dan pergi ke kota raja.
Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana mereka dulu pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Ketika mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, sedangkan di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.
Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini benar-benar luar biasa hebatnya hingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan kedua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.
Kedua pemuda itu yang melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar biasa, segera melompat turun.
"Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang."
Kwee An kaget sekali dan menjadi jerih. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.
Cin Hai melompat masuk ke kalangan pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu, "Jiwi Locianpwe, biarkan teecu menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya."
Sebetulnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka maka keduanya lalu melompat mundur.
Kiam Ki Sianjin!" kata Cin Hai dengan tenang, "dulu Suhuku Bu Pun Su telah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua ini masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?"
Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu ia tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kecil dan masih kanak-kanak, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat! "Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak.
Keluarkanlah kepandaianmu kalau kau memang gagah!"
Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada. Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali, dan sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, ia lalu menerjang maju dengan hebat sekali! Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokohtokoh besar di dunia persilatan, akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, maka kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran.
Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena kini pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya! Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tak terasa pula Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini adalah tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali. Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini ia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam! Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali mengapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa ia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diamdiam ia mengharapkan bahwa kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai.
Tidak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri.
Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai telah mengeluarkan llmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tak kuat menghadapi ilmu pukulan ini! Kiam Ki Sianjin selama hidupnya satu kali menerima tandingan yang tinggi ilmu kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika ia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu. Kini baru pertama kalinya ia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya hingga tentu saja ia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walaupun dapat mendesak namun agak sukar merobohkan dua orang lawan yang bukan sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa. Kini menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi daripada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang telah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.
Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba ia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kiri dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Ketika beberapa tahun yang lalu ia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah ia alirkan melalui pedang ini, ia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan mempergunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi.
Akan tetapi, oleh karena sekarang ia merasa marah sekali, ia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun ia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja dan hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu telah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.
"Kiam Ki Sianjin!" kata Cin Hai keras-keras, "kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!" Kiam Ki Sianjin salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jerih melihat pedangnya, maka sambil tertawa cekikikan ia lalu menerjang maju dengan cepatnya.
"Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!" kata Cin Hai dan secepat kilat pemuda ini pun lalu mengelak dan mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan ia takkan dapat mengambil kemenangan apabila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka ilmu pedang yang ia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya bergerakgerak aneh bagaikan terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti keluar dari surga menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.
Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat ia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang, juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya. Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya.
Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi makin lemah.
Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.
Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat. Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa mempedulikan tikaman pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.
Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya. Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu.
Keduanya tidak bergerak, saling pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas. Tiba-tiba terdengar suara "krak!" yang keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.
Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.
Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.
"Jangan!" teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.
Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat.
Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.
Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.
Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak kawankawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan dibiarkan saja oleh para perwira tadi! Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, biarpun tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik.
Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengedu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang! Setelah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.
"Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku. Tentu saja Pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!"
Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
"Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha, ha, ha!"
Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas, "Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!"
Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.
"Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mujijat itu?" tanya Eng Yang Cu.
"Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!" kata Cin Hai yang lalu menganggukanggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka telah menanti dengan hati rindu! Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf.
Ketika mereka bertanya kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.
Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.
Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An, "Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu."
Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin! "Akan tetapi jangan terlalu lama," katanya. "Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!"
Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.
Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah.
Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya. Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang.
Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar, "Hoa-moi..."
Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata, "Kau... kau... An-ko..." Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan sinar mata itu mewakili hati masingmasing dan melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Koko, mengapa baru sekarang kau datang?" Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya! "Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!" Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila mendapat pujian dari kekasihnya? Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf. Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.
"Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!" Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak! Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.
Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu.
Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjukpetunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.
Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar! "Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah ini?" tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.
"Lekas kauminum air teh dari poci. Ini adalah Yo-pehpeh," bisik Ma Hoa. Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.
"Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang seringkali kau dengar namanya itu."
Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk.
"Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar."
Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, "Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!"
Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka ia segera maju memeluknya.
"Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!" Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.
"Di mana Lin Lin?" tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya. Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri lalu menjawab, "Entahlah, dia semenjak tadi keluar dengan Sin-kongciak.
Sebentar lagi tentu datang. Dan di manakah adanya Si-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?"
"Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu ia telah bertemu dengan Lin Lin!"
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana ia mendengar burung merak memekik nyaring, ia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika ia tiba di puncak, ia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang indah bulunya dan besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar.
Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang! Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya! Demikianlah, ketika ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.
Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi ketika Cin Hai memperhatikan, ia menjadi terkejut oleh karena melibat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat! Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kongciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak memiliki kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sutenya yang sakti dan telah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biarpun telah melukainya, namun tidak membunuhnya.
Betapapun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini biarpun ia menyambarnyambar namun ia tidak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergerak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang! Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran.
Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan. Kuda itu adalah kuda Pekgin- ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak ia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang telah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.
"Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!" kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
"Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan kau beristirahatiah dulu!"
Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di situ ia lalu menggunakan paruh dan kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.
Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.
"Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!" katanya dan sedikit pun ia tidak merasa jerih.
Memang ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana telah ia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supeknya.
Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang lalu maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis dan sebentar saja kedua orang musuh besar ini telah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget melihat kemajuan ilmu silat lawan.
Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekangnya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya daripada dulu.
Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini kini telah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam ia menjadi bingung dan jerih terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata "Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supekmu!"
Hai Kong Hosiang maklum bahwa supeknya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia makin jerih lagi.
Ia tak perlu bertanya bagaimana supeknya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan mengacaukan pikirannya itu.
Kemudian dengan nekad Hai Kong Hosiang menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya.
Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat ini yang telah dikenal baik oleh Cin Hai, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja. Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, tiba-tiba tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena ketika melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali! Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras! Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena ia tidak mau disebut licin untuk melawan seorang yang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu. Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan lalu kedua kakinya menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai lalu menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-inhoat- sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in-hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul kembali oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sukar baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, takkan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.
Tiba-tiba Cin Hai yang semenjak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera ia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Dan bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.
Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut sekali.
Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya? "Siluman!" bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad. Tubuhnya berputarputar di atas kepala dan kedua kakinya menyambarnyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur saja. Kaki yang tadinya harus menyerang pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai. Hai Kong Hosiang benarbenar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga telah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.
Menghadapi Pek-in-hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tidak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin Hai dapat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah ia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang. Hwesio ini biarpun sudah lumpuh kedua kaki tangannya, namun masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya hingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.
Cin Hai melangkah mundur dan berdiri di dekat Pekgin- ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata, "Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu."
Setelah beberapa kali mengguling-gulingkan tubuhnya untuk menghindarkan kedua matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta! Pada saat itu terdengar seruan girang, "Hai-ko!"
Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru, itu bukan lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi telah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak telah datang membelanya.
"Lin Lin...!" Cin Hai berseru girang sekali dan mereka lalu saling berpegang tangan dengan hati penuh kebahagiaan. "Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang ditanamnya sendiri!" Mereka sambil berpegang tangan menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah berhasil membalas sakit hatinya Merak Sakti terbang melayang ke atas dan memekik-mekik girang.
Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.
Melihat Hai Kong Hosiang telah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi Kwee An lalu mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu, akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, "Koko, jangan!"
Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan olah Kwee An yang merasa marah sekaii, akan tetapi suara Ma Hoa ini mempunyai pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.
"Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!"
Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.
Yousuf tertawa. "'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!"
Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf. "Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!"
Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, "Bangsat-bangsat rendah, kaukira aku takkan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!"
Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam! "Nah, begitulah hukuman seorang jahat!" kata lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka. Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata, "Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan."
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya. "Enci Im Giok...." bisiknya, "kau... kau di manakah?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar