Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru, tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini.
Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton.
"Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!" Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.
"Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat..." Wanita itu coba untuk memberi alasan.
"Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!"
"Siauwya, harap maafkan aku..." Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. "Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya..."
"Apa? Kaukira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kaukira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti? Kalau tidak..." Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.
"Brakkk!" Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong.
Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.
"Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!" bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.
"Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwa pun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!" Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi "tring" sebagai penutup kata-katanya tadi.
Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. "Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?"
"Tringg...!" Yang-kim itu disentil kembali.
"Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu..."
"Tranggg..."
"Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!"
"Cringgg...!"
Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu.
"Bocah kepar... anghhh...!" Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.
"Aahhh... aukkk... kekkk...!" Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.
"Blukk!" Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dari mengelinding di atas lantai.
"Hajar dia! Hantam dia...!" Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.
"Plok! Plok!" Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan daging itu tidak masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap!
"Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?" Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.
"Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!" Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu.
Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa terhina dan malu sekali. "Sing! Sing!" Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi telah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu!
"Ha-ha-ha!" Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat!
Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu.
Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu! Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka, wajah mereka pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara "krek-krek-krek!" dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka!
Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. "Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!"
"Tring! Trang!" Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan.
Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya. "Mari pergi!"
Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. "Mengapa kalian tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian." Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi dari restoran itu.
Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. "Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran kami..."
"Aih, engkau ini kenapa sih?" Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.
"Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar"
"Hemmm, aku tidak takut."
"Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah, tolonglah, kongcu!"
"Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?"
"Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar."
"Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?"
"Benar, kongcu."
"Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dan daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!" katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu menyambutnya dengan sorak gembira.
"Siang Hwa, mari bernyanyilah!" Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu. Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali dan terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa sulingnya, tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu.
"Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?" pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan.
"Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian," Dan sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga!
"Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka
masih belum berpengalaman dan muda belia
namun demikian tenang dan gagah perkasa
pasti bukan anak burung biasa belaka
setidaknya tentu anak burung garuda!"
Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata amat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu terisi pujian bagi mereka berdua, namun sekaligus seperti telah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya.
Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, mendengar nyanyian ini, timbul kegembiraan hatinya. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan diapun merupakan seorang yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, maka dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap yang menggembirakan dari Siangkoan Wi Hong itu.
Bagaikan tak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian sederhana saja sehingga mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari suara Siangkoan Wi Hong tadi!
Lemah lembut, ramah dan baik budi
sebagai sahabat yang menarik hati
dengan sumpit menyuguhkan hidangan berarti
dengan sumpit pandai membela diri
dengan yak-kim pandai menghibur hati
membuat sajak dan bernyanyi memuji
sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai!"
Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, "Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!" Dan diapun minum arak secawan itu.
Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberaniannya dan tak lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali. Suasana di loteng restoran itu menjadi gembira karena para tamu yang diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, kini disuguhi nyanyian merdu lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena merekapun sudah mulai mabuk. Hanya Han Tiong yang nampak tenang dan serius, sungguhpun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Namun, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat tajam penuh selidik dan diapun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan indah sekali. Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan "dunianya" karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguhpun adiknya itupun, seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk.
Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di tepi loteng dan menjenguk ke bawah menjadi pucat. Biarpun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi.
"Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!"
"Mungkin dibunuh!"
"Dituduh pemberontak!"
Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang, "Saudara-saudara semua, duduklah di tempat masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, karena akulah yang bertanggung jawab. Jangah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada di antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi..."
"Aku... aku tidak sanggup... kongcu..." Siang Hwa menggeleng kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya dipasang baik-baik mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng.
"Siangkoan-twako, biarlah aku yang bernyanyi," tiba-tiba Thian Sin berkata.
"Bagus!" Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira.
"Kaisar dan para pembesar berpesta-pora
dalam kemewahan gedung istana
siapa berani mengganggunya?
Kita rakyat biasa
dengan hidangan seadanya
bergembira ria
apa salahnya?
Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentera
yang katanya pelindung rakyat jelata
Hayaaaaa...!"
Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya memakai pakaian seragam dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.
"Jangan bergerak semua yang berada di loteng!" komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. "Siapakah di antara kalian yang telah berani memukul Ji-siauwya?" Sepasang mata komandan itu dengan tajam menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus.
Sunyi di tempat itu setelah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab, "Akulah orangnya!"
Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya. Tangan kanannya sudah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya sudah maju, siap membantu komandan mereka kalau dipertntahkan.
"Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau kepadaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, lupakah engkau?"
Sementara mata yang tadinya marah itu makin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat setelah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura. "Ah, kiranya Siangkoan-kongcu! Ah, maaf... akan tetapi mengapa kongcu..."
"Hemm, puteramu yang tak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya." Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan keren.
Tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang tadinya keren memerintah itu kini berubah penuh permohonan. "Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami... kongcu tolonglah putera kami itu..."
"Hemm, kalau aku tidak mengampuni mereka, apakah kaukira mereka itu sekarang masih hidup?" kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu.
"Kongcu, sudah kuperiksakan tabib istana... katanya tidak ada harapan... keracunan hebat, tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja..."
Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. "Kalau sudah tahu puteranya hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?" Dia membentak.
Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan. Siangkoan Wi Hong mengangguk. "Baikiah!" Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring bunyinya ke atas meja.
"Siang Hwa, kaubayar semua hidangan, dan sisanya untukmu."
Wanita itu mengambil kantung uang dan menjura. "Terima kasih, kongcu." katanya dengan suara merdu.
"Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula." Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak sembarangan, sambil mengangguk dengan senyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandangnya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya seperti seorang perajurit memanggul tombak, dan jari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring.
Tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang amat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan memiliki hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja. Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu bahkan seminggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan. Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta.
Han Tiong mengajak adiknya meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu. "Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!"
"Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main."
"Ehh...?" Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. "Kejam? Justeru sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong..."
"Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan membuat kita kehilangan kewaspadaan. Kalau engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanya baiknya saja, sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Sebaliknya, kalau kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?"
Thian Sin mencoba membantahnya, "Tapi... mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Si Bopeng itu sombong sekali, dan dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah layak dipukul!"
"Hemm, dan layak dibunuh pula?"
Thian Sin tidak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak ada terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapapun juga, dia tetap membela, "Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andaikata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?"
"Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andaikata terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya."
"Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!"
"Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, betapapun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sin-kang yang kuat, dan agaknya kita masih akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!"
"Ah, kita menolong orang jahat itu?"
"Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!"
Terpaksa Thian Sin mengikuti kakaknya dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah mereka dapat menemukan rumah gedung dari Ji-cianbu, perwira pengawal istana itu. Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi oleh Ji-cianbu ke tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan gedung. Han Tiong lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, lalu menggunakan ilmu kepandaian mereka untuk meloncati pagar tembok, memasuki taman dan dengan loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas wuwungan rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng.
Mereka melihat Siangkoan Wi Hong duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan yang luas dan di situ terdapat tiga buah dipan di mana rebah terlentang tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka pucat agak kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah.
"Hemm, kenapa begini lama?" terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, suaranya mengandung ketidaksabaran.
Perwira itu bangkit dan menjura, dengan gugup, "Harap kongcu bersabar... tentu kongcu maklum betapa sulitnya bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan pangkat dan gaji kecil seperti saya... sabarlah karena tentu isteri saya sedang mencari pinjaman ke sana-sini..."
"Ha-ha-ha-ha, Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak mengetahui keadaan para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar lainnya, bahkan pembesar tinggi sekalipun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat isi rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Kalau hanya mengandalkan gaji kalian, biar kalian bekerja sampai tujuh turunan sekalipun tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha, semua orang pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak ada orang tahu. Sudahlah, cepat sediakan jumlah yang kuminta, itu masih terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak, aku akan pergi, karena aku masih mempunyai banyak urusan!"
"Baikiah, baiklah..." Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia berbisik, "Cepat, minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu."
Siangkoan Wi Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada pemuda ini, Ji-cianbu menjura dan bertanya, "Yakinkah benar kongcu bahwa kongcu akan dapat menyembuhkan anakku?"
"Cringgg!" Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu demikian nyaringnya sehingga Ji-cianbu terkejut dan melangkah mundur.
"Aku yang memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!"
Tak lama kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan uang kain kuning. Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda itu menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung dan melihat isinya yang ternyata uang-uang emas, potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya, kemudian memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia berkata. "Buka baju mereka!"
Ji-cianbu memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou Mu dan dua orang tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali seperti dilukis dengan tinta. Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi satu itu!
Siangkoan Wi Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa jalan darah di sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian, nampak asap atau uap mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar! Ji Lou Mu mengeluh dan mengerang kesakitan, dihardik oleh Siangkoan Wi Hong. "Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri sedikit saja sudah merengek cengeng?" Dibentak seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai mukanya penuh keringat. Tak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan ternyata tanda hitam itu telah lenyap.
"Kau telan ini, sehari sekali, tiga hari berturut-turut," katanya sambil menyerahkan tiga butir pel hitam kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima kasih.
Dengan sikap tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka tidak berani mengeluh walaupun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat. Akhirnya merekapun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga butir pel hitam.
"Nah, aku pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali jangan bersikap sembarangan dan sewenang-wenang!" Setelah berkata demikian, diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya dan keluar dari gedung itu. Dia menolak ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ.
Sejak tadi, Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin merasa terkejut sekali. Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu memeras minta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu dan dua orang tukang pukulnya! Segera setelah Siangkoan Wi Hong pergi, merekapun diam-diam meloncat turun dari atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat itu.
"Hemm, lima puluh tail emas...!" Han Tiong bersungut-sungut.
Thian Sin maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan terapi sejak tadi memang ada dua hal yang bertentangan berada dalam benaknya, yang pertama dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang melakukan pemerasan, akan tetapi di lain fihak diapun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu dapat diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir semua pembesar di jaman itu, merupakan koruptor-koruptor besar yang memeras keringat rakyat dan harta milik negara.
"Akan tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak kalau orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu."
Han Tiong menoleh dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Sin-te, apakah dengan kata-kata itu hendak kaumaksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang she Siangkoan itu."
"Tidak, koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan akan tetapi aku setuju kalau orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik."
Lega rasa hati Han Tiong mendengar jawaban adiknya itu. "Di kota raja ini banyak terdapat orang pandai, tepat seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum lagi tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus hati-hati, Sin-te, sedapat mungkin jangan sampai terlibat dengan mereka seperti yang telah terjadi tadi."
Mereka melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar. "Betapapun juga, orang she Siangkoan itu amat menarik hati, dan aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya."
"Hemm, kurasa dia itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya. Kalau dia mau, dia dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu saja sudah membuktikan bahwa dia memiliki khi-kang yang kuat. Dan ketika dia meloncat dan menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan gin-kangnya, kemudian ketika dia mengobati mereka itu dia mampu menggunakan sin-kang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia seorang lawan tangguh sekali!"
"Justeru karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai musuh."
Ketika mereka tiba di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang menyambut mereka di depan pintu, melainkan Siangkoan Wi Hong! Sambil tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura.
"Selamat malam, sahabat-sahabatku yang baik," kata pemuda itu dan terpaksa dua orang kakak beradik ini membalas penghormatan orang dan diam-diam merasa heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam! Kini setelah mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, nampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak jangkung, lebih tinggi daripada mereka berdua.
"Siangkoan-twako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?" tanya Thian Sin, tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini.
"Ha-ha-ha!" Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu depan losmen menimpanya. "Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku mempunyai banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya mencari tahu di mana kalian bermalam!"
"Saudara Siangkoan Wi Hong, sesungguhnya keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah datang ke sini dan menanti kami berdua?" Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya memancarkan cahaya yang membuat Siangkoan Wi Hong merasa gugup.
Siangkoan Wi Hong menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis, "Ah, setelah mendengar bahwa kalian tinggal di sini, aku cepat-cepat datang ke sini untuk menawarkan kamar dalam rumahku kepada kalian. Sebagai sahabat-sahabatku yang amat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini. Marilah, ji-wi lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di rumahku selama ji-wi berada di kota raja." Dengan mengembangkan lengannya orang she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan menyenangkan sekali sehingga Thian Sin sudah menoleh ke arah kakaknya dan memandang kakaknya dengan sinar mata penuh persetujuan menerima undangan itu.
Akan tetapi Han Tiong sambil tersenyum berkata dan menjura. "Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini daripada di rumah Siangkoan-loheng, oleh karena itu harap loheng tidak kecewa dan tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih."
Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya dan menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada sang kakak angkat. Diapun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memiliki sinar mata seperti naga itu adalah orang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan diapun menjura.
"Baiklah, kalau ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku sebelum meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orangpun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya rumah kami."
Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura dan berkata, "Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan. Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu."
"Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!" Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu.
Mereka memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, "Orang itu sungguh aneh, dan mencurigakan sekali." kata Han Tiong.
"Aku girang dapat bertemu dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat."
"Tidak, Sin-te. Jangan kaulakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat ini, apalagi kita tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kaukira kita dapat lagi menyimpan rahasia kita? Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita datang dari Lembah Naga, apalagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng..."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Dan dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan!
"Siapa bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, bukan untuk memancing terjadinya keributan, dan kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah kepadaku, bukan?"
Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya "Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kaukita aku sudah gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini."
Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya sudah "tenang" kembali itu, Han Tiong mengajak adiknya tidur. Akan tetapi baru saja mereka akan pulas, pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara itu sudah cukup membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria sambil tertawa-tawa dan tubuh sempoyongan memasuki kamar. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu saling pandang.
"Eh, kenapa begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian menempati kamar kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?"
"Hayo keluar!" kata orang ke dua dan mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan.
"Keparat mabuk!" Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han Tiong.
"Mereka ini mabuk, perlu apa dilayani?" katanya kepada adiknya. Kemudian dia melangkah maju menghadapi dua orang itu. "Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi." Berkata demikian, Han Tiong dengan halus mendorong mereka keluar.
"Apa? Kau hendak memukul?" bentak seorang di antara mereka dan orang itu sudah mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong. Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya. Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong diam saja dan dia melarang Thian Sin yang marah-marah hendak menghajar mereka itu.
Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga. "Tiong-ko, engkau terlalu sabar!" Thian Sin mencela. Orang-orang mabuk kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!
"Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah."
"Tapi mereka memukulmu tadi!"
"Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Kalau aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang mabuk?"
Mereka tidur lagi dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya. Dengan kedua tangan membawa keranjang-keranjang terisi buah macam-macam, mereka berjalan kembali ke losmen.
Ketika mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tidak menyangka-nyangka, biarpun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu terbuka keranjangnya dan buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah!
"He, di mana matamu?" bentak pemuda tinggi besar itu dan dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar berlagak seperti jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota besar. Mereka dengan angkuh lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu.
"Heiii, itu buah-buah kami...!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.
"Harap kaumaafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."
Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.
"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.
"Apa maksudmu Sin-te?"
"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"
Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu berkata, suaranya tenang dan tegas, "Adikku yang baik, engkaupun tahu bahwa justeru seorang pendekar adalah orang yang tidak mudah marah menurutkan perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula."
"Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!" Thian Sin membantah.
"Mereka itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka gila dan kitapun akan menjadi gila pula. Mereka itu adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya, dan sama jahatnya?"
"Tapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!"
Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. "Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita? Kalau semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi tentu keributan akan terjadi setiap hari dan para pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanyalah orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Kalau kita melayani, berarti kita ini malah membantu kekacauan mereka. Sudahlah, anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku."
Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya dan diapun melihat kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sunggub tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang sedemikian remehnya. Justeru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah "masak". Maka hatinyapun menjadi dingin dan tenang kembali.
"Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan ternyata penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamalan hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau terlalu lama berdiam di lempat seperti ini."
"Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita telah berjanji untuk singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong."
Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula diapun tahu bahwa adiknya ini diam-diam amat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu. "Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu telah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja. Dan ternyata sepagi itu, Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya alat ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini merupakan senjata yang amat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.
"Ah, selamat pagi, selamat pagi! Gembira sekali hatiku mendapat kunjungan kalian! Silakan duduk... eh, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah." Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya dan mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.
Siangkoan Wi Hong memesan agar dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata, "Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang dan dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!"
Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak mengira sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!
Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan dan malu-malu ketika para pelayan datang membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam.
Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah daripada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walaupun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati! Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran mengapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai "bunga" pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biarpun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang telah dibacanya Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi seperti juga halnya pelacur yang pernah menemani kongcu ini di rumah makan tempo hari. Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak "alim", padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!
Melihat betapa kikuknya sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana dan dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tidak lagi memperkenankan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.
"Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi ketika engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?" Thian Sin tak dapat menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini. Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini amat gagah perkasa dan juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.
Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.
"Ha-ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang telah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!"
Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak cahaya kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, "Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?"
"Aku memang sengaja memukul anaknya, dan tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!"
"Mengapa loheng menganggap mereka busuk?" Thian Sin mendesak, memandang kagum.
"Tidakkah busuk mereka? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang sombong dan kasar dan sudah biasa dia bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Dan ayahnya... hemm, coba bayangkan, sebagai berpangkat kapten seperti dia mampu membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahunpun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai yang sewenang-wenang, tidakkah pantas mereka itu dihajar?" Kembali Siangkoan Wi Hong tortawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.
"Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris tiga orang itu terbunuh..." Han Tiong berkata mencela halus.
Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. "Saudara Cia Han Tiong tidak mengerti agaknya tentang jiwa pendekar! Pula, andaikata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?"
Han Tiong menunduk dan tidak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, "Maaf kalau saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu."
"Hemm... Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan datang segera!" kata Siangkoan Wi Hong.
Akan tetapi pada saat itu, Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar! Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.
Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, "Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?"
Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, "Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku."
"Apa? Apa maksudmu dengan itu?" Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.
"Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan..."
Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong menyambung, "Bukan dua orang pendekar seperti yang kausangka?"
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"
Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiripun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka diapun mengangguk dan menjawab, "Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat."
"Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!" kata pemuda itu dengan sikap gembira karena betapapun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini. Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruangan tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan-lukisan binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat. Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti batu-batu besar untuk diangkat, karung-karung pasir dan sebagainya.
Di sebelah kiri, dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat tiga orang pemuda itu memasuki ruangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, rambutnya sudah putih sebagian, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.
Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan dua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lalu duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, "Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?"
Yang ditanya mengangguk, tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. "Silakan duduk, Lo-enghiong." Kakek itu nampak tidak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, diapun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiripun lalu duduk menghadapi kakek itu.
"Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?"
Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranyapun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, "Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!"
Siangkoan Wi Hong agaknya memang sudah maklum, maka jawaban itu tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia berkata. "Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak berjumpa dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghlong?"
"Siangkoan-kongcu, harap kongcu tidak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu."
"Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kaumaksudkan, Lo-enghiong?"
Kakek itu semakin tidak sabar nampaknya. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. "Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun dan kongcu telah mencemarkan dia! Pertanggungan jawab apalagi kalau bukan minta agar kongcu mengawininya?"
Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!
Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. "Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapapun..."
"Kongcu hendak menyangkal? Cucuku telah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!" Kakek itu membentak marah.
"Siapa menyangkal?" Dia lalu menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. "Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak manapun, telah memadu kasih. Eh, kini tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia..."
"Siangkoan-kongcu! Aku adalah sebagai tua, tidak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?" Kakek itu bangkit berdiri.
Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah sebagai laki-laki yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan manapun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!"
"Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina seorang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?" Kakek itu membentak.
"Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?"
"Siangkoan Wi Hong! Jangan mengira bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kubormati. Sungguh tidak tahu diri kalau aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera sebagai locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingge dia terjatuh dan kaucemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, akan tetapi untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawa sekalipun! Kalau engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap kalau engkau menolak, biarlah kutebus dengan nyawaku!"
Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek. "Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?"
"Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau sebagai di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah."
"Bagus sekali, memang akupun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh muda itu telah melayang ke tengah ruangan itu dan dia menggapai dengan sikap menantang sekali, "Mari, Kang-thouw-kwi!"
Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, kemudian dengan langkah lebar diapun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata, "Kang-thouw-kwi, kita bertanding sebagai sahabat ataukah sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat."
"Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai sebagai laki-laki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!"
Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. "Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!"
Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali ketika tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu seperti gerakan seekor harimau buas yang menggunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram dan dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang amat kuat! Namun, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.
Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunja pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung. Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.
Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.
"Heiiiiittttt...!" Untuk kesekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya. Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.
"Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?" kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus dan melibat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya. Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan. Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.
Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat kni, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah! Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Mereka dapat menduga pemuda itupun memiliki sin-kang yang amat kuat dan dengan tenaga sin-kang yang memenuhi perut, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kangnya itu tidak jauh lebih kuat daripada tenaga dorongan kepala lawan, banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya.
Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan diapun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan seluruh tenaga karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya makin kencang dan setelah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lalu meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.
Akan tetapi, begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong sudah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas! Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seolah-olah memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Maklum dia akan kelihaian pemuda ini, maka diapun cepat mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apalagi setelah kedua lengannya lumpuh tertotok itu. Akan tetapi, betapapun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya seperti direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil, dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, dia akan tewas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar