15 Asmara Berdarah

"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."

"Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."

"Tidak...! Teecu... teecu menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.

"Crakkk...!" Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.

Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"

"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.

"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.

"Wuuuttt, plakkk... trangggg...!" Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.

"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.

Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!" Berkata demikian, laki-laki yang su-dah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!

"Jangan...!" Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.

"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.

Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut." Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.

"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.

"Hui Song, apa yang hendak kaulakukan?" Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.

"Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."

Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.

Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.

Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.

Suasana sunyi di gedung besar itu ti-ba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.

"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"

Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung. Tentu aaja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.

"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.

"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamman dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.

Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya. "Ciang suheng, di sini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."

Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.

"Kasihan Ciang-suheng...!" Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.

"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"

Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.

"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya. Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.

"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.

"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.

"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."

Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."

"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.

Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."

Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.

"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"

Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran. "Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"

"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."

Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali. Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.

"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."

"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"

Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!

"Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.

Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.

"Apa yang kaulakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.

"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"

"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."

"Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kauceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kaulakukan bersama Su Kiat."

"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."

"Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.

"Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai di sana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."

Pada saat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.

"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"

Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."

Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.

Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka. Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.

Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira. Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerutkan alisnya.

"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."

"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.

"Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"

"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"

"Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."

"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"

"Pemerintah sudah mempunyai pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Kalau terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."

"Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"

"Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"

"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.

"Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas daripada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga negara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Kalau pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itupun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."

Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja.

"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masib seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"

"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembeser korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."

"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.

"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.

Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereka semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.

Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya sudah berwarna putih semua. Inilah dia tokoh persilatan yang pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (De-we Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propin-si Shan-tung.

Melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.

"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"

"Dua puluh empat tahun, kek."

Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"

Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."

"Aih, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."

"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"

"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.

"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."

Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.

"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.

"Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.

"Pemberontakan? Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.

"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."

Kakek itu menarik napas panjang. "Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.

"Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"

Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"

"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah kita sebagai pendekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"

"Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"

"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.

Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus dapat membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, untuk membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."

"Jadi... dengan kata lain, kong-kong membenarkan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"

Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi, dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, biarpun kini Liu-thaikam telah tertangkap dan tewas, namun keadaan kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya beberapa orang menteri saja dan beberapa orang jenderal, yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tidak memperdulikan pemerintahan. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, kalau terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut memperoleh bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"

"Akan tetapi, kong-kong, bukankah sejak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"

"Hui Song, engkau belum mengerti!" bentak ayahnya. "Seorang patriot adalah seorang gagah yang membela rakyat, membela nusa bangsa! Kalau pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah itu mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, kalau pemerintahnya lalim dan dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"

"Akan tetapi, ayah. Yang namanya pemberontak itu, sejak dahulu, bukankah dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"

"Belum tentu! Tidak semua pemberontak jahat. Kalau orang memberontak terhadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, dia tidak dapat dinamakan jahat."

"Tapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"

"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu mendatangkan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."

Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kong-kongnya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi, bukan tidak mungkin kalau pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri dalam kamarnya.

Pahlawan! Patriot! Dari manakah lahirnya sebutan ini dan apakah sesungguhnya arti sebutan itu? Pada umumnya, pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya? Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya! Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan golongan pertama, dicap pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya.

Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat. Para pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka. Dan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah. Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.

Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!

Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.

Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan ingin menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.

Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan sesampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu. "Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu," demikian Hui Song mengakhiri suratnya.

"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, dan isterinya menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi bertahun-tahun, hanya semalam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.

"Ah, sudahlah. Tidak aneh kalau putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.

"Tapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa sejak pagi mereka tidak pernah melihat Hui Song maupun Siang Wi.

"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.

"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali kalau mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.

Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, kakek Bin Mo To perlahan-lahan membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.

"Setiap usaha menentang pemerintahan yang buruk patut didukung oleh orang orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapapun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.

Mendengar ucapan ayahnya dan melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.

"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan mendukungnya?"

Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik sekali dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu. Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, setelah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu. Biarpun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Bekas kawan-kawan kakek itu datang berkunjung dan urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan. Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit-ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui dan sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua akan tetapi dia ingat akan mantunya. Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan karena bujukan atau karena paksaan, melainkan ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan. Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat ikut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.

"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk ikut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung dalam batin. Dan siapa yang tidak akan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.

"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyat yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya." Bin Mo To terus membujuk mantunya, dan dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya, akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau saatnya telah tiba.

***

Hati Hui Song masih diliputi rasa penasaran dan dia nampak termenung ketika dia berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.

Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas? Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri. Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di tangan para datuk sesat!

Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari arah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongannya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis. Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut. Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihias senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.

Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayangkan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.

Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereke adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.

Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jangkung karena dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya. Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang di bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang. Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.

Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya di antara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihidangkan dan sambil makan diapun memasang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah mabok.

"Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"

"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"

Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya. Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah. Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.

Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi sesuatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun terguling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dan mata mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.

Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.

Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia telah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.

Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.

Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur, "Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"

Hui Song maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tidak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat. "Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan kalau aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."

"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.

"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"

Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang, "Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"

Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh merupakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"

"Ha-ha, engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song terkejut. Si gendut ini memiliki sin-kang yang amat kuat, pikirnya.

"Kalau hanya ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah kedua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali. Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.

"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, kalau engkau tidak dapat menerimanya, habis engkau mau apa?" tantang lagi si jangkung sambil bertolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap siaga.

"Ji-wi sebagai pembunuh-pembunuh harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."

Dua orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"

Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang tak berdosa, tak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."

Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak dan Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga sinar menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali dan bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun. Akan tetapi yang mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukanlah senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.

"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song. Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sin-kang kuat, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.

"Syuuuttt... dukkk...!" Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biarpun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, namun benturan tenaga sin-kang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walaupun tubuhnya terguncang hebat.

Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, lalu merekapun melompat dan melarikan diri! Hui Song tidak mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka sudah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya. Bagaimanapun juga, empat orang itu telah tewas dan dia bukan seorang petugas keamanan. Andaikata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi, mereka telah tewas karena kelancangan mulut mereks sendiri.

Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak seperti iblis kejamnya itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.

Bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini. Setelah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan kepada pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.

"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tidak ada orang berani mendekati, terutama sekali di waktu malam."

"Eh, kenapa?" Hui Song bertanya.

"Karena... tempat itu angker, ada setannya."

"Hemm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana perginya para pendetanya?"

"Kuil itu dahulu adalah kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua bersama empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi pada suatu malam, terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada keesokan harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima telah tewas dalam keadaan mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.

"Bagaimana? Terbunuhkah?"

"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang dapat melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berobah hitam membengkak, dan empat orang nikouw muda itu kesemuanya telanjang bulat."

Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.

"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan sekarang, seperti keteranganmu tadi, ada setannya? Bagaimana pula itu?"

Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka dan sejak hari itu, kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekatipun tidak berani, apalagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil. Bahkan beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan dan tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"

"Mati...?" tanya Hui Song kaget.

"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apalagi tidur di situ."

Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu saja menjadi tempat yang amat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itupun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.

Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh namun kotor tidak terpelihara itu. Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apalagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru mengingat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apalagi sudah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang berani tidur di situ. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?

Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan sembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tidak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.

Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan awan gelap yang menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song schingga dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang! Tentu saja, kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa.

Hui Song melihat seorang gadis cantik berhenti di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan diapun terkejut dan terheran. Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang melewatinya di luar dusun, ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Dan kini tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Akan tetapi pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.

Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang dan daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidakwajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan angin tidak ada sedikitpun juga di malam itu.

"Wuuuttt... cit-cittt...!" Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.

"Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun dan berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka diapun tidak menyangka buruk.

Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar. "Siapa kau?"

"Nanti dulu, nona. Kita sudah saling bertemu di luar dusun dan kenapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau aku tidak hati-hati dan jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang juga aku sudah tidak dapat menjawab pertanyaanmu tadi?"

Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik dan kekerasan, yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu amat menarik dan mengagumkan hatinya. Akan tetapi ia masih menaruh curiga.

"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.

Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apalagi kalau tersenyum. "Nona, menurut cerita orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."

"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, dan engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaianmu menangkap jarum-jarumku. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.

"Dukk! Plakk!" Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka iapun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulan dengan cengkeraman atau totokan ke arah jalan-jalan darah yang berbahaya.

Akan tetapi, Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas. "Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tak kena!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar