12 Dewi Maut

Liok Sun mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang bahwa kedatangannya menemui bekas kekasihnya ini akan terganggu oleh tamu-tamu lain. "Siapakah mereka?" tanyanya, tidak tahu bahwa diam-diam pemuda di belakangnya menaruh perhatian besar dengan hati tegang.

"Marilah, kalian ikut saja dan melihat sendiri!" Wanita itu terkekeh bangga dan mereka memasuki ruangan yang lebar di sebelah dalam rumah. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang besar dan penuh dengan hidangan dan empat orang duduk mengelilingi meja itu. Bun Houw dengan sikap hormat memandang dengan penuh perhatian ketika Ciok Lee Kim memperkenalkan Liok Sun kepada para tamu itu sambil tertawa. Dengan menggandeng tangan Liok Sun yang ditariknya dekat meja, wanita itu berkata kepada empat orang tamunya itu, "Ini adalah sahabat baik saya, Kiam-mo Liok Sun, majikan dari Hok-po-koan di kota Kiang-shi!"

"Aihh, Ciok-toahio, mana berani saya disebut Kiam-mo (Setan Pedang) dengan pengetahuanku yang rendah ini?" Liok Sun membantah ketika melihat bahwa empat orang itu terdiri dari seorang setengah tua, dua orang kakek tua dan seorang nenek tua yang semua kelihatan sebagai orang-orang yang luar biasa.

Empat orang itupun agaknya memandang rendah karena mereka membalas penghormatan Liok Sun tanpa berdiri dari kursi masing-masing.

"Liok Sun, dia ini adalah Hwa Hwa Cinjin, ini adalah Hek I Siankouw, dan locianpwe itu adalah Bouw Thaisu, tiga orang tua yang merupakan datuk-datuk persilatan dengan ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingan. Dan dia ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia kang-ouw." Dengan suara penuh kebanggaan akan kehebatan para tamunya, wanita itu memperkenalkan.

Liok Sun terkejut dan cepat menjura lagi. Bun Houw lebih terkejut lagi, terutama sekali mendengar disebutnya nama Toat-beng-kauw Bu Sit yang tentu saja dia kenal sebagai nama orang kelima dari Bayangan Dewa yang berjumlah lima orang itu! Dari Lima Bayangan Dewa ini telah berdiri di depannya dua orang! Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan sekali! Akan tetapi dia tetap menahan sabar. Kalau dia turun tangan dan andaikata dia berhasil membunuh dua orang musuh ini, masih ada tiga orang lainnya yang belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya dan dia masih harus menyelidiki di mana disimpannya Siang-bhok-kiam.

Sebagai seorang pengawal, Bun Houw dipersilakan duduk menghadapi meja lain di sudut, dan tak lama kemudian dua orang wanita murid Ciok Lee Kim datang memperkenalkan diri dan menemani Bun Houw makan minum, sedangkan Liok Sun tentu saja makan minum bersama nyonya rumah dan empat orang tamunya.

Dapat dibayangkan betapa canggung dan malu-malu rasa hati Bun Houw. Dia baru saja pulang dari Tibet dan belum biasa dengan pergaulan, apalagi dengan wanita dan sekarang dia makan minum dengan dua orang wanita muda yang menemaninya! Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu adalah dua orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, berpakaian mewah dan pesolek seperti guru mereka, berwajah cantik dan berwatak genit! Apalagi karena Bun Houw adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, maka dua orang wanita muda yang menemaninya itu merasa tertarik dan tanpa sembunyi-sembunyi lagi mereka memperlihatkan rasa senang dan kagumnya kepada Bun Houw. Hal ini tentu saja membuat Bun Houw menjadi makin canggung dan gugup sehingga dengan sukar dia menelan mekanan yang dihidangkan. Melihat pandang mata dua orang wanita itu yang seolah-olah hendak menelanjanginya, kadang-kadang pandang mata mereka itu seperti hendak menelannya bulat-bulat, membuat mulut yang tersenyum penuh gairah, kata-kata bisikan yang setengah merayu, kadang-kadang mereka menyuguhkan arak dari cawan mereka, kadang-kadang menyumpitkan potongan-potngan daging yang terbaik untuknya, semua ini membuat jantung Bun Houw berdebar keras kerena... ngeri! Akan tetapi dia menyambut semua itu dengan sikap sopan dan dengan muka lebih banyak menunduk untuk menghindarkan pertemuan pandang mata. Sikapnya yang malu-malu dan jelas membayangkan sikap seorang pemuda yang masih hijau, masih perjaka dan belum berpengalaman ini membuat dua orang murid Ciok Lee Kim menjadi makin bergairah. Kadang-kadang mereka cekikikan dan mereka berdua merasa gembira sekali, tidak tahu betapa pandang mata Ciok Lee Kim dari meja besar kadang-kadang berkilat penuh iri ke arah meja kecil mereka.

Akhirnya perjamuan itu berakhir dan dua orang murid Ciok Lee Kim itu sambil tersenyum memenuhi perintah guru mereka, mengantarkan Bun Houw ke sebuah kamar yang diperuntukkannya. Pemuda ini dapat juga mengerti bahwa kedua orang musuh besar itu amat kuat. Dua orang kakek dan seorang nenek yang menjadi tamu mereka itu adalah orang-orang yang tidak boleh dipandang ringan. Sungguhpun tentu saja dia tidak takut menghadapi mereka semua, akan tetapi akan lebih aman dan ringan baginya kalau dia turun tangan malam nanti, membunuh dua orang itu setelah memaksa mereka mengaku di mana adanya tiga orang lainnya dan di mana pula disimpannya Siang-bhok-kiam yang mereka curi.

Akan tetapi, betapa keget, bingung dan malu bercampur muak rasa hatinya ketika tiba di dalam kamar tamu itu, dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim tidak mau keluar lagi dan bersikap genit serta mengeluarkan kata-kata rayuan tanpa mengenal malu sedikitpun juga!

"Harap ji-wi cici (kedua kakak) suka meninggalkan saya karena saya sudah lelah dan mengantuk sekali." Akhirnya Bun Houw berkata ketika melihat dua orang wanita itu belum juga meninggalkan kamarnya.

"Kalau engkau lelah dan mengantuk, tidurlah, dan kami akan menjagamu, adik Bun Houw yang baik," berkata yang muda sambil terkekeh genit dan matanya mengerling tajam penuh tantangan. "Aku akan memijati tubuhmu..."

"Sumoi berkata benar," kata yang lebih tua. "Memang kami bertugas untuk menemanimu dan melayanimu, hi-hik..."

Bun Houw terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi... aku... ji-wi berdua... kita..." Sukar baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua orang wanita ini akan menemani tidur!

Akan tetapi dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentarfsirkan kata-kata dan kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka.

"Heh-heh, Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi sudah biasa hidup akur dan saling membagi apa saja," kata yang lebih tua.

"Benar, adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami yang lebih lihai... hi-hi-hik!" kata yang muda.

Bun Houw melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda itu telah menaggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang memikat sekali. Kini mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah muda dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak ditutup apa-apa lagi di bawah pakaian dalam itu. Sang suci (kakak seperguruan perempuan) sambil tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu, mengangkat lengannya ke atas dan ke belakang kepala untuk melepaskan sanggul dan mengurai rambut. Gerakan ini tentu saja menonjolkan bagian depan dadanya yang nampak membayang di balik kain tipis itu. Adapun sang sumoi yang pakaian dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang lemah gemulai untuk menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di waktu melenggang membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang bukit pinggulnya menari-nari!

Bun Houw merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia melihat itu semua dan berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya berdebar dan lehernya terasa kering.

"Harap ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso..." Dia membantah.

Akan tetapi dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil tersenyum dan Bun Houw memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu sedang mengancamnya dan hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Adik Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu agar kita dapat mengaso dengan enak..." kata sang sumoi.

"Dan biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante..." Sang suci juga berkata dengan suara merayu.

Bun Houw mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasen. Gara-gara dua orang wanita yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan gagal. Dia akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar itu. Akan tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk bergerak turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kamar itu terdengar suara laki-laki, "Ai-kwi dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?"

Bun Houw terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya yang tadi sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah pintu, dan yang lebih tua menjawab, "Ah, Bu-susiok (paman guru Bu) di luar? Benar, kami berada di sini menemani tamu!"

Daun pintu kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang saking tidak sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu berahi itu. Bun Houw menjadi merah sekali mukanya saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti monyet, kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa.

"Ha-ha-ha, aku mencari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di sini. Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup seorang sajapun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu kepadamu, mari kautemani pamanmu yang kesepian." Setelah berkata demikian, si muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra.

Sang suci mengerutkan alisnya dan tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah yang cantik itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut. "Aihh... susiok, biar sumoi saja malam ini menemanimu..." Wanita itu membantah halus.

"Siapa? Ai-kiauw...? Ah, Ai-kwi, aku rindu padamu, sudah lama benar... heh-hehm, dan Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!" Dia menarik dan memaksa wanita itu.

Ai-kwi bersungut-sungut dan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan membiarkan dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar setelah dia melempar pandang mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw.

"Hi-huuuuuhh...!" Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke arah pintu, menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan meloncat, menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan. "Sekarang kita hanya berdua, orang tampan...!" Wanita itu lalu menghujankan ciuman ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan. Sejenak Bun Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh nafsu berahi dari wanita ini membuat dia merasa muak?

"Enci, jangan begitu...!" Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar panggilan dari luar pintu.

Mendengar suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke sudut kamar. Bun Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian luarnya. Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Kiranya Hui-giakang Ciok Lee Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu!

"Maaf, subo. Subo memanggil teecu?" Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat.

Sepasang mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik, kemudian pandang matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan. Agaknya keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan dan memuaskan hati wanita ini. Dia mengangguk dan berkata, "Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo Liok Sun, kautemani dia!"

Jelas betapa Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main. "Akan tetapi... teeeu kira... subo dan dia..."

"Cerewet, pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda agar yang muda bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi perintah!" Ciok Lee Kim membentak.

"Baik, subo..." Ai-kiauw mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari kamar itu dengan kepala ditundukkan.

Ciok Lee Kim menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil tersenyum genit. Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena dia pandai bersolek dan memang dahulunya dia adalah cantik.

"Muridku memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun? Kalau dia mengganggumu, biar kuhukum dia di depanmu." Sepasang mata itu memandang wajah Bun Houw dengan sinar aneh.

Sejak tadi Bun Houw sudah merasa makin muak menyaksikan tingkah laku dua orang murid dan guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah jelas dapat dinilai orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam dia merasa girang karena kini musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia harus mencarinya di kamarnya. Dia akan membekuk wanita ini dan memaksanya mengaku tentang tiga orang musuhnya yang lain dan tentang pedang Siang-bhok-kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan pergi dari tempat itu untuk mencari tiga orang yang lain dan pedang Siang-bhok-kiam.

Bun Houw menggeleng kepalanya. "Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu saya." jawabnya.

"Syukurlah kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan baik, karena itu aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda. Marilah, mari kita rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu. Kau menarik hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-sungkan, ke sinilah..." Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia menggapai mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.

Bun Houw hampir tak dapat menahan kemarahannya. "Tidak...!" Dia menggeleng kepalanya. "Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya, akan tetapi saya... saya bukanlah laki-laki seperti itu...!"

Ucapan ini membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba wanita ini menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak.

"Wirrrr...!"

Bun Houw terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah kepadanya dan menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu menyambar ke arah jendela kamar itu, menembus jendela dan terdengar jatuh berkerontangan di luar kamar.

"Keparat jangan lari kau!" Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan yang ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela dan tubuhnya sudah mencelat keluar.

Barulah pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela. Dia merasa heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau mendengarnya. Hal ini adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-wanita tadi, hati Bun Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini mengurangi kewaspadaannya. Andaikata dia berada dalam keadaan biasa, tentu sebelum Ciok Lee Kim mendengar sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya.

"Tangkap penjahat...!" Terdengar teriakan wanita itu di luar. Bun Houw juga meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat betapa Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga Kiam-mo Liok Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di situ dengan pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar tidur oleh teriakan Ciok Lee Kim tadi. Mereka semua ini mengurung tiga orang yang berdiri di tengah ruangan dengan pedang di tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat itu, juga tampak anak buah Lembah Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari sebelah luar. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.

Tiga orang itu biarpun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda, usia mereka antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik, tampan, dan gagah dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung dan menghadapi kepungan banyak orang itu. Diam-diam Bun Houw kagum menyaksikan kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela kecerobohan mereka, berani secara sombrono memasuki guha harimau yang amat berbahaya ini.

"Hemm, kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!" Ciok Lee Kim mengejek kepada mereka. "Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan mengapa kalian berani memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa nama!"

Pemuda yang mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini dengan sinar mata berapi-api. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang hendak menuntut balas atas kematian suheng kami seminggu yang lalu di luar hutan Lembah Bunga Merah."

"Siapa suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?" Ciok Lee Kim mengerutkan alisnya. Semenjak dia bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima Bayangan Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-hati, tidak menanam permusuhan dengan lain golongan, bahkan berusaha mencari teman-teman untuk diajak bersama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar murid-murid Bu-tong-pai memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut.

"Suheng kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua orang murid Lembah Bunga Merah."

"Hemmm..." Ciok Lee Kim memandang ke sekelilingnya, ke arah para anak buah Lembah Bunga Merah.

"Subo, kami yang melukainya!" Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju.

Ciok Lee Kim memandang dua orang muridnya itu dengan alis berkerut. "Apa yang terjadi?" tuntutnya.

"Pemuda itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang Lembah Bunga Merah adalah orang-orang cabul yang tak tahu malu. Kami bertanding melawan dia dan dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa dia itu murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang ajar."

"Bohong!" Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu berseru marah. "Kam-suheng menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian perempuan-perempuan jalan yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana sudi menuruti kehendak cabul kalian? Karena suheng menolak, kalian mengeroyok dan melukainya!"

Wajah kedua orang murid Ciok Lee Kim berubah merah. "Subo, kalau manusia itu tidak menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Subo mendengar sendiri betapa busuk mulut orang-orang ini menghina kita!"

"Perempuan jalang dan cabul!" Gadis murid Bu-tong-pai yang sesungguhnya adalah pacar dan calon isteri suhengnya sendiri yang tewas itu sudah memekik dan dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini mengelak lalu membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.

Para orang tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai terkenal bagus gayanya dan kuat serta cepat, dan dan kini Ai-kwi dan Ai-kiauw yang juga menggunakan pedang, setelah lewat lima puluh jurus, terdesak hebat oleh pedang tiga orang murid Bu-tong-pai itu.

"Bu-sute, kauwakili aku tangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!" Melihat betapa dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-kauw Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju. Biarpun Lima Bayangan Dewa itu tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan hubungan segolongan dan terutama sekali sama-sama menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak mereka memakai nama Lima Bayangan Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak seperguruan.

"Tar-tar-tarrr...!" Joap-pian atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit meledak-ledak ketika dia menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan dengan keringanan seekor burung, dan tahu-tahu joan-pian di tangannya sudah melecut-lecut dan menyambar-nyambar ganas.

"Tar-tar-tringggg...! Aihhhh...!" Seorang gadis Bu-tong-pai menjerit dan pedangnya terlempas, dia memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena tangan kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan oleh Ciok Lee Kim untuk menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan robohlah dia terkena totokan wanita yang berjuluk Kelabang Terbang itu.

Dua orang murid Bu-tong-pai yang lain menjadi marah sekali. Mereka berdua saling beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, siap untuk bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu.

"Heh-heh-heh, kalian bocah-bocah ingusan sungguh tidak tahu diri!" Ciok Lee Kim terkekeh mengejek. "Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar guru kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar seperti kalian di hadapan kami."

"Hemm, kami tidak perduli dengan siapa kami berhadapan!" Pemuda Bu-tong-pai itu membentak sambil melirik sumoinya yang roboh tertotok tadi. "Kami datang untuk menuntut balas atas kematian suheng kami dan untuk itu, kami siap mengorbankan nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!"

"Ciok-suci, bereskan saja mereka ini, habis perkara!" Bu Sit berkata sambil mengayun-ayun joan-pian di tangannya.

"Nanti dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau partai manapun. Ingat?" kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit mengangguk.

"Bocah-bocah Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai dan mau mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian," kata Ciok Lee Kim.

"Huh, tidak sudi!" Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah.

"Agaknya kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku sendiri saja belum tentu akan dapat kalian menangkan andaikata kalian maju dengan teman-teman kalian sebanyak dua puluh orang! Dia dengan joan-pian mautnya ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan ini, ya? Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di dunia kang-ouw, sedangkan beliau yang ini adalah Hek I Sinkouw, sejajar nama dan terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini? Beliau adalah datuk dari seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang kepandaiannya setinggi Gunung Thai-san! Masih ada sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan Pedang."

Dua orang murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu lalu menjawab setelah wanita musuhnya berhenti bicara. "Biarpun engkau akan mengundang semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapi untuk membela kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!"

"Suci, bocah-bocah sombong macam ini kalau tidak dihajar akan makin besar kepala saja!" ucapnya Bu Sit disusul bunyi pecut baja di tangannya yang meledak-ledak dan sinar-sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang murid muda Bu-tong-pai itu.

"Cringgg...! Cringgg...!" Bunga api berhamburan ketika joan-pian itu tertangkis oleh dua batang pedang, akan tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki gin-kang tinggi sekali itu sudah menyerang lagi, gerakannya cepat bukan main, joan-pian di tangannya lenyap berobah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan mengurung kedua orang muda itu. Dua orang murid Bu-tong-pai itu terkejut juga, maklum bahwa si muka monyet ini benar-benar lihai, maka mereka memutar pedang melindungi tubuh mereka sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang. Akan tetapi karena memang tingkat mereka kalah tinggi, gin-kang mereka jauh kalah cepat dan tenaga lwee-kang merekapun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus saja mereka sudah terhimpit dan terancam hebet oleh sinar senjata joan-pian itu.

Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang saputangan suteranya, ujung kedua saputangan menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan saputangan merah. Mereka mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terguling dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.

"Ciok-suci, sebaiknya dibunuh saja mereka ini!" kata Bu Sit sambil mangamang-amangkan joan-piannya.

"Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!" Ciok Lee Kim mencegah.

"Ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!" Bu Sit berkata dan kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis cantik murid Bu-tong-pai itu. Di dalam benaknya yang kotor terbayang betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan.

"Mengapa mereka harus dibunuh?" Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara. "Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak murid Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu."

Bun Houw sejak tadi sebetulnya sudah siap. Andaikata dia melihat tiga orang murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi dia sudah siap-siap untuk membantu dan menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Kalau urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja dengan penuh perhatian.

Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan mata disipitkan, alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah, "Ciok-suci, engkau sendiri tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain!"

Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata, "Sebaiknya mereka ditahan dulu dan mari kita bicara hal ini di dalam saja," katanya sambil memberi isyarat dan orang-orangya lalu dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw menyeret tubuh tiga orang murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Kemudian dua orang murid Ciok Lee Kim setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, lalu kembali ke ruangan karena mereka ingin mendengarkan kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena mereka merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek itu!

Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa buntalannya.

Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi dan Ai-kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa. Kemudian kedua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!

"Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil kami...!" Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.

"Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!" Ai-kiauw juga berkata sembil berebut dengan sucinya untuk menciumi wajah yang tampan itu.

"Plak! Plak!" kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu. Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang ujung hidung mcrupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja menjadi remuk dan lanyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka. Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw sudah menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa mampu mengeluarkan suara sebelumnya. Cepat Bun Houw menotok jalan darah mereka, dan setelah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu disiksa atau dibunuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dan luka-luka hebat, ada yang patah tulang, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata, "Tahanan... lari... ditolong setan...!"

Bun Houw melihat bayangan berkelebat di atas, cepat dia meloncat dan masih sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir pagi itu. Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim dan semua tamunya sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya.

"Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar, ada bayangan orang berkelebatan, dan tahu-tahu kami semua roboh dan tiga orang tawanan itu melarikan diri." Orang itu bercerita dengan suara hampir menangis, tidak hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada majikannya ini.

"Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?"

"Hamba... tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia, melainkan... setan..."

"Dess!" Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan!

"Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!" Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata dengan suara mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. "Kalau tadi sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yeitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!"

Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini. "Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja..."

"Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah begitu? Eh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu."

Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan Pedang itu dengan pandang mata penuh pertanyaan dan tuntutan. Liok Sun menjadi terkejut dan merah sekali karena pertanyaan orang she Bu itu mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!

"Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya mengusulkan pula agar mereka dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan akan kesalahpahaman yang terjadi sehingga dengan demikian ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara dan menghabiskan permusuhan..."

"Hemm... kalau tidak kaucegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun tidak akan tahu apa-apa. Sekarang mereka lolos dan semua ini adalah salahmu, orang she Liok!" Bu Sit berseru marah.

"Toat-beng-kauw, kau sungguh terlalu menuduh orang!" Liok Sun membentak dan mencabut pedangnya.

"Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang Bu-tong-pai!" Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya. Memang orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan Ciok Lee Kim, apalagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan dua orang muridnya tergila-gila.

Melihat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri merasa penasaran dan juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan tadi. Betapapun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos.

"Trang-cring-cringgg...!" berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit. Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit.

"Trangg... cring... srattt...!" Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Pada saat itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tertawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun. Kalau ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang. Liok Sun terkejut, menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunnya selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.

Tar-tar-terrr...!"

Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya! Liok Sun terhuyung dengan tubuh penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah terlempar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.

Ketika melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata mendelik dia memaki, "Keparat busuk, engkaupun sudah bosan hidup!" Dia mengerahkan sin-kangnya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi kaget, penasaran dan marah sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sampai perutnya mengeluarkan suara melalui kerongkongannya, "Hekk!" dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw.

"Wirrrr...!" Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan luar biasa karena tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri.

"Ciuuuttt... tess...!"

"Auuuhhh... aduhhhh... aduhhhh... wah, keparat kau...!" Bu Sit tentu saja berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran ujung cambuknya sendiri.

Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim dan Bu Sit sendiri. Mereka berdua sudah tahu betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi dalam segebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!

"Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke sini...!" Bu Sit membentak dan dia sudah menerjang kepada Bun Houw dengan kemarahan meluap-luap. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangis setengah maki-makian marah, dan tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di tangan Bu Sit itu.

Melihat keadaan dua orang muridnya, Ciok Lee Kim terkejut dan hanya dengan susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sutenya menyerang pemuda yang ternyata amat lihai itu.

Girang hati Bun Houw. "Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!" katanya sambil menangkis sambaran ujung saputangan merah yang meluncur ke arah lehernya itu dengan sentilan jari tangannya.

"Prattt...! Aihhh...!" Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung saputangannya itu membuat saputangannya terpental dan jari-jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali!

"Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo, katakan di mana adanya Tiga Bayangan Dewa lainnya dan di mana pula kalian sembunyikan Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!" Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali. Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini, mereka berdua berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sin-kang ini, namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu.

"Keparat! Siapa engkau?" Ciok Lee Kim berseru dan kedua saputangannya berobah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.

"Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!" Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan. Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya menyambut dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu sucinya, menubruk dengan lecutan cambuk bajanya.

"Tar-tarrr... suiiiittt...!" Sebatang cambuk baja dan dua helai saputangah merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki tangannya.

"Dess...! Plakkk...!" Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sutenya terlempar dan terbanting ke kanan kiri!

"Singgg...!" Sinar hitam menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dua orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya. Namun Hek I Siankouw nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu dapat meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong pula.

Wuuuttt-wut-wutttt...!"

Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran sinar kemerahan dari samping kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya dengan kecepatan dan tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi daripada serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar. Ketika dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim (kebutan dewa) di tangannya.

"Hemm, lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!" Hwa Hwa Cinjin mengangguk-angguk memuji. Serangan hudtimnya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-sungguh dan agaknya tidak banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri, akan tetapi pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan berjungkir balik lima kali itu ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan diri. Hal ini selain membuatnya kagum, juga penasaran dan dia lalu menerjang maju didahului gulungan sinar hudtimnya yang lebar dan mendatangkan angin kencang. Juga Hek I Sinkouw yang merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya dengan hebat.

Bun Houw maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-orang yang pandai dan agaknya kini membantu musuh besarnya, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan cepat sambil mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa. Dua orang kakek dan nenek itu terkesiap juga menyaksikan gerakan pemuda itu amat cepatnya, lebih cepat daripada gerakan mereka berdua! Akan tetapi betapapun cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani serangan pedang dan hudtim dari dua orang tokoh besar yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu, dia masih saja harus menghadapi sambaran hudtim ke lehernya yang tidak dapat dielakkannya lagi.

"Plakkk...! Siancai...!" Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa hudtimnya kena ditangkis dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini. Hudtimnya itu bukanlah sembarangan hudtim, didapatkarmya di utara di dekat kutub dan bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu monyet salju raksasa yang amat kuat, bulu-bulu itu dapat menyalurkan sin-kangnya secara langsung dan kalau dia gerakkan dengan sin-kangnya yang amat kuat, jangakan senjata biasa, bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak beradu dengan bulu-bulu hudtimnya. Akan tetapi pemuda ini berani menangkis dengan tangan kosong, bahkan telah membuat hudtimnya terpental! Ini berarti bahwa tangan kosong pemuda ini lebih kuat daripada senjata pusaka!

Tentu saja tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng Lama dan bahkan gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda ini sudah memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga sin-kang ini membuat kedua tangannya sedemikian kebalnya sehingga berani dipergunakan untuk menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuatpun.

Bun Houw maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini, sukarlah baginya untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sobelum dia membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan Liok Sun, teriakan mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan cambuk bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh dan sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya.

"Keparat...!" Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia membuat Bu Sit yang menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw lalu berlutut di dekat Liok Sun. Orang ini ternyata terluka perah di kepalanya dan sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong lagi.

"Bun-hiante... tolong... kaudidik... anak... ku...!" Maka habislah napas orang she Liok itu.

"Siuuuutttt...! Plak! Plakk!" Bun Houw yang masih berlutut itu menggunakan tangan kirinya dua kali menangkis sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia meloncat bardiri, dikepung oleh Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw Ciok Lee Kim, Bu Sit, dan dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan kanan dan manutup hidung dengan tangan kiri itu.

Bun Houw memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata, yang ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw "Aku tidak berurusan dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap yang lain mundur agar jangan ikut menjadi korban."

"Keparat, hayo mengaku, siapa kau sebenarnya? Engkau jelas bukan pengawal biasa dari Liok Sun!" Bu Sit membentak.

Bun Houw tersenyum. "Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas membasmi Lima Bayangan Dewa."

"Jahanam!" Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak. Seperti berebut saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari depan, dibarengi oleh sambaran dua saputangan merah Ciok Lee Kim dari kanan. Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga mengerakkan senjata masing-masing mengepung dan mengeroyok. Ai-kwi dan Ai-kiauw yang kini menjadi besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu mengepung, dengan kemarahan meluap juga sudah menyerang dengan pedang mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang masih berdiri tenang dan tidak ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai seorang cabang atas tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan begitu muda, sungguhpun pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu memang lihai luar biasa.

Dikeroyok enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, Bun Houw memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar dihindarkan lawan tangguh, tidak berhasil merobohkan pemuda ini! Diam-diam mereka terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak terkenal yang memiliki kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka berempat, ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka dengan serangan balasan yang amat berbahaya, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kosong belaka.

Ai-kwi yang kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang hidungnya remuk dan wajahnya yang tadinya cantik kini tentu berobah menakutkan dan menjijikkan, mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi senjata empat orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw, dia menubruk dengan pedangnya, secara nekat dia menyerang dan menusukkan pedang itu ke arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh gairah nafsu berahi!

Melihat serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu dengan tangannya dan pada saat itu cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi.

"Wuuuttt... crapp... aihhhhhhh...!" Pedang itu membalik dan bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang membalik ini menusuk perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut Ai-kwi sampai tembus di punggungnya dan robohlah Ai-kwi setelah mengeluarkan jerit mengerikan.

Melihat ini, Ai-kiauw menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya dan menubruk tubuh Bun Houw, merangkul pinggang dan menggigit ke arah lambung pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak mengira bahwa wanita ini melakukan serangan liar seperti itu. Dia menggoyang tubuhnya, akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit tubuhnya dan gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik karena merasa jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku kirinya bergerak ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di lambung kirinya.

"Krakkk!" Pecahlah kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi sungguh mengerikan, wanita itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya!

Bun Houw menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu untuk melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat wanita itu. Akan tetapi penyerangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi. Seperti hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, saputangan merah Ciok Lee Kim dan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam sibuknya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang leluasa mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil mengerahkan Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental. Akan tetapi dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di pundaknya, pada saat dia baru saja berhasil melempatkan mayat Ai-kiauw dari tubuhnya.

"Tarr...!" Seketika tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung dan jatuh. Akan tetapi begitu tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat memulihkan jalan darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja meloncat, pedang Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya. Bun Houw yang baru saja terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan pundaknya dan dia berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan kanannya. Akan tetapi pada saat itu, sepasang saputangan merah menyambar, yang kiri menotok jalan darah di tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di punggungnya, sedangkan kebutan di tangan Hwa Hwe Cinjin juga cepat sekali menotok pundak kanannya.

Sekaligus menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga tempat, seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan tetapi, pemuda ini memang hebat bukan main. Begitu dia roboh, dia menggunakan kedua tangannya mendorong tanah dan tubuhnya mencelat tinggi ke atas, di udara dia menggoyang tubuh mengerahkan sin-kangnya sehingga bobollah semua totokan itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguhpun dia masih tergetar hebat. Akan tetapi, pada saat dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sin-kang yang amat berbahaya. Bun Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak akan tetapi tiba-tiba lututnya kena ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw terguling dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di tujuh jalan darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi!

Bu Sit dan Ciok Lee Kim yang amat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap menggerakkan cambuk dan saputangan menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas lantai itu.

"Wuuuuttt... tarr...!" Senjata-senjata itu menyambar ganas dan Bun Houw hanya membelalakkan mata, menanti maut.

"Plak! Plakk!" Bu Sit dan Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata mereka, lalu memandang kepada Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan ujung lengan baju.

"Thaisu, mengapa menghalangi kami?" Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut. Dia tahu bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang sahabat Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan tewas oleh keluarga Cin-ling-pai (baca Petualang Asmara), maka Bouw Thaisu yang ingin menuntut balas atas kematian sahabatnya itupun merupakan musuh Cin-ling-pai dan bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia membunuh pemuda yang jelas memusuhi Lima Bayangen Dewa?

Bouw Thaisu menghela papas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Selama hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan musuh-musuh biasa, dia tentu memiliki latar belakang yang menarik. Karena itu, Ciok-toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan betul siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau dan Lima Bayangan Dewa. Apakah dia mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai? Dan apa hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng Hong?"

Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang. "Ucapan Thaisu sungguh tepat, Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku) sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tanding semuda ini dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya."

Ciok Lee Kim mengangguk, dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.

"Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!" Hek I Siankauw berkata. "Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia sudah bebas dari totokan, biar dirangkap sepuluh tali ini akan putus olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!"

Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat minta kepada anak buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja dan dengan wajah beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemuda ini maklum bahwa dia tidak akan terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini, akan tetapi dia adalah seorang pomuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tuanya maka sedikitpun dia tidak merasa jerih.

Sambil mengeluarkan bentakan, Bu Sit yang kehilangan sebelah daun telinganya dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang amat hebat. Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa, akan tetapi karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!

Setelah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait kedua tulang pundaknya itu disambung rantai panjang dan diikatkan pada dinding sehingga andaikata dia dapat menggunakan tenaga sin-kang untuk mematahkan belenggu, tentu gerakan ini akan membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah! Dengan tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipatpun tidak mungkin dia dapat membebaskan diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya dan kalau hal ini terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh.

Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun kepalanya, membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa. Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu sangat menderita. Bun Houw memejamkan matanya dan "menutup" saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan "lupa" bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik.

Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan di bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri? Bahkan pertolongan dari luarpun, kalau ada, merupakan ketidakmungkinan besar. Dari celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam, terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, kenapa sekarang masih juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan sekarang memang telah malam lagi.

Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim dan Bu Sit dan pintu segera ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan. "Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!" Dia memaki.

"Wah, dia sudah siuman sekarang, suci. Lekas suci yang menanyai dia, kalau dia berkeras kepala tidak terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia mengaku!" Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh kekejaman siap dengan sebatang jarum panjang hitam. Sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang Monyet Pencabut Nyawa yang kini buntung daun telinganya itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka monyet itupun memegangnya dengan menggunakan saputangan untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.

"Orang she Bun," Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi dengan pandang mata penuh gairah berahi seperti kemarin malam, melainkan dengan pandang mata penuh ancaman. "Sudah satu hari kami menunggu dan baru sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl lagi."

"Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mati?" Bun Houw mengejek.

"Hi-hi-hik, justeru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu saja. Kaulihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat. Kalau jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekalipun. Engkau akan menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan hidup selama tiga hari tiga malam terus-menerus menderita siksaan itu. Rasa gatal-gatal seperti ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah dalam."

"Banyak mulut, gertak sambal!" Bun Houw membentak.

"Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?"

Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan mendatangkan kegirangan dan rasa kemenangan bagi dua Bayangan Dewa itu. Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tidak ada perlunya membuat pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Pula, hal ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia disiksa atau dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan mereka atas nama orang tuanya.

"Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?"

"Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!" Bun Houw membentak.

Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.

"Manusia kepala batu dan sombong!" Ciok Lee Kim berseru. "Sudah tak mampu bergerak, masih bermulut lebar."

"Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku." Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.

Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik, "Kau membuntungi telingaku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!"

Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.

"Creppp...!" Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw. Pemuda ini menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, tidak berapa nyeri rasanya. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit melangkah mundur dan memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan saputangan dan mengantonginya.

Bun Houw mula-mula hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian mulailah dia merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam! Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatahpun kata keluhan keluar dari mulutnya. Dia malah memejamkan mata dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya jatuh menetes-netes.

"Hi-hi-hik, kau masih bersikeras? Hayo kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar kepadamu sebelum terlambat!" Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih tertawa puas.

"Persetan dengan kalian!" Bun Houw membentak.

Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu sedemikian hebatnya, sehingga mempengaruhi hawa murni di tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu hawa dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet. Bisa rusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri! Betapapun juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan mengecewakan hati mereka daripada mendengar penghinaan terhadap orang tuanya, dan andaikata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia akan selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.

Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan giginya saling beradu itu lenyap, mulailah kini rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit dan semut-semut itu menggigitnya. Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu bertahan dan tidak ada sedikitpun suara keluhan terdengar keluar dari mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal pada seluruh tubuh ini demikian menyiksa, demikian mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk padahal kedua tangannya tidak bebas, sehingga mulailah tubuhnya menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya. Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah, dia berhasil menahan sehingga tidak ada keluhan keluar dari mulut akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama "semut-semut" di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tak tertahankan lagi. Keringatnya bercucuran, ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengan yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan!

Melihat korban mereka pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim dan Bu Sit kehilangan kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara bergiliran.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang baru saja dia bisa menemukan tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya terancam maut karena tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya. Ucapan Ciok Lee Kim bukanlah gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum beracun itu, tanpa mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia hanya akan hidup selama tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menyelamatkannya dari ancaman maut itu.

Sebetulnya, tingkat kepandaian pemuda itu sudah tinggi dan hebat sekali, jarang ada tokoh persilatan yang akan mampu menandinginya. Andaikata semua musuhnya itu maju satu demi satu, tentu dengan mudah saja dia akan mampu mengalahkan mereka. Bahkan Bouw Thaisu yang amat lihai itu belum tentu akan mampu menandinginya. Akan tetapi, pengeroyokan lima orang yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi itu, pula karena Bun Houw sendiri belum memiliki banyak pengalaman dan fihak musuh menggunakan kecurangan maka akhirnya dia roboh juga dan tertawan. Andaikata tidak ada Ai-kiauw yang nekat merangkul dan menggigitnya, kiranya lima orang datuk kaum sesat itupun tidak akan mudah saja merobohkan pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini.

Menjelang tengah malam, keadaan di Lembah Bunga Merah itu sunyi sekali, sunyi menyeramkan setelah apa yang terjadi malam kemarin. Biarpun pemuda perkasa itu telah tertawan dan kini berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, namun para penjaga masih melakukan penjagaan dengan ketat mengingat betapa tawanan pertama, yaitu tiga orang murid Bu-tong-pai, telah dapat lolos dari tempat tahanan. Akan tetapi karena pemuda itu masih pingsan dan kini lima orang sakti itu secara bergilir ikut pula meronda, hati para penjaga menjadi tenang.

Ketika Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw sepasang tosu dan tokouw yang sakti itu bergiliran meronda, mereka menuju ke kamar tahanan, menjenguk ke dalam dan melihat Bun Houw masih pingsan dalam keadaan terbelenggu dan terkait tulang pundaknya, maka mereka mengangguk dan berpesan kepada para penjaga agar jangan tertidur, kemudian mereka meninggalkan kamar tahanan untuk meronda di sekitar lembah.

Akan tetapi tak lama kemudian, sesosok bayangan yang berkelebatan seperti bayangan iblis sendiri, mendekati tempat tahanan itu, kemudian dengan gerakan yang sukar dlikuti pandang mata para penjaga, bayangan ini berkelebatan dan terdengar keluhan-keluhan lemah disusul robohnya para penjaga!

Melihat betapa teman-temannya roboh dan kelihatan bayangan seperti iblis barkelebatan menyilaukan mata, seorang di antara para penjaga menjodi terkejut sekali dan ketakutan. Dia berteriak keras, "Toloooonggg!" akan tetapi segera roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Hanya dia seorang yang sempat berteriak, karena tiga belas orang yang lainnya sudah roboh sebelum mereka sempat mengeluarkan suara. Mereka tadi terlalu heran dan kaget, bahkan sebagian besar masih belum mengerti apa yang berkelebatan itu, tahu-tahu mereka sudah ditampar dan dipukul. Setiap tamparan atau pukulan membuat mereka roboh, ada yang pingsan, ada pula yang tewas seketika.

Bayangan yang bergerak cepat seperti setan itu kini sudah menghampiri Bun Houw, dengan hati-hati sekali dia menggerakkan pedang, mematahkan rantai yang membelenggu kaki dan yang dihubungkan dengan kaitan-kaitan di pundak. Dia bergidik melihat baja-baja kaitan yang mengait kedua pundak Bun Houw, tidak berani melepaskan kaitan di situ karena dia maklum bahwa teriakan penjaga tadi tentu akan mendatangkan para tokoh Lembah Bunga Merah, maka setelah mamatahkan belenggu, dia mengangkat tubuh Bun Houw, dipondongnya dan dengan gerakan cepat sekali, bayangan itu lalu melompat keluar. Tubuh Bun Houw dipanggul di atas pundak kiri dan tangan kanannya mencabut dan memegang pedangnya, dengan gerakan luar biasa cepatnya sekali melompat dia telah keluar dari tempat tahanan itu.

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sedang meronda dan belum terlalu jauh dari tempat tahanan, mendengar teriakan minta tolong tadi. Cepat mereka berdue lari kembali ke tempat tahanan. Akan tetapi di luar tempat itu, mereka melihat sesosok bayangan mamanggul sesuatu bergerak cepat di antera pohon-pohon.

"Heiii, siapa di situ?" teriak Hwa Hwa Cinjin.

"Berhenti...!" Hek I Siankouw juga membentak.

Melihat bayangan itu tidak menghiraukan bentakan mereka, Hek I Slinkouw sudah menubruk ke depan, menyerang dengan pedang hitamnya yang sudah dicabutnya dengan cepat sekali. Gerakannya ini disusul oleh sambaran hudtim di tangan Hwa Hwa Cinjin. Kakek dan nenek ini merasa yakin bahwa serangan mereka yang dilakukan secara hampir berbareng, dengan cepat dan dahsyat itu tentu cukup untuk merobohkan bayangan yang mencurigakan ini.

"Tringgg... cringggg...!"

Dua orang kakek dan nenek itu terkejut bukan main ketika mereka berdua merasa tangan mereka panas oleh tangkisan pedang di tangan bayangan hitam yang dapat menggerakkan pedangnya sedemikian rupa sehingga sekaligus pedang itu dapat dikelebatkan kedua jurusan dan menangkis kebutan dan pedang hitam dengan kekuatan dahsyat sehingga tangan mereka menjadi tergetar dan terasa panas! Akan tetapi, bayangan hitam yang tentu saja tidak dapat bergerak leluasa karena harus memanggul tubuh Bun Houw itu telah meloncat ke depan dengan cepat seperti lompatan seekor kijang.

Tentu saja Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw merasa penasaran. "Kau hendak lari ke mana?" Hwa Hwa Cinjin berseru.

"Kaumakanlah ini!" Hek I Siankouw membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar hitam ke arah bayangan yang melarikan diri itu. Juga Hwa Hwa Cinjin menggerakkan kebutannya dan sinar putih menyambar dari tengah kebutan. Kiranya dua orang tua ini telah melepas senjata rahasia mereka yang ampuh. Hek I Siankouw telah melepaskan Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) dan Hwa Hwa Cinjin telah melepaskan bulu kebutannya. Benda-benda hitam dan putih menyambar seperti kilat cepatnya ke arah punggung bayangan yang melarikan diri.

Akan tetapi, tanpa menoleh seolah-olah di tengkuknya terdapat mata ketiga, bayangan itu menggerakkan pedangnya ke belakang dan semua senjata rahasia runtuh, sedangkan dia kini telah berada jauh di depan, menghilang di antara bayangan pohon-pohon yang gelap.

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw kembali terkejut, maklum bahwa bayangan itu benar-benar amat pandai. Mereka melakukan pengejaran beberapa lamanya, namun kerena tempat itu banyak terdapat pohon-pohon yang gelap dan malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya suram, maka mereka tidak mampu menemukan bayangan itu dan mereka cepat ktmbali ke tempat tahanan. Alangkah kaget hati mereka melihat bahwa selain Bun Houw telah lenyap, juga empat belas orang penjaga itu sudah roboh semua, ada yang tewas dan selebihnya masih pingsan!

Gegerlah Lembah Bunga Merah oleh kejadian ini. Terutama sekali Ciok Lee Kim merasa amat marah dan penasaran. Tawanan itu sudah dijaga ketat, tetap saja masih dapat dicuri orang! Ketika lima orang sakti itu menanyai para penjaga yang tidak tewas dan sudah siuman dari pingsan, para penjaga ini juga tidak dapat memberi keterangan yang jelas.

"Kami hanya melihat bayangan yang berkelebat cepat, seperti seekor burung beterbangan menyambar-nyambar di antara kami dan tahu-tahu kami merasakan pukulan hebat dan tidak ingat apa-apa lagi," demikianlah rata-rata keterangan mereka.

"Hemmm, sungguh mentakjubkan," Hwa Hwa Cinjin berkata, "pinto juga tidak dapat melihat jelas mukanya karena malam gelap dan ketika kami berdua menyerangnya, dia berada di dalam bayangan pohon. Akan tetapi yang jelas, dia bukan orang biasa, memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan tangguh."

"Aku dapat memastikan bahwa dia tentulah seorang wanita!" kata Hek I Sian-kauw dengan tegas. "Biarpun aku juga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas karena gelap, namun bentuk tubuhnya yang ramping dan gerakannya yang lemas menunjukkan bahwa dia seorang wanita."

Hwa Hwa Cinjin membenarkan pendapat ini, dan demikian pula para penjaga menyatakan bahwa memang bayangan itu mempunyai potongan tubuh ramping. Lima orang sakti itu menduga-duga siapa gerangan orang aneh itu yang telah melarikan Bun Houw.

"Tidak salah lagi, tentu dia pula yang telah menolong tiga orang murid Bu-tong-pai," kata Ciok Lee Kim sambil mengerutkan alisnya karena peristiwa berturut-turut hilangnya tawanan itu merupakan tamparan baginya.

"Jangan-jangan dia yang kembali membikin ribut..." tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata.

"Dia siapa, Bu-sute?" Ciok Lee Kim bertanya dan yang lain-lain juga memandangnya.

"Siapa lagi kalau bukan gadis Giok-hong-pang itu..."

Mendengar ini, teringatlah Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu yang pernah bertemu dengan Yap In Hong, tokoh Giok-hong-pang yang amat lihai itu. Mereka mengangguk-angguk, akan tetapi Bouw Thaisu berkata penuh keraguan, "Agaknya dugaanmu itu amat diragukan kebenarannya, Bu-sicu. Kita mengetahui betapa gadis itu adalah seorang wanita aneh dari Giok-hong-pang, tidak memusuhi kita secara langsung dan juga tidak bersahabat dengan fihak Cin-ling-pai, pula kita telah tahu bahwa Giok-hong-pang adalah perkumpulan yang mempunyai hubungan dengan partai-partai lain. Karena itu, agaknya tidak boleh jadi kalau dia menolong anak murid Bu-tong-pai dan apalagi menolong pemuda yang agaknya mempunyai hubungan erat dengan Cin-ling-pai itu. Aku lebih condong menduga bahwa mereka tentulah seorang tokoh Bu-tong-pai. Ingat, pertai beser itu tentu saja memiliki banyak orang pandai dan tidak mengherankan kalau seorang tokoh wanita dari Bu-tong-pai yang turun tangan menolong anak-anak murid Bu-tong-pai itu dan juga pemude she Bun yang aneh itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar