Melihat gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong dan ia cepat mengelak. Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika kakek ini menangkis, tubuhnya terpental ke belakang dan terhuyung-huyung, tanda bahwa ia kalah tenaga! "Orang kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?" tiba-tiba nampak berkelebat bayangan merah dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.
Pemuda ini cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat daripada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada suhunya! Akan tetapi Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis ini pun merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan demikian mudahnya! Tadi ia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-bun-twi-san (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda itu terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Kini ia maju menyerang lagi dengan hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan suhunya tadi! Lo Sian berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagaikan seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang kuat sekali. Diam-diam Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi lawan yang tangguh. Ia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang betul.
Kini giliran Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda' lawannya ini dapat bersilat dengan ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan cepat ia bersilat dengan Ilmu Silat Sianli-utauw, sama dengan ilmu silat Lie Siong! Pemuda ini makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sianli-utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya yang berkulit halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong. Pemuda ini hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tidak mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, Pendekar Bodoh lebih lihai kepandaiannya daripada Ang I Niocu.
Sementara itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, sedangkan Lilani yang sudah dapat mengejar sampai di situ, memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan lemas, indah dipandang.
"Tahan dulu!" seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. "Siapakah kau, Nona?"
Lili menjawab dengan mencabut pedangnya Liong- coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab, "Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Sudah menjadi kebiasaanmukah menanyakan nama setiap orang wanita yang kaujumpai?"
Tentu saja Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir dan telinganya menjadi merah.
Memang ia sedang merasa rusuh hatinya karena perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liong-kiam dan menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam.
Akan tetapi, sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju, menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.
"Jangan kau mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Tai-hiap! Dia seorang pendekar gagah perkasa, sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani memaki padanya!" Sikap Lilani amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Melihat sikap ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang kembali dan berkata, "Sudahlah, jangan kau kuatir, aku takkan melukai atau membunuh kekasihmu!Hanya satu hal yang amat mengecewakan hatiku, kau seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!" Sambil berkata demikian, Lili lalu memegang tangan Lo Sian dan berkata, "Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!"
Lo Sian tertawa ha-ha-hi-hi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok kepada Lie Siong dan berkata, "Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!"
Ketika dua orang itu telah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung, pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian mengiris jantungnya. Ia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar, "Tai-hiap, jangan kautinggalkan Lilani!"
Lie Siong menghela napas berulang dan ketika ia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.
"Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu..."
"Bukan kau, Tai-hiap, akan tetapi kita berdua. Akan tetapi perbuatan kita itu bukanlah dosa bagiku...
Memang, sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita diluar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitikberatkan kepada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya."
Lie Siong dapat menduga akan hal ini, maka dengan hati perih ia berkata, "Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!"
Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akar tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia berkata, "Bagaimanakah seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Tai- hiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apabila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tidak dapat hidup jauh darimu, dan aku tidak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!"
Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini. "Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu."
"Tai-hiap," tiba-tiba gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu, "kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi... bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?"
Lie Siong meloncat mundur bagaikan disengat ular kakinya. "Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?"
Lilani tersenyum sedih. "Orang bertempur bukan seperti yang kaulakukan tadi, Tai-hiap. Kau dan gadis itu tadi bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!"
Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak saking geli hatinya, sungguhpun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
"Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya.
Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li-utauw (Tarian Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi dapat memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!" Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai mainkan Sianli-utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Mengapa pula gadis itu pandai mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat daripada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh? Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan, "Tai-hiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ah, alangkah cocoknya!"
Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikitpun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.
"Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur. Aku belum puas kalau belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!"
"Jangan, Tai-hiap. Dia kelihatan galak dan lihai sekali.
Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ah..."
"Aku harus menghadapinya!" kata Lie Siong berkeras.
"Selain aku ingin menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sianli-utauw dan Pek-in Hoatsut."
Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauw-lim- si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguhpun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sianli-utauw pemuda itu demikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut. Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, karena ia merasa penasaran kalau belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Biarpun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun ia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak gadis! Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan benci kepada pemuda itu, karena ia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu! Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Ketika menerima "surat" dari Goat Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili, "Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu.
Apalagi kalau ada surat dari Kwee Li-hiap yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?"
"Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai," jawab Lili.
Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.
"Ah, puteri Pendekar Bodog? Benar-benar merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh.
Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?" Ia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.
"Dia adalah Sin-kai Lo Sian yang berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu, teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini."
Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian ia menghampiri pengemis gila itu.
"Sahabat, kau kenapakah?"
Akan tetapi, melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba lalu menyerangnya dengan pukulan keras ke arah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa ia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.
"Suhu, jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu."
Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan ia berteriak-teriak, "Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!" Agaknya melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka ia berteriak-teriak ketakutan.
"Nona, tolong bikin dia tidak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya," kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja. Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, ia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan. Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, kemudian ia pun mempergunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu.
Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh- sungguh, "Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih dan seluruh darahnya telah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sukarlah membuat ia teringat pula akan segala kejadian yang lalu."
"Tolonglah, Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak teringat sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi."
"Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng."
Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat-alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.
"Nona Sie," kata hwesio itu, "coba tolong kauikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kaubuka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya."
Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia membuka bungkusan pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki tangan Lo Sian kepada kaki pembaringan, ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi. Begitu terbebas, Lo Sian lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak, "Pemakan jantung! Pemakan jantung! Tolong-tolong!"
Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah ia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya ia jatuh pingsan atau pulas! Delapan belas jarum telah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan di sekitar kepalanya! Mau tak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang dapat hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang amat luar biasa ialah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.
"Biarlah ia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu." Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika ia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika ia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.
"Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin- kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguhpun tidak sampai menewaskan nyawanya, namun membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi.
Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi.
Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!"
Pada saat itu, terdengar Lo Sian merintih perlahan.
Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena kalau kepalanya bergerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya.
Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.
"Syukurlah, baik hasilnya," hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu. Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, setelah dicabut ujungnya berwarna kehitam- hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan! Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pel merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi muka dan akhirnya ia membuka matanya.
"Di mana aku...?" tanyanya seperti orang baru bangun tidur.
"Buka ikatannya," kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu.
Lo Sian bangun dan duduk dengan pandangan mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat kenyataan bahwa pandang niata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.
"Eh, siapakah kalian dan di mana aku berada?" kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.
Lili lalu maju dan memegang tangannya. "Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!"
Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum itu.
"Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa pernah kumendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!"
"Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu."
Kini Lo Sian memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biarpun Lo Sian masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut itu telah menolongnya, maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Omitohud!" Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu. "Tidak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, sungguhpun ia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini."
Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Ia kini tidak gila lagi, akan tetapi ia tidak ingat akan kejadian di masa lampau.
Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas suhunya itu teringat kembali, akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya, akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.
Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan- akan hendak membantu urat-urat syarafnya bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, "Ah... yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie Tai-hiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas... ah, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!" Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu! Lili hendak menghampirinya, akan tepati dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya, "Suhu, kaumaksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia??" Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini seringkali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari ayahnya.
Lo Sian mengangguk-angguk dan menahan tangis.
"Benar, dia telah meninggat dunia. Lie Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!"
Pada saat itu, terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas! "Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!"
Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong. Dengan hati tidak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari atas genteng, lalu menubruk hendak menangkap Lo Sian. Ia melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.
"Suhu, awas serangan!" Lili berseru kaget dan baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Ia cepat memutar tubuh dan miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu. "Hem, kiranya kau!" seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. "Kau datang mau apakah?"
"Suhumu yang gila ini telah bicara tidak karuan dan ia telah menghina ayah ketika menyatakan bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana ia berani mengatakan bahwa ayah telah mati?"
"Siapa bilang bahwa ayahmu mati, anak muda?" Lo Sian berkata dengan sabar. "Yang mati adalah Lie Kong Sian, bukan ayahmu..."
"Orang gila! Lie Kong Sian adalah ayahku!" sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo Sian.
Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah seringkali disebut-sebut ayah bundanya, akan tetapi ia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik! Juga di dalam hatinya timbul niat hendak menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili lalu bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.
"Bagus, gadis liar!" Lie Siong membentak. "Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah." "Aku mengaku kalah? Terhadap engkau?? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!"
Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili.
Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan ayah-bundanya? "Kau siapakah?" ia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill mengejek dengan bibirnya yang manis.
"Apa kaukira dengan mengaku putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!" Setelah berkata demikian Lili lalu mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang tajam.
"Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka mulut besar!" Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian! Lili memiliki Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, ilmu pedang yang berdasarkan limu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, maka tentu saja ilmu pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, dan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata! Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, maupun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali dan berkali-kali menyebut nama Buddha, "Omitohud! Alangkah hebatnya limu pedang ini!"
Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, silaulah mata mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata. Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seakan-akan ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.
Api lilin di atas meja yang terdapat di ruang itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata mereka berdua. Thian Kek Hwesio saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, lalu bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga batang lilin tambahan ini, makin indahlah nampaknya sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang pandai itu. Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili maupun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena ia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lau-hoan-kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun pernah mernberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu. Kalau diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal gin-kang dan tenaga lwee-kang, ia agaknya masih kalah latihan.
Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu! Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini.
Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban. Akan tetapi, yang membuat hatinya berdebar aneh, adalah cara Liti mainkan ilmu pedangnya. Ia setengah dapat menduga bahwa kalau lawannya mau, tentu ia sudah dirobohkannya! Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu telah mendekati tubuhnya, tiba- tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa sehingga tidak melukainya! Ia menjadi marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras dan tidak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang naganya, berusaha untuk membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah lihainya. Telah tiga empat kali lawannya "mengampuni"nya dengan merubah jalan pedangnya, maka ia pun ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula kepada lawannya untuk melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu? Ia tidak diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin mengurungnya sehingga gulungan sinar kuning keemasan kini makin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.
Lebih hebat lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran dan mengira bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas.
Tidak tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran. Angin kipas itu menyambar dan membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok pundaknya. Lie Siong benar-benar merasa terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa gadis lawannya itu sedemikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apalagi sekarang setelah gadis itu mempergunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa.
Siapakah gadis ini? Dengan pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan gadis ini menjadi bangga karena dapat mendesak pemuda itu. Ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak dan memaksa pemuda itu mengakui keunggulannya. Akan tetapi, Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad. Ia pikir bahwa kalau ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku dapat membalasnya! Setelah berpikir demikian, ia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerangnya dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok lambungnya! Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi. Akan tetapi, Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawan yang mengancam dirinya ini, sebaliknya ia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya, kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya ia akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan! Lili merasa terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu! Ia berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas.
Dengan sendirinya kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi menyerempet pundak kanan Lie Siong! Lie Siong merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali dan melihat darah mengalir dari pundaknya.
Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan ketika pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, ia lalu menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang amat tidak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili! Gadis itu terkejut dan hendak menarik kakinya, akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie Siong membetot dan sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang naga itu! "Bangsat! Kembalikan sepatuku!" Lili berseru keras, akan tetapi Lie Siong yang merasa telah dapat membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran itu, yaitu hinaan yang berupa "pengampunan" berkali-kali dari desakan pedang, segera membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.
Lili hendak mengejar, akan tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak lantai yang kasar.
Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie Siong, "Kau harus membayar penghinaan dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tidak mudah mendapatkan sepatu yang masih dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan bodoh melebihi ayahnya dan sombong pula!"
Lili hampir menangis saking jengkelnya dan melompat keluar.
"Kubunuh kau, bangsat rendah!" makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu tajam, ia mengeluh, melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku dan... menangis! Thian Kek Hwesio lalu menghampiri Lili dan menghiburnya, "Nona Sie, mengapa kau menangis? Bukankah kau telah dapat mengusirnya?"
"Ia... manusia kurang ajar itu... ia telah membawa pergi sebuah sepatuku!" jawab Lili masih menangis. Sesungguhnya, kejadian perampasan sepatu tadi amat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio yang tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini ia memandang ke arah kaki kiri Lili dan ia berseru kaget, "Omitohud...! Bagaimana ada laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, betulkah kata-katamu tadi bahwa dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I Niocu yang terkenal sekali."
Akan tetapi Lili tak dapat menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali dan ingin ia dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya! "Aku tidak tahu siapa Ang I Niocu dan siapa pula pemuda itu, akan tetapi ilmu kepandaiannya memang hebat," tiba-tiba Lo Sian berkata. "Aku masih ingat kepada Lie Kong Sian dan agaknya pemuda itu memang patut menjadi putera Lie Kong Sian. Ilmu sitatnya tinggi dan tadi ia merampas sepatumu hanya untuk membalas penghinaan yang berkali-kali kaulakukan kepadanya."
Thian Kek Hwesio memandang heran kepada pembicara ini, "Eh, Sicu, apa rnaksudmu? Mengapa kau menyatakan bahwa Nona Sie telah menghinanya berkali- kali?"
Lo Sian yang telah waras pikirannya dan memiliki pemandangan yang lebih awas dari Thian Kek Hwesio berkata tenang, "Lo-suhu, di dalam pertempuran tadi, Nona ini memang selalu menjadi pendesak dan lebih lihai kepandaiannya. Akan tetapi Nona ini sengaja tidak mau melukai dan merobohkan lawan, selalu memberi ampun dan menarik kembali serangannya pada saat pedangnya akan mengenai sasaran. Di dalam sebuah pibu, tentu saja hal ini dianggap gerakan yang amat menghina dan merendahkan lawan. Bagi seorang gagah, lebih baik dirobohkan daripada diberi ampun dan diberi kesempatan melepaskan diri dari ancaman senjata!"
Merahlah wajah Lili setelah mendengar ucapan Lo Sian ini. Tak disangkanya bahwa suhunya masih bermata setajam itu dan dapat melihat semua gerakannya! Akan tetapi, hwesio gendut itu menggeleng-geleng kepala dan menghela napas berkati-kali.
"Kalian ini orang-orang dunia persilatan benar-benar aneh sekali! Untung pinceng tak pernah mempelajari ilmu silat, karena kalau pinceng dulu mempelajarinya, entah sudah berapa kali pinceng harus berkelahi seperti binatang buas!"
Terpaksa Lili menerima pemberian Thian Kek Hwesio yaitu sepasang sepatu hwesio yang besar. Ia memotong dan menjahit lagi sepatu itu, dikecilkan untuk dapat dipakai oleh sepasang kakinya yang kecil mungil.
Kemudian ia membujuk kepada Lo Sian untuk ikut dengan dia ke rumah ayah-bundanya di Shaning.
"Aku tidak kenal siapa adanya ayahmu yang bernama Pendekar Bodoh itu, akan tetapi oleh karena aku yakin bahwa dulu tentu aku pernah mengenalmu dan tahu bahwa kau adalah seorang yang mulia, maka biarlah aku ikut dengan kau, Nona."
"Suhu, mengapa kau menyebutku nona saja? Sungguh tidak enak bagiku. Sebutlah saja namaku seperti dulu, yaitu Lili!" kata Lili cemberut.
Lo Sian tersenyum. Air mukanya mulai berseri dan bercahaya seakan-akan kehidupan baru memasuki tubuhnya. Ia merasa gembira dapat melihat kejenakaan, kemanjaan, dan kegagahan nona ini, maka ia lalu menjawab, "Baiklah, Lili, sungguhpun aku sama sekali tidak mengerti mengapa kau menyebutku Suhu, padahal kalau melihat kepandaianmu, lebih patut akulah yang menjadi muridmu!"
Demikianlah, setelah menanti sampai tiga hari akan tetapi tidak melihat kedatangan Hong Beng dan Goat Lan, Lili menjadi hilang sabar dan ia mengajak Lo Sian menuju ke Shaning kembali ke rumah orang tuanya. Di sepanjang jalan tiada hentinya ia menuturkan hal-hal yang terjadi di waktu dahulu kepada Lo Sian, namun, Sin-kai Lo Sian mendengar ini sebagai hal yang baru sama sekali dan ia tidak ingat apa-apa melainkan kematian Lie Kong Sian! Ini pun tak ia ketahui sebab- sebabnya. Lupalah ia akan nama-nama seperti Ban Sai Cinjin, Hok Ti Hwesio, Mo-kai Nyo Tiang Le dan yang lain-lain.
Mengapa Hong Beng dan Goat Lan yang ditunggu- tunggu oleh Lili tak juga datang menyusul ke kota Ki-ciu seperti yang mereka janjikan? Marilah kita ikuti pengalaman mereka. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua orang muda ini menuju ke kota Ta- liong untuk memenuhi undangan pibu yang diterima oleh Hong Beng dari kelima ketua dari Hek-tung Kai-pang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong Beng bersama Goat Lan sudah menuju ke tempat terbuka di mana kemarin harinya Hong Beng telah menolong Lo Sian dari keroyokan para anggauta Hek-tung Kai-pang.
Ternyata ketika mereka tiba di tempat itu, di situ telah berkumpul puluhan orang pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang dan semua orang itu telah membuat lingkaran.
Di tengah-tengah lingkaran, nampak sebuah meja butut dan beberapa buah bangku butut pula. Di belakang meja, lima orang nampak menduduki lima buah bangku, duduk berjajar bagaikan arca batu. Kelima orang ini bukan lain adalah lima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang yang sesungguhnya bukanlah saudara-saudara sekandung melainkan saudara-saudara angkat yang telah bersumpah sehidup semati. Selain daripada ini, mereka juga merupakan saudara seperguruan, karena kelimanya adalah murid dari Hek-tung Kai-ong, pencipta dari Hek- tung Kai-pang dan ilmu tongkat hitam yang amat lihai.
Lima orang ketua ini kesemuanya berpakaian tambal- tambalan dan usia mereka antara empat puluh sampal lima puluh tahun. Setelah mengangkat saudara menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang, mereka telah menggunakan nama baru dengan she (nama keturunan) Hek pula yaitu Hek Liong, Hek Houw, Hek Pa, Hek Kwi dan Hek Sai. Semenjak kelima saudara ini menemukan buku pelajaran silat dari guru mereka yang telah meninggal dunia, dan bersama-sama melatih lagi Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat dari kitab ini, kepandaian mereka meningkat tinggi sekali dan tiap kali ada pemilihan pengurus baru tak seorang pun dapat mengalahkan mereka! Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah amat berat apalagi kalau menghadapi mereka berlima sekaligus! Betapapun juga, Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam ini mendapat nama baik di kalangan kang-ouw.
Juga Ngo-hek-pangcu (Lima Ketua Hek) ini tidak tercela namanya, karena selama memegang pimpinan, mereka berlaku adil dan juga melakukan perbuatan-perbuatan gagah. Akan tetapi, tentu saja sebagai ketua-ketua dari perkumpulan seperti Hek-tung Kai-pang yang amat terkenal, mereka juga mempunyai keangkuhan. Ketika mereka tiba di Ta-liong dari kota raja dan mendengar bahwa anak buah mereka yaitu para kepala ranting dan cabang yang berkumpul di situ, telah dihajar oleh seorang pemuda yang membela seorang pengemis golongan lain yang datang mengacau, mereka menjadi penasaran sekali. Maka diutuslah anak buah mereka untuk menantang pibu kepada pemuda itu.
Kini, pagi-pagi sekali Ngo-hek-pangcu telah bersiap sedia menanti kedatangan orang yang ditantangnya.
Melihat kedatangan dua orang muda, seorang pemuda tampan dan gagah bersama seorang gadis cantik jelita, maka kelima orang pangcu ini merasa heran dan juga diam-diam mereka merasa kagum. Inikah orangnya yang telah dapat mengocar-ngacirkan para pemimpin ranting? Hampir tak dapat dipercaya! Namun, sebagai orang-orang kango-uw yang ulung, mereka tidak berani memperlihatkan sikap memandang rendah dan segera mereka bangun berdiri ketika melihat Hong Beng dan Goat Lan menghampiri mereka.
"Maafkan kami, sahabat muda yang gagah. Kami sebagai pengemis-pengemis hina dina dan miskin tentu saja tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagai mana layaknya seorang tamu agung dihormati," kata Hek Liong, ketua yang paling tua di antara kelima orang itu.
Merahlah telinga Hong Beng mendengar ucapan dan melihat sikap ini. Ia merasa betapa "tuan rumah" ini terlalu berlebih-lebihan merendahkan diri dan mengangkatnya sebagai tamu agung. Akan tetapi Hong Beng memang berwatak sabar dan tenang, maka ia menjawab sambil menjura pula.
"Akulah yang minta maaf, Pangcu (Ketua)! Aku sebagai orang luar yang masih hijau dan bodoh, berani datang mengganggu kesenanganmu. Memang serba sukarlah kedudukanku, Pangcu. Tidak datang memenuhi panggilanmu, tentu akan mengecewakan hati Ngo-wi yang gagah, sebaliknya memenuhi undangan, berarti mengganggu rapat ini!"
Mendengar ucapan yang panjang lebar ini, serta melihat sikap pemuda yang amat tenang itu, kelima ketua itu diam-diam makin mengindahkan sikap Hong Beng.
Pemuda dengan sikap seperti ini tak boleh dipandang ringan, pikir mereka.
"Dan bolehkah kiranya kami bertanya, dengan keperluan apakah Nona ini ikut datang ke sini!"
Goat Lan tersenyum dan dengan jenaka sekali ia tersenyum lalu menjura sambil menjawab, "Ngo-wi Pangcu (Lima Tuan Ketua), aku adalah seorang perantau yang menjadi sahabat baik orang muda ini. Mendengar sahabat baikku ini mendapat undangan dari perkumpulan Hek-tung Kai-pang, hatiku amat tertarik sekali. Aku bersama kedua suhuku, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, telah seringkali mengunjungi orang- orang besar di dunia kang-ouw, mengunjungi perkumpulan-perkumpulan orang gagah di dunia ini yang banyak macamnya. Akan tetapi, sungguh aku belum pernah bertemu dengan Perkumpulan Hek-tung Kai- pang yang sudah amat tersohor di empat penjuru ini!"
Goat Lan sengaja memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, karena ia mengharapkan nama-nama kedua orang gurunya dapat melemahkan hati kelima orang pangcu itu sehingga permusuhan dapat dicegah. Memang gadis yang cantik ini tepat sekali perhitungannya, karena mendengar nama kedua orang tokoh persilatan yang tinggi dan tersohor namanya ini, kelima orang pangcu itu lalu berdiri dari tempat duduk mereka dan menjura ke arah Goat Lan.
"Ah, sungguh mata kami seperti buta saja, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Silakan duduk, Li-hiap (Pendekar Wanita), dan perkenalkan nama kami kelima pangcu dari Hektung Kai-pang." Kelima orang raja pengemis itu lalu memperkenalkan nama mereka seorang demi seorang.
Hong Beng juga memperkenalkan nama demikian pula Goat Lan. Berbeda dengan Goat Lan, Hong Beng tidak mau menceritakan siapa gurunya dan siapa pula orang tuanya. Ia ingin melihat bagaimana sikap raja-raja pengemis itu.
Akan tetapi setelah mempersilakan kedua orang tamunya itu mengambil tempat duduk, agaknya kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu tidak mempedulikan mereka lagi dan melayani orang-orang yang mulai datang, dan diantara para pendatang baru itu, nampak pula tiga orang pengemis yang membawa tongkat berbentuk ular. Mereka ini adalah ketua-ketua dari Coa- tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular) dari timur yang juga besar pengaruhnya. Selain tiga orang ketua Coa-tung Kaipang ini, nampak juga seorang tosu tinggi kurus, dan seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya dikuncir panjang ke belakang dan memakai topi bundar sikapnya kasar dan berlagak. Tosu ini adalah seorang ahli silat yang bernama Beng Beng Tojin, seorang tokoh Bu-tong-san yang suka merantau. Adapun orang bertopi bundar itu adalah seorang kasar yang terkenal sebagai ahli gwa-kang (tenaga kasar) dan ahli tiam-hoat (menotok jalan darah). Namanya Cong Tan dan julukannya It-ci-sin-kang (Si Jari Tangan Lihai).
Kelima saudara Hek yang menjadi ketua dari Hek- tung Kai-pang itu menyambut kedatangan lima orang ini dengan penuh penghormatan pula, akan tetapi mereka tidak dipersilakan duduk seperti Hong Beng dan Goat Lan. Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dan keduanya merasa heran mengapa tuan rumah tidak mempedulikan mereka lagi, dan bagaimanakah dengan pibu yang diajukan oleh kelima orang ketua itu? Bagi Hong Beng dan Goat Lan, memang mereka mengharapkan agar supaya tidak terjadi salah paham atau permusuhan, akan tetapi mereka pun, terutama Hong Beng takkan merasa puas sebelum mencoba kepandaian kelima orang tokoh Hek-tung Kai-pang yang terkenal itu.
Setelah menyambut tamu-tamu yang baru datang, Hek Liong, saudara tertua dari kelima orang itu, lalu berkata dengan suara keras kepada para pemimpin Hek-tung Kai-pang yang hadir di situ.
"Kawan-kawan sekalian! Sebagaimana telah ditentukan kemarin, maka pemilihan ketua akan dilakukan hari ini. Oleh karena hari ini sudah tiba waktunya bagi kami yang sudah memenuhi tugas sebagai ketua, maka dengan ini kami menyatakan turun dari kedudukan ketua untuk menghadapi pemilihan baru.
Nah, silakan kawan-kawan yang mempunyai calon untuk mengajukan calonnya!"
Ramailah suara para anggauta perkumpulan pengemis itu setelah ketua mereka membuka rapat istimewa itu.
Ternyata bahwa kelima orang tamu yang datang itu, yaitu ketiga ketua Coa-tung Kai-pang, Beng Beng Tojin, dan Cong Tan, datang atas kehendak mereka sendiri dengan maksud untuk mencoba merobohkan ketua lama untuk menduduki kedudukan ketua baru dari Hek-tung Kaiang.
Semua yang hadir dengan suara bulat memilih kelima saudara Hek sebagai ketua lagi.
"Kami memilih Ngo-hek-pangcu tetap menjadi ketua kami!" seru suara para hadirin dengan serentak.
Mendengar seruan para anggauta Hektung Kai-pang ini, ketiga ketua Coatung Kai-pang itu segera berdiri dengan senyum mengejek. Mereka ini adalah ketua tingkat dua dari Coa-tung Kai-pang, dan usia mereka baru tiga puluh tahun lebih. Sikap mereka amat tinggi dan memandang rendah sedangkan mulut mereka sclalu tersenyum seolah-olah menghadapi perkumpulan yang jauh lebih kecil daripada perkumpulan mereka sendiri.
Juga pakaian tambal-tambalan yang mereka pakai berbeda dengan pakaian para pemimpin Hek-tung Kai- pang, karena biarpun pakaian mereka penuh tambalan, namun baik pakaian dasar maupun tambalannya amat bersih! "Cu-wi sekalian," kata yang tertua di antara mereka, yaitu seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, "kami adalah anggauta-anggauta dewan pimpinan dari Coa-tung Kai-pang di timur yang mewakili perkumpulan kami. Kedatangan kami ini membawa maksud yang amat mulia. Menurut hasil perundingan dewan pengurus kami, maka sungguh tidak layak apabila di negeri ini terdapat terlatu banyak perkumpulan seperti yang kita sekalian dirikan. Mungkin Cu-wi sekalian sudah mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) dari Secuan, Lo-kai Hwekoan (Rumah Perkumpulan Pengemis Tua) dari Santung, keduanya telah menggabungkan diri dan melebur perkumpulan mereka menjadi cabang dari perkumpulan kami Coa- tung Kai-pang yang terbesar dan jaya! Oleh karena itu, maka kedatangan kami ini merupakan wakil daripada perkumpulan kami untuk minta Cu-wi sekalian menginsyafi hal ini dan melebur perkumpulan Hek-tung Kai-pang menjadi cabang pula dari Coa-tung Kai-pang kami!"
Ucapan ini menyatakan betapa sombongnya Si Muka Hitam itu. Kalau ia dengan suara membujuk minta agar supaya Perkumpulan Tongkat Hitam itu suka menggabungkan diri dengan Perkumpulan Tongkat Ular, ini masih dapat diterima. Akan tetapi ia mempergunakan ucapan agar supaya Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam insaf dan melebur diri menjadi cabang Coa-tung Kai-pang! Sungguh tidak melihat muka para pemimpin Hek-tung Kai-pang! Dengan wajah berubah merah, Hek Pa seorang ketiga dari kelima Ketua Hek-tung Kai-pang, bangkit berdiri dan menudingkan jari tangan kirinya kepada ketiga orang tamu itu sambil berkata, "Orang-orang Coa-tung Kai-pang sombong amat! Siapakah yang tidak mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dan Lo-kai Hweekoan menggabungkan diri karena kalian paksa dengan kekerasan? Dan siapa pula yang tidak mendengar bahwa Coa-tung Kai-pang mempunyai banyak anggautanya yang melakukan pelanggaran dan kejahatan, tidak patut sebagai perkumpulan pengemis pendekar? Orang lain boleh kalian gertak, akan tetapi kami para pengurus Hek-tung Kai-pang tak gentar menghadapi tongkat ularmu!"
Para pengemis tongkat hitam yang berjumlah empat putuh orang lebih itu ketika mendengar ucapan Sam- pangcu (Ketua ke Tiga), serentak berseru,"Betul! Usirlah orang-orang Coa-tung Kai-pang ini!" Dan dengan tongkat hitam diangkat tinggi-tinggi mereka maju mengurung! Akan tetapi ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu masih saja bersikap tenang bahkan kini senyum mereka melebar sombong.
"Hemm, begitukah kegagahan Hek-tung Kai-pang? Hendak mengandalkan jumlah besar mengeroyok kami tiga orang? Alangkah rendah dan pengecutnya!" Mendengar ejekan ini, Hek Liong lalu berdiri dan dengan gerak tangannya ia minta kepada semua anak buahnya untuk mundur. Setelah keadaan menjadi reda, ia lalu menghadapi Si Tinggi Besar itu sambil menantang, "Dengarlah, kawan! Kami seluruh anggauta dan pengurus Hek-tung Kai-pang, tidak mau menerima usulmu untuk menggabungkan perkumpulan kami dengan perkumpulanmu. Habis, kau mau apa?"
"Hek-pangcu," kata Si Muka Hitam yang tinggi besar itu, "lupakah kau bahwa hari ini adalah hari pemilihan pengurus baru perkumpulanmu? Aku mendengar bahwa siapa yang dapat mengalahkan Hek-tung-hwat, dialah yang berhak menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang.
Nah, kami bertiga hendak mencoba-coba kelihaian Ilmu Tongkat Hek-tung-hwat!"
"Bagus!" Tiba-tiba Beng Beng Tojin melangkah maju.
"Inilah baru ucapan orang gagah. Untuk apa bertengkar mulut seperti wanita? Aturan harus dijalankan dan dipegang teguh. Kedatangan pinto juga ingin menguji kehebatan Hek-tung-hwat dan kalau pinto beruntung, pinto akan merasa senang menjadi pangcu!"
"Aku pun datang untuk mencoba peruntungan menjadi ketua perkumpulan ini!" tiba-tiba It-ci-sin-kang Cong Tan menyela.
Diam-diam Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dengan geli dan heran. Bagaimanakah ada orang-orang yang memperebutkan kedudukan sebagai ketua perkumpulan para pengemis? Apakah enaknya menjadi ketua pengemis? Adapun kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang ketika mendengar ucapan ini, lalu berdiri merupakan sebuah barisan dan Hek Liong sebagai orang tertua berkata keras, "Bagus sekali! Kalian semua telah mendengar pilihan para pemimpin cabang bahwa kami berlima masih tetap dikehendaki memimpin Hek-tung Kai-pang. Nah, siapa yang menyatakan tidak setuju boleh maju ke muka!"
Melihat sikap kelima orang yang maju bersama ini, Beng Beng Tojin mengerutkan kening dan berkata lemah, "Apa...? Kalian berlima maju berbareng?"
Juga It-ci-sin-kang CongTan memperlihatkan rasa gentarnya. "Ah, ini tidak adil!" katanya.
Hek Liong tersenyum mengejek, "Ketahuilah bahwa kami berlima adalah saudara seperguruan yang sudah bersumpah sehidup semati, senasib sependeritaan. Dan kalian mendengar sendiri bahwa yang diangkat menjadi pangcu adalah kami berlima, maka andaikata seorang di antara kalian ada yang dapat mengalahkan aku masih ada empat orang saudaraku yang harus dikalahkan pula.
Oleh karena itu, kami merupakan sekelompok yang tak dapat dipisah-pisahkan. Terserah siapa yang ingin merobohkan kami, boleh maju. Yang merasa takut tak usah mencari penyakit!"
Tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu tadinya memandang kepada Beng Beng Tojin dan Cong Tan dengan senyum menghina, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu mendapat akal baik.
Ia dan kawan-kawannya hanya tiga orang sedangkan pihak lawan ada lima orang, belum ditambah oleh para pemimpin-pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang yang nampaknya berpihak kepada lima orang ketua mereka.
Mengapa dalam keadaan kalah tenaga ini ia tidak menarik tangan kedua orang ini? "Ji-wi Eng-hiong," katanya kepada tosu dan orang bertopi bundar itu, "Ji-wi jauh-jauh sudah datang ke sini dan biarpun antara Ji-wi dengan kami bertiga tidak ada hubungan, namun maksud kedatangan kita di sini adalah sama. Sekarang dengan secara licik tuan rumah hendak maju berlima, mengapa kita tidak bergabung saja sehingga kita pun menjadi lima orang? Kalau kita menang, percayalah bahwa kami bertiga tidak akan berlaku curang seperti tuan rumah dan kita kelak boleh menentukan siapa diantara kita yang cakap menjadi ketua!"
Tosu dan orang bertopi itu saling pandang, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. "Bagus, memang demikianlah baru adil!"
Sementara itu, kelima orang she Hek itu dapat mengerti kecerdikan pihak Coa-tung Kai-pang, namun mereka tidak takut.
"Baiklah, lekas kalian memperlihatkan kepandaian, banyak bicara tiada guna!" Setelah berkata demikian, dengan otomatis ia dan kawan-kawannya lalu berpencar dan membentuk sebuah barisan segi lima.
"Hayo serang!" kata Si Muka Hitam, pemuka dari pemimpin Coa-tung Kai-pang sambil menggerakkan tongkat ularnya. Beng Beng Tojin tertawa bergelak dan mengeluarkan senjatanya yang istimewa yaitu sepasang sumpit gading yang panjang dan berujung runcing, sedangkan It-ci-sin-kang Cong Tan lalu mengeluarkan senjatanya yang berupa golok. Dengan berbareng, kelima orang tamu ini menyerang pihak Hek-tung Kai-pang.
Indah sekali gerakan kelima saudara Hek itu, mereka menyambut lawan-lawannya. Tubuh mereka bergerak secara teratur dan begitu tongkat hitam mereka menangkis mereka lalu menggerakkan kaki dengan gerakan yang sama dan dengan teratur sekali mereka lalu menyerang lawan di sebelah kiri masing-masing, bukan lawan yang rnenyerang tadi! "Moi-moi," kata Hong Beng perlahan kepada Goat Lan yang duduk di sebelah kanannya, "perhatikan baik-baik.
Lima saudara Hek itu menggunakan barisan yang teratur sekali."
Goat Lan mengangguk sambil memandang penuh perhatian. "Memang dugaanmu tepat, Koko. Mereka tidak mau melayani lawan yang menyerang, sebaliknya menyerang orang di sebelah kiri sehingga pihak lawan menjadi kacau mereka pecah perhatiannya. Lihat, benar- benar mereka lihai dan sukar dilawan! Biarpun lima orang melawan lima, namun pihak lawan selalu akan merasa terkurung dan terkeroyok!"
"Aku pernah mendengar dari Suhu tentang Ilmu Tongkat Hek-tung-hwat, dan melihat pergerakan barisan mereka, kalau tidak salah mereka itu mempergunakan barisan yang hampir sama dengan Ngo-bun-tin."
"Apakah ada persamaannya dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Anasir)?" tanya Goat Lan sambil menonton pertempuran yang kini berjalan seru itu.
"Tidak sama," jawab Hong Beng. "Ngo-bun-tin (Barisan Lima Pintu) mempunyai lima pintu, yaitu Thian-bun (Pintu Langit), Tee-bun (Pintu Bumi), Hai- bun (Pintu Laut), Hong-bun (Pintu Angin) dan In-bun (Pintu Awan). Kedudukan mereka kuat sekali karena tiap kali seorang di antara mereka diserang dan menangkis, maka kawan di sebelah kanan atau kirinya lalu maju menyerang lawan yang menyerangnya itu, dengan demikian penyerangan lawan tak dapat diputuskan."
Kedua orang muda itu lalu memperhatikan jalannya pertempuran. Ternyata bahwa Ilmu Tongkat Hek-tung-hwat memang hebat sekali. Tongkat hitam di tangan kelima orang itu bergerak bagaikan seekor naga hitam yang mengamuk dan tiap kali tongkat mereka beradu dengan senjata lawan, tentu terjadi benturan yang amat keras dan jelas nampak bahwa tenaga kelima ketua Hek- tung Kai-pang itu masih menang setingkat. Kecuali apabila yang ditangkis itu golok di tangan It-ci-sin-kang Cong Tan, karena ternyata bahwa Si Jari Lihai ini benar- benar kuat sekali tenaganya. Hampir saja karena kurang hati-hati, tongkat di tangan Hek Sai saudara termuda dari lima ketua itu, terlepas dari pegangan ketika ia menangkis golok Cong Tan! "Ngo-hek-pangcu tentu akan menang," kata Goat Lan setelah menonton pertempuran yang sudah berjalan dua puluh jurus lebih itu.
"Memang, kepandaian pihak tamu belum dapat menyamai kelihaian tuan rumah, akan tetapi kulihat Ilmu Tongkat Coa-tung-hwat tidak kalah lihai daripada Hek-tung-hwat, hanya gerakan tiga orang itu masih kurang sempurna. Mereka itu hanya tokoh-tokoh kedua saja, kalau ketua-ketua dari Coa-tung Kai-pang tentu akan hebat sekali permainan tongkatnya," kata Hong Beng.
Memang kedua orang muda ini memiliki pandangan yang amat tajam dan awas, hal ini mungkin karena kepandaian mereka masih jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian mereka yang sedang bertempur.
Tepat seperti yang mereka duga, kelima orang ketua Hek- tung Kai-pang mulai mendesak lawan mereka dan yang pertama kali terkena pukulan adalah It-ci-sin-kang Cong Tan. Pada satu saat yang amat tepat, yaitu ketika goloknya menyambar ke arah leher Hek Kwi, orang ke empat dari Ngo-pangcu ini lalu menangkis dan menggunaan tongkat hitamnya untuk menempel golok. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam tangkisan ini ia menggunakan gerakan coan (memutar) sehingga Cong Tan merasa sukar untuk menarik kembali goloknya. Pada saat itu, bagaikan telah diatur sebelumnya tongkat hitam Hek Pa te1ah meluncur dan menotok pundak Cong Tan pada jalan darah Keng-hin-hiat! Cong Tan memekik kesakitan dan merasa betapa seluruh tubuhnya terlepas dari pegangan dan sekali Hek Kwi menendang, tubuhnya terlempar keluar dari kalangan pertempuran dan tak dapat bergerak pula! Tak lama setelah Cong Tan roboh, kembali Beng Beng Tojin menjadi korban di tangan Hek Liong, saudara yang paling lihai ilmu tongkatnya. Pada saat Hek Liong menusukkan tongkatnya ke dada tosu itu, Beng Beng Tojin lalu menggerakkan sepasang sumpit gadingnya untuk menjepit dan menggunting tongkat lawan. Jepitan sumpitnya ini amat keras, disertai tenaga lwee-kang yang hebat, akan tetapi ternyata bahwa ia masih kalah tenaga.
Hek Liong membuat tongkatnya tergetar dalam tangannya dan begitu tongkat tadi bergetar keras, maka jepitan itu dengan sendirinya terlepas, akan tetapi tongkat itu masih terus bergetar di antara kedua sumpit itu sehingga Beng Beng Tosu tidak berani sembarangan menarik sumpitnya karena takut kalau-kalau ia kalah cepat dan kalau-kalau tongkat itu akan mendahuluinya dengan serangan hebat. Akan tetapi, pada saat itu, Hek Houw yang sudah menduduki Tee-bun (Pintu Bumi) dengan cepat mengirim tusukan dengan tongkatnya ke arah lambungnya.
Beng Beng Tojin menjatuhkan diri ke belakang dan "bret!" jubahnya yang lebar itu tertusuk tongkat dan robek lebar sekali, sedangkan kulit pahanya ikut pula robek dan terluka! Masih untung baginya bahwa kedua saudara Hek ini tidak bermaksud mencelakakannya dan tidak mengejarnya dengan serangan lain. Tosu ini melompat ke belakang, mengebut-ngebutkan bajunya dengan muka merah, lalu berkata, "Pinto mengaku kalah!" Kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan lenyap dari situ! Kini tinggallah ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai- pang yang melakukan perlawanan hebat dan mati- matian. Memang betul seperti yang dikatakan oleh Hong Beng tadi. Ilmu tongkat mereka benar-benar lihai dan ganas sekali. Tongkat berbentuk ular di tangan mereka itu nampak seakan-akan hidup dan tongkat itu seperti ular aseli yang bergerak-gerak dan gerakan amat tak terduga-duga. Namun, tadi dibantu oleh orang lain yang cukup tinggi kepandaiannya, mereka masih tak dapat mengalahkan kelima ketua Hek-tung Kai-pang, apalagi sekarang mereka yang hanya bertiga itu terkurung oleh lima orang lawannya yang tangguh. Mereka terdesak hebat, dan terkurung rapat sehingga mereka hanya dapat memutar tongkat mereka mempertahankan diri tanpa diberi kesempatan membalas serangan.
Ketika Hong Beng dan Goat Lan mengerling ke arah para anggauta Hek-tung Kai-pang, pada wajah mereka terbayang kegembiraan besar melihat kemenangan ketua mereka, akan tetapi tak seorang pun yang menggetarkan suara maupun gerakan. Wajah mereka tetap tegang dan siap siaga seperti tadi sehingga diam-diam kedua orang muda ini menjadi kagum. Hal ini membuktikan pula bahwa Hek-tung Kai-pang memang betul merupakan perkumpulan yang berdisiplin baik.
Tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah amat terdesak itu makin lama makin lemah gerakan tongkat mereka. Memang harus dipuji keuletan mereka karena sebegitu lama belum juga kelima orang lawan mereka dapat merobohkan mereka. Pertahanan mereka kuat sekali. Tiba-tiba Si Muka Hitam berseru keras, "Robohkan mereka!" Dan komando ini diikuti oleh gerakan mereka menuju ke arah para lawan dengan tongkat mereka dan tiba-tiba dari kepala tongkat itu menyambar keluar senjata rahasia yang berwarna hitam! "Celaka, Koko!" seru Goat Lan yang hendak melompat, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Hong Beng.
"Tenanglah, Moi-moi," kata pemuda itu. Karena amat tegang, maka Hong Beng tanpa disadarinya pula telah memegang lengan tunangannya dan ketika Goat Lan merasa betapa lengannya dipegang tak dilepaskan pula, tiba-tiba mukanya berubah merah sekali! "Koko, lepaskan," bisiknya, "tak malukah dilihat orang?"
Barulah Hong Beng sadar bahwa semenjak tadi ia telah memegang lengan orang yang berkulit halus dan hangat itu, maka dengan muka kemerahan dan mulut tersenyum malu-malu ia lalu melepaskan lengan tunangannya. Sepasang mata mereka bertemu untuk saat pendek, karena keduanya segera melihat ke tempat orang-orang bertempur.
Ternyata bahwa dari sikap kedua orang muda tadi, Hong Beng lebih tenang dan ketenangannya ini membuat pandangannya lebih awas daripada Goat Lan. Goat Lan yang merasa tegang dan kuatir, mengira bahwa ketua- ketua Hek-tung Kai-pang akan terkena celaka, akan tetapi Hong Beng yang melihat sikap Ngo-hek-pangcu itu maklum bahwa mereka telah siap dan tidak akan mudah diserang dengan senjata rahasia begitu saja.
Memang betul, ketika kelima orang ketua she Hek itu melihat benda-benda hitam menyambar, serentak mereka mendekam ke bawah dan dengan gerakan yang berbareng bagaikan telah diatur lebih dulu, tongkat- tongkat mereka menyapu ke arah kaki ketiga lawan itu.
Terdengar suara bak-buk dah terjungkallah tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu! Tulang kaki mereka telah terpukul hebat dan biarpun tenaga lwee-kang mereka telah mencegah tulang kaki itu remuk, namun pukulan itu cukup keras sehingga untuk beberapa lama mereka takkan dapat bangun karena tulang kaki mereka terasa sakit dan linu sekali. Senjata rahasia yang keluar dari tongkat mereka tadi adalah jarum-jarum berbisa yang amat berbahaya! Setelah dapat berdiri lagi, ketiga orang itu lalu memungut tongkat ular yang tadi terlepas dari pegangan, kemudian mereka berkata kepada tuan rumah, "Kami telah menerima kalah, akan tetapi harap kalian siap menghadapi pembalasan ketua-ketua kami!" Setelah demikian, dengan terpincang-pincang ketiga orang itu lalu pergi dari situ.
Barulah terdengar sorak-sorai dari para anggauta Hek- tung Kai-pang karena kemenangan mutlak dari ketua- ketua mereka ini. Akan tetapi Hek Liong lalu mengangkat tangan memberi tanda kepada mereka agar supaya diam.
"Kawan-kawan," katanya dengan wajah muram, "hari ini adalah hari yang sial bagi kita, tak boleh kita bersuka- ria karenanya. Ketahuilah bahwa baru tiga orang dari Coa-tung Kai-pang tadi saja sudah demikian lihai, padahal mereka itu adalah orang-orang bertingkat dua.
Kalau ketua mereka yang datang, belum tentu kami berlima akan kuat menghadapinya. Sekarang karena kekalahan mereka tadi, pihak Coa-tung Kai-pang tentu tak akan tinggal diam. Oleh karena itu, kita harus berjaga-jaga dan betapapun juga daripada harus tunduk kepada Coa-tung Kai-pang yang jahat, lebih baik kita hancur lebur!"
"Setuju! Setuju!" terdengar jawaban para pengemis yang bersemangat gagah itu.
Kemudian, Hek Liong berpaling kepada Hong Beng dan dengan suara keren ia berkata, "Orang muda, tadi kami tidak berani menantangmu oleh karena kami tadi untuk sementara meletakkan jabatan. Setelah sekarang kami diangkat kembali, maka menjadi kewajiban kamilah untuk menegurmu! Kau kemarin telah melukai orang- orang kami dan setelah kau melihat kelihaian kami tadi, apakah kau tidak lekas-lekas minta maaf? Ketahuilah, bahwa kami bukanlah orang-orang yang suka menaruh dendam, asal saja kau suka minta maaf, kami akan memandang muka Li-hiap murid Sin Kong Tianglo yang menjadi sahabatmu ini untuk memaafkan kau dan melupakan segala peristiwa kemarin."
Mendengar ucapan yang mengandung sedikit kebanggaan atas kemenangan tadi, Hong Beng tersenyum. Akan tetapi ia tidak menjawab, sebaliknya, ia menunjuk ke arah tubuh It-ci-sin-kang Cong Tan yang masih rebah di atas tanah tak bergerak.
"Eh, Hek-pangcu, apakah kau lupa orang itu? Apakah kau akan membiarkan ia mati di situ?"
Barulah Hek Liong dan adik-adiknya teringat akan Cong Tan yang tadi telah terkena totokan, maka cepat mereka menghampiri Cong Tan.
"Pergilah kau dari sini!" kata Hek Liong sambil menepuk pundak orang itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tubuh Cong Tan masih saja kaku tak dapat bergerak dengan mata melotot! Ia mengira bahwa tepukannya untuk membebaskan totokannya sendiri tadi kurang tepat, maka ia menepuk lagi, bahkan mengurut urat pundak bekas lawan itu.
Akan tetapi sia-sia belaka, tubuh Cong Tan tetap kaku tak dapat bergerak. Lima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu menjadi terheran-heran dan seorang demi seorang mereka turun tangan untuk membebaskan Cong Tan dari pengaruh totokan. Namun percuma saja, tak seorang pun di antara mereka dapat menolong.
"Celaka!" terdengar Hek Liong berkata. "Yang terkena totokan adalah jalan darahnya Keng-hin-hiat, kalau tidak dapat dilepaskan ia akan mati dalam waktu setengah hari!"
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan ketika lima orang itu menengok, ternyata Goat Lan telah melompat ke tempat itu. Gadis ini amat tertarik melihat keadaan yang aneh itu, dan sebagai seorang ahli pengobatan murid Sin Kong Tianglo, tentu saja ia amat tertarik dan ingin menyaksikan dengan mata sendiri.
"Ngo-wi harap mundur dan biarkan aku memeriksanya!" kata gadis ini dan kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu lalu melangkah mundur karena mereka maklum bahwa dara jelita ini adalah seorang ahli pengobatan yang amat terkenal di dunia kang-ouw.
Goat Lan segera berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh Cong Tan yang masih kaku. Beberapa kali ia memijit pundak yang tertotok itu dan akhirnya ia tersenyum, lalu berkata kepada para ketua yang masih merubungnya dengan muka heran.
"Ngo-wi Pangcu, ketahuilah bahwa orang ini pernah meyakinkan Ilmu Pi-ki-hu-Nat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah), akan tetapi pelajaran yang dilatihnya itu belum sempurna benar. Ia telah mempelajari ilmu itu di bagian penggunaan hawa tubuh untuk membuyarkan totokan pada jalan darah. Maka ketika tadi tertotok roboh, ia telah berusaha mengumpulkan hawa tubuhnya untuk membuka totokan itu, akan tetapi oleh karena ia belum paham betul, maka penggunaannya salah, tidak diatur bersama dengan pernapasannya. Karena itu maka sekarang hawa itu berkumpul di pundaknya, menutup jalan darahnya yang masih tertotok sehingga ketika Ngo-wi mencoba melepaskannya, tentu saja terhalang oleh hawa tubuh yang berkumpul ini!" Setelah berkata demikian, Goat Lan lalu mencabut tusuk kondenya dari perak dan dengan gerakan cepat sekali ia menusukkan ujung tusuk kondenya yang runcing itu pada pundak Cong Tan yang tertotok.
"Aduuuh...!" It-ci-sin-kang Cong Tan pulih kembali.
Orang ini lalu bangun berdiri, memandang kepada Goat Lan dengan mata melotot lalu memaki, "Perempuan kurang ajar! Kau telah melukai dan mempermainkan aku dalam keadaan aku tidak berdaya! Kau harus menebus kekurangajaranmu itu!" Sambil berkata demikian Cong Tan yang galak segera menyerang Goat Lan dengan jari tangan terbuka, menotok dada gadis itu! Goat Lan sempat melompat ke belakang sambil memandang heran.
Kelima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang itu menjadi marah dan mendongkol sekali. Ditolong orang tidak berterima kasih, bahkan lalu menyerang penolongnya, aturan manakah ini? Akan tetapi melihat gerakan mereka, Goat Lan tersenyum dan berkata, "Biarlah Ngo-wi Pangcu, biar ia melepaskan kemarahannya kepadaku!"
Terpaksa kelima orang she Hek itu lalu mundur, membiarkan Goat Lan menghadapi It-ci-sin-kang Cong Tan yang marah-marah. Memang Cong Tan tadi merasa mendongkol dan malu sekali karena ia yang tadinya menyombongkan kepandaiannya dan hendak merebut kedudukan pangcu dari Hek-tung Kai-pang, baru beberapa jurus saja sudah tertotok seperti arca bergelimpangan! Dan ketika Goat Lan menolongnya, ia sebetulnya sama sekali tidak mengerti bahwa dirinya ditolong dan dikiranya bahwa nona itu mempermainkannya dan sengaja melukai pundaknya, maka ia menjadi makin marah sekali. Untuk melampiaskan kemendongkolannya kepada para ketua Hek-tung Kai-pang, ia tidak berani karena merasa tidak dapat menang, maka kini ia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya dengan menyerang gadis ini. Mustahil ia akan kalah menghadapi seorang gadis muda seperti ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar