13 Pendekar Kelana

Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar dimana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengar suaranya yang galak.

"Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat kalau kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!"

Gin Ciong terkejut dan jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, "Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku."

Gadis itu lalu meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Ia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.

"Ayah….!!"

Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. "Hemm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi disana? Dan siapa pula pemuda itu?"

Dia menudingkan ke arah Gin Ciong yang sudah mengangkat kedua tangan depan dada sambil memberi hormat dengan membungkukkan badannya.

"Dia kenalanku yang baru, ayah. Kami melakukan perjalanan ke Kui-liong-san ini untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Enkau tentu tidak dapat menebak siapakah pemuda ini!"

Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. "Ayah, aku ingin menguji kecerdikan ayah. Coba ayah menebak siapa pemuda ini, kalau dapat menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi kalau tidak dapat menebak, ayah harus merampas Pek-lui-kiam untukku!"

Lam Tok menggumam, "Hemmmm, apa sukarnya?" Tiba-tiba tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu, telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.

"Sambutlah!" serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong. Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar sehingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda ini sejak kecil sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, dia memiliki gerakan cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.

"Locianpwe….. apa kesalahanku…..!" dia menegur.

"Tidak usah banyak cakap. Sambulah ini….!" Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.

Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh, seperti juga ayahnya. Aneh, tidak perduli dan dapat pula bersikap kejam sekali seperti yang diperlihatkan Lam Tok ini terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang.

Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.

"Ayah tidak boleh membunuhnya. Kalau ayah membunuh atau melukai, berarti ayah kalah bertaruh!"

Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak semakin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu lalu mengeluarkan suara berisik nyaring dan dia mengubah ilmu silatnya.

Ilmu silat yang dimainkan itu sungguh dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut!

Dia telah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu Giam-ong Sin-kun (SIlat Sakti Raja Maut) dan pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!

"Dukk! Dess….!"

Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjengkang.

Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!"

Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi untuk menyenangkan hati ayahnya, ia pura-pura mengejek, "Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau ayah sudah menegetahuinya?"

"Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!"

"Ayah ngawur! Bagaimana ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!" kata puterinya.

"Hemm, anak nakal. Apa kaukira engkau sendiri yang cerdik dan bayak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya dan pemuda ini mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat Tung-giam-ong."

"Akan tetapi, setiaporang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?"

"Ketika dia memainkanHek-wan-kun silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia mampu bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu."

Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa amat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan ia bertanya kepada ayahnya.

"Aku kalah, dan ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!"

Lam Tok terawa dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Tin Gin Ciong, "Siapa namamu?"

"Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe."

"Mana ayahmu? Apakah dia belum datang?"

Gin Ciong menjadi bingung. "Saya…. saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini."

"Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!"

Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. "Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?"

Pertanyaan itu seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah dia mencinta Cu Yin, tentu akan di jawabnya seketika dengan anggukan kepala!

"Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!" kata Cu Yin pura-pura marah.

"Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan tidak dapat dipercaya janjinya? Engkau telah kalah bertaruh denganku dan menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, engkau sudah membantah dan tidak segera menjawab!"

"Ayah, aku hendak menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!"

Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Ia tahu benar akan watak ayahnya yang tidak pernah mundur menghadapi tantangan apapun dan dari siapapun juga.

Lam Tok mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, "Hemm, dimatamu tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta kalau engkau memandang kepada Gin Ciong. Seorang wanita yang mencinta seorang pria, biarpun pada lahirnya disembunyikan, namun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya kalau ia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!"

Tentu saja Gin Ciong merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan yang terus terang antara anak dan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya?

Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Biarpun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian.

Diapun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.

Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka iapun berkata dengan lembut. "Cing-ko, harap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Terhadap ayah aku tidak mungkin dapat berbohong. Ayah benar, aku kagum kepada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria."

Lam Tok menghela napas panjang. "Sayang, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong, hal itu baik sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan.

Engkau mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Dan bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!"

Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. "Saya sudah tahu, locianpwe. Bairpun saya jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun ia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku.

Saya tahu benar bahwa ia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong, akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya binta Yin-moi kepadaku akan berubah." Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.

"Hemm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?"

"Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, ayah."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia kelihatan gembira bukan main.

"Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi engkau membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?"

"Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, ayah. Dia berani menolak cintaku dan menolak ketika hendak keajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal, dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita."

Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal.

"Hemmmm…., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku dimana dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!"

Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, "Sebetulnya Si Kong itu sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Akan tetapi ketika saya hendak membunuhnya, Yin-moi melarangku."

Cu Yin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. "Kalau engkau mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, aku tentu tidak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, dan terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!"

Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong menutup mulutnya dan menunduk.

Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya. "Hemm, sampai dimanakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?"

Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. Dia lihai dan sombong sekali, locianpwe, karena dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!"

Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut. Nama julukan Pendekar Sadis bukan nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam jerih terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.

"Hemm, jadi dia murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?"

"Aku mencintanya dan juga membencinya, ayah."

"Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Kalau dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?"

Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, "Kalau dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya."

"Dan dimana sekarang dia berada?"

"Dia pernah mengatakan bahwa diapun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini."

"Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu."

"Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?" tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.

Lam Tok mengepal tinju tangannya. "Kalau dia tetap menolak, dia akan mampus ditanganku!"

Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.

"Ayah akan mendaki puncak bersama kami?" tanya Cu Yin.

"Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama, kalian berdua akan dapat membela diri dengan baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!"

"Sampai jumpa, ayah." Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.

Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu dimana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berjalan cepat.

Mereka adalah Si Kong dan Tang Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dulu melihat mayat bergelimpangan itu.

"Kong-ko, lihat….!" Ia menuding ke kiri. Ketika Si Kong menengok, diapun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan.

Si Kong meraba leher satu diantara mayat-mayat itu. "Masih hangat tubuh mereka, baru saja mereka terbunuh. Lihat, darahpun masih belum kering benar." Hui Lan ikut berjongkok memeriksa dan iapun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.

"Enam orang diantara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tanganhancur lebur. Mereka jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini….. ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka…….!"

"Siangkoan Cu Yin?" Hui Lan mendekati Si Kong. "Apa buktinya bahwa ia yang membunuh mereka ini?"

"Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap di tubuhh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin."

"Hemm, mengapa ia begini ganas dan kejam?"

Si Kong menghela napas panjang, seolah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. "Ingat, ia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apalagi kalau ia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!"

Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir mati keracunan yang dilakukan oleh Siangkoan Cu Yin. "Kalau ia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali.

Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti ia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya."

"Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini."

"Apa yang hendak kaulakukan, Kong-ko?"

"Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk disini dan menjadi makanan binatang buas. Pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin."

Hui Lan mengangguk dan diam-diam ia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Ia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Ia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Ia lalu membantu Si Kong menggali lubang tanpa berkata apa-apa dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.

Akan tetapi setelah mereka berhasil menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba datang belasan orang yang mengenakan cakar setan pada tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan tahu bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kui-jiauw-pang.

"Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!" bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggauta Kui-jiauw-pang yang berjumlah limabelas orang itu.

"Bukan kami yang membunuh mereka." kata Si Kong dengan tenang.

"Tidak mungkin orang lain!" bentak si muka hitam. "Engkau membunuh mereka dan berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah mengubur mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!"

Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, "Namaku Si Kong dan nona ini adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, akan tetapi bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk disini."

"Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!" seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dam menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.

Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, "Lan-moi, jangan membunuh orang!"

Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, kemudian dengan tendangan kaki dan tamparan, kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan.

Orang-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang lagi, kini bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.

Melihat kenekatan para pengeroyok Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya, limabelas orang itu kembali terpelanting dan sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.

Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena ia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa.

Seorang dari mereka berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar.

Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empatpuluh tahun lebih.

Orang ketiga bermuka penuh brewok usianga lebih muda dari orang kedua.

Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.

Melihat munculnya lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin.

Tadinya dia mengira bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san untuk ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika membentak dengan suara marah dan orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.

"Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggauta Kui-jiauw-pang?"

Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya sudah lupa dan tidak mengenalnya lagi. "Kami berdua tidak membunuh. Orang lain yang membunuhnya dan belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Terpaksa kami melawan."

"Hemm, apa kaukira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?" bentak si muka bopeng.

Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu, menjadi penasaran dan ia yang menjawab dengan suara lantang, "Kalian mau percaya atau tidak, terserah! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!"

Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian dan yang paling muda diantara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.

"Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Diantara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan bukankah itu baik sekali?"

Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia sudah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini, Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.

"Heii, kamu ini anjing darimana berani menggonggong?" Ia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatab sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!

"Bhe Song Ci, apa yang kaulakukan ini? Sadarlah!" bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat.

Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih tetap menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya.

Bhe Song Ci terkulai, rebah dan membelalakkan matanya. "Kenapa kalian merobohkan aku?"

Dia seperti orang sehabis bangun tidur dan melihat adiknya itu sudah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit.

Dia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya mengapa kakak-kakaknya menotoknya. Dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu.

Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga memiliki pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk memainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.

"Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?" Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan. Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apalagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.

Akan tetapi, sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan puteri pendekar besar Tang Hay yang biarpun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan mengelak dengan cepat dari sambaran pedang yang menusuk dadanya.

Begitu melihat gerakan si katai itu iapun dapat mengukur kepandaiannya. Memang lawannya bukan orang biasa dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia tahu pula bahwa ia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti.

Maka iapun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!

Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya.

Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ia menjadi terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah tetap hampir mengenai sasaran, akan tetapi selalu luput! Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Kedua kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi selalu serangan pedang lawannya dapat dielakkan dengan mudah!

Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Gadis itu kelihatan olehnya, seperti menanti datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu melangkah dan mengelak dari serangannya.

Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci menyerang terus, kini mengerhkan seluruh tenaganya sehingga serangannya semakin kuat dan cepat.

"Haiiiitttt……!"

Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya dan sebelum dia dapat sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan menendang dari belakang.

"Bukkk!"

Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.

"Mampuslah!" Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut. Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan menggunakan ilmu meringankan tubuh dan mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan main. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkangnya dalam tendangannya.

"Dess…..!!"

Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.

Sementara itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik, "Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian, yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng Lojin."

Mendengar ini, Hui Lan mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi kemerahan, kedua tangannya bergerak kepunggung dan di lain saat ia sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluar sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali.

"Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin?

Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!"

Lima orang itu terkejut mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas ia demikian lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga.

Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu dan mereka semua terluka dalam yang cukup hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya.

Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimanapun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belum berpengalaman.

"Serbu! Bunuh bocah sombong ini!" Bentak Ciok Khi. Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang kedua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ketiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Di lihat keadaannya seolah-olah seekor domba muda yang lunak dagingnya dikepung oleh lima ekor srigala yang kelaparan dan haus!

Hui Lan tidak menjadi gentar dan kembali ia mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak, "Kalian berlima berlututlah!"

Mendengar bentakan ini, dua diantara mereka menekuk lututnya, akan tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka.

Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat.

Diantara ilmu-ilmu yang di ajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Maka melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, iapun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada.

Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia menanggalkan caping yang tadi menutup kepalanya dan berkata, "Ha-ha-ha, kalin berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!"

Setelah berkata demikian, dia memungut sebatang kayu ranting pohon dan sekali melompat, dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkatnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.

"Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang," bisik Si Kong. Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali mendengar bahwa lima orang itu yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat ia berkeinginan untuk membunuh mereka, kini mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar dan iapun mengangguk dan berbisik kembali.

"Baiklah, Kong-ko."

Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, kini tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, kedua dan ketiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang keempat dan kelima.

Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu.

Akan tetapi pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok. Biarpun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, namun pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap pedang mereka bertemu tongkat, mereka merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka.

Keadaan Hui Lan lain lagi. Biarpun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat ia dihujani serangan dan kedua pedangnya menjadu senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, tiga orang pengeroyok itupun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus.

Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong segera mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah dengan desakan yang kuat kepada dua orang pengeroyoknya.

Dua orang itu terkejut, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan alam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan.

Bwa Koan Si memgang sebelah kakinya yang terpukul dan berloncat-loncatan, tidak memperulikan lagi pedang yang dilepaskannya karena tangan kanan sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan main neyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya.

Sedangkan Bhe Song Ci terpaksa melepaskan pedangnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Diapun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi.

Si Kong tidak lagi memperdulikan dua orang itu dan dia sudah menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan iti menjadi kacau balau. Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng, melihat betapa dua orang rekannya telah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian.

Diam-diam ia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka ia memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, sedangkan dia sendiri masih menyerang Hui Lan dengan ganasnya.

Akan tetapi, dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Maka, setelah seorang dari dia melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat!

Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya. Ciok Khi merupakan orang tertua dan terlihai diantara lima orang Bu-tek Ngo-sian.

Dia merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya.

Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan Ta-kau Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, demikian cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya.

Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka. Akan tetapi kini Si Kong tidak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan seorang, maka dia tidak mau mengeroyok.

Apalagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya.

Dugaan Si Kong tepat. Ketika Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah pinggang, Hui Lan menggunakan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel sehingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedangnya dari atas kebawah mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu.

"Trakkk…..!"

Pedang di tangan Ciok Khi potong menjadi dua! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah. Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu.

Belasan orang anggauta Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka. "Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuhi rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Kalau kami menghendaki, sekarang juga kalian sudah mati semua. Nah, sekarang setelah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka."

Belasan orang itu merasa bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak.

***

Di puncak Kui-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam.

Pada hari itu, ketiga pangcu dari Kui-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kun pun ikut pula berbincang-bincang.

"Keadaan menjadi ramai sekali," antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata.

"Bukan saja banyak orang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan saatnya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa diantara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan

"Datuk Terkuat Di Dunia".

Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok."

Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Ia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang amat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apapun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua).

Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya?

Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka diapun cepat berkata, "Semua orang akan datang memusuhiku karena hendak merampas Pek-lui-kiam.

Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku kalau aku terlampau didesak oleh mereka."

Bwe Hwa hanya mengangguk akan tetapi sukar untuk menjawab. Ia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan.

Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau ia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang terkenal sebagai manusia-manusia jahat.

Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, memperlakukannya dengan hormat dan ramah.

Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka. Karena itu ia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti.

Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, ia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat.

Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja ia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang ia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam.

Agaknya ucapan Ang I Sianjin dan sikap Bwe Hwa itu menarik pula perhatian Toa Ok.

"Ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia.

Akan tetapi kalau yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?"

Bwe Hwa terpaksa menjawab. "Benar demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi kalau urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku tidak akan tinggal diam."

Baru mereka bercakap-cakap, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut.

"Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?" bentak Toa Ok. Sudah lama Bu-tek Ngo-sian memang menjadi pembantu-pembantunya.

"Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kamu melihat betapa beberapa orang anggauta kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang amat lihai ilmu silatnya. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri."

"Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?"

tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran. Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi.

Apalagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali.

Bagaimana mungkin para pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis?

Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang, kemudian Ciok Khi yang paling tua diantara mereka menjawab dengan takut-takut,

"Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana."

Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.

"Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!"

Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri dan Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak.

Akan tetapi baru saja mereka tiba dilereng pertama, tiba-tiba saja mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dan sepasang golok besar menempel dipunggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek.

Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata, "Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada disini! Di mana Toa Ok. Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa diantara kita yang paling lihai!"

Ji Ok sendiri terkejut bukan main melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah seorang diantara para datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia.

"Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kunm sudah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu dipuncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih mempunyai urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami."

"Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?"

"Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang berada disini." jawab Ji Ok.

"Ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!"

Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada disitu bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Biapun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak, "Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Biarpun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!"

Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu. "Hemm, kalau tidak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Engkau kiranya orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam sekarang juga kepadaku, terpaksa aku akan menghajar kalian!"

"Manusia sombong, siapa takut kepadamu?" bentak Sam Ok dan dia sudah menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong.

Orang yang diserang itu masih sempat tertawa dan ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, diapun melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.

"Desss….!"

Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong itu membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya.

Maklumlah dia bahwa datuk Utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu lalu maju selangkah. "Pai-ong, kuyakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok.

Sekarang belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada disini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau diantara semua datuk ternyata engkau yang paling lihai, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!"

Pai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena disini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata aku yang paling kuat diantara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.

"Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu berbahaya sekali, masih untung bahwa engkau tidak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat."

Ang I Sianjin mengangguk. "Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya."

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat dimana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi disitu. Yang ada disitu hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.

"Kemana perginya pemuda dan gadis itu?" tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para pimpinan itu m arah-marah, para anggauta Kui-jiauw-pang itu menjawab dengan takut-takut.

"Mereka telah pergi entah kemana."

"Apakah kalian tadi menanyakan namanya?" tanya Sam Pangcu.

"Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya."

Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lalu mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu.

***

Telah dua minggu lamanya Pek Bweh Hwa menjadi tamu kehormatan di puncak Kui-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa ia ingin segera pergi dari situ.

"Jangan tergesa-gesa, Hwa-moi. Kita disini diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?" kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba.

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Beberapa kali ia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam ia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan, juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya.

Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat ia menjadi ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini, ia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya.

"Justeru karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu, dibalik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji."

"Aih, kenapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu? Mereka bahkan telah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadamu!"

"Hal itu juga membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap untuk melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang."

"Hemm, aku tidak dapat membantahmu kalau begitu, Hwa-moi. Akan tetapi jangan sekarang kita pergi, Hwa-moi. Tunggulah beberapa hari kalau mereka sedang bergembira."

"Baik, aku menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal disini, engkau tinggallah di sini dan aku akan turun puncak seorang diri."

Percakapan itu membuat Leng Kun gelisah sekali. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Selagi mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu.

Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat). Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Budha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap pengkhianat dan setelah menjadi buronan, empat orang ini lalu masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw.

Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas memakai tali sutera putih dan di Pek-lian-kauw mereka mendapat kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.

Ketika Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggauta Pek-lian-pai juga, pergi ke Kui-jiauw-pang untuk membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam, dan setelah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai.

Maka pimpinan perkumpulan pemberontak itu lalu mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kui-jiauw-pang, membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai. See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka. Ketika Leng Kun sedang membicarakan keinginan Bwe Hwa yang akan meninggalkan tempat itu, muncullah See-thian Su-hiap ke ruangan yang luas itu.

Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun. "Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang di sini? Kalian dapat membantu aku!"

See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun. "Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"

"Kami baru saja membicarakan tentang nona Pek Bwe Hwa yang mulai bercuriga kepada kita dan ia ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil dan kita akan dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak."

"Apa yang harus kami lakukan?"

"Sebaiknya kita merundingkan hal itu diruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini."

Toa Ok tertawa. "Ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan agar menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!"

Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruangan lain dan disitu mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, gadis itu tentu selanjutnya akan taat kepadanya.

Malam itu gelap dan sunyi sekali. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.

Bwe Hwa tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja ia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi ia bermimpi.

Dalam mimpi itu ia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya.

Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, ia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya ia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu ia tergugah dari tidurnya.

Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Ia bangkit duduk dan menghapus peluh dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba ada hasrat timbul di hatinya untuk mencari Leng Kun!

Entah mengapa, ia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi, ia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu ia melangkah keluar.

"Kun-ko….." Ia berbisik. Pada saat ia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan tiba-tiba Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Ia merasa heran mengapa ia berada diluar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun.

Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar ia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.

"Jahanam…..!" bisiknya dan iapun menyilangkan kedua lengannya depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu berhenti dan ia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah kalau ia teringat betapa tadi ia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya.

Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun dan memakinya, karena ia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya, akan tetapi kesadarannya membuat ia mencegah perbuatan ini.

"Tidak," katanya kepada diri sendiri. "Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini." Maka ia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu, ia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.

"Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk."

Daun pintu segera terbuka karena memang tidak di kunci, dan dari dalam muncul Leng Kun, akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ.

Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya. Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walaupun ia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat ia tanpa disengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Kini ia memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.

"Coa Leng Kun, apa yang kaulakukan bersama empat orang pendeta itu?" bentaknya dengan marah.

A….. apa……. maksudmu?" Leng Kun bertanya dengan gelagapan karena terkejut dan bingung bahwa gadis itu sama sekali idak berada dalam pengaruh sihir seperti disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tidak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu.

"Hemm, jangan pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini telah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!"

Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu.

Melihat ini, Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara. "Su-wi totiang, tolonglah aku!"

Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga mengira bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tidak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu diluar pintu. Segera mereka berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing. Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong.

Padahal, Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang telah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Mereka lalu menggunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun.

Melihat empat orang pendeta itu berloncatan dan mengepungnya dengan pedang di tangan dan Leng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya.

Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata, "Su-wi totiang, tangkap ia hidup-hidup untukku!"

Bukan main marahnya Bwe Hwa. Ia meloncat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya, akan tetapi Leng Kun menghindar dan empat orang tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru.

Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan ia terkejut kiranya empat orang tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Kalau ia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun, ia dapat celaka. Maka ia mengambil keputusan dengan cepat. Ia menggunaka jurus terampuh ari Kwan-im-kiamsut sehingga empat orang tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.

"Kejar ia…..!" terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biarpun cuaca hanya remang-remang di sinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan.

Penjagaan diwaktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur daripada yang terjaga. Sedikit penjaga itupun tidak berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka.

Setelah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya.

Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kui-jiauw-pang dengan wajah leseu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa.

Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Ia maklum bahwa kalau ia tersusul, dan terpaksa melayani serangan mereka ia akan kalah. Apalagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu.

***

Bwe Hwa merasa lega setelah fajar menyingsing dan ia tidak melihat ada orang yang memburunya. Ia mengaso di balik semak belukar dan menghela napas karena lega.

Kemudian ia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya. Bagaimanapun juga, tidak sia-sia ia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena ia telah mendapatkan pedang pusaka itu.

Akan tetapi ia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, bersikap halus itu, ternyata hanya seekor srigala berkedok domba.

Ia akan bersembunyi dulu dan kalau sudah ternyata bahwa ia tidak di kejar, ia akan menuruni puncak gunung dan membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ah, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.

Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Ia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melamjutkan perjalanan.

Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang di kenal oleh Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam!

Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam dan memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Ia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja ia tidak akan menyerah.

Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi mengapa engkau melarikan diri? menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri."

Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus. Akan tetapi ucapan itu menambah kebencian hati Bwe Hwa. seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!

"Coa Leng Kun, manusia jahat, aku tidak akan menyerah sampai mati!" Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukkan ke arah dada.

"Tranggg…..!"

Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia terhuyung karena Bwe Hwa dalam serangannya tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya, Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera di kepung oleh lima orang itu dan betapapun lihainya di keroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan dan ia segera terdesak.

Dalam keadaan terdesak ini, Bwe Hwa teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Ia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka iapun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat ia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang.

Nampak sinar berkilat ketika ia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memuta Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan.

Dengan pengerahan tenaga ia menangkis hujan senjata lima orang pengeroyoknya itu dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan merusak senjata para pengeroyoknya.

"Trangg…. trangg….. trangg….!!"

terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya. Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah menjadi du potong!

Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa ia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Kalau pedang aseli tidak mungkin patah bertemu dengan senjata lawan. Kalau pedang itu selemah itu, tidak mungkin di jadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw. Iapun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali ia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi.

Tubuh Bwe Hwa sudah basah oleh keringatnya sendiri. Ia terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat ia lelah sekali.

Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia melainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat ia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok.

Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, akan tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa seringkali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang.

Dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu, "Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!" Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan.

Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu kearah lima orang pengeroyok itu.

Mereka terkejut dan segera berlompatan ke belakang untuk melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu.

Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat Leng Kun. Ia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika ia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda itu yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai!

"Nona Tang……, engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur.

"Benar aku! dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung ia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.

"Adik Hui Lan, engkau mengenal orang ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang yang lembut dan baik, sebetulnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"

"Coa-sicu, siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun.

"Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!"

"Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu kita bunuh dua orang gadis, puteri musuh kita ini!" bentak Kui Hwa Cu dan dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi. Akan tetapi Hui Lan yang meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu.

Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak dan dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menhadapi Bwe Hwa.

"Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?" Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan dan hanya menonton saja di bawah pohon.

Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, iapun berseru, "Kong-ko, bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!"

"Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong.

Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena gadis ini begitu hebat sepak terjangnya. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apalagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu, Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.

"Pergi….!" Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka.

"Awas! Menghindar!" teriak Si Kong dan dua gadis itu menaati aba-aba ini cepat meloncat kebelakang dan berlindung di belakang pohon besar.

"Darrrr…….!" Benda itu setelah menyentuh tanah lalu meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkangnya, kedua tangannya mendorong ke depan dan asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas dan tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi.

Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam ia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang ia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika ia membantu ketua Hek-i-kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut dan pemuda itu segera berpamit dan pergi.

"Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?"

"Kami memang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"

"Panjang ceitanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."

"Aihh, diantara kita, mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur

sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Akupun pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira dia seorang yang berwatak jahat."

"Aku sendiripun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanya naik ke puncak bukit ini.

Dia sudah mengenal ketua Kui-jiauw-pang maka dia mengajak aku menemui para pimpinan Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka telah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"

"Ahh…..!" Hui Lan berseru.

"Bohong semua itu! Tipuan belaka! Tadi malam empat orang tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun.

Aku menyadari akan pengaruh sihir maka dapat membebaskan diri dari pengaruh itu. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir dan diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka.

Aku sengaja mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadap aku dan dikamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga.

Aku terpaksa melarikan diri sampai disini. Setalah fajar, aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kembali dan kembali aku dikeroyok disini sampai engkau muncul membantuku."

"Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa.

"Pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa yang lalu memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu.

"Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi, aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"

Si Kong memeriksa dua potong pedang itu. "Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu telah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Akan tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka."

"Yang menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu.

Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu berjubah merah.

Disamping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kui-jiauw-pang kurang lebih seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang tosu itu."

Hemm, kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko, ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."

"Memang kedudukan mereka kuat sekali." Kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."

"Sudah pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Kalau mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang aseli, bagaimana mereka dapat membuat yang palsu? Sekarang aku baru tahu mengapa mereka semudah itu menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku.

Ternyata mereka hanya mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!" Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.

"Sebenarnya siapakah Coa Leng Kun itu? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat orang tosu itu, dari manakah mereka?"

"Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."

Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata, "Empat orang tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang Pek-lian-kauw."

"Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipergunakan untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan sambil memandang wajah Si Kong.

"Kalau begitu, Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?" tanya Bwe Hwa.

"Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Datuk-datuk besar seperti Toa Ok dan Ji Ok menguasai perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang, untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?" kata Si Kong.

"Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggauta Pek-lian-kauw?" tanya Bwe Hwa.

"Bisa jadi," kata Si Kong. "Kedudukan mereka kuat sekali. Kalau kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, kita akan kalah kuat."

"Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam saja membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?" tanya Bwe Hwa penasaran.

"Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu mereka akan melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam guha yang kami temukan di bawah lereng ini."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar