11 Pendekar Mata Keranjang

Pek Eng yang melihat semua ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tentu pemuda itu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, akan tetapi dia tidak berani bertanggung jawab dan menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya. Ia pun lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Ia merasa tidak enak karena pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Tentu kalau ia berkunjung, percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimanapun juga, ia akan merasa tersinggung. Hemm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan ia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.

Bagaimanapun juga, sedikit ketegangan karena persitiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di situ menunggunya dan membukakan pintu. Hal ini membuat ia semakin tenang dan ia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur.

Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan diri di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih di atas tempat tidur beralaskan kasur dqn bantal, ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula! Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Tapi gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali, dia membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimanapun juga, dia sudah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan jalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin?

Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.

Baru setelah matahari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya, Hay Hay terbangun pada keesokan harinya. Sinar keemasan matahari pagi nampak indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun. Hay Hay bangkit duduk, lalu berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik. Tidak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentulah perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini. Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuju ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya girang bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu. Tidak salah, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang dapat menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan. Pagi itu suasana di situ masih sunyi, pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, akan tetapi tidak nampak orang keluar masuk.

Tiba-tiba saja, muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu.

Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu ia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja ia segera mengenal pemuda yang menjadi orang buruan suku Yi semalam. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya.

"Mau apa kau cengar-cengir di sini? Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Ehh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah walaupun aku akan merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Nona, biarpun hanya dalam mimpi."

Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang laki-laki yang bicara seperti ini, maka ia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau dapat bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan memiliki wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.

Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ia memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun demikian penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenekaan. Seorang gadis pilihan di antara seribu!

"Kenapa, Nona? Siapa yang takkan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?"

Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang kemarin sore, karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.

"Hemm, engkau memang mata keranjang dan perayu. Akan tetepi jangan harap akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"

Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. "Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, aku jauh-jauh datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."

Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini benar tidak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Ia tidak percaya bahwa ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini...tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan ia bertanya dengan suara agak gemetar.

"Kau... kau... siapakah namamu .....?"

Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah dara cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab. "Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay ......"

Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong .....?"

Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, kalau namaku Han Siong, kenapa aku mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang...."

"Apakah engkau mengenal Ayahku?"

Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"

"Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal Ayahku?"

Hay Hay menggeleng kepala.

"Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"

"Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting ....." Hay Hay mendesak.

Pada saat itu, tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang, sudah keluar karena mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.

"Pek-siocia, apakah yang terjadi?"

"Siapakah dia ini?"

Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin telah membuat keributan di perkampungan orang Yi, dan sekarang minta bertemu dengan Ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut." kata Pek Eng dan ia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.

"Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan." kata komandan jaga kepada Hay Hay.

"Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu karena ada suatu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."

Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggauta Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tidak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami." kata komandan jaga.

Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada diri sendlri. "Ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"

"Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu, bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang dan matanya terbelalak walaupun masih agak sipit mencorong penuh kemarahan, dan ia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan kedua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang agak melengkung bentuknya itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.

"Apa kamu bilang tadi? Menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"

Hay Hay juga sudah marah karena dia ditolak menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalian yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggautanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh daripada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggauta Perkumpulan Hati Hitam saja."

"Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam daripada arang, masih berani memaki kami?"

"Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang marah sekali mendengar perkumpulannya dihina orang.

Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengar suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"

Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang terkejut dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah. Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang sudah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apalagi Pek Eng. Sejak kecil ia mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika ia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.

"Apakah kalian bertiga ini pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat. Bukan wataknya demikian. Ia cukup terdidik baik dan biasanya ia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apalagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang ia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini ia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.

"Omitohud, tidak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu." kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.

"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.

Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"

Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak. "Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! Kalian inIlah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun, kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"

Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di situ dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.

"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.

Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.

"Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek.

Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!

Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."

Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.

"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak? Menggelindinglah dari sini!" bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.

"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu. Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!

Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali! Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya. Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka!

Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika melihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.

"Trakkk .....!" Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.

Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka.

Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan. Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan ia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.

"Eng-ji, tahan senjata!" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.

Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut. Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.

"Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya.

Pek Ki Bu balas menjura dan berkata, "Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong."

"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang." kata pula pendeta muka bopeng.

Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran. Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.

"Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."

Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Sejak kecil putera kami itu hilang entah ke mana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami? Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dan dia mempelajan ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu."

"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!" Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.

"Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan ......" Pendeta muka bopeng menegur.

"Tidak peduli!" Wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah.

"Plakk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.

"Ibu .....!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.

Melihat ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.

"Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju. Pek Kong disambut oleh pendeta muka bopeng, sedangkan Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.

Dess....!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, mengakibatkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.

"Dukkk!" Pukulan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung. Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong maupun Pek Ki Bu bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok.

Pada saat itu, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton, merasa perlu untuk turun tangan. Bagaimanapun juga, dirinya terlibat secara langsung dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata, "Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, setelah Sin-tong berada di depan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.

Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, segera membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."

Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya. Semua orang kini memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, apalagi mereka tadi mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Juga tiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Siauw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat, apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu memandang dengan penuh keheranan, juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan. Hanya Pek Eng yang mendongkol, ingin dara ini memaki pemuda itu karena ialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Akan tetapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak kepada keluarganya, maka ia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tidak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!.

Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang saling pandang dan pada wajah mereka terbayang ketegangan, harapan akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Tentu saja selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.

"Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Kalau kau hendak menipu kami, dosamu besar sehingga kematian pun belum akan membebaskanmu daripada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.

"Omitohud ......!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Sejak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa akulah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"

Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan kini sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat walaupun masih ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di depan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.

"Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan dan mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?

"Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan Kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong. Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena ia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Ia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, karena puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau ia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya. Kalau benar pemuda ini puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan ia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya ia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, kini bahkan membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari.

Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan bingung, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan dan tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Maka dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-pa, hanya menanti untuk melihat perkembangan selanjutnya. Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dia berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya! Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu demikian tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walaupun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab dan mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong!

"Hemm, Sam-wi Losuhu adalah tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, tentu saja, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.

Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu-ragu mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar lagi dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya dan adiknya berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!

"Omitohud ......!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kautanggalkanlah bajumu!"

Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang memiliki tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak memillki tanda itu, biar mengaku bagaimanapun juga akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan.

Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduganya. Sambil tersenyum dia berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduh aku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay lalu menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dadanya yang bidang dan tubuh, bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat dan kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya nampak oleh mereka.

Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar dl punggung itu!

"Anakku......!" terlak Souw Bwee.

"Koko ......!" Pek Eng juga berseru, akan tetapi ketika mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, piikir mereka dengan jantung berdebar.

Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah di punggungnya ltu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang tak pernah muncul sejak bayi, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi diam-diam sebelum turun gelanggang, dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah. Dengan kecerdikannya, menggunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, dia menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Maka, ketika dIa terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, telah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!

"Sin-tong ......!" Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh dan mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada "Anak Ajaib" itu!

"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringkan Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet." kata pendeta Lama bermuka bopeng dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.

Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap tiga orang Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang main sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu kini yang terpenting bagi mereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!

"Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan sikap agung berwibawa.

"Pinceng tahu... Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud ......!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.

"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"

"Kami bertiga yang rendah adalah anggauta pimpinan tingkat tiga....." kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.

"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."

Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!

"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak. Keluarga Pek dan juga para anggauta Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Betapa beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!

"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng mewakili dua orang temannya menjawab.

Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Kalau kalian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"

Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng." katanya dengan sikap hormat. Melihat ini, diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata memandang rendah kepadanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika berkelahi dalam beberapa gebrakan melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.

"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua yang lain harus kuuji pula kepandaiannya. Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi." kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.

Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda seorang ahli silat yang tangguh. Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi hendak menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan, juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apalagi membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini. Dia hanya akan mengelak dan menangkis sajaa, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan tanpa memukul atau menendang!

"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.

"Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang." jawab kakek pendeta kurus pucat itu.

"Rewel benar kau! Kalau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?"

Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Benarkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Kenapa begitu tolol, apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya kecewa, tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!

"Baiklah, pinceng menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat dan dia pun menyerang. Akan tetapi itu sama sekali tidak dapat dinamakan serangan, karena tangan kirinya bergerak perlahan, seperti hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.

Hay Hay dengan gerakan kaku mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"

Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia maju lagi dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu, sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.

Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.

Muka yang pucat itu kini berubah agak merah, apalagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggauta Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.

"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak lalu kini menubruk dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.

"Wuuuttt... brukkk .......!" Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanya angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Dia tadi menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahuinya bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.

"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"

Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa dan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tidak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itu yang mereka anggap tidak tahu diri. Akan tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan dan tubrukan itu pun mengenai tempat kosong sedangkan pemuda itu tahu-tahu dengan terhuyung-huyung, telah berada di belakang Si Pendeta dan menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.

"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main-main. Apa engkau ingin aku menjadi marah dan memukulmu sampai babak belur?' Mendengar ucapan keras pemuda ini, kembali memancing suara ketawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai sampai babak belur!

"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat. Kini dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas! Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat sekali, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!

Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tidak akan mampu mengelak, maka dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah dapat menguasai gerakannya sepenuhnya, maka begitu kepalan tangannya mendekati perut lawan, dia sudah dapat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.

"Plekk!" kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.

"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak daripada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"

"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi. Mereka semua tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apalagi kini tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga

"Apa ........? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tidak akan menghancurkan sepotong tahu, apalagi perutku!" Hay Hay tidak, menyombong. Tadi pun sudah melindungi perutnya dengan sin-kang yang terkuat, untuk menjaga diri Andalkata tadi Si Pendeta Lama memukulnya benar-benar, tetap saja dia tidak akan terluka!

"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah." kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah. Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.

"Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa kalau aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Para anggauta Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.

"Kami menjadi saksi!" terdengar teriakan di sana-sini.

"Nah, puluhan orang menjadi saksi agar engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay. Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Kini mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena sejak tadi, pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Sekarang, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan menggunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.

"Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.

"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa. Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan sembarangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di tepi jalan, asal memukul saja tanpa pememilih sasaran. Kepalan kedua tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.

"Mau lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan dielakkan oleh pendeta lama itu, tubuh pemuda itu terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.

"Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah sekali melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.

Hay Hay mendengar celaan ini, dan tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh kepada Pek Eng sambil menyeringai. "Memang dia ini tolol sekali, bukan, Adik yang manis? Seorang pendeta Lama yang tolol memang, engkau benar sekali dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"

Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, dan karena di situ terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan memaki dan mencela terang-terangan pemuda itu. Ia mendongkol bukan main, dan terpaksa menelan kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik lagi danmenghadapi pendeta Lama yang kurus itu.

"Nah, sekarang kau robohlah!" Hay Hay membentak dan bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu tampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat sejurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh! Diiringi suara ketawa riuh rendah, kini Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.

Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jengkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu. Tiba-tiba, kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh dan dia pun jatuh berlutut!

"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" Hay Hay berkata sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Barulah kini suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu telah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Walaupun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walaupun sebagian besar di antara mereka, juga keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!

Kalau saja yang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan peristiwa tadi kalau diingat membuat bulu tengkuknya meremang. Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Para Dewa yang agaknya menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu dan menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata dengan suara merendah. "Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."

"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya. Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tidak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia ingin mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.

Diam-diam dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Walaupun tendangan mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju dan menjura kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng yang mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."

Diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini kelihatan cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi. Tentu pendeta ini akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.

"Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu tidak akan bertambah. Biar sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."

Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang dan mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah amat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus! Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apalagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin sejurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya!

"Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai daripada pinceng. Nah, harap Paduka siap. Pinceng mulai menyerang!" Berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu sudah mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul-menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya! Dia terkejut. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang sungguh-sungguh dengan pengerahan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin, dan hawa pukulan saja, mengandalkan sin-kangnya!

"Siuuuuttt.... Siuutttt......!" Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah.

"Haiiittt...... ouuuuttt...... lupuuutttt.....!" Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biarpun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan!

Akan tetapi kakek pendeta itu mendesak terus dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan lebih panas lagi hawanya. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sana-sini dan mulutnya nyerocos, "Hooshhhh... heshhhh... luput lagi ....!" Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran dan selalu pukulannya menyeleweng ke samping!

Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan,. tamparan, totokan bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak.

Mula-mula maslh terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang-kadang hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu kenyataannya, semua serangan pendeta itu luput!

"Manusia tolol.....!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.

"Anak bodoh, lihat baik-baik .....!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum. Penglihatan di situ memang aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main. Namun karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biarpun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, namun kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dahulu berjuluk Go-bi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw-pouw-poan-soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini dapat menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya. Tubuhnya juga mulai sukar diikuti gerakannya saking cepatnya dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama dan merobohkannya, melainkan karena memang pemuda itu lihai sekali!

Pendeta Lama bermuka bopeng juga terkejut ketika melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biarpun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, namun pernah dia mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang mengandung garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa. Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki tingkat tinggi saja yang kabarnya mampu menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Tentu saja mungkin bagi Sin-tong untuk menguasai ilmu apa saja!

"Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahhh, panasnya... gerah sekali, dan keringatrnu mengeluarkan bau amat busuk! Tak tahan aku ....!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh. Karena sejak tadi dia memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.

Tiba-tiba terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, "Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!"

Semua orang kjnj dapat melihat dengan jelas, "tahi lalat" merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.

"Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat. Pendeta lama ini agaknya sudah marah sekali dan serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apabila tepat mengenai sasaran!

"Celaka ....!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.

Namun, dengan gerakan lincah sekali Hay Hay sudah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun lalu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan sebuah jurus pilihan dari ilmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan.

"Plakkk....... !" Tubuh kakek Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga ketika pundaknya kena ditampar, tulangnya tidak sampai patah-patah, hanya tubuhnya yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah!

Semua orang terkejut dan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya! Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah ketika ia teringat betapa tadi ia memandang rendah kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu bukan kakak kandungnya dan kembali ia merasa menyesal! Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu ia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang demikian lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka?

Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main dan mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu telah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi terkejut akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Dan dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan tubuhnya sudah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.

Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah dan lincah, tubuhnya mengelak dan tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.

"Dukk!!" Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan main.!

"Orang muda, siapakah engkau? Kenapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya karena hatinya menjadi ragu mendapat kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas.

Hay Hay tersenyum dan dengan tenang sekali dan kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman tiga orang pendeta Lama yang lihai.

"Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, ingin mengenal namaku? Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja kalau kulihat di situ orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan menggunakan kepandaian untuk menekan?"

"Bocah sombong, engkau hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.

"Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhuku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."

"Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay. Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada orang-orang Pek-sim-pang dan mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum betapa lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.

Akan tetapi sekali ini, Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa biarpun ilmu silatnya masih lebih tinggi daripada mereka bertiga, namun dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main. Dia masih tetap menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu.

Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan indah dan tepat sekali. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu tidak mampu mengenai tubuh lawan dengan semua serangannya, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju dan kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga! Tentu saja Hay Hay menjadi repot sekali! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, kini maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Namun Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang membuat tiga orang lawannya kadang-kadang terhuyung ke belakang.

Tepuk sorak semakin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biarpun mereka sudah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun tak pernah mereka dapat membayangkan bahwa pemuda itu mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.

"Anak itu luar biasa sekali ......!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya. Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan ia tadi telah menantang pemuda itu! Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja ia tentu sudah roboh!

Perkelahian itu berlangsung dengan amat cepatnya. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh, apalagi mereka kini maju bersama. Bahkan kini pendeta kurus pucat mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata. Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun menggunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia dapat mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.

Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apalagi membunuh mereka. Inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan maut, sedangkan dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.

Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu akan terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama setahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian, dia meloncat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat.

"Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet, menghadap Dalai Lama!"

Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee sudah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay dan tiba-tiba mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lalu mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali.

"Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput dan mengantar Paduka ke Lasha di Tibet."

Hay Hay masih memandang dengn sinar mata mencorong, kemudian dia berkata.

"Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."

"Pinceng yang siap menggendong Paduka!" kata pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar