Tio Sun menjadi marah juga dan menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.
"Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu menggunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Ta-houw-sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu menggunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat.
Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan main. Dia tadi sudah menduga bahwa Tio Sun tentu bukan pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia ingin mencoba kepandaiannya dan merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi mengapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi? Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa benar-benar orang gagah itu telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw-sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja!
"Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak dan muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!
Kakek itu terkejut bukan main dan dia terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan setelah menangkis tujuh totokan bertubi-tubi yang amat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah!
"Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.
"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.
"Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, dan kakek pengemis itu makin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini benar-benar lihai sekali, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tidak ada yang sanggup menandingi wanita ini!
"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"
Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ah, tidak...!" Dan melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.
Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.
Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tidak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh pingsan di atas lantai.
Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggilnya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, maka kembali air matanya bercucuran.
"Ibu...!"
"Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.
"Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..."
Kwi Eng mengangkat mukanya mcmandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lamanya Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengar suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak. "Sekarang katakanlah, siapa yang membunuh suamiku? Siapa...?" Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman hebat, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang hingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.
Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu menjawab, "Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kai-pang."
"Ketua Hwa-i Kai-pang?" Kwi Eng seolah-olah hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi? Mengapa suamiku sampai terbunuh olehnya?" Lalu dia teringat akan cerita suaminya, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah?"
Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kai-pang itu mendesaknya, mereka bertanding, kami sudah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..."
"Dan ketua Hwa-i Kai-pang itu? Ke mana dia..."
"Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."
Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, berlutut, dan menyentuh lengan suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia merangkul dan menangis lagi. Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang jenazah ayahnya, kemudian setelah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, diapun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhh... ayaaaah..." Dan menangislah anak itu bersamanya.
Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama mekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun.
Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan dan pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari tibalah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis. Kwi Beng sedapat mungkin menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi. Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka maupun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan peristiwa selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas daripada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, mendatangkan luka parah di dalam batin.
"Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya.
***
Perkumpulan Hwa-i Kai-pang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggautanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kai-pang. Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari di kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggauta yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kai-pang yang bertingkat yaitu yang bertingkat lima ke atas.
Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dengan Kim Hong Liu-nio yang berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan panjagaan den mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.
Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Dan dia juga merasa heran mangapa orang muda yang segagah itu demikian mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw-sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan! Betapapun juga, ketua Hwa-i Kai-pang ini tidak merasa bersalah! Kalau putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu adalah karena salahnya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kai-pang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio? Dia sebagai ketua Hwa-i Kai-pang hanya mempunyal permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggauta pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!
Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kai-pang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kai-pang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kai-pang memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kai-pang.
Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang diam-diam melakukan penjagaan, mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian.
Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan juga mencurigakan. Hanya pakaian dan gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi selain perbedaan kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang agak kebiruan!
Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama dan adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kai-pang! Tidaklah sukar bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh geram kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kai-pang!
Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka akan kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini tiba di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata.
"Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kai-pang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini."
Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang, lalu Kwi Beng yang berkata kepada kakek pengemis yang dia tahu adalah tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu, melihat dari buntalan di atas punggungnya. Lalu Kwi Beng yang mewakili adiknya menjawab, "Memang kami berdua hendak memasuki sarang Hwa-i Kai-pang, mengapa harus mengambil jalan lain?"
Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima sampai tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biarpun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ahh, begitukah?" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apalagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang dipergunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka adalah pakaian orang berkabung!
"Siapakah kalian berdua? Dan ada keperluan apakah kalian memasuki sarang Hwa-i Kai-pang?"
Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau adalah seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang. Ketahuilah bahwa kami datang bukan untuk berurusan dengan Hwa-i Kai-pang, melainkan dengan pancu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kai-pangcu!"
Lo-thian Sin-kai memandang tajam dan menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini! "Siapakah kalian berdua? Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami?"
"Tidak akan kuberitahukan kepada siapapun, kecuali ketua Hwa-i Kai-pang si jahanam keparat!" Tiba-tiba Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali.
"Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?"
"Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti? Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, harus membayarnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarken sinar berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kai-pang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.
"Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kai-pang sendiri.
Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini dan melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kai-pang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. Maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu, musuh besarnya yang telah membunuh suaminya. Tak terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian.
"Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?" Kwi Eng bertanya, suara menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.
Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kai-pang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia!
"Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin?" tanyanya dengan suara halus.
"Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kaubunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"
"Dan orang muda ini siapa?"
"Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan akupun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!"
"Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas? Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sesungguhnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap dapat tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"
Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang hati kalau sudah diracuni dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apapun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah!
"Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan den pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.
"Ah, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!" ketua Hwa-i Kai-pang itu berkata penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang. Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam suatu pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu dan kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat!
Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak memiliki bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apalagi kakak beradik kembar itu! Maka dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka telah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!
Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya sudah terpental, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng lalu mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kai-pang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan diapun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.
"Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung sehingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, namun tidak ada sebatang pisaupun yang mengenai sasaran.
"Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong! Sebetulnya, kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan selain itu, juga mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan telah mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang. Akan tetapi, karena bakat mereka tidak terlalu besar, maka mereka hanya mampu menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biarpun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan dan menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itupun terguling roboh.
"Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya. Memang dia sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu tentu seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti kakak iparnya itupun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah mempersiapkan senjata api ini, biarpun ayahnya meninggalkan pesan agar dia jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam keselamatannya. Sekarang, dia memang agaknya tidak terancam keselamatannya, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati. Daripada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu!
Dar-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka. Ternyata ketika tadi pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah! Akan tetapi, Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekat. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling.
"Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlalu rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang kena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya.
"Biarlah, mereka ini perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kai-pang menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kai-pang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan amat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu.
Muka Kwi Eng sudah bengkak terkena tamparan dan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.
"Plakk! Dukk!" Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan Kwi Beng terpukul tongkat kakinya sehingga ketika dia hangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekat mereka adalah untuk melawan sampai mati!
Pada saat itu, terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh tidak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa!"
Semua orang terkejut dan menengok. Yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek ketika dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, sedangkan pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana tidak membawa senjata, dan kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.
Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian kedua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiripun berani menghadapi seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Kini, melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanyan, mendahului ketuanya itu dia menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami?"
Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah mendengar dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kai-pang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai buntalan tiga. Lumayan juga kepandaianmu mengemis, akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"
Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.
"Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kautebus mahal sekali!"
Gadis itu ternyata lincah den jenaka sekali. Dia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ah, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya? Berapa mahalkah tebusan kelancanganku? Sebungkus sayuran sisa? Ataukah beberapa keping uang tembaga?"
Bukan hanya Hek-bin Mo-kai yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka telah berkali-kali mengalami penghinaan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, telah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot kebesaran namanya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main.
"Perempuan kurang ajar dan lancang! Apakah kau bosan hidup? Siapakah engkau?" bentaknya.
Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia, berkata, "Aku tidak ada waktu untuk bicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah?"
Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi makin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemis pun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya memandang dengan heran.
"Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Nona siapakah dan..."
"Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kai-pang! Engkau adalah ketua kai-pang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini, yang menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kai-pang hanyalah merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung pura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!"
Kembali terdengar suara berisik ketika para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu dan anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam dapat mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya.
"Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang belum diselidiki lebih dulu keadaannya merupakan tindakan yang amat coroboh. Ketahuilah bahwa dua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Setelah mereka manantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka? Kaulihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua?"
Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itupun tak mungkin akan dapat menandingi kakek itu. Maka dia lalu menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.
"Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum memiliki kepandaian berani menandingi ketua jembel ini dan mencari celaka sendiri?" Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran dan Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi makin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia dan adiknya amat direndahkan orang, dan diapun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapapun juga dalam urusan pribadi ini, apalagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu.
"Kami tidak membutuhkan bantuan siapapun! Hayo, tua bangka kejam, lanjutkan pertempuran kita tadi, kami tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan Kwi Beng sudah menyerang lagi dengan nekat, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat.
"Wuuuuuttt... plak!" Betapapun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling!
Pemuda yang nekat ini sudah bergerak lagi, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu kedua tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi, kembali kakek itu meggerakkan tangan kirinya, menangkis den mendorong dan tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya.
"Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat den membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan merupakan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"
"Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku dan kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam?" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang oleh gadis cantik itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apalagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu.
Mendengar ini, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang diakuinya sebagai adiknya tadi kinipun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut.
"Ah, kiranya begitukah? Pangcu, kau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tidak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membelas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?"
Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!" Dan tanpa menanti ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.
Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biarpun keadaan dirinya sudah babak-belur dan luka-luka, namun melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia lalu meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.
"Wuuuuttt... plakkk... desss!" Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main dan tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, kini membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng. Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya.
"Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Tiba-tiba gadis itu berkata halus.
Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan sedang berhadapan dengan ketua kai-pang itu, dia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, setelah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.
"Adik Mei Lan...!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itupun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka (baca cerita Dewi Maut).
Gadis cantik itu memandang kepadanya, tersenyum dan mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut telah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya. Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hui Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia "dioperkan" oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan "taruhan" antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.
Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan dan Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka kedua orang muda itu kini menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama. Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya karena guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri. Tentu saja begitu melihat Kwi Beng, Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidak sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tentu saja tanpa diminta, Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.
Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tidak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah "orang luar", maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu telah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernam Tio Sun!"
"Apa...?" Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun telah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kai-pang? Tentu saja berita ini membuatnya terkejut bukan main.
"Pangcu, benarkan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu? Bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?" Mei Lan bertanya sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kai-pang itu.
Ketua Hwa-i Kai-pang menegakkan kepalanya dan sambil memandang tajam dia menjawab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, akan tetapi dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."
Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kai-pang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi kalau memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapapun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka andaikata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa para pengemis inilah yang bersalah. Betapapun juga, dia harus membela Kwi Beng!
Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkatap "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia." Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara kalau tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk.
Lie Seng yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang kepada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar banwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?"
Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berbutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian?"
"Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."
"Ahh...!"
"Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kaubunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."
"Jembel sombong! Engkau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!"
Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena sejak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimanapun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!"
"Bagus!" Mei lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa."
"Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian? Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"
Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, "Suci, biarlah aku menghadapinya."
Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. "Mulailah, lo-kai!"
Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba.
Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.
"Wuuuttt...!" Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.
Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.
"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.
Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang tajam dan dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.
"Krakkkk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata tajampun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan dan keheranannya berubah menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!
"Plak! Desss... bruuukkk!" Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!
"Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.
"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."
Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.
Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!
Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.
"Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"
Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.
"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?"
Mei Lan tersenyum. "Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"
"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.
"Trakk!" Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu!
Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.
Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.
Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus kakek itu menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Gin-kang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat. Dan lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw-sin-ciang seperti ini! Diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sutenya yang juga lihai bukan main! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan menghancurkan nama besarnya.
Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya, Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi membunuh mereka.
Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main. Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itup tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.
"Plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua.
Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan!
Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!
"Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa.
Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek, "Jembel-jembel busuk benar-benar tak malu!" Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu!
Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya. "Brettt...!" angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!
"Uhhh...!" Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring, "Semua saudara pengemis, mundur!" Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri.
Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu, tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening.
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan!
"Ahh...!" Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampai terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang kakak beradik kembar itu.
Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya.
"Bagaimana rasanya kepalamu?" tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu.
"Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..."
"Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang." Mei Lan menegur. "Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.
"Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang." Kwi Beng berhenti bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.
"Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?" Mei Lan bertanya.
Kwi Beng mengangguk. "Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja. Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah."
Mei Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, kurasa dia tidak berbohong."
Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran. "Tidak berbohong? Jembel tua itu...!" Kwi Eng berseru, penasaran.
Mei Lan membuat gerakan dengan tangan menyabarkan. "Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?"
Kwi Eng menjawab, "Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai." Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya.
"Ahh...!" Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-angguk. "Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?"
"Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya," kata pula Kwi Eng.
"Hemm, urusan dendam-mendendam!" Mei Lan kembali mengangguk-angguk. "Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalahfahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati."
"Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?" bantah Kwi Beng penasaran. "Dan iparku tewas bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar