"Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu.
"Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"
Sementara itu, setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi, sampai baju di bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya, Ci Goat baru merasa lega. Tangisnya kini hanya tinggal isak saja.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepalanya. "Nah, sudah habiskah air matamu, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong itu harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu begitu dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah ini akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!"
Ucapan i tu seperti mengusir sisa isak di dada Ci Goat. la segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.
"Terima, kasih, toako, terima kasih. Sungguh engkau merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia.... Pek-toa-ko, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?" Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku agar aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."
"Ohhh..... , tapi..... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku..... ?"
"Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."
Gadis itu mengangguk perlahan dan menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang budiman, dan..... engkau juga, toako. Semoga kalian berdua, akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing."
Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan diapun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja, namun dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan diapun bangkit berdiri, sepasang matanya basah.
"Engkau juga, Goat-moi. Engkau seorang gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak tentu akan mendapatkan seorang suami yang amat baik!"
Tadinya, Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih dan ditarik oleh pemuda itu, akan tetapi ketika ia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman seorang kakak, atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu berahi, hatinya menjadi terharu dan iapun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Kini mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan
saling pandang.
"Haii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, sudah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua, sayang bukan kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput?"
Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Mulutnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walaupun air matanya sudah habis tertumpah.
"Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan iapun membalikkan tubuhnya lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.
Dia teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu setelah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka belum selesai dengan percakapan mereka? Dia memang sudah menaruh kecurigaan, maka setelah Ci Goat meninggalkannya, diapun cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar.
Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah.
"Tang Taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan." katanya.
Hay Hay memandang kepadanya, hatinya bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian? "Paman, agaknya paman belum mengenal benar watak puterimu sendiri. Ia seorang gadis yang berhati tabah dan aku yakin ia mampu menghadapi dan mengatasi segala kedukaannya. O.. ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi. Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?" .
"Mereka sudah pergi, percakapan dengan Pek-taihiap itu berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."
"Hemm, di manakah Han Siong sekarang,paman?"
"Di dalam kamarnya."
Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan dia masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun.
"Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.
"Siapa?" terdengar suara Han Siong.
"Aku, bolehkah aku masuk?"
Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay
Hay!"
Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya, dan begitu dia masuk Han Siong bangkit duduk, nampaknya malas-malasan,
"Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?"
"Tidak terjadi apa-apa..... " jawabnya, nampak tak bersemangat. "Eh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!" Hay Hay mendekatinya lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tidak wajar apakah tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang amat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka.
"Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku sejak tadi termenung, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...." Hay Hay menarik sebuah kursi dan duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang dan Han Siong berkata dengan suara sungguh-sungguh tidak berkelakar seperti biasa.
"Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, sudah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain."
"Ahh... dan ia... ia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah.
"Ia seorang gadis tabah, Han Siong. Ia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga. Jangan khawatir, ia tidak akan membunuh diri, ia tidak akan menjadi nikouw, ia dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Ia dapat mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong."
"Sukurlah! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan kepadanya. Terima kasih."
"Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan tentang tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, setelah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kauceritakanlah apa saja yang kaubicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu."
Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Kata mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya amaku sebaga Sin-tong ketika engkau bertemu dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka di tugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut akan hukuman dari Dalai lama." Sampai di sini Han Siong berhenti.
"Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?" tanya Hay Hay tak sabar lagi.
"Mereka minta beberapa tetes darahku....."
"Ahhh!!!!! Untuk apa? Jangan kauberikan!"
"Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya pun aku tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang tak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Sebagai bukti bahwa aku telah mati, mereka akan memperlihatkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama."
"Bohong itu! Kalau mereka tiba disana, darah beberapa tetes itu telah kering, dan pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?"
"Akupun berkata presis sepert yang kaukatakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa Diarpun darah jtu mengering, akan tetapi dapat dikenal, karena darahku, biarpun sudah kering, berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku.... putih!"
"Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!"
"Akupun tadinya tjdak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!"
"Membuktikan bahwa darahmu putih?"
Han Siong mengangguk. "Mereka mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, katanya air itu keluar dari satu sumber di sana. Kata mereka, air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk telunjuk dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Lalu aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjuk. Karena akupun ingtn tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan Pat Hoa Lama itu. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan..... seketika berubah putih seperti kapur!"
"Ihhh! Itu tentu sihir!"
"Bukan, Hay Hay. Akupun menyangka demikian dan aku akan waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!" "Lalu bagaimana?"
"Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu."
"Tapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja mereka bawa?"
Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kautanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Akupun bertanya demikian dan mereka mengatakan bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?"
"Hemm... hemm... , aku sendiri belum tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sukar dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau kelihatan termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa jagi maksudmu?"
"Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan, bukan darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aselinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini menggelisah hatiku....."
Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau.
"Aih, biar putih atau biru atau hitam sekalipun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka bukan main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andaikata mereka itu berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, hanya engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira, tidak ada lagi urusan kita di rumah ini setelah kulaksanakan permintaanmu itu dengan hasil baik."
Han Siong tetap saja merasa lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kauselesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak pergi sekarang. Pertama, aku merasa malas dan ingln beristirahat dulu, ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam disini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku."
"Baiklah, aku juga belum mengobrol denganmu. Ingin ku ketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana...." "Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi...."
"Heiiiii! Benar yakinlah engkau bahwa terjadi sesuatu dengan dirimu?" Hay Hay masih bertanya ketika ia sudah melangkah ke ambang pintu.
"Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!" jawab Han Siong tegas.
Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! kalau saja han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu, sama sekali tidak tahu, bahwa tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu, terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong!
Tiga orang pendeta Lama itu berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari telah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan.
"Mari kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil, sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai.
Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu telah dihisap dan "disimpan" dalam kapas itu.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), mengapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, kalau kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis.
"Hemm, kalau hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan biarpun tentu saja kita bertiga tidak perlu takut menghadapinya, akan tetapi kalau kita tidak mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali." "Akan tetapi, suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah.
"Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Dan pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah! Baru kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan. Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur, di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh, lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan di beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal.
Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu lalu mempergunakan tasbeh, membaca mantram dan doa dalam Bahasa Tibet kuno yang aneh. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya, dengan tasbeh digenggam, ke atas dupa berasap. Kemudian ditarikhya sejumput kapas dan dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu ke atas dupa membara. Terdengar letupan kecil dan nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan tiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka.
Han Siong yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. dia masih pulas, akan tetapi tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau menelungkup. Dia masih berpakaian lengkap, dan sejak ditinggalkan Hay Hay, dia tidak keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Diapun minta agar jangan diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso.
Menjelang .tengah malam, tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua pelipisnya. Kepalanya terasa pening, akan tetapi sungguh aneh sekali, wajah Ci Goat terbayang di depan matanya, wajah yang bulat dan cantik manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti memanggil-manggil, senyumnya menantang dan Han Siong menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak oleh nafsu berahi yang menyesak dada. Dia sekilas sadar bahwa hal ini tidak sewajarnya, maka diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan. Akan tetapi, dia malah merasa hanyut,. luluh oleh gairah nafsu sehingga dia tak berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap dirinya yang amat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya! Makin hebat saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia sungguh cinta kepada gadis itu!
Sayup-sayup ada kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini aneh dan tidak wajar. Akan tetapi, kesadaran itupun hanyut, bahkan menghilang. Han Siong turun dari pembaringan, agak terhuyung seperti orang mabok, menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui jendela yang ditutupkannya kembali.
Han Siong bergerak seperti orang dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya!
Hay Hay memang tidak pernah tidur sejak sore tadi. Dia masih merasa curiga melihat sikap Han Siong, apa lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi dari dalam kamarnya, bahkan menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar, walaupun dia belum pernah bergpul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah dapat menilai wataknya. Maka, dia tidak tidur sejak sore, melainkan duduk bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya, ketika Han Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya dan cepat namun hati-hati,
Hay Hay sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong.
Sudah dicurigainya, tentu "ada apa-apa" pada diri Han Siong maka pemuda perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang! Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay membayangi dari jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong. Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui bahwa dia dibayangi itu saja sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang terjadi sesuatu yang aneh pada diri Han Siong.
Han Siong menuju ke ruangan belakang. Tidak berindap-indap seperti maling, melainkan berjalan dengan tenang namun cepat menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang memasuki kebun dan tak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar itu! Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu dengan mata terbelalak!
"Siapa ...?" Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar.
"Aku Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu,Goat-moi!" kata Han Siong lirih. "Siong-ko.... !" Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan dan jendela itupun dibuka dari dalam. Bagaikan seekor kucing, Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat.
Kalau Han Siong sampai melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, dia akan menentangnya dengan mati-matian! Akan tetapi, dia tidak mendengar jerit Ci Goat.
Dia mendekat dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat...Goat-moi... aku.... aku cinta padamu.... "
"Siong-koko..... , benarkah itu? Benar-kah itu, koko.... ?"
Hay Hay merasa penasaran dan dia-pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan, Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra! Tidak ada kata-kata lagi terdengar dan dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat, dibawa ke pembaringan dan sekali tiup, lilin di atas mejapun padam dan kamar itu gelap, tidak nampak apapun lagi!
Hay Hay bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukan kalau sudah begitu? Tidak mungkin dia menerjang masuk! Betapa akan malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Kalau keduanya sudah menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Kalau dia ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia berhak untuk mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi, dia bukan apa-apa, hanya orang luar. Apakah dia harus memberitahukan ayah gadis itu? Ah, apa gunanya? Kalau memang mereka berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang akan menjadi saksi. Bagaimanapun juga, Han Siong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya malam itu.
Setelah tiba di dalam kamarnya, dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya..... ha-ha, wah, kalah aku olehnya dalam hal ini! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung. Benarkah seperti itu watak Han Siong? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak sepatutnya dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada apa-apanya ini! Di lain saat Hay Hay telah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi.
"Setan! Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli, diapun mengamati saja dari jauh. Dia harus melihat Han Siong keluar dari situ untuk ditegur dan dimintai pertanggunganjawabnya. Dia akan melihat bagaimana sikap Han Siong. Kalau pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci Goat, menggunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya! Hemm, Han Siong boleh jadi lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimanapun juga, dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya malam ini.
Waktu terasa merayap lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit tubuhnya yang dikeroyok nyamuk. "Setan," gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan dan lupa waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak " Tiba-tiba dia melihat jendela kamar Ci Goat ,terbuka dari dalam dan Han Siong melompat keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutupkan kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Barulah Han Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay telah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu.
"Han Siong, bagus sekali, ya? Engkau sungguh seperti seekor harimau berbulu domba! Setelah apa yang kaulakukan terhadap Ci Goat, engkauharus mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!" .
"Engkau tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis manapun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong!
"Hei, Han Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis, tidur dengannya selama semalam dan engkau tidak mau mengawininya?" suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain.
"Heh engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak akan mengawini siapapun dan engkau tidak boleh mencampuri urusanku. Hayo pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!"
Hay Hay semakin heran dan dia memandang tajam, menggunakan kekuatan sihirnya. Akan tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar dan dia berkata lagi, "Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku, Tang Hay Si Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?"
"Aku tidak perduli engkau siapa!" bentak Han Siong.
"Aih, sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka! Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu Han Siong! Sadarlah!" "Keparat, engkau memang layak dihajar!" Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh. Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai menarik perhatian orang lain diapun meloncat keluar dari rumah itu sambil berkata.
"Kalau engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di lua rumah agar tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya melarikan diri keluar rumah.
Setelah tiba di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, penuh dengan sin-kang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam. "Pek Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong, Han Siong terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan semakin marah.
"Engkau sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya. Hay Hay terkejut. Kekuasaan apakah yang telah mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat banyak berpikir karena menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong amatlah berbahaya. Diapun cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil membalas untuk merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu.
Terjadilah pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam. Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat yang t:nggi. pari orang tuanya, yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan Pek-sim-pang, dia telah mewarisi ilmu silat Pek-si-pang yang diringkas menjadi tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu diapun menerima gemblengan dan mewairisi ilmu-ilmu silat yang amat tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal dari dunia sesat, maupun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang gurunya itu, ialah Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang tokoh di antara Delapan Dewa. Selain itu, dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai ilmu sihir, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat.
Di lain pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa, yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat tinggi dari Pek Mau Sianjin. Di antara ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang(delapan belas Jurus Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, dan dari See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang hebat sekali, yai tu Yan-cu Coan-in ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seolah-olah pandai terbang atau menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw-poan-san.
Maka, dapat dibayangkan betapa hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling bertemu dalam sebuah pertandingan! Hay Hay tentu saja tidak memusuhi Han Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah, mengandalkan ilmunya Jiau-pouw-poan-san yang membuat semua serangan Han Siong tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar lagi siapa dirinya, menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya !
Sambil menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw-poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini dicengkeram kekuasaan ilmu hitam yang amat jahat dan kuat. Melihat sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa sejak sore tadi kekuasaan itu mulai mempengaruhinya, belum hebat, akan tetapi sekarang kekuasaan itu telah menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantram dan bantuan iblis. "Bukkk!" Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua kakinya memainkan langkah ajaibnya. Setan, pikirnya, karena tadi melamun memikirkan keadaan Han Siong, hampir saja dia celaka. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untung dia masih sempat miringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal lengannya. Dan merasa betapa pukulan keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh besar! Sungguh berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun harus mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan tetapi, dia sudah teringat sekarang. Tentu darah itu!
Darah Han Siong, walaupun hanya beberapa tetes, telah diambil oleh tiga orang pendeta Lama dan tentu melalui darah itu mereka menyihir Han Siong! Dan dia tahu bahwa di dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku, atau rambut. Akan tetapi yang paling ampuh adalah kalau dipergunakan darah orang itu! Pantas usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal, dan tenaga atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh jahat itu. Kini dia mengerti bahwa tentu Han Siong telah sejak sore tadi mulai dikuasai ilmu hitam dan pemuda itu memasuki kamar Ci Goat juga dalam keadaan tidak sadar, atau dikuasai sihir . Untuk merobohkan Han Siong bukan hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tidak banyak selisihnya. Kalau dalam keadaan biasa, kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu, ada kekuatan sihir yang dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong metalui sihir. Kemudian dia teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan biarpun nampaknya tak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan, dan tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang mampu mengalahkan!
Ketika Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dia lindungi dengan sin-kang agar isi perutnya tidak sampai rusak.
"Desss !" Tubuhnya terjengkang dan diapun membiarkan tubuhnya berkelojotan dan menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh...... aduhhh.......... mati aku.....engkau membunuhku...... ah, mati aku.....!"
Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang kini sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik, "...... apa yang kulakukan ini ...... ? Aku.....aku membunuhnya....... " Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lalu berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada dan Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang tepat, tidak boleh salah. Kalau dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi.
Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu.
"Ahh....dia....dia mati.....!" Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan dan pada saat itulah baru Hay Hay menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangan sudah melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, apa lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang, yang ditendangnya benar telah mati, Han Siong kehilangan kewaspadaannya sesaat dan saat itu dipergunakan dengan baik oleh Hay Hay. Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok dan diapun roboh terkulai lemas!
Hay Hay rneloncat bangun, girang sekali. Dia tadi ketika "berkelojotan" menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan pada mulutnya! Kini dia cepat menghampiri
Han Siong yang sudah tidak mampu bergerak, lalu menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga benar-benar Han Siong tidak mampu berkutik lagi.
Kini Hay Hay mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan.
"Keparat, kau curang! Kubunuh kau !" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah.
Hay Hay mencoba untuk mepergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia. Memandang wajah itu, menentang pandang matanya, kemudian terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong.... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan.....!"
Akan tetapi, hasilnya sia-sia saja. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu dan dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat terbebas dari permainan sihir hitam mereka. Kemudian dia teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang amat berharga, yaitu sebuah batu giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya. Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala macam racun dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, juga batu giok itu mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mujijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kaldu dia mencobanya?
Dia melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia menggunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu terputus. Akan tetapi hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang daya pikirnya. Akan tetapi, kalau memang batu giok ini memiliki kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu dapat membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu.
Hay Hay lalu menggosok –gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, muka dan leher, kemudian di tempelkan sampai lama di atas tengkuk. Tak lama kemudian, Hay Hay yang selalu memperhatikan wajah Han Siong, melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi ketika dia mulai dengan penggosokkan batu giok, sepasang mata itu berkilat marah kini kilatan kemarahan itu makin menipis akhirnya memudar dan tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran.
"Heiii! Hay Hay, apa yang kaulakukan ini? Ihhh...... aku tertotok!" serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya. "Han Siong, dengarlah baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang amat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang, kaukerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat ...!"
Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri.
"Hay Hay, ada getaran aneh......begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu....."
"Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan dengan kekuatanmu dan engkau peganglah kuat, tempelkan batu giok ini di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan di tolak sama sekali, melainkan ikuti saja....."
"Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?"
"Maksudku kalau pengaruh itu memanggilmu, ikuti karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayani dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!"
"Mereka? Kaumaksudkan........para pendeta Lama itu?"
"Siapa lagi? Mereka mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini diselesaikan agar engkau jangan sampai terganggu lagi!"
"Maksudmu bagaimana, Hay Hay ...?"
Han Siong bertanya bingung karena dia masih merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu.
"Jangan banyak bicara dan dengarkan baik-baik, Han Siong. Para pendeta Lama itu mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu adalah agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi,mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau sudah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu, engkau dapat menolak mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan kalau mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Engkau mau bukan bersamaku menempuh petualangan baru di Tibet? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?" Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goet karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan merupakan pukulan batin yang berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah menguasanya.
"Baik, aku mengerti. Ah, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu..... "
"Bagus, kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, pergunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka," Hay Hay tanpa ragu lagi membebaskan totokan pada tubuh Han Siong.
Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk angguk. "Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong."
Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Kini terdengar jelas dalam telinga Han Siong perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi, Han Siong tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnyar!
Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang nampak bingung dan gelisah. Betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Dia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang telah dilakukannya semalam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja.
"Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?"
"Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan ia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami lega dan mengira bahwa ia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi, sekarang ji-wi pulang dan ia..... ah, ke mana perginya anakku?"
"Hemmm, jangan khawatir, paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata Hay Hay.
Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega. "Ah, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencari, hatiku tidak akan khawatir lagi."
Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tak lama kemudian, setelah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ! Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setel.ah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh.
Ke mana perginya Ci Goat? Semalam ia telah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika ia mendengar dari Hay Hay bahwa pemuda yang dicintanya itu. Pek Han Siong, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, ia merasa berduka walaupun duka itu telah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamanapun juga, malam itu ia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring. Ketika ada ketukan daun jendela, ia belum tidur dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara! Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian ketika pemuda itu meloncat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir ia tidak dapat mempercaya apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dalam mimpi. Akan tetapi, karena pada saat itu ia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci-Goat. kehilangan semua keseimbangan ,hatinya. Ia hanyut dan terseret, dan tidak perduli apapun yang akan menjadi akibatnya. Ia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala.
Ia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Baru setelah Pek Han Siong meninggalkannya, ia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu berahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu berahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi.
Setelah Han Siong meninggalkannya, Ci Goat baru tersentak kaget. Ia terkejut sekali melihat kenyataan yang tak masuk di akal itu. Ia telah menyerahkan diri begitu saja, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya, pada seorang pria! Biarpun ia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai wanita! ia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi! Juga ia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan ia sendiri juga seorang gadis yang mempunyai harga diri yang tinggi. Maka, timbul rasa penasaran di hatinya dan iapun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Dan tiba-tiba ia melihat munculnya Hay Hay dan mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay.
Makin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya sudah bercucuran air mata ketika ia mendengar ucapan Hay Hay, " engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!" Juga ia mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis manapun!"
Kini mengertilah Ci Goat. Mengertilah ia dengan hati hancur bahwa segala yang telah terjadi tadi hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Han Siong tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama.
Tiga orang pendeta Lama! Ci. Goat tersentak dan cepat ia memasuki kembali kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana ia harus pergi. la telah memperoleh keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa ada tiga orang pendeta Lama beberapa hari sebelumnya bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Kini, setelah ia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, Ci Goat dengan hati penuh duka dan dendam, pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika gadis itu dengan isak tertahan berlari mendaki bukit.
Setelah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, ia meloncat dan lari memasuki kuil itu. Dan di tengah kuil itu, di ruangan yang luas, ia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat. Biarpun ia tidak tahu apa artinya semua itu, Ci Goat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda. Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu mau mempertanggungjawabkannya, tentu ia tidak akan merasa ternoda karena ia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi, pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah tiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka, semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama.
"Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini sudah meloncat masuk. Akan tetapi, tiga orang pendeta itu nampak tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya. Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seolah tidak tahu bahwa kepalanya dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg takkk!" Ci Goat terkejut bukan main. Pedangnya terpental, seolah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Dan pada saat itu, pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik dan jatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama telah menangkapnya dan mata yang amat sipit itu kini terbuka, dan mulutnya yang ompong menyeringai. "Ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan sute, kalian lanjutkan permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!" Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tidak perduli, tetap duduk bersila seperti patung Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat. Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. la meronta, akan tetapi kedua tangannya tak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang.
Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya bergerak dan terdengar kain robek berulang kali ketika tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat. Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Ia merasa tidak berdaya. Kini ia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini.
Melawanpun akan percuma dan tentu ia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali. Rasa ngeri membuat ia rnencari akal Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini kelihatan watak aselinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi, seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh !" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu berahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia melepaskan rangkulannya, dan pada saat itu merasa betapa dirinya bebas, Ci Goat cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan. gadis itu terkulai dehgan kepala retak! Ia tewas seketika. Agaknya ia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa ia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan.
Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar ,suara Gunga Lama.
"Sute, engkau telah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!"
Janghau Lama tidak berani banyak membantah. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu berahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu. Dia tahu bahwa kini permainan mereka bertiga telah diketahui orang. Buktinya, gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu telah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia. Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah.
Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung di lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, menempelkannya di atas tengkuknya dan benar saja, setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apalagi mengingat bahwa tak jauh di belakangnya, ada sahabatnya yang amat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay.
Kini biarpun bayangan itu suram muram, namun Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi semalam. Seperti orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja rasanya.
Namun, bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah setiap kali dia mengingatnya. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walaupun hanya samar-samar, namun dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Dibawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat; Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang, gadis itu mengaku bahwa mencinta dirinya sepenuh jiwa raganya. Agaknya, gadis itupun menyambutnya dengan suka rela. Setelah gadis itu mendengar dari Hay Hay bahwa dia tidak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu Ci Goat menjadi patah hati dan berduka, maka ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu mendapat harapan baru. Dan dia bergidik kalau membayangkan apa yang tentu telah terjadi antara mereka. Samar-samar masih ingat dia dan meremang bulu tengkuknya kalau dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Biarpun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat telah ternoda dan dia, sebagai seorang jantan, harus berani mempertanggungjawabkannya.
Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah tiba di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka telah membuat dia tanpa disadarinya menodai Ci Goat dan hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepatutnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya! Akan tetapi dia teringat akan nasihat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya diDawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Kalau dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka akan terputus dan terhapus semua jejak menuju ke Tibet.
Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat. "Terima kasih bahwa Sin-tong telah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang sutenya. Han Siong bersikap seorang yang linglung, dan dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar.
"Sam-wi Lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong, ketahuila bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlalu lama kami menantimu, sin-tong dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami, ke Jalan Terang.
Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Dalam suara itu terkandung kekuatan mujijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang amat kuat. Di depan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka diapun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut."
Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Dalam kesempatan ini, diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur.
Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mujijat itu. Dalam keadaan setengah sadar ini, dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka.
Sementara itu, Hay Hay yang membayangi dari belakang, mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas ia sudah tak bernyawa lagi. Hay Hay menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dia dengan hati-hati membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai kekuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah! Ketika melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Akan tetapi dia teringat akan Han Siong yang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar. Bagaimanapun juga, Ci Goat telah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan HanSiong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang terus dikejar-kejar sejak bayi sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai, barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut tiga orang pendeta Lama ini.
Ketika tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Gat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian, dia mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat.
Kota Pao-teng hari itu ramai sekali. Maklum, dua hari lagi rakyat merayakan hari raya Tahun Baru Impek. Biasanya beberapa hari sebelum Sin-cia (TahuBaru imlek) orang-orang sibuk berbelanja, membeli kain dan pakaian baru, membeli bahan-bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta. Para pedagang pakaian dan bahan masakan dan sembahyang yang lebih dahulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasa, pada hari-hari sebelum Sin-cia para pedagang itu kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan daripada persediaannya, maka harga-harga akan membubung tinggi dan para pedagang makin gendut perutnya. Semua orang nampak berseri wajahnya, mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira, ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik. Apa lagi kalau tidak membicarakan desas-desus tentang wanita lainnya! Asyik memang membicarakan aib atau keburukan orang lain. Membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya, kita merasa bersih dan tinggi.
Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka, mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.
Daya tarik yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua pihak merasakan kegembiraan besar karena dapat saling pandang, saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung dan menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu. Bukan mustahil bahwa dalam kesempatan seperti itu, dua hati bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal malapetaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan seperti ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita.
Seperti sudah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sin Cia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sin-cia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan sehingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dari membakar petasan seperti bersaing dengan orang lain. Makin besar petasar yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati. Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu-lalang di jalan raya kota Pao-teng, nampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan karena boleh dibilang semua wanita di kota Pao teng keluar. pada pagi hari itu. Akan tetapi, gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan banyak pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu. Ia seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagaikan setangkai bunga yang sudah mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, hidungnya yang mancung itu dapat bergerak-gerak ujungnya, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, kalau mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. Pakaiannya dari sutera yang halus dan biarpun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukan seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa ia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu ia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung.
Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti telah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebetulnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau ia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. la berhasil mengalahkan Cun Sek dan ia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai. Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, sute dari ayahhya untuk mengurus perkumpulan itu. Ia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga untuk mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Adapun ayah dan ibunya, setelah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.
Demikianlah perjalanan, singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu ia memasuki kota Pao-teng. Ia ikut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sin-cia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi disamping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan kesepian dan iuga bersedih karena ia teringat kepada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai. Biasanya, pada hari Sin-cia, ia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sin-cia itu. Sekarang, la menyambut menjelang Sin-cia seorang diri saja, di tempat asing, dimana ia tidak mempunyai seorangpun kenalan. Yang lebih mengesalkan hatinya lagi. sampai sekian lamanya ia belum dapat menemukan jejak kedua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.
Pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara ntereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu milik seorang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, dan ada selosin pasukan mengiringkan kereta.
Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, tiba-tiba seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya, meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta terkejut dan dua diantaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari sambil berloncatan ketakutan. Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu makin ketakutan, melonjak-lonjak sehingga saking kuatnya guncangan itu, kusirnya terlempar keluar dari atas kereta! Empat ekor kuda itu lalu kabur! Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul, akan tetapi merekapun tidak dapat menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu terjadi, terbelalak dan merasa khawatir. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Tai-jin, seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar!
Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. la bukan lain adalah Kui Hong! Ketika tadi ia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong cepat lari menghadang dan ketika kereta itu lewat, ia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan segera ia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sin-kangnya, ia lalu menarik kendali kuda itu, memaksa kepala empat ekor kuda itu meronta, melonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia saja dan akhirnya, biarpun mereka itu meringkik-ringkik, mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka dan kereta itupun berhenti.
Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang laki-laki setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, akan tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta.
Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lembam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, nona, terima kasih..... !" katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu. Kui Hong hanya mengangguk lalu iapun meloncat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan ia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja. . Pembesar itu memandang kepadanya dan mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepadanya juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.
"Ah, kiranya, Cang Tai-jin yang berada di dalam Kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang amat dikaguminya dan pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana.
Menteri itu yang sejak tadi sudah merasa mengenal Kui Hong, kini melangkah maju mendekat dan membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana."
Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walaupun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
"Kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi penberontak Kulana.... "
"Ah, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, li-hiap (pendekar wanita)?"
"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She Cia? Ah, sekarang aku ingat. Li-hiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Li-hiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan sekarang, li-hiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita .Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan kita tadi. Li-hiap, ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam ia kecewa. Ia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, akan tetapi tidak memiliki keagungan dan wibawa seperti ayahnya, bahkan pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu." kata Cang Sun sambil tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar