10 Pendekar Wanita Baju Merah

"Sudah, diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah. Mengingat bahwa Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?" Im Giok hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan. Tak lama kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim Lian. Agaknya dia sudah menuturkan kepada sahabatnya itu, karena begitu berhadapan dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala sambil menyebut,

"Suhu...!" suaranya merdu dan halus.

"Bangunlah! Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak belajar ilmu silat yang kasar," kata Kiang Liat.

"Ayah... jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... eh, kepada Suci (Kakak Seperguruan) Kim Lian.

Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku, dia telah banyak dapat meniru gerakan silatku.

Suci, coba kauperlihatkan kebisaanmu kepada Ayah."

"Ah Sumoi, kau membikin aku malu saja..." Kim Lian mengerling dengan muka merah dan senyum dihukum.

Kiang Liat kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan menarik hati laki-laki ini. Hem, dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan anaknya, pikirnya.

"Tak usah malu-malu, kauperlihatkanlah apa yang sudah kaupelajari. Dengan melihat gerakanmu, aku bisa mengiraira sampai di mana tingkatmu." Mendengar perintah suhunya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan pelajari dari Im Giok. Dan Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im Giok.

Gadis cantik ini memiliki bakat yang luar biasa, sungguhpun tidak sebesar bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan bahwa Kim Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada gadis-gadis biasa. Memang sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini. Timbullah kegembiraan hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja sudah amat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya. Kiang Liat masih saja berlaku sungkan dan likatlikat, maka ia hanya memberi contoh dan petunjukpetunjuk teori saja, sedangkan prakteknya ia serahkan kepada Im Giok untuk mengajar sucinya.

Benar saja, setelah Kim Lian tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira sekali. Tidak saja ia menjadi makin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam ilmu surat dan bahkan suka belajar menyulam bersama sucinya. Adapun dalam hal mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok. Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari seorang gadis secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang gadis yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi.

Biarpun Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah dewasa, akan tetapi berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti juga Im Giok, ia memiliki gin-kang yang luar biasa, hanya sedikit saja kalah oleh sumoinya itu, sungguhpun dalam hal lwee-kang ia kalah jauh.

Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini. Sering kali Kim Lian memperhatikan sikap genit dan memikat di depannya, mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang ia membentak dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum manis memikat. Beberapa kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah menegur, baru Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut kepada suhunya karena ia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki, akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan.

Pertama karena ia merasa berhutang budi kepada sumoinya ini. Kalau tidak ada sumoinya yang menariknya ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan mungkin sekali terlantar. Ke dua, ia memang tahu bahwa kepandaian sumoinya jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

"Im Giok, sekarang sucimu telah berusia dua puluh tahun lebih, kiranya sudah cukup lama ia berada di sini dan sudah patut baginya untuk berumah tangga. Bagaimana pikiranmu kalau aku mencarikan seorang suaminya untuknya?" pada suatu hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat belas tahun lebih. Gadis ini sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.

"Baiklah, akan saya sampaikan kepadanya, Ayah," kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa kasihan dan juga gelisah melihat keadaan ayahnya. Setelah beberapa kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat teringat lagi kepada isterinya dan kepada Ceng Si yang dahulu menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya, akan kekejamannya terhadap isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan kadang-kadang batuk-batuk, bahkan sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi! Akan tetapi ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, sucinya itu memperlihatkan muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut dan menangis.

"Suhu, teecu mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak sanggup untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama sekali tidak ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani Sumoi..." Kata-kata ini biarpun diucapkan dengan suara bersedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima dengan hati terbuka kalau gurunya mau mengambilnya sebagai isteri sehingga gadis ini selamanya akan melayaninya, juga takkan berpisah dari Im Giok! Merah muka Kiang Liat dan ia merasa dadanya sakit. Ia selalu ingat akan kesetiaan mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidup. Oleh karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.

"Kim Lian, jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang saja, kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah lebih dari cukup waktunya untuk berumah tangga sendiri, Kim Lian.

Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang calon suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku takkan menyesatkan murid sendiri..." Makin sedih tangis Kim Lian mendengar ini. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, "Suhu, apa saja kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi. Kalau Sumoi sudah menikah , barulah teecu suka menikah pula... ini sudah menjadi sumpah di dalam hati teecu." Kiang Liat menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan untuk menggagalkan usulnya.

"Hm, perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati," pikirnya. "Pada hatinya jelas nampak ia ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau menikah!" Kemudian dengan suara marah ia berkata,

"Kim Lian, kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh sumpahmu itu, kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku bermain lidah dan tidak dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah takkan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!" Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya.

Semenjak saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam.

Jarang sekali ia bicara dengan Im Giok. Kepada Kim Lian, ia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya, mulai saat itu ia makin giat melatih dua orang gadis itu. Pagi-pagi sekali ia sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada malam hari. Pendeknya, Kiang Liat tidak memberi mereka kesempatan untuk bermalasmalasan.

"Seorang wanita harus kuat, baru aman hidupnya," katanya di depan dua orang gadis itu. "Kalian harus dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi." Demikianlah, hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat menggembleng puterinya dan muridnya. Payah-payah Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ilni, akan tetapi hasilnya juga luar biasa sekali. Im Giok secara terpisah telah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya, dan ternyata ia memang cocok sekali dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini.

Gerakannya memang lemas dan indah, sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar, pipi kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek Hoa.

Benar seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.

Adapun Kim Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia menjadi murid Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya jauh melampaui empat tahun pertama.

Kepandaian Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai, bahkan sudah hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena ia mempelajari jimu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang Liat hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apalagi Kiang Liat memang hanya bersilat untuk mengajar, sama sekali tidak pernah ia berlatih untuk kemajuan diri sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada kirinya terasa sakit sekali. Ia maklum bahwa ia telah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di dalam jantungnya, akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari obat. Tidak jarang ia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka karenanya.

***

Pada suatu pagi dan indah di musim Chun (Semi).

Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatangbinitang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu.

Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tidak takut akan ancaman burung-burung. Agaknya di saat seindah itu, binatangbinatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram dengan pembunuhan kepada sesama mahluk, sungguhpun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Ataukah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah kenyang maka mereka tidak mengganggu kelenci dan kupu-kupu? Mungkin sekali, karena, hanya manusia-manusia saja yang masih temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain mahluk tidak ada yang sekejam manusia.

Tiba-tiba terdengar suara manusia tertawa yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup-sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.

Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali mengapa mula-mula terdengar suara nyaring baru kemudian terdengar derap kaki kuda bagaimana suara ketawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau pendengar tadi seorang ahli silat tinggi, ia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan penggunaan ilmu yang disebut Coan-im-jipbit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).

Kemudian terdengar suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, "Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kaulihat bunga ini, alangkah indahnya...!" Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing, berwajah cantik, sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Ia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanan memegang sebatang cambuk pendek. Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah sudah masak dan sedap dipandang.

Gadis baju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembangkembang berwarna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyumsenyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk di tangannya digerakkan, cambuk itu meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya. Lihai sekali ia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu kepadanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,

"Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!" Kembali cambuk pendeknya bergerak dan setangkai bunga kuning di lain saat telah berada di tangan kirinya. Ia memandang dan mencium dua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga merah.

Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi.

Cambuk meluncur ke bawah.

"Tar...!" Sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang terpental melayang ke atas.

Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.

"Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!" kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih.

Kalau orang gagah kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini ia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau ia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda. Cantik jelita sukar menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biarpun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang. Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi begitu bening dan jelas terisi api kehidupan yang tak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis sekali, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, sungguhpun pada bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.

Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, namun sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya amat bagus, berisi dan sedang.

Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah.

Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.

"Sumoi, mengapa kau mencegah aku memetik bunga?" tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakanakan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.

"Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?" Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, "Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!" Ia tertawa lagi dengan sikap genit.

Dara baju merah itu pun tertawa dan menjawab, "Giokgan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!" Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu melemparkan bunga putih ke arah sumoinya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapnya tangantangan.

Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.

"Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci."

"Aku lebih suka yang kuning ini," dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.

Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu. Adapun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini memiliki sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu. Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biarpun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui bahwa semua orang, namun para pemuda di kota Sian-koan lebih guka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani mainmain terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria. Dan kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi daripada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri! Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apabila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlumba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.

Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati.

Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apalagi karena dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya! Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.

Telah dituturkan di bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan muridnya hanya apabila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri, pelayan banyak, uang ada, segala lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapapun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.

Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar.

Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok maupun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.

Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutah yang indah itu.

Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.

Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.

"Ayah telah berkata benar," kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, "indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini."

"Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah di seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu," kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

"Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia."

"Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?" tanya Kim Lian.

"Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku berduka selalu. Dialah musuh besarku yang harus kubunuh!" kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.

"Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biarpun kepandaianku tidak ada artinya." Im Giok menarik napas panjang. "Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih..." Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak, juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.

Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri telinga mereka menangkap suara yang mencurigakan, sayup sampai terdengar bentakanbentakan dan derap kaki kuda.

Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar lebih dulu, karena memang telinganya lebih terlatih.

"Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini," katanya.

Kim Lian miringkan kepalanya, penuh perhatian.

"Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana." Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlumba, akan tetapi kalau biasanya mereka berlumba sambil tertawa, kini mereka beriumba dengan kening berkerut dan sikap garang.

Mereka selain berkepandaian silat tinggi, juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.

Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi.

Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajarpelajar lemah. Keadaan di situ mengerikan sekali. Semua anggauta rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut. Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di situ terdapat seorang pemuda pelajar yang melawan matimatian.

Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguhpun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguhpun gerakannya menandakan bahwa ia tidak mengerti ilmu silat, namun agaknya ia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat ia masih dapat melawan dan melindungi diri.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, maka ia dibuat permainan, sengaja tidak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan.

Ada sebagian pula tentara yang mengumpul-ngumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.

"Anjing-anjing hina dina!" Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda. Bagaikan seekor harimau betina ia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini.

Kim Lian menyambut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.

Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadinya mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.

"Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!" Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari lalu sinar merah ini menerjang mereka yang tengah mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok! Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah makin kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya melawan dan lemasiah ia, lalu tertunduk dengan mata bengong.

Im Giok dan Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, hanya merobohkannya saja.

Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti takkan dapat bangun lagi untuk selamanya! Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi.

Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras,

"Kam-ciangkun...! Tolonglah kami..."

"Suci, sudahlah jangan mengejar mereka," Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus. Kim Lian tak puas, akan tetapi ia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Ketika dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan yang sepuluh terluka. Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang telah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup, tubuhnya penuh darah akan tetapi lukalukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.

Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, Si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan sakit-sakit.

"Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini..." ia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi,

"mereka ini... tak tertolong lagi..." Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.

"Akan tetapi kami dapat menolongmu," kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar. Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi sekarang baru ia melihat dan ia harus mengaku bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati. Juga tadi ia telah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara, ia tidak memikirkan keadaan diri sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawankawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopansantun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.

Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggelenggeleng kepalanya dengan sedih.

"Biarpun aku amat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan malapetaka ini..." Bicara sampai di situ, pemuda itu makin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu telah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya!

"Suci...!" Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika ia melihat bagaimana sucinya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas!

"Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah..." Kim Lian membela diri sambil tersenyum, kemudian dengan perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.

Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia meminumkan sedikit arak pada pemuda yang masih pingsan itu, kemudian setelah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah. Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya ia melihat sumoinya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!

"Sumoi, lihat siapa yang datang itu!" tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri. Im Giok juga mendengar suara derap kaki berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang telah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.

Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang berlari mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang. Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk, kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.

Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, apalagi melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!

"Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kausambutlah kalau mereka bermaksud buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai," kata Im Giok berbisik. Kim Lian tersenyum mengejek. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, namun ia pernah mendengar cerita im Giok tentang Golok Maut ini dan ia memandang rendah.

Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to Si Golok Maut. Adapun kakek yang aneh itu adalah Chengjiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu.

Dia adalah seorang tokoh barat. Dahulu ketika ia masih muda memang Cheng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, I Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek I Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Cheng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanya di perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Setelah puluhan tahun ia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua ia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, Giam-ong-to Kam Kin.

Semenjak masih mudanya, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orangorangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia marah sekali. Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya bersinar dan mulutnya menyeringai. Apalagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main.

Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tidak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,

"Ah, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?" Im Giok melangkah maju dan berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. "Bagus sekali sejak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?" Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Ia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun telah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun ketika berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biarpun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garisgaris pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.

"Kiang Im Giok! Kaukah ini?"

"Baru terbuka matamu," kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.

"Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiokmu sendiri?" Kam Kin membentak. Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.

"Kam Kin, siapakah Nona ini?" tanya Cheng-jiu Tokong dengan suaranya yang seperti burung kakatua.

"Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya." Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, "Im Giok, andaikata kau tidak menaruh sungkan kepada susiokmu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouwmu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouwmu ini, guru dari Suci Pek Hoa." Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab,

"Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini." Kam Kin menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.

"Bocah tak tahu aturan! Tidak saja kau telah membunuh banyak anggauta tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!"

"Monyet bercelana, kau berani menghina sumoiku?" tiba-tiba Kim Lian membentak marah dan ia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. "Mentang-mentang, kau berjuluk "Si Golok Maut", lalu hendak menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!"

"Gadis liar kurang ajar!" Kam Kin marah sekali.

"Kau yang kurang ajar!" bentak Kim Lian. "Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihat, kutampar mulutmu!" Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak, Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.

"Plak!" tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.

"Anjing betina, kubunuh kau!" bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.

"Kutempiling kepalamu, awas!" Kim Lian berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya. Lagi-lagi terdengar suara "plak!" dan topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu, Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat ia melompat ke belakang menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.

Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang amat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apalagi setelah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasihat-nasihat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.

Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tidak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main. Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang berbakat sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, maka Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.

Menghadapi rangsakan golok Kam Kin, gadis ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang bernama Kong-jiu-sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, sedangkan jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya. Beberapa kali dalam gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia berlaku hati-hati, maklum bahwa ia menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.

Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, "Monyet tua, pergilah!" Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan, menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut! Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan secepat itu, berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian tiba-tiba jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban.

Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran. Kam Kin berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk dan merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong ke pinggir. Kim Lian tertawa-tawa mengejek, "Monyet tua, mana golok mautmu?"

"Bocah sombong, pergilah!" Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi dan sebelum ia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot! Kim Lian mengerahkan lwee-kang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru,

"Celaka...!" dan tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja, Im Giok tidak cepatcepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas! Ternyata bahwa Chen-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadi membetot sekarang ia mendorong. Tidak heran apabila Kim Lian terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong.

Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.

"Kakek bangkotan, kau curang!" bentaknya.

"Suci, mundurlah." Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya. Kemudian Im Giok menghadapi Cheng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,

"Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Cheng-jiu Tokong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa heran sekali mengapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang setelah menjadi komandan membiarkan anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suciku sedang bermain-main di hutan ini dan kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ongto Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?"

"Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi katakatamu sebagai seorang bocah kau ternyata mempunyai pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku. Bagaimana kau berani sekali bersikap begini kurang ajar terhadapku? Andaikata kau sekarang juga menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?"

"Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tua, oleh karena itu aku pun tak mungkin mengaku kau sebagai sucouw."

"Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu telah membunuh banyak anggauta tentara, mereka itu pemberontak-pemberontak yang berbahaya!" tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya. Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.

"Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran.

Lebih baik kau dan sucimu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan," kata Cheng-jiu Tok-ong kepada Im Giok, agaknya segan-segan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapapaun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, maka ia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apalagi wanita pula.

Im Giok mulai panas hatinya. "Cheng-jiu Tok-ong, kalau kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekarpendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!" sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.

Terdengar Cheng-jiu Tok-ong tertawa geli,

"Bocah, kau benar-benar lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kaumainkan untuk melawanku?"

"Cheng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!" bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.

Cheng-jiu Tok-ong adalah seorang kakek yang berjuluk Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu memiliki ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apalagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa? Akan tetapi, pada gerakan pertama, Cheng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat ia menggunakan dua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tidak terduga itu. Kakek ini benar-benar amat heran, karena melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi daripada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya. Jurus-jurus berikutnya membuat Cheng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.

"Ayaaa, kau lihai juga...!" kata kakek itu pada jurus ke sepuluh karena sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Ia melompat cepat ke kanan dengan gin-kang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!

"Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda," kata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.

"Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoiku!" teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.

Timbul marah dalam hati Cheng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.

"Akan kubunuh dulu sumoimu ini, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!" makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.

Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar. Celaka, pikirnya, golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat. Ia mencoba menetapkan hatinya dan membalas dengah serangan hebat.

Memang terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Cheng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah. Sebaliknya lawannya makin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya tercium bau busuk yang mengandung racun! Biarpun keadaannya makin berbahaya Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tidak mengherankan, kalau gadis ini penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lwee-kangnya dapat mengimbangi tenaga kakek itu.

Dalam hal gin-kang dan kecepatan gerakan tubuh, ia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, ia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu makin memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, "Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kauganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!" Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, kini tiba-tiba menjadi nekat melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.

Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang kelihatannya seperti iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakanakan hendak menyerbu dan menyerang Cheng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.

"Kakek siluman jangan banyak lagak...!" bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni sebuah di antara senjatasenjata para serdadu yang bergeletak di situ.

"Suci, hati-hati...!" Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri.

Mengapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa ia telah terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.

Mendengar suara yang aneh dan perlahan sekali dari Im Giok, Kim Lian kaget dan mengerling ke arah sumoinya.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Cheng-jiu Tok-ong.

Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian.

Biarpun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya. Kim Lian mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis.

Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga ia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya. Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali ia menggulingkan tubuhnya dan bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah yang pada bergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, telah merah menghitam.

"Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau hati-hatilah..." Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah cara satu-satunya yang ia pelajari dari suhunya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.

Melihat dan mendengar keadaan sucinya, Im Giok makin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biarpun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya sudah berkunangkunang, namun pedangnya secara otomatis masih dapat melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang-kadang masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Cheng-jiu Tok-ong.

"Lihai sekali... mengagumkan...!" Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Malu tokoh ini untuk mempergunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.

Setelah Im Giok terdesak betul-betul tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Cheng-jiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?" Tiba-tiba tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena ia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan. Ketika membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, meletakkan pedang di atas tanah, lalu bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi telah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Cheng-jiu Tokong! Sementara itu, Cheng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian ia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.

Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan dipinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya. Cheng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw.

Karena ia sendiri sudah lama meninggalkan kang-ouw, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,

"Kau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengaku-aku dia sebagai cucu muridmu?" Orang itu tersenyum tenang, "Raja Racun, pengakuanmu tadi dua kali salah. Kau mengaku gadis ini sebagai cucu muridmu karena kauanggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Cheng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andaikata benar dia pernah rnenjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tidak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat kiranya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau bahkan makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!" Cheng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapapun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau tokoh-tokoh lainnya ia tidak takuti! Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang vang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,

"Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!" Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi! Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su.

Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.

"Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!" kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya. Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Cheng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, ia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su! Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,

"Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!" Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak. Tangan kiri menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apalagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oteh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya.

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar