"Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!"
Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan ia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungannya sendiri.
"Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar, akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan bersama dengan Supeknya ia lalu menuju ke sana!"
Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu! "Hai...!!" Ang I Niocu berteriak marah "Kembalilah kalian!!"
Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah, "Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!"
Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah gelap dan angin bertiup kencang.
"Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?" tanya Cin Hai dan Ang I Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena ia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena marah saja dan kini kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.
Vayami tersenyum dan berkata, "Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena aku hendak memperlihatkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!"
Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar perahu besar itu bergerak laju ke kanan.
Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kimsan- to dan berada di belakang pulau setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.
"Nah, kalian lihat itu!" kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakanakan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerahmerahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub hingga gadis itu untuk beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami! "Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga telah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan sekarang ini pun saling bertempur matimatian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas.
Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha, ha, ha!"
Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali dan ia lalu membentak, "Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?"
Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi, "Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orangorang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!"
Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa ia adalah seorang Mongol. Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.
Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka setelah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan kedua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk mengganggunya. Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.
"Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat diketahui pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apabila mereka telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan agar seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!"
Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tibatiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya, "Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?"
Vayami memandang dengan muka berseri. "Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!" katanya sambil memandang ke arah pulau dan diam-diam pangeran ini juga merasa kuatir sekali oleh karena orang-orangnya yang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut.
"Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?" tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini ia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Ia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to. "Kau mencari setan itu? Ha, ha, ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!"
"Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?" tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.
"Kawan-kawannya?" kata Vayami yang menyangka bahwa kawan-kawannya yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. "Ha, ha, ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu."
"Bangsat besar!" Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu. Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil memegang-megang pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.
"Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!"
"Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.
"Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?" tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah.
Ternyata orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakia Buddha yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi keroyokan.
Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu ia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang ia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah, "Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia."
Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah. Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi, kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka baru beberapa jurus mereka bertempur, dua orang pengeroyok telah dapat dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur bahkan makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biarpun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segansegan untuk mentaatinya asal keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka berdua, akan tetapi mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu! Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk dengan hebat disertai suara tertawa menyeramkan! Ketika Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini? Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak menyusul Lin Lin.
Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena di dalam kekalutan itu, Ang I Niocu telah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinarsinar itu! "Niocu, tunggu!" teriak Cin Hai, akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan kepadanya sambil menjawab, "Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama.
Kautunggulah saja, aku akan membawa Lin Lin kepadamu!" Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat! Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini telah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas! Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap hingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu! Sementara itu, dalam kegembiraan mereka mengamuk dan membasmi para pendeta Sakia Buddha itu, Hek Moko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu.
Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tidak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan hingga tak mendapat kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita sedih karena kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko tidak mempunyai alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asal mereka bisa bertempur dan membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut. Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika ia masih hidup pun tentu ia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal! Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang! Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk berenang secepat mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak seleluasa seperti di darat di mana ia boleh mempergunakan ginkangnya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan ia tidak kuat melawan ombak air hingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas permukaan laut itu lebih gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai ialah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, lalu berlari naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika ia naik makin tinggi, sungguh luar biasa, karena cahaya terang itu makin menghilang dan keadaan di atas bukit sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali Ang i Niocu berseru keras memanggil, "Lin Lin…" Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut! "Niocu...!" Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu. Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biarpun ia mengerahkan khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang menggelora.
"Lin Lin...!" terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.
Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia sudah berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan kedua matanya terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah, tak jauh dari situ ia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah puncak itu ia melihat api besar sekali berkobar-kobar dan bernyala-nyala seakan-akan neraka sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran Vayami! Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, "Lin Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??"
Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini seakanakan hanya menambah besar berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seakan-akan bayangan Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum dan melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok kedua matanya akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja.
Sambil berseru ngeri dan takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama Lin Lin, "Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!"
Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggilmanggil dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu nampak juga oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang makin keras kepada Balutin sambil berteriak minta supeknya membantu. Kiam Ki Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyunghuyung ke belakang dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah lehernya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas! Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu! Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seakan-akan membakar awanawan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
"Niocu...! Lin Lin...!" Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak menderu.
Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka! Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat., "Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!"
Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula! Cin Hai mencoba berseru lagi. "Niocu... Lin Lin...!" akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahanlahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.
"Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menantinantimu..."
Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencaricari, akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerakgerak dalam bisikan, "Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu..."
Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang membuat ia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng! Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ! Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar, "Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?"
Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian! "Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?" tanya pula Cin Hai dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
"Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?" tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia segera menyambung. "Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!"
Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, "Lin Lin... ah, Niocu...!" lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi! Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An.
Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An, "Mengapa mereka saling hantam sendiri?"
Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, "Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh."
Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Moko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur matimatian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali.
Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu.
Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu? Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhanpembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru, "Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kim-santo?"
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.
"Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!" Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya dan berseru, "Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!"
Pek Mo-ko tertawa ketika melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.
"Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!" Sambil berkata begini Pek Mo-ko lalu mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata, "Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini," lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan biarpun bertangan kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.
Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang dan menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawankawannya.
Pertempuran makin hebat, akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat "anaknya" maju membantu lawan, menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak, "Tahan dan mundur semua!" Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.
"Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?" tanya Hek Mo-ko sambil memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.
"Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri. Tidak boleh Ayah dan Pek-susiok membinasakan mereka!" kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandangan mata ayah angkatnya.
Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan, "Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka lagi."
Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke arah Kwee An dan membentak. "Anjing tak kenal budi! Beginikah kau membalas kami? Bagaimana juga, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!"
Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pedang Kwee An menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, '"Peksusiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!"
Pek Mo-ko makin marah. "Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!" Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyunghuyung belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.
"Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!" teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru kali ini selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.
"Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?" tanyanya gagap.
Hek Mo-ko memandang tajam. "Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!"
"Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuhmusuh kita!" bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.
"Pek-sute! Jangan kauserang anakku!" teriak Hek Moko dengan marah.
"Suheng, tinggal kaupilih. Kau membela aku atau membela binatang ini!" jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.
"Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?"
Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak. "Anak? Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!"
Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.
Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan berkata tegas. "Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!"
"Kau sudah bosan hidup!" Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang.
Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.
Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh, "Ayah..." Tentu saja Cin Hai dan lain-lain merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan Kwee An itu! Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok kepada Biauw Suthai yang pandai hal pengobatan sambil berkata, "Suthai, tolonglah kauobati dia ini!"
Biarpun hatinya ragu-ragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, "Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini." Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu.
Tak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan Kwee An, ia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata! "Bagus... bagus... kau betul-betul anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam pelukan anakku..." Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menghembuskan napas terakhir.
Kwee An menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dada. Kemudian dengan sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata ia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu mengubur kedua jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.
Setelah penguburan kedua jenazah itu selesai barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat dan perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalamannya, Cin Hai menengok ke arah Pulau Kimsan- to dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api neraka mengamuk. Lalu dengan suara terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya ia menceritakan riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika ia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-tiauw, ia menghela napas dan berkata, "Memang betul ramalan pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tidak ketahuan nasibnya di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknnya terkena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!"
Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali kepada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang berbahaya, padahal telah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan diledakkan! Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata telah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali.
Apalagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya.
Setelah Cin Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk menuturkan perjalanannya. Ia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko.
Kemudian ia diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu pergi mencari Pulau Emas dan berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu Pangeran Vayami.
Ia menuturkan betapa kedua iblis itu telah membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai.
Setelah ia menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang telah diaku anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu demikian sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria yang biarpun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci terhadap seorang anak pungut.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatiran keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul. Akan tetapi, biarpun telah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak kedua orang gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orangorang dusun di utara yang bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini menarik hati Biauw Suthai dan ia mengajak muridnya untuk menyusul ke timur dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya mereka dapat menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Setelah tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya, Kong Hwat Lojin menghela napas berulangulang, kemudian ia mulai ceritanya yang panjang.
Sebagaimana telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin lalu memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar menuju ke laut.
Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan macam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah mempunyai banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru, hingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.
"Apakah mereka itu suka makan orang?" tanya Ma Hoa sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat ia membayangkan hal-hal yang mengerikan ketika mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini, Yousuf tertawa geli. "Aah, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita. Bahkan, mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat.
Mereka tinggal di Barat."
"Apakah yang disebut Dunia Barat?" tanya Lin Lin.
Pada waktu itu Tiongkok telah kenal dengan India yang di sebut Dunia Barat, bahkan Agama Buddha datangnya juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.
"Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han.
Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita sendiri."
Kemudian Yousuf menceritakan pula pengalamanpengalamannya ketika ia merantau jauh ke utara hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah, diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali. Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu menjadi makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan mempunyai pribadi tinggi. Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.
"Dulu kau berkata tentang Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang menuju sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup tentang hal-ihwal pulau itu," kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan.
Setelah bergaul dengan ketiga oraang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang banyak sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan. Terhadap Nelayan Cengeng ia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa don Lin Lin, ia merasa sayang dan suka. Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya.
Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi yang tidak mengizinkan hatinya untuk memaksa seorang gadis mencintainya, dan biarpun ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagaikan sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu berahi yang tadinya mengotori kasih sayangnya terhadap gadis itu, menjadi luntur dan banyak mengurang.
Ketika mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata, "Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini takkan menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh tidak enak kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan mempunyai perasaan tak suka, dan benci satu kepada yang lain!"
Nelayan Cengeng tertawa. "Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan-sungkan! Kalau sekiranya hal ini tak dapat kauceritakan kepada kami, janganlah kauceritakan! Kami juga tidak begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?"
Akan tetapi Nelayan Cengeng tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas berkata, "Ah, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!"
Bahkan Lin Lin lalu berkata lagi, "Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami hingga masih menyimpan segala rahasia?"
Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, "Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!" Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu bercerita, "Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh dan yang sebentar lagi kalian juga akan dapat menyaksikannya.
Sebuah pulau di depan kami yakni pulau yang disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kami mendarat. Akan tetapi, apa yang menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon, keluarlah seekor harimau besar yang mempunyai sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku itupun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung rajawali berbulu kuning emas ke arah kami dan menyerang dengan tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami telah kena cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami telah berada di tepi jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning keemasan yang indah sekali.
Merak ini menyambar turun sambil mengeluarkan suara nyaring dan aneh! Begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan berlari pergi seolaholah dalam ketakutan hebat!"
"Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!"
Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka ia lalu berkata, "Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kauceritakan itu."
Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya! "Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang air berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa.
Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutarmutar pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki."
Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, "Dan aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu." Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata, "Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu."
Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. "Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti itu."
Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka hingga terdengar sumbang dan lucu.
Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-san-to.
Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, "Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benarbenar pulau yang menakjubkan?"
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan ajaib yang terbentang di depan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat daripada emas murni.
"Mungkinkah ini?" Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.
"Apakah aku sedang mimpi?" bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.
"Hebat bukan? Aku sendiri ketika melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?" terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.
"Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau membohong atau melebihlebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu," kata Nelayan Cengeng.
"Mari kita ke sana sekarang juga!" kata Ma Hoa dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati."
Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya. Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin dan ia bertanya perlahan, "Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?" Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya, "Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?"
Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, "Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi."
Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masingmasing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.
Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.
"Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?" katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.
"Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?" kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.
Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.
"Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini agaknya," kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegang tagan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam dan mengerikan! Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah.
Tiba-tiba Lin Lin berseru, "Ada gua di sini!" Ketika semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu gua yang cukup besar dan tinggi. Gua itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh karena kebetulan sekali gua menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua.
Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, "Ada apakah?"
Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.
"Tentu ada apa-apanya di bawah ini," berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu. Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamatamatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.
"Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak berharga lagi saja!" Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.
"Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir," katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.
"Nanti dulu, Locianpwe!" tiba-tiba Lin Lin berkata.
"Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini."
Nelayan Cengeng tertawa. "Kau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?" Akan tetapi semua orang tidak melarang ketika Lin Lin dengan hatihati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.
Setelah mengubur kembali rangka itu dengan baikbaik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kimsan- to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanyalah batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng dan kedua orang gadis itu yang tidak sangat bernafsu untuk mencari harta terpendam, jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.
Pada hari ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.
Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah, akan tetapi semua orang terkejut sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.
Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, tiba-tiba ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya, Yousuf tidak keburu berkelit, maka cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan terus menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget dan herannya ketika melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itupun merupakan kepala kedua sehingga ia tidak sempat mengelak dan kena tergigit pundaknya.
Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula ia menjerit hingga kawan-kawannya datang menolong.
Setelah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lalu roboh pingsan dengan muka merah sekali.
Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walaupun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian ia memondong tubuh Yousuf ke dalam gua tempat mereka bermalam.
Lin Lin yang biarpun sedikit pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai lalu memeriksa luka di pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu telah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.
Selagi mereka bertiga kebingungan tiba-tiba di luar gua terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan hingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa. Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru, "Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pekkim- ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng."
Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jerih sedikit pun, karena dalam hatinya ia menganggap tak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.
Setelah dekat Lin Lin tidak berani mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta.
Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata, "Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!" Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam gua diikuti oleh Nelayan Cengeng dan Ma Hoa yang memandang terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya penas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan menggunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu, kemudian setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan.
Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan pedang di pundak Yousuf lalu dihisapnya! Setelah menghisap, ia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu. Berkali-kali ia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu.
Akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru di pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.
Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin takkan berani melakukan penghisapan bisa dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali, dan dapat menewaskannya.
Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman bisa ular, Lin Lin lalu keluar dari gua untuk mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang dan rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.
Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas bagaikan tanduk seekor badak. Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.
Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari atas. Cepat gadis ini mengelak dengan tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak dengan tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu! Lin Lin makin terkejut oleh karena ia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini barada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tak kuat melawan dua ekor binatang ini, apalagi dia berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula? Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika itu ia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu dengan pandangan mata kagum dan senang. Rajawali itu setelah menyambar turun, lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh rajawali itu jauh lebih tinggi daripada tubuh harimau itu! Kedua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan mereka, bahkan tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala sedangkan Rajawali Emas itu lalu mengebutngebutkan sepasang sayapnya sambil bertunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini. Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini girang sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya dan kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu semacam daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis gadis itu berkata, "Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan pandai." Sambil berkata demikian Lin Lin mengeluarkan tangan menerima rumput atau daun-daun penjang itu dari kaki merak. Kemudian dengan mesra Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali dan halus serta bersih itu. Merak itu menggunakan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan kepada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seakan-akan ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri. Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya ia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk menggoyanggoyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itupun lalu mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya seperti seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar