09 Pedang Kayu Harum

"Pemuda iblis!!" kim-to lai ban menjadi marah sekali. 'Lepaskan dua orang suteku!" Ia marah dan juga ngeri menyaksikan betapa dua orang sutenya itu kini telah bergantung pada tubuh Keng Hong dengan lemas, wajah mereka pucat separti mayat. Sebetulnya hal ini adalah kesalahan dua orang itu sendiri. Tenaga mujijat yang bergerak di seluruh tubuh Keng Hong adalah tenaga yang hanya mengenal dan menyedot tenaga sinkang dari luar. Andaikata seorang manusia biasa yang tidak pernah berlatih sehingga tenaga sakti dalam tubuh mereka tidak bangkit, membuat mereka itu hanya bertenaga biasa dari otot-otot saja, maka tenaga mujijat di tubuh Keng hong takkan dapat berbuat apa-apa, dan orang yang tidak bersinkang itu tidak akan dapat terlekat dan tersedot. Demikian pula bagi mereka yang memiliki tenaga sakti seperti dua orang Tiat-ciang-pang itu, andaikata mereka tidak mempergunakan tenaga sinkang, tentu mereka akan terlepas dengan sendirinya dari tubuh Keng Hong. Tadi mereka memukul dengan tangan kanan, disusul dengan tangan kiri, mempergunkan Tiat-ciang-kang, pukulan yang sepenuhnya didasari tenaga sinkang, tentu saja mereka terlekat dan tersedot. Setelah demikian, mereka meronta dan mengerahkan tenaga pula untuk berusaha melepaskan diri. Tentu saja usaha pengerahan tenaga ini merupakan "makanan" bagi tenaga mujijat di tubuh Keng Hong yang bekerja sehingga makin hebat mereka berusaha untuk melepaskan diri makin hebat pula mereka tersedot dan melekat terus!

"Aku... aku tidak bisa melepaskan mereka...!" kata Keng Hong gugup. Peristiwa seperti ini terulang kembali dan selalu dia menjadi gugup. Apalagi sekarang bukan hanya dua orangitu yang melekat dan tersedot sinkangnya, juga ada dua orang lain yang tadinya berusaha membantu kawan mereka, kini menempel dan tersedot sinkangnya. Yang menjemukan, dua orang ini menjerit-jerti seperti dua ekor babi disembelih! Ingin Keng Hong melepaskan dari mereka, akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya!

Jawabannya yang memang sesungguhnya itu diterima salah oleh Kim-to Lai Ban, dia menjadi makin marah dan dicabutlah golok emasnya. "Terpaksa aku membunuhmu, pemuda iblis!" serunya dan dia menerjang maju, lalu meloncat ke atas dan berteriak keras menyerang Keng Hong.

Pemuda ini maklum betapa hebat dan berbahayanya serangan Kim-to Lai Ban itu. Maka dia pun mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, membawa empat tubuh yang menempel di sebelah belakang tubuhnya sendiri itu ke udara. Menghadapi serangan golok lawan yang demikian dahsyatnya, yang beruabah menjadi sinar keemasan yang melengkung panjang, Keng Hong sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus In-keng-hong-wi (Awan menggetarkan Angin dan Hujan), yaitu jurus kedelapan atau jurus terakhir, jurus yang paling dahsyat daripada ilmu silatnya, San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Awan Gunung) yang hanya terdiri dari delapan jurus itu. Jurus ini amat sukar dimainkan, namun juga amat hebat gerakannya, karena selagi berada di udara menyambut terjangan lawan yang juga meloncat ke udara itu, kaki kiri Keng Hong bekerja susul menyusul dalam rangkainan yan selain cepat tak terduga, juga amat aneh dalam kerja sama yang rapi sekali. Kedua kakinya sudah susul menyusul melakukan tendangan ke arah pergelangan tangan Kim-to Lai Ban yang memegang golok dan ke arah pusar, sedangkan kedua tangannya susul menyusul pula melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala sedangkan yang kanan mengikuti gerakan golok yang ditarik ke belakang karena tendangannya sedetik yang lalu!

"Hayaaaaa..!!" Selama hidupnya baru sekali ini Kim-to Lai Ban menjadi gugup. Tadinya dia memutar goloknya dan melompat ke atas melakukan serangan dengan jurus yan paling ampuh dari ilmu goloknya. Is harus menyelamatkan dua orang sutenya, maka dia tidak segan-segan lagi menurunkan serangan maut, goloknya membentuk lingkaran dan sasarannya adalah leher lawan, sedangkan tangan kirinya yang terbuka jarinya mencengkeram ke arah lehar Keng Hong.

Akan tetapi, siapa kira, lawannya itu malah meloncat pula dan menyambut serangannya secara terbuka di udara! Tentu saja tubuh mereka bertemu di udara dan dalam beberapa detik ini telah terjadi beberapa gebrakan hebat. Kim-to Lai ban terpaksa menarik goloknya karena pergelangan tangannya yang membacok itu dipapaki tendangan dari bawah, akan tetapi tangan kirinya berhasil "masuk" dan mengcengkeram leher Keng Hong karena dia menang dulu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika jari-jari tangannya yang mengcekeram leher itu seperti mencengkeram daging yang amat lunak dan sekaligus tenaganya tersedot dan tangannya melekat! Sebelum hilang rasa kagetnya, pusarnya terancam tendangan yang cepat dia elakkan, akan tetapi tiba-tiba goloknya terampas oleh tangan Keng Hong dan ubun-ubunnya juga terancam oleh cengkeraman sebelah tangan pemuda luar biasa itu!

"Celaka..!" Lai Ban berseru keras, berusaha membetot tangannya dan pada detik lain, dia mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hong dan hal ini sama sekali tak dapat dielakkan maupun ditangkis oleh pemuda itu! Dalam detik itu, nyawa Lai Ban terancam maut oleh cengkeraman pada ubun-ubunnya sedangkan keselamatan Keng Hong terancam kebutaan oleh dua jari tangan Kim-to Lai Ban.

"Heh-heh-heh, sayang..sayang..!" Terdengar kakek yang duduk nongkrong di atas pohon itu tertawa dan dari tangannya menyambar dua butir buah mentah dari pohon itu. Yang sebutir menyambar siku lengan Lai Ban yang menusuk jari tangannya ke arah mata Keng Hong, adapun yang sebutir lagi melayang ke arah siku lengan Keng Hong yang mencengkeram ke arah ubun-ubun lawannya. Biarpun buah mentah itu tidak keras, namun ternyata tenaga luncur dan tenaga totokannya dahsyat sekali sehingga tiba-tiba kedua lengan yang tertotok buah-buah entah itu menjadi lumpuh dan kedua orang itu meloncat turun ke bawah. Untung bagi Lai Ban bahwa ketika dia tertotok oleh buah mentah yang melayang tadi, kelupuhannya membuat dia terlepas dari tenaga mujijat keng Hong yang menyedot dan menempelnya sehingga dia dapat meloncat ke bawah. Ia terkejut bukan main dan hanya dapat memandang kepada Keng hong dengan mata terbelalak dan mulutnya menggumamkan bisiskan, "Iblis....!" kemudian dia terbelalak kaget ketika tubuh dua orang sutenya dan doa orang anak buahnya, mereka berempat yang tadi melekat di belakang Keng Hong seperti lintah, kini telah menggeletak tak bernyawa lagi! Kiranya tadi karena terlalu lama mereka tersedot sinkangnya dan mereka sama sekali tidak berdaya, hawa sakti tubuh mereka tersedot sampai habis sama sekali sehingga mereka dengan sendirinya terlepas dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Melihat ini, Kim-to Lai Ban menjadi makin marah dan selagi dia bersiap untuk mengerahkan anak buahnya yang saat banyak dan mengeroyok mati-matian untuk menebus kematian dua orang sutenya, tiba-tiba Keng Hong meloncat pergi, melempar golok rampasannya ke atas tanah sambil berseru.

"Locianpwe, tunggu dulu.....!"

Ketika Lai Ban memandang teliti kiranya pemuda iblis itu telah lari mengejar kakek bongkok yang juga sudah melarikan diri amat cepatnya. Kim-to lai Ban menggeget giginya sabil memandang jauh ke depan sampai dua bayangan itu lenyap, kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas dengan penuh duka. Sungguh tak dia sangka bahwa hari ini nama besarnya, juga nama besar Tiat-ciang-pang akan hancur hanya oleh seorang bocah yang tak ternama! Dengan hati penuh penasaran dan dendam terhadap Keng Hong, Kim -to Lai Ban lalu menyuruh anak buahnya mengangkut empat jenazah itu dan membawa pergi dari tempat itu. Dia maklum bahwa mengejar pemuda itu takkan ada gunanya. Sudah dia saksikan betapa ilmu lari cepat peuda itu amat hebatnya ketika mengejar si kakek bongkok, seperti terbang saja. Dan ilmu kepandaiannya pun mujijat. Belum lagi diingat kakek bongkok itu yangjuga memiliki kesaktian. Biarlah, untuk sekali ini Tiat-ciang-pang boleh mengaku kalah, akan tetapi urusan ini takkan habis sampai disitu saja! Pada suatu saat, dendam ini harus terbalas! Demikianlah tekad hati Lai Ban sambil mengiring jenazah ke empat orang kawan, atau lebih tepat, dua orang sute dan dua orang anak buah itu kembali ke pusat Tiat-ciang-pang yang berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Bayangkara.

***

Kakek kecil pendek yang bongkok itu ternyata dapat lari cepat sekali. Tadinya kakek itu menggunakan ilmu berlari cepat secara melompat-lompat sepert katak, sekali melompat ada sepuluh meter jauhnya dan begitu kakinya tiba di atas tanah terus melompat lagi ke depan. Akan tetapi Keng Hong yang oleh mendiang gurunya di gembleng terutama sekali untuk tenaga dan kecepatan, dapat bergerak lebih cepat lagi. Tubuh pemuda yang kini terlalu penuh dengan hawa sinkang "rampasan" dari orang-orang Tiat-ciang-pang tadi, ringan seperti sebuah balon karet penuh hawa, maka dia dapat berlari cepat dan ringan sekali mengejar, makin lama makin dekat sambil berteriak.

"Locianpwe, tunggu dulu...!" Mendengar ini, kakek itu berlari makin cepat lagi.

"Heiii, Locianpwe yang bongkok, tunggu...!" Suara Keng Hong makin keras dan ketika kakek itu menoleh dan melihat betapa pemuda itu mengejarnya dengan cara yang sama, yaitu melompat-lompat seperti katak, akan tetapi dengan lompatan yang lebih jauh daripada lompatannya, dia kaget sekali dan cepat mengubah caranya berlari. Kini dia tidak berlompatan lagi, melainkan berlari dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga kedua kakinya itu lenyap bentuknya dan tampak seperti kitiran berputar sehingga kelihatannya seperti roda. Langkah-langkahnya pendek-pendek, sesuai dengan kedua kakinya yang pendek-pendek, namun gerakannya cepat sekali sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti seekor kuda membalap.

"Heh-heh-heh, tak mungkin kau dapat mengejarku lagi, bocah bandel!" Kakek itu terkekeh dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari secepat mungkin. Beberapa lamanya kakek itu berlari sampai dia merasa yakin bahwa pemuda itu kini tentu telah tertinggal jauh dan kalau dia teruskan, napasnya mungkin akan putus meninggalkan tubuhnya yang sudah amat tua. Selagi dia hendak memperlambat larinya, tiba-tiba dekat sekali di belakangnya terdengar teriakan Keng Hong.

"Heiii, Locianpwe, mengapa melarikan diri? Saya hendak bicara..!"

Kakek bongkok itu menengok dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa kini pemuda itu pun berlari cepat seperti dia, cepat sekali seperti terbang melayang saja. Karena merasa bahwa lari pun tidak ada gunanya, kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh menanti sampai Keng Hong tiba di depannya. Pemuda itu masih merah sekali mukanya, sampai matanya pun masih merah sebagai akibat daripada kebanjiran sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia sudah tenang karena tadi kelebihan hawa sakti itu telah banyak dia pergunakan untuk melakukan pengejaran terhadap kakek yang amat cepat larinya itu, dan di sepanjang jalan Keng Hong menggunakan tangannya mendorong roboh beberapa batang pohon besar.

"Ehhh, bocah yang keji seperti setan. Apakah engkau masih belum kenyang, mengejarku untuk menyedot habis sinkangku dengan ilmu sesatmu Thi-khi-i-beng?" Ia bertanya sambil memandang tajam. "Seekor lintah hanya menyedot darah sampai kenyang baru puas, akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai empat orang mati masih belum puas, sungguh jauh lebih keji daripada seekor lintah!"

Keng Hong mengerutkan alisnya dengan hati risau. "Locianpwe, benarkah ada itu ilmu yang dinamai Thi-khi-I-beng? Apakah benar tenaga menyedot yang keluar dari tubuhku itu tadi Ilmu Thi-khi-I-beng?"

Kakek itu membusungkan dada menegakkan kepala dan memandang Keng Hong dari bawah dengan sikap seorang guru memandang muridnya, kemudian dia menunjuk hidung sendiri sambil berkata.

"Aku Siauw-bin kuncu (Budiman Berwajah Rahmah) selamanya tidak suka membohong. Seorang kuncu (budiman) tidak akan membohong! Terang bahwa kau tadi menggunakan ilmu menyedot sinkang lawan, apalagi namanya kalau bukan Thi-khi-I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari permukaan bumi dan dibawa lari untuk dijadikan ilmu para iblis dan setan? Akan tetapi sekarang ternyata kau memilikinya. Hih, sungguh mengerikan, sungguh keji menakutkan!" Setelah berkata demikian, dia bergidik dan mengangkat guci araknya, terus dituangkan isi guci ke dalam mulutnya sambil terdengar bunyi menggelogok. Kemudian dia menutup mulut guci, mukanya menjadi merah dan wajahnya tertawa-tawa lagi. "Heh-heh-heh, seteguk arak mengusir semua kerisauan hati! Biarpun engkau memiliki ilmu iblis, tentu takkan kau pergunakan untuk menyedot hawa dari tubuhku, bukan?"

Keng Hong menggeleng kepalanya. "Locianpwe telah menolong saya, telah menyelamatkan nyawa saya dengan sambitan tadi, mengapa saya hendak menganggu locianpwe yang budiman? Tidak sama sekali, saya mengejar locianpwe untuk menghaturkan terima kasaih atau pertolongan itu dan .."

"Tidak ada tolong menolong! Siapa suka menolong orang yang semuda ini telah memiliki ilmu begitu keji sehingga tidak segan-segan membunuh orang? Seekor lintah menyedot darah hanya secukupnya saja, setelah kenyang melepaskan diri. Akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai orang-orang itu mati. Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya tidak suka melihat pembunuhan-pebunuhan."

"Ah, akan tetapi saya tidak sengaja membunuh mereka, Locianpwe..."

"Bohong! Ingat, tidak baik membohong dan aku, Siauw-bin Kuncu selamanya tidak sudi membohong! Kebohongan itu berantai, sekali berbohong engkau harus selalu membohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang terdahulu."

Keng Hong menahan senyumnya, "Saya tidak perlu berpura-pura, Locianpwe. Sekali waktu, kalau perlu saya akan membohong. Saya tidak pernah mempunyai niat di hati untuk membunuh siapapun juga. Dan ilmu Thi-khi-i-beng yang Locianpwe sebut-sebut itu sama sekali saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajarinya. Tenaga sedotan yang berada di tubuh saya ini bukan saya pelihara dan bergerak di luar kesadaran saya."

"Eh, eh, eh, mengapa begitu? Aku melihat engkau seorang bocah yang baik, maka aku condong memihakmu ketika engkau ribut-ribut dengan orang-orang Tiat-ciang-pang. Akan tetapi aku kecewa melihat engkau mempergunakan ilmu yang sesat itu. Dan sekarang kau mengatakan tidak sadar akan ilmu itu? sungguh luar biasa... ."

"Sudahlah, Locianpwe. Sesungguhnya selain hendak menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe, saya hendak mohon penjelasan, hendak bicara dengan Locianpwe.."

"Hemmm, boleh. Bicara tentang apa?"

"Tentang air! "

Kakek itu melongo. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi karena terbuka lebar kelihatan lucu, matanya terbelalak, tangan kirinya perlahan-lahan diangkat ke atas dan menggaruk-garuk bagian atas kepalanya yang botak kelimis.

"Eh, orang muda, apakah kau gila?" tanyanya, pertanyaan yang sungguh-sungguh dengan wajah serius, bukan main-main atau memaki.

Timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Pemuda ini memang memiliki dasar watak gembira, maka biarpun kelihatannya pendiam, setiap kali bertemu dengan orag yang bersikap riang dan lucu,tentu dia akan mudah terbawa riang pula.kakek ini selain aneh, lihai, juga amat lucu dan gembira. Melihat sikap sungguh-sungguh ketika kakek yang nama julukannya saja sudah aneh itu bertanya apakah dia gila, Keng Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan dia tertawa bergelak, membuat kakek itu makin curiga, makin keras mengira bahwa pemuda ini benar-benar telah gila!

"Tidak, Locianpwe. Aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila," jawab Keng Hong.

"Yang kumaksudkan dengan air adalah kalimat yang Lociapwe berikan kepada saya sebagai nasihat menghadapi orang-orang Tiat-ciang-pang. Kalimat yang amat menarik hati saya dan yang ingin sekali saya tanyakan kepada locianpwe tentang artinya."

"Kalimat apa?"

"Yang seperti bunyi ujar-ujar kuno yang suci, mengenai air." Keng Hong sengaja memancing.

"Sangat banyaknya ujar-ujar suci yang membawa-bawa air sebagai wejangan. Yang mana yang kaumaksudkan? Nasihat apa yang kuberikan tadi? Aku sudah tidak ingat lagi. Pertanyaan-pertanyaanmu aneh dan membikin aku bingung. Eh, benar-benarkah engkau tidak miring otak, ya?"

"Tidak, Locianpwe. Kalau locianpwe lupa, biarlah saya mengulang kalimat yang locianpwe ucapkan tadi. Begini bunyinya : Kebijaksanaan tertinggi seperti air."

"Heh-heh-heh! Betul sekali! Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Lengkapnya begini :

Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang member manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah yang tak disukai orang karena itu, sifatnya berdekatan dengan Too.."

"Eh bukankah itu ayat di kitab Too-tik-khing bagian ke delapan?" Keng Hong berseru girang dan heran.

Sebaliknya, kakek bongkok itu memandang Keng Hong dengan mata beerseri, "Hayaaaaa. Engkau ini benar-benar bocah yang kukoai (aneh) sekali! Mengerti dan hafal pula ayat-ayat di kitab Too-tik-khing?"

"Tentu saja hafal karena saya sudah berkali-kali menghafalnya, Locianpwe. Tadi saya lupa dan ... ah, hal ini tidak perlu. Yang penting sekarang apakah Locianpwe mengenal pula kalimat yang berbunyi seperti ini : Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan."

"Kaumaksudkan tulus dan sungguh mengabdi kebajikan seperti air keluar dari sumbernya? Dan sewajarnya seperti munculnya matahari dan bulan atau sewajarnya seperti empat musim yang datang bergantian? Ujar-ujar itu lengkapnya berbunyi begini : Phouw Phek Yan Coan, Ji Si Chut Ci."

"Wah, itu adalah ujar-ujar pasal tiga puluh satu ayat dua dari kitab Tiongyeng!" kembali Keng Hong berseru hirang sekali karena mengenal ujar-ujar itu yang pernah dihafal seluruh isi kitabnya di luar kepala.

Sekali lagi kakek bongkok itu bengong dan kagum. "Kau juga pandai ujar-ujar Nabi Khongcu? Wah, bocah apakah engkau ini? Kalau gila terang belum! Akan tetapi, engkau menguasai ilmu sesat Thi-khi-I-beng, ginkangmu luar biasa sekali dapat menandingi aku, sinkangmu menakjubkan, dan engkau hafal akan kitab-kitab Too-tik-khing dan Tiong-yong! siapakah sesungguhnya engkau ini bocah aneh?"

Akan tetapi Keng Hong yang sudah mengenal dua di antara tiga baris kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam, menjadi begitu girang sehingga dia tidak mempedulikan lagi pertanyaan kakek itu, melainkan cepat dan menahan napas ketika dia berkata lagi.

"Satu lagi, Locianpwe. Satu lagi mohon bantuanmu. Dengarkanlah kalimat ini : Tukang saluran mengalirkan airnya kemana dia suka"

Tiba-tiba sikap kakek itu berubah. Dia selamanya tidak bisa marah, akan tetapi sekarang berpura-pura marah, atau memasang muka seperti orang marah. Betapapun juga, karena mukanya itu muka lucu, memasang muka marah tidak kelihatan menyeramkan atau menakutkan, malah menggelikan!

"Bocah sombong! Apakah engkau hendak menantang aku? Apakah enkau tidak percaya akan julukanku Siauw-bin-Kuncu? Aku berjuluk Kuncu, tentu saja aku seorang bijaksana yang sudah mengenal seluruh ayat di permukaan bumi ini! Apakah engkau sengaja hendak mengujiku? Sekaligus kau mengeluarkan tiga ayat dari tiga macam agama, apa kau kira aku berjuluk kuncu hanya untuk main-main dan palsu belaka? Kalau memang kau hendak menantangku berdebat tentang filsafat agama-agama di dunia ini, bilang saja terus terang, dan akan kulayani sampai engkau keok!"

Keng Hong menahan kegelian hatinya, ia maklum bahwa kakek ini seorang tokoh yang amat aneh dan agaknya memang seorang ahli kitab-kitab suci. Kalau dipaksa dan dibujuk, biar dia menyembah-menyembahnya tentu takkan sudi memenuhi permintaannya, maka jalan satu-satunya hanya menantangnya!

"Ha-ha-ha, kusangka tadinya julukanmu hanya kosong belaka, siapa kira ternyata lebih kosong daripada yang kosong!" kata Keng Hong untuk memanaskan hati kakek itu. "Memang aku menantangmu berdebat tentang filsafat. Kalimat terakhir tadi tentu tidak kau kenal, maka engkau mencari-cari alasan, kakek bongkok!"

Anehnya kakek itu tidak marah malah tertawa-tawa. "Heh-heh-heh, engkau memujiku terlalu tinggi, orang muda. Siapa namamu tadi? Cia Keng Hong? Ah, aku mulai suka kembali kepadamu. Di dalam to-kauw terdapat paham bahwa yang kosong itu lebih berguna daripada yang isi, maka kau menyebut aku lebih kosong daripada yang kosong. Pujian apa lagi yang lebih hebat daripada ini?"

Celaka, pikir Keng Hong. Kakek ini benar angin-anginan dan mencampuradukkan isi filsafat dengan ucapan-ucapan biasa. Akan tetapi dia tidak kekurangan akal. "Locianpwe, ada maksud saya dengan menjajarkan tiga ayat itu, karena dua ayat terdahulu sudah dapat Locianpwe tebak, harap tidak berlaku kepalang dan suka mengenal ayat terakhir tadi. Saya ulangi lagi. Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka."

Kakek itu tertawa lalu bersenandung, "Tukang-tukang pembuat saluran air mengalirkan airnya ke mana mereka suka; para pembuat panah meluruskan anak panahnya; tukang kayu melengkungkan sebatang kayu; para bijaksana mengendalikan diri pribadi!".

Keng Hong meloncat dan berjingkrak-jingkrak saking senangnya. "Ha-ha-ha! Itulah ayat ke delapan puluh dari kitab Jalan Suci Kebajikan (Dharmapada).!"

Kakek itu melangkah dekat dan menantang, "Tak perlu mengejek! Kalau engkau memang seorang ahli dalam filsafat dari isi kitab suci dari tiga agama, mari berdebat dengan aku. Kalau aku kalah, aku akan membuang julukan Kuncu dan akan mengaku engkau sebagai guru!"

Keng Hong yang tadinya menari-nari kegirangan karena merasa dapat memecahkan arti tiga baris kalimat yang terukir di atas pedang Siang-bhok-kiam, tiba-tiba berdiam dan mengasah otaknya. Kalau sudah mengenal, lalu bagaimana lanjutannya? Bagaimana artinya yang berhubungan dengan rahasia penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya? Ia mendapat akal dan ingin mempergunakan perngertian yang mendalam dari kakek yang berjuluk Siauw-bin Kuncu itu untuk mencoba membongkar rahasia yang tersembunyi di balik tiga baris kalimat itu.

"Baiklah, Locianpwe. Akan tetapi karena Locianpwe yang menantang, harap Locianpwe yang lebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang sulit-sulit. Kalau Locianpwe tidak dapat menjawab berarti Locianpwe kalah satu angka. Nanti kita saling perhitungkan, siapa yang mendapat angka terbanyak dia menang."

"Akur! Dapat menjawab mendapat satu angka, aku dapat menjawab dipotong satu angka. Majukan pertanyaanmu, bocah yang menyenangkan hati!"

"Pertanyaan pertama. Apakah bedanya antara ketiga pelajaran yang Locianpwe sebutkan tadi, yaitu mengenai kalimat-kalimatnya yang saya sebutkan. Untuk jelasnya, apa bedanya antara tiga kalimat ini. Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!"

"Heh-heh-heh, pertanyaan kanak-kanak. Amat mudahnya, lebih baik kau tanyakan yang lain dan yang lebih sulit. Baiklah kujawab. Ketiganya tidak ada perbedaannya dan ketiganya mengandung nasihat agar manusia meniru sifat air yang amat bijaksana. Mengapa air disebut bijaksana dalam ayat-ayat suci itu? Pertama karena air bergerak secara wajar, tidak memaksa sesuatu tidak menentang sesuatu, menurut sifat alam, keluar dari sumbernya dan mengalir menuju ke tempat rendah, menyerahkan diri untuk segala macam benda yang membutuhkannya dan memanfaatkannya, tanpa pamrih, dan selalu menempatkan diri di tempat yang paling rendah. Itulah inti pelajaran itu dan ketiganya menggunakan sifat air sebagai contoh."

"Tepat sekali, Locianpwe dan biarlah untuk jawaban ini Locianpwe mendapatkan angka satu. Sekarang pertanyaan kedua. Ada hubungan apakah antara ketiga ayat itu?"

Kakek itu mengernyitkan alisnya. Pertanyaan ini sulit sekali karena tidak mengandung maksud pemecahan filsafat, lebih condong kepada pertanyaan teka-teki. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena kalau dia tidak dapat menjawab berarti dia kehilangan nilai satu angka! Memang Keng Hong sengaja mengajukan pertanyaan ini untuk memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam. Ia maklum bahwa tiga kalimat di pedang itu diambil dari tiga bagian ayat Too-tik-khing, Tiong-yong dan Dharmapada, dan jika di dalam kalimat-kalimat itu terdapat rahasia yang sifatnya filsafat, maka sudah tentu akan dapat dipecahkan oleh kakek bongkok yang ternyata seorang ahli dalam segala macam agama. Kalau kakek bongkok ini tidak mampu memecahkannya, apalagi dia yang dahulu hanya menghafal saja segala kitab itu, belum dapat menyelami maknanya yang amat dalam. Kalau tidak memiliki maksud tersembunyi yang dalam, juga akan dapat dia pelajari dari jawaban kakek itu.

"Hubungannya hanya penggunaan air sebagai contoh nasihat. Tidak ada hubungan apa-apa lagi kecuali persamaan yang menyebut air itu. Kalau dipaksakan hubungannya, tiada lain hanya air dan memang oleh air, seluruh dunia ini dipersatukan dan jika mengingat akan air, tidak ada lagi yang terpisah-pisah, segala sesuatu di dunia ini sambung-menyambung dan sesungguhnya hanya satu, seperti air samudera, biarpun terdiri dari titik-titik air, namun tak dapat dibedakan karena merupakan kesatuan yang tiada bedanya."

Keng Hong menganguk-angguk, akan tetapi sesungguhnya di dalam hatinya dia menjadi bingung. Agaknya, ketika menuliskan kalimat-kalimat itu, gurunya maksudkan AIR! Akan tetapi, apa artinya air yang hendak ditunjukkan gurunya itu? Air di puncak Kiam-kok-san? Apa maksudnya? Air selalu mengalir ke tempat rendah! Dan di puncak itu ada sebuah kolam kecil yang menampung semua air yang jatuh dari langit, baik air hujan maupun air dari embun dan dari kolam ini, air mengalir ke bawah seperti sebuah sungai kecil, hanya dua kaki lebarnya, terus ke bawah melalui celah-celah batu karang.

"Bagus sekali jawabanmu, Locianpwe. Biarlah aku kalah dua nilai. Sekarang pertanyaan ketiga. Kalau ada orang menuliskan tiga buah kalimat tadi bersambung, dengan niat untuk memberitahukan sesuatu yang rahasia, yaitu hendak menunjukkan sesuatu tempat rahasia, apakah maksudnya?"

Mata kakek itu terbelalak. "Eh, orang muda. Benar-benarkah engkau tidak gila?"

Keng Hong tersenyum lebar, "Masih belum, Locianpwe. Kalau kelak sudah gila, akan kuberi tahu kepada Locianpwe. Sekarang aku belum gila!"

"Kita berdebat tentang filsafat, akan tetapi kau selalu mengajukan pertanyaan seperti anak-anak penggembala kerbau bermain teka-teki! Aku tidak sudi menjawab kalau kau hendak mempermainkan aku orang tua!"

"Ah, sungguh mati saya tidak mempermainkan Locianpwe. Pertanyaan saya ini amatlah penting bagi saya. Percayalah, Locianpwe, hanya satu pertanyaan itu lagi saja. Setelah itu, saya akan bertanya kepada Locianpwe tentang filsafat yang amat tinggi dan yang belum tentu bisa dijawab oleh dewa sekalipun, yaitu tentang mati dan hidup dan isinya!"

"Bagus! Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang seharusnya kudengar! Hayo lekas ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mati atau hidup itu."

"Nanti dulu Locianpwe. Saya minta Locianpwe menjawab lebih dulu pertanyaan saya tadi. Apa kira-kira yang dimaksudkan oleh orang yang merangkai tiga kalimat itu untuk menunjukkan sebuah tempat rahasia?"

Kakek itu meraba-raba dagunya, kemudian menggaruk-garuk botaknya. "Hemmm, kau keras kepala. Akan tetapi agaknya orang yang meninggalkan tanda seperti itu adalah seorang yang suka bergurau, seorang yang merasa kesepian sehingga melihat air pun lalu timbul pikiran yang bukan-bukan untuk mempermainkan orang lain. Tentu dia maksudkan air yang mengalir. Mungkin tempat yang dia rahasiakan itu dapat dicari menurutkan air yang mengalir ke bawah. Dan karena dalam kalimat itu tidak terdapat angka-angka, maka mungkin sekali angka-angka sebagai ukuran tempat itu diambil dari nomor-nomor ayat dan bagian dari ketiga ayat suci itu. Kebijaksanaan tertinggi seperti air, terdapat dalam Too-tik-khing bagian ke delapan. Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan adalah sifat-sifat kuncu seperti dinasihatkan dalam kitab Tiong-yong bagian tiga puluh satu ayat dua, adapun yang terakhir tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka terdapat dalam kitab Dhammapada pasal enam ayat delapan puluh. Kalau diambil angka-angka dalam ketiga ujar-ujar itu, maka terdapat angka delapan, tiga puluh satu, dua, enam,dan delapan puluh. Jika dijumlahkan, menjadi seratus dua puluh tujuh. Mungkin itulah rahasianya, tempatnya mengikuti aliran air, dan jumlah ukurannya seratus dua puluh tujuh!"

Keng Hong hampir berjingkrak-jingkrak dan menari-nari lagi. Itulah agaknya! Tidak ada lain tafsiran dan perhitungan lagi. Itu tentu yang dimaksudkan mendiang suhunya. Rahasia Siang-bhok-kiam! Rahasia tempat penyimpanan pusaka! Rahasia tiga baris kalimat di Pedang Kayu Harum itu!

"Terima kasih, Locianpwe. Sungguh budi Locianpwe amat besar bagi saya!" Setelah berkata demikian, Keng Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Eh, eh, eh, nanti dulu, orang muda! Seeokor kerbau diikat hidungnya,akan tetapi seorang manusia yang diikat mulutnya yang sudaah berjanji! Engkau tadi berjanji akan mengajukan pertanyaan tentang mati atau hidup. Hayo penuhi janjimu lebih dulu, kemudian aku yang akan balas mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

Dalam kegembiraannya, Keng Hong tadi hampir lupa akan janjinya, maka sambil tertawa dia lalu berhenti dan menghadapi kakek itu lagi. Ia mengerutkan alisnya, berpikir dan mengingat-ingat. Banyak filsafat hidup yang dia ketahui, dan di dalam kesempatan itu, dia akan mengajukan pertanyaan yang dia sendiri belum dapat menjawabnya dan yang jawaban kakek itu akan dapat menambah pengertiannya tentang hidup dan mati.

"Pertanyaan pertama, Locianpwe. Untuk apa manusia hidup harus melakukan kebajikan?"

"Heh-heh-heh, baru pertanyaanmu itu saja sudah tidak tepat, orang muda. Pertanyaanmu itu menyatakan bahwa seolah-olah kebajikan harus dilakukan UNTUK sesuatu. Padahal, sesuatu yang dilakukan dengan parih, bukanlah kebajikan lagi namanya. Seharusnya pertanyaan itu berbunyi: Mengapa manusia hidup harus melakukan kebajikan? Nah, untuk pertanyaan ini kujawab begini dan dengarlah baik-baik karena setiap orang manusia perlu mengetahui dan sadar akan hal ini."

Keng Hong mengangguk-angguk dan mendengarkan penuh perhatian.

"Kebajikan merupakan kewajiban manusia hidup karena hidup itu sesuai dan selaras dengan alam, maka untuk menyesuaikan diri dengan alam yang memberi manfaat pada setiap benda, manusia pun harus memnafaatkan diri sebagai sebagian daripada alam. Adapun pemanfaatan diri inilah yang mengharuskan manusia berkewajiban untuk mengisi hidupnya dengan kebajikan. Kebajikan berarti segala perbuatan baik yang ditujukan kepada orang lain atau sesama hidup. Perbuatan baik dalam arti kata berbuat demi keuntungan dan kesenangan orang lain. Karena itu harus tanpa pamrih karena dengan begitu barulah kebajikan ini wajar, seperti alam sendiri yang memberi tanpa meminta, tanpa pamrih. Kebajikan yang dilakukan dengan pamrih berarti palsu, hanya merupakan kedok untuk menutupi nafsu sendiri. Contohnya, kalau engkau menolong seseorang dengan pamrih rahasia dalam hati sendiri yaitu agar supaya engkau memperoleh pujian, maka perbuatanmu menolong itu sesungguhnya bukanlah kebajikan karena dasarnya bukan untuk menolong melainkan melakukan daya upaya agar memperoleh pujian! Andaikata di sana tidak ada harapan untuk memperoleh pujian, tentu saja engkau takkan suka melakukan perbuatan itu. Kebajikan sejati yang tanpa pamrih, adlah kebajikan yang dilakukan dengan kesadarnn bahwa itu adalah sebuah kewajiban mutlak dalam hidup. Kalau manusia sudah membiasakan diri meletakkan kebjaikan sebagai kewajiban hidup, maka pamrihnya akan lenyap karena perbuatan itu tidak dianggapnya baik atau buruk lagi, melainkan pelaksanaan tugas kewajiban hidup. Dan sebagaimana biasa, setiap kewajiban jika dilakukan dengan baik, akan mendatangkan rasa lega di hati dan lapang di dada."

Keng Hong mengangguk-angguk. Banyak sudah dia membaca uraian tentang kebajikan yang harus dilaksanakan manusia hidup di dunia ini, ada yang muluk-muluk uraiannya, ada yang berbelit-belit. Uraian kakek ini sederhana sekali dan gamblang, mudah dimengerti dan juga mudah diterima oleh akal. Benda apakah yang tidak ada guna atau manfaatnya di dunia ini? Semua ada manfaatnya bagi makhluk lain, memberi, memberi dan memberi tanpa pamrih. Buah-buahan pada pohon, bunga-bunga indah, tanah dan air, angin dan hujan, matahari dan bulan, binatang-binatang. Manusia berakal budi, masa kalah oleh yang lain dalam mengusahakan agar dirinya bermanfaat bagi dunia dan isinya? Tentu saja manfaat yang ditimbulkan oleh perbuatan yang berguna dan menguntungkan sesamanya. Tidak melakukan kebajikan berarti sudah mengabaikan kewajiban hidup, apalagi melakukan hal yang menjadi lawannya, yaitu kejahatan!

"Bagus sekali uraian Locianpwe dan sudah membuka mata dan pikiran saya. Sekarang pertanyaan terakhir, Locianpwe. Bagaimanakah sikap manusia selagi hidup dan apa yang harus dilakukan sesudah mati?"

Kakek itu terkekeh. "Ha-ha-ha, jangan engkau memasukkan dirimu ke dalam kelopok mereka yang merasa ngeri menghadapi kematian, orang muda. Patut dikasihani mereka itu yang takut menghadapi pengalaman yang belum pernah dialaminya itu, ketakutan karena bayangan-bayangan sendiri. Aku lebih condong kepada pelajaran Nabi Khong-cu yang mengingatkan murid-muridnya mengapa ingin mengetahui tentang kematian sedangkan tentang hidupnya sendiri saja belum tahu artinya dan belum dapat mengisinya dengan sempurna? Seperti lahir bukan kehendak manusia, matipun bukan kehendak manusia, oleh karena itu lebih baik tentang kematian kita serahkan saja pada Pengurusnya karena itu bukanlah urusan atau wewenang manusia yang masih hidup. Yang terpenting sekarang adalah mengisi hidup, memepelajari tentang soal perikehidupan dan lika-likunya, seluk-beluknya karena kita adalah manusia hidup selaras dan sesuai dengan kehendak ala, kita harus dapat MENYESUAIKAN DIRI dengan apa yang ada disekeliling kita. Menyesuaikan diri terhadap manusia lain yang kita hadapi. Menyesuaikan kedalam lingkungan masyarakat dimana kita tinggal. Menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan menyesuaikan diri berarti tidak menentang karena hanya pertentangan yang akan menimbulkan keretakan dan kehancuran. Penyesuaian diri tentu akan menimbulkan kerukunan, kecocokan dan dalam keadaan seperti ini, akan lebih mudah memanfaatkaan diri seperti yang telah kusinggung-singgung tadi tentang kewajiban manusia untuk mengisi hidup dengan kebajikan."

Keng hong yang hatinya masih diliputi ketegangan dan kegembiraan karena marasa dapat memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam, menganggap sudah cukup mengobrol tentang hal yang amat tinggi dan sukar itu, maka ia cepat menjura dengan hormat dan berkata.

"Locianpwe, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua wejangan Locianpwe yang amat berharga baagi saya. Harap Locianpwe maafkan bahwa saya tidak dapat melayani Locianpwe lebih lama lagi."

"Eh-eh-eh, nanti dulu, orang muda. Engkau sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semua sudah kujawab. Sekarang tiba giliranku untuk bertanya tentang.."

"Saya mengaku kalah, Locianpwe. Memang Locianpwe hebat sekali dalam soal filsafat dan saya patut menjadi murid Locianpwe, bagaimana saya berani berdebat dengan Locianpwe? Sudahlah, saya mengaku kalah dan kelak kalau kita ada kesempatan bertemu lagi, tentu saya akan menyediakan lebih banyak waktu untuk mendengarkan wejangan-wejangan Locianpwe yang amat berharga. Selamat tinggal!" Keng Hong tidak memberi kesempatan lagi kepada kakek itu untuk membantah karena dia sudah cepat berkelebat melarikan diri sambil mengerahkan tenaganya. Ia mendengar kakek itu memanggil-manggil, namun dia tidak peduli dan berlari terus secepatnya. Dia kagum akan pengetahuan kakek itu tentang kitab-kitab suci dan ayat-ayatnya, kagum akan pandangan kakek itu tentang hidup. Akan tetapi dia merasa sangsi apakah kakek itu sudah dapat mengetrapkan semua teori dalam praktek, apakah kakek itu sudah dapat menyesuaikan tiga serangkai yang tak boleh dipisah-pisahkan dalam ilmu kebatinan, yaitu sesuainya hati, kata, perbuatan. Dia belum pernah menyaksikan sepak terjang kakek itu, akan tetapi orang telah berani memakai julukan Kuncu (Budiman Bijaksana) sungguh amat meragukan!

Akan tetapi setelah berlari jauh dan tidak melihat kakek itu mengejarnya, Keng Hong sudah melupakan lagi kakek itu. Pikirannya penuh dengan pemecahan rahasia Siang-bhok-kiam. Semenjak turun dari Kiam-kok-san, dia selalu bertemu dengan peristiwa-peristiwa hebat, bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan beberapa kali terancam bahaya maut. Memang benar seperti pesan suhunya, kepandaiannya sendiri masih jauh daripada mencukupi untuk melindungi dirinya terhadap ancaman orang-orang sakti di dunai kang-ouw yang selalu membayanginya, yang amat tamak hendak merampas pusaka yang tersembunyi di balik rahasia Siang-bhok-kiam. Dia kini sudah dapat membuka rahasia itu. Dia harus kembali ke Kiam-kok-san mencari pusaka suhunya dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu gurunya. Setelah kepandaiannya cukup, mewarisi ilmu-ilmu gurunya, baru dia akan turun dari Kiam-kok-san dan dia akan dapat menghadapi lawan manapun juga dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, seperti sikap gurunya ketika menghadapi begitu banyak lawan.

Dari pegunungan Bayangkara, Keng Hong terus lari ke barat dan beberapa hari kemudian dia telah memasuki daerah Pegunungan Kun-lun-san. Sesungguhpun Kun-lun-san dianggap sebagai pusat atau markas besar para tosu Kun-lun-pai, akan tetapi hal ini sebetulnya hanyalah anggapan dunia kang-ouw saja. Kun-lun-san adalah daerah pegunungan yang amat luas dan besar, sedangkan Kun-lun-pai hanyalah sebuah partai persilatan yang dibentuk oleh sekelompok tosu yang kemudian berkembang biak dengan murid-murid mereka, juga akhir-akhir ini kesemuanya tosu belaka. Biarpun jumlah mereka banyak, dan yang berdiam di puncak Kun-lun tidak kurang dari dua ratus orang, namun jumlah yang sedemikian itu tidak ada artinya bagi Pegunungan Kun-lun-san yang amat luas itu. Di sepanjang kaki Pegunungan Kun-lun-san, juga di lereng-lereng, terdapat pedusunan dan di bagian-bagian yang sunyi terdapat banyak pula pertapa-pertapa yang menyembunyikan diri. Hanya karena mereka ini memang bersembunyi di tempat sunyi untuk bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, maka fihak Kun-lun-pai juga tidak pernah mau menganggap mereka. Bahkan para tosu Kun-lun-pai itu sering kali turun tangan membantu para penduduk dusun-dusun di situ. Karena pengaruh Kun-lun-pai pula maka tidak seorang pun perampok berani mengacau di daerah Kun-lun-san.

Keng Hong terpaksa menghentikan perjalanannya dalam sebuah hutan ketika malam tiba. Ia merasa amat lelah karena selama beberapa hari melakukan perjalanan terus-menerus dan hanya berhenti kalau malam tiba. Makannya tidak teratur, kadang-kadang selama dua hari baru bertemu makanan. Malam ini dia lelah sekali dan begitu membuat api unggun dan merebahkan diri di bawah pohon, dia segera jatuh pulas. Malam itu gelap, tiada bulan dan angkasa hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya terlampau suram untuk dapat menembusi celah-celah daun pohon yang lebat. Menjelang tengah malam, dalam keadaan setengah sadar setengan mimpi, dia merasa betapa dia diberi minum orang. Dalam keadaan setengah sadar itu dia merasa betapa lengan yang halus lunak dan hangat memeluk lehernya, mengangkat kepalanya dan ketika pundaknya menyentuh dada yang menonjol, Keng Hong diam-diam tersenyum. Ada wanita yang bentuk tubuhnya halus lunak dan padat wanita muda, mencoba untuk meminumkan sesuatu kepadanya. Dia tidak takut akan segala macam racun karena dia sudah kebal terhadap racun, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menurut saja dan minum dari cawan yang ditempelkan di bibirnya. Bibir cawan yang halus, rasa anggur yang harum dan manis, mengingatkan dia akan bibir Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang belum lama ini telah melayaninya dalam cinta kasih yang mesra, maka setelah minum habis anggur itu, dia berbisik.

"Ciang Bi.. Kekasihku.."

Akan tetapi tiba-tiba lengan yang halus itu merangkulnya lebih erat dan sepasang bibir yang hangat menyumbat mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Keng Hong bergidik. Kalau Ciang Bi, betapapun mencintainya, tak mungkin dapat memberinya ciuman seberani dan sepenuh nafsu seperti ini. Hanya Cui Im yang akan dapat melakukan ciuman seperti ini. Akan tetapi Keng Hong tidak peduli melainkan menerima hal itu sebagai suatu kenikmatan, pelipur hati gelisah dan lelah setelah mengalami banyak hal ynag berbahaya. Dia tidak minta, dia tidak mengajak, melainkan gadis itu sendiri yang datang dan "memperkosanya". Bukan, bukan memperkosa karena dia menerima dengan senang hati! Watak gurunya menurun kepadanya! Cinta kasih wanita dianggapnya sebagai semacam "rejeki" yang tidak boleh ditolaknya, apalagi kalau wanita itu seperti ini, muda jelita, halus, hangat dan haru seperti serangkai bunga mawar pagi. Segar menggairahkan!

Keng Hong membiarkan dirinya dihanyutkan permainan cinta kasih yang menggelora. Ia berada dalam keadaan setengah sadar. Arak yang diminumnya tidak mempengaruhinya karena gumpalan hawa beracun yang wangi ia kumpulkan di dada dan kini perlahan-lahan dia hembuskan keluar kembali. Ia teringat bahwa arak semacam ini adalah arak yang pernah diminumnya dari Ang-kiam Tok-sian-li Bhe-Cui-Im. Cui-Im-kah gadis ini?

"Keng Hong... akulah kekasihmu.... hanya akulah yang mencintaimu"

Suara Cui-Im-kah ini? Atau suara Biauw Eng? Sukar bagi Keng Hong untuk mengenal gadis ini karena malam itu sangat gelap dan api unggun yang tadi dinyalakannya telah padam. Namun dia tidak peduli dn hanya menyelamkan diri dalam lautan cinta yang memabukkan.

Keng Hong sadar dari tidurnya. Mimpikah dia semalam? Ia meraba ke kiri dan membuka mata, meraba tubuh yang menggairahkan yang semalam rebah di sampingnya. Akan tetapi kosong! Tangannya hanya meraba rumput yang masih hangat. Ia membuka matanya. Cuaca tidak segelap malam tadi. Kiranya sudah menjelang fajar. Ia mendengar suara kaki di sebelah kanan, cepat menoleh dan masih tampak olehnya Sie-Biauw-Eng dengan pakaian serba putihnya yang mudah dikenal itu berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Aihhhhh! Biauw Eng kiranya gadis yang begitu mesra kepadanya semalam! Jantung Keng Hong berdebar dan dia meloncat bangun, berteriak, "Nona Biauw Eng...!"

Akan tetapi bayangan putih itu lenyap dalam halimun pagi yang memenuhi tempat itu. Keng Hong bangun duduk, tidak mengejar, lalu mengenakan pakaiannya untuk melawan hawa yang amat dingin itu. Dilihatnya sebuah cawan kosong menggeletak di situ, dan sebuah tusuk konde berkepala bunga bwee. Lagi-lagi sebuah di antara senjata rahasia Sie Biauw Eng, agaknya jatuh tercecer. Ia melamun, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Kemudian dia tersenyum pahit dan entah mengapa, hatinya merasa kecewa sekali.

Sie Biauw Eng gadis itu! Gadis yang semalam menggerumutnya, yang ternyata tiada bedanya dengan Bhe Cui Im! Gadis yang menjadi hamba nafsu birahi, yang tidak kuat hatinya sehingga mudah tunduk ke dalam cengkeraman nafsu. Kiranya tiada bedanya antara Biauw Eng dan Cui Im, bahkan Biauw Eng lebih jahat lagi. Tidak hanya menjadi hawa nafsu birahi, juga hati Biauw Eng amat kejam. Gadis itu telah membunuh Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai itu secara keji sehingga gadis Hoa-sa-pai yang dia tahu benar-benar mencintainya, bukan hanya oleh dorongan hawa nafsu birahi itu tewas dalam pelukannya! Rasa kagum dan juga rasa aneh yang pernah dia kandung terhadap diri Biauw Eng, mungkin karena Biauw Eng adalah puteri suhunya, yang mungkin juga merupakan perasaan cinta kasih yang sesungguhnya, bukan cinta nafsu yang mempengaruhi hatinya ketika dia melayani Cui Im, bahkan ketika dia bercinta dengan Sim Ciang Bi skalipun perasaan itu kini berubah menjadi perasaan muak dan benci. Muak dan benci terhadap Biauw Eng yang timbul dari kecewa dan sesal. Mengapa puteri suhunya macam itu? Karena Biauw Eng membunuh banyak orang Tiat-cang-pang dengan senjata rahasianya, maka dia makin dibenci orang-orang Tiat-ciang-pang. Karena Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi secara keji, tentu saja dia akan dimusuhi oleh Hoa-san-pai dengan hebat! Dan kini secara tak tahu malu, di malam buta, Biauw Eng agaknya tak dapat menahan gelora nafsu birahinya dan menggerumutnya seperti seorang pelacur.

"Terkutuk! Engkau tidak patut menjadi puteri mendiang suhu! Engkau puteri lam-hai Sin-ni nenek iblis itu, akan tetapi aku tidak percaya engkau puteri guruku. Engkau iblis betina yang keji dan jahat!"ia memaki sambil bangun berdiri, menendang pergi cawan kosong dengan jijik. Kalau dia tahu benar bahwa gadis semalam itu adalah Biauw Eng, betapapun mesranya sikap gadis itu, betapapun indah menggairahkan tubuhnya, dia tentu akan menendangnya pergi! Baru sekarang, Keng Hong merasa sebal dan menyesal sekali telah menuruti hati mengejar kenikmatan dalam menyambut cinta kasih seorang gadis. Kemudian, dengan hati panas dan penuh kebencian, dia lalu berlari-lari pergi dari situ menuju ke barat. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia peduli akan semua yang dilakukan Biauw Eng? Padahal, Cui Im juga jahat dan keji, namun dia sama sekali tidak menyesal telah bermain cinta dengan murid Lam-hai Sin-ni yang seperti iblis itu. Mengapa dia merasa menyesal mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis baik-baik yang patut menjadi puteri gurunya? Mengapa menyesal mendapat kenyataan bahwa gadis pakaian putih itu ternyata juga seorang hamba nafsu birahi dan seorang yang keji, yang membunuh orang lain yang tak berdosa tanpa berkedip mata? Dia sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan hatinya yang ditujukan kepada perasaannya itu.

Hatinya agak lega setelah dia mengenal daerah yang sudah termasuk daerah Kun-lun-san ini. Memasuki daerah Kun-lun-san berarti berada di wilayah yang dikuasai Kun-lun-pai, daerah aman. Dia tentu takkan menghadapi gangguan-gangguan para tokoh kang-ouw lagi setelah berada di sini. Akan tetapi tidak mungkin dia pergi menghadap tokoh-tokoh Kun-lun-pai, karena para tokoh-tokoh kun-lun-pai mengetahui dia berada di situ, tentu dia akan ditangkap dan tidak ada harapan lagi baginya untuk naik ke Kiam-kok-san. Dia harus dapat mencapai Kiam-kok-san dengan diam-diam, tanpa diketahui tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Kalau dia sudah berada di puncak Kiam-kok-san, biarpun diketahui juga, takkan ada yang berani menyusulnya ke tempat itu.

Akan tetapi dugaannya ini ternyata keliru karena baru saja dia keluar dari hutan itu, dia melihat banyak orang menghadang di sebelah depan! Ia tadinya mengira bahwa mereka tentulah tokoh Kun-lun-pai, akan tetapi dugaannya keliru karena ketika dia sudah tiba dekat dengan mereka, dia mengenal tosu tua yang berdiri di depan itu adalah seorang di antara para tokoh yang pernah mengeroyok suhunya, yaitu Kok Cin Cu tosu termuda dari Kong-thong Ngo-iojin, seorang tokoh Kong-thong-pai yang amat lihai! Dan di sebelah belakang tosu ini berdiri sepuluh orang, delapan orang pria dan dua orang wanita yang rata-rata berusia tiga puluh tahun, bersikap gagah dan galak, sedangkan dua orang wanita itu pun kelihatan gagah, berwajah cantik dan bermata tajam. Ia dapat menduga bahwa sepuluh orang itu tentulah murid-murid Kong-thong-pai. Karena dia sendiri belum pernah bentrok secara hebat dengan fihak Kong-thong-pai, kecuali dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang beberapa orang di antaranya juga seorang di antara dua wanita cantik itu kini berada di situ, maka dia masih mempunyai harapan untuk membebaskan diri dari keadaan tidak enak dalam perjumpaannya dengan tokoh besar Kong-thong-pai yang memimpin sepuluh orang murid itu. Ketika dia bentrok dengan sembilan orang murid Kong-thong-pai yang bercampur dengan empat orang murid Hoa-san-pai dan tiga orang murid Siauw-lim-pai, yang bertempur sesungguhnya adalah Cui Im dan Biauw Eng dan biarpun ada yang terluka di antara beberapa orang Kong-thong-pai, namun tidak ada yang sampai tewas. Ia cepat menjura penuh hormat kepada tosu itu sambil berkata.

"Selamat pagi, Totiang dan para Twako dan Cici dari Kong-thong-pai yang mulia!"

Kok Cin Cu, tosu yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih itu, memandang penuh perhatian. Dia sudah mendengar cerita para muridnya tentang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, yang kabarnya memiliki ilmu mujijat, yaitu menyedot hawa sinkang muridnya. Mendengar itu dia menjadi penasaran dan tertarik sekali, lalu mengajak mereka dan beberapa orang murid lain untuk menghadang di kaki Kun-lun-san karena merasa yakin bahwa sekali waktu pemuda itu tentu akan kembali ke Kun-lun-san. Dia tercengang melihat bahwa pemuda ini seorang bocah biasa saja, tampan dan memiliki sinar mata yang cemerlang, sikap yang sopan santun dan wajah yang berseri gembira. Juga dia terheran melihat pemuda ini seperti mengenalnya.

"Hemmm, engkau telah mengenal pinto?"

Keng Hong tersenyum, "Tentu saja saya mengenal Totiang. Bukankah Totiang yang disebut Kok Cin Cu, tokoh termuda dari Kong-thong Ngo-Lojin?"

"Siancai...! Agaknya Sin-jiu Kiam-ong tidak menyimpan sesuatu rahasia terhadap murid tunggalnya. Bukankah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong?"

"Benar, Totiang. Saya Cia Keng Hong, murid dari suhu Sin-jiu Kiam-ong dan betul pula bahwa saya mendengar segala hal tentang Kong-thong-pai dari mendiang suhu."

"Hal apa saja kau dengar?"

"Bahwa Kong-thong-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang mengutamakan kebajikan berdasarkan kegagahan, keadilan dan kebenaran. Bahwa Kong-thong Ngo-lojin merupakan lima tokoh besar yang menjadi tulang punggung Kong-thong-pai dan bahwa suhu bersahabat baik dengan pimpinan Kong-thong-pai," kata Keng Hong, sengaja menambah untuk mendinginkan suasana.

"Bersahabat baik apanya? Dia telah membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dan engkau masih mengatakan bersahabat baik? Kalau dia bersahabat baik, tentu dia tidak akan begitu pelit untuk memberikan siang-bhok-kiam kepada pinto sebagai tebusan kesalahannya kepada pihak kami. Pinto hanya mengharapkan agar engkau sebagai muridnya, dapat melihat kekeliruan gurumu dan dapat menebus semua kesalahan agar persahabatan akan terpelihara."

Keng Hong menghela napas panjang. Tak lain tak bukan, ke situ juga larinya. Alangkah tamaknya kaum kang-ouw ini dalam mengejar ilmu. Mereka itu seolah-olah tidak ada puasnya dalam mencari ilmu-ilmu yang tinggi, seolah-olah berlumba agar menjadi jagoan nomor satu di dunia, lupa bahwa semua itu akan musnah dan habis digerogoti waktu dan usia, akhirnya ditelan oleh kematian. Bahkan kakek yang begini tua masih begitu tak untuk memperebutkan pusaka peninggalan suhunya. Apakah kakek ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari dan kemudian mempunyai kesempatan pula untuk mempergunakan ilmu yang dipelajarinya? Sungguh manusia-manusia merupakan badut-badut yang tidak lucu, bahkan menjemukan, selalu menjadi hamba daripada nafsu dan ketamakannya. Ada yang tamak dalam mengejar kedudukan tinggi, mengejar nama besar, mengejar kemuliaan duniawi, mengejar wanita, atau seperti orang-orang kang-ouw ini, mengejar ilmu agar menjadi orang yang paling hebat di dunia ini! Benar gurunya! Gurunya tidak mengejar, melainkan menerima segala sesuatu sebagai suatu berkah, suatu nikmat hidup, suatu kesenangan! Gurunya yang melakukan segala sesuatu demi kesenangan hidup, tidak menyia-nyiakan hidupnya untuk mengejar sesuatu.

Tentu saja Keng Hong tidak tahu keadaan gurunya seperti itu pun adalah sebagai akibat daripada suatu sebab, yaitu sebab patah hati oleh cinta kasih yang ternoda. Dia masih terlalu muda, masih belum berpengalaman untuk dapat meneropong sepak terjang gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti orang tua, merupakan satu-satunya manusia di permukaan bumi yang dianggapnya paling baik.

"Maaf, Totiang. Menurut cerita guru saya, bentrokan yang terjadi antara suhu dan anak murid Kong-thong-pai adalah bentrokan antara orang-orang ada yang sedang bermain judi, artinya merupakan bentrokan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kong-thong-pai. Kalah menang dalam perkelahian sudah wajar, terluka atau mati juga hanya merupakan resiko-resiko dalam sebuah pertandingan. Kebetulan murid-murid Kong-thong-pai yang kalah dan tewas. Bagaimana kalau suhu yang ketika itu kalah dan tewas? Saya rasa urusan seperti itu saja tidak perlu diperpanjang, apalagi kedua fihak, baik lima orang murid Kong-thong-pai yang kalah maupun suhu yang menang, telah meninggal dunia. Saya menganggap bahwa urusan itu sudah selesai!"

"Aha, kulihat engkau seorang muda yang berpemandangan luas. Tentu engkau akan dapat mengerti pula akan kesediaan pinto menghapus semua luka lama dengan sebuah tangan murid Sin-jiu Kiam-ong yang akan memenuhi permintaan pinto."

Diam-diam Keng Hong menjadi jengkel juga. "Kalau saya tidak salah artikan tentu Totiang maksudkan pedang Siang-bhok-kiam, bukan?"

Tosu itu tersenyum dan mengangguk, "Engkau seorang muda yang gagah dan cerdik, tentu maklum apa yang kami kehendaki."

"Tentu Totiang sendiri juga sudah tahu jelas bahwa Siang-bhok-kiam telah saya serahkan kepada Kun-lun-pai."

Tosu tua itu meraba-raba jenggotnya yang panjang. "Tentu saja pinto tahu. Akan tetapi pinto juga tahu bahwa fihak Kun-lun-pai telah kena dibohongi, telah terkena tipuanmu. Ah! engkau benar-benar menuruni sifat Sin-jiu Kiam-ong yang nakal, orang muda. Masa para pimpinan Kun-lun-pai sampai kena kau bohongi, kau beri sebuah pedang kayu yang palsu. Ha-ha-ha! Sungguh amat lucu sekali."

Keng Hong terkejut. "Ah, jadi ...mereka sudah tahu..."

"Sudah, rahasiamu telah terbuka dan engkau berada dalam bahaya maut yang hebat. Maka mengingat persahabatan pinto dengan gurumu, sebaiknya engkau serahkan pedang itu atau memberitahukan tempatnya kepada pinto, dan pinto beserta semua pimpinan Kong-thong-pai akan melindungimu. Percayalah, Kong-thong Ngo-Iojin masih memiliki cukup wibawa untuk melindungi murid Sin-jiu-kiam-ong."

Keng Hong maklum bahwa kini dia telah menambah ancaman baru bagi dirinya, menambah musuh baru yang amat hebat, yaitu pihak Kun-lun-pai! Ternyata pihak Kun-lun-pai telah mengetahui akan kepalsuan pedang yang dia berikan kepada Kiang Tojin! Akan tetapi, untuk menyerahkan diri berlindung kepada Kong-tong-pai, dia tidak sudi. Dia sudah berbuat, dan dia sendiri pula yang harus bertanggung jawab, demikian ajaran yang dia terima dari gurunya. Bukan sengaja dia hendak menipu Kun-lun-pai, adalah Kun-lun-pai sendiri tidak benar, yang hendak memaksa minta pedang Siang-bhok-kiam darinya.

"Terima kasih atas atas kebaikan Totiang akan tetapi saya tidak dapat memberikan pedang itu kepada Totiang, karena pedang itu telah lenyap dan saya sendiri tidak tahu berada di mana."

Wajah tosu itu menjadi merah. "Bohong kau!"

"Terserah penilaian Totiang, akan tetapi yang jelas, saya tidak dapat memberikan pedang itu kepadapun juga."

"Cia Keng Hong, bocah masih ingusan seperti engkau ini berani menentang pinto?"

"Totiang, agaknya menurut kenyataannya, baik mendiang suhu maupun saya sendiri tidak pernah menentang siapa-siapa, tidak menentang Totiang juga tidak memusuhi Kong-thong -pai. Adalah Totiang sendiri dan para tokoh kang ouw yang dahulu mendesak-desak suhu dan sekarang setelah suhu meninggal dunia, mendesak-desak saya. Memang soal kebenaran tidak bisa diperebutkan, Totiang, karena setiap orang selalu melihat kebenaran dari sudut demi kepentingan pribadi. Yang penting adalah buktinya. Sekarang kita bertemu dijalan kalau kita masing- masing jalan sendiri, bukankah tidak akan timbul pertentangan? Saya hendak membuktikan bahwa saya tidak menentang siapa-siapa, yaitu saya hendak mengambil jalan sendiri, tidak mengganggu Totiang sama sekali. Hendak saya lihat, siapakah diantara kita yang mencari pertentangan." Setelah berkata demikian, Keng Hong melangkah pergi dan hendak melewati orang-orang yang menghadangnya itu dengan jalan memutar.

"Mau atau tidak, engkau harus ikut bersama kami ke Kong-thong-pai! Di sana, dihadapan Kong-thong Ngo-lojin, baru kau boleh bicara membela diri" kata Kok Cin Cu sambil melangkah dan menghadang Keng Hong.

Pemuda itu menjadi penasaran dan marah sekali. Diantara banyak watak gurunya, sebuah watak yang diwarisinya adalah watak tidak takut menghadapi apapun asal merasa benar. Ia maklum akan kelihaian kakek ini, maklum dari penuturaan gurunya bahwa kelima orang tua Kong-thong Ngo lojin memiliki ilmu pukulan Ang-liong-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga Merah) dan amatlah ampuhnya, mengandung tenaga panah melebihi api membara dan merupakan kesaktian yang amat sukar dikalahkan. Ia pun mendengar pula bahwa selain Ang-liong-jiauw-kang, kelima orang kakek itu mempunyai senjata keistimewaan sendiri-sendiri dan Kok Cin Cu ini memiliki senjata sabuk baja yang dipergunakan sebagai pecut. Akan tetapi melihat betapa kakek ini mendesak dan memaksanya, timbul sifat keras kepalanya dan dia menjawab dengan tegas.

"Sebaliknya, Totiang. Dengan cara apa pun juga, Saya tidak mau ikut ke Kong-thong-pai karena tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga di sana!"

"Bagus, engkau berani menentang pinto, ya?"

"Saya bukan menentang orangnya melainkan perbuatan dan sikapnya yang tidak benar yang saya tentang!"

"Bocah sombong! Kau kira pinto takkan dapat menangkapmu?" Tosu tua itu menjadi marah. Dia bukan seorang pemarah, di depan murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, dia selalu di desak omongan oleh pemuda ini, tentu saja dia menjadi malu dan menganggap Keng Hong tidak memandang mata kepadaya. Dia suka berlaku sungguh sungkan dan mengajak pemuda itu ke Kong-thong-pai sehingga keputusan akan dijatuhkan terhadap pemuda ini bukan keputusan dia sendiri, melainkan keputusan kelima orang Kong-thong Ngo-Lojin. Hal ini saja sudah dia lakukan secara banyak mengalah terhadap seorang pemuda, kini ditambah oleh bantahan-bantahan Keng Hong, benar-benar membuat kakek ini kehilangan kesabaran dan lupa diri. Ia sudah melangkah maju dan cepat mencengkeram untuk menangkap pundak Keng Hong dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya sudah melolos sabuk baja dari pinggangnya.

Keng Hong menjadi marah dan tidak mau diam saja. Dia mengerahkan sinkang dari pusarnya, mengangkat tangan kiri menagkis cengkeraman itu.

"Plakkk!" tangan Kok Cin Cu tertangkis secara hebat, akan tetapi kakek ini lihai bukan main. Cengkeraman pada pundak yang ditangkis itu berbalik menjadi cengkeraman pada pergelangan tangan Keng Hong dan gerakannya amat cepat dan kuat sehingga sebelum Keng Hong tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena di cengkeraman lima buah jari tangan yang panas dan kuat sekali.

"Hayaaaaaaa...! Teriakan ini keluar dari mulut Kok Cin Cu ketika kakek ini merasa betapa tenaga singkang yang terkandung dalam tangan kanannya membanjir keluar memasuki pergelangan tangan pemuda itu. Maklumlah dia kini akan cerita para muridnya betapa pemuda ini memiliki ilmu "menyedot sinkang lawan." Ia memang sudah bersiap-siap untuk ini, dan untuk penjagaan inilah dia tadi mencabut sabuk baja, maka kini cepat menggerakkan tangan kirinya, menggunakan sabuk itu menotok siku tangan kiri Keng Hong.

Totokan itu mengenai jalan darah dengan tepat sekali sehingga seketika tangan kiri Keng Hong menjadi lumpuh dan otomatis tangan Kok Cin Cu yang mencengkeram tadi telah melekat dapat direnggutnya terlepas. Kok Cin Cu melompat ke belakang sambil berseru.

"Bocah keji! Engkau benar-banar memiliki ilmu iblis Thi-khi-I-beng itu?" Kakek ini dia-diam merasa kagum dan juga iri hati sekali. Ilmu yang telah ratusan tahun dikabarkan lenyap itu, yang tentu saja diinginkan oleh semua tokoh tentu saja diinginkan oleh semua tokoh kang-ouw, dan bahkan Lam-hai Sin-ni sendiri, tokoh datuk hitam yang paling lihai, hanya mengerti sedikit saja tentang ilmu ini, kini dimiliki oleh bocah yang masih hijau! Ia lalu menggerakkan sabuk baja itu yang meledak-ledak di udara seperti sebatang cambuk dan berubahlah cambuk itu menjadi sinar melingkar-lingkar seperti naga beterbangan di atas kepala Keng Hong!

Keng Hong menjadi pening kepalanya memandang sinar hitam melingkar-lingkar ini akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan sambil melengking keras tubuhnya sudah meloncat itu. Akan tetapi, tubuhnya yang meloncat itu bertemu dengan ujung sabuk baja di udara. Ujung sabuk yang lemas itu telah mengait lehernya. Keng Hong yang tercekik itu kaget dan marah, sekali sabut itu sudah ditarik dengan gentakan keras sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting dan bergulingan diatas tanah. Ia meloncat bangun, mendengar suara ketawa dan ternyata sepuluh orang murid Kong-thong-pai iitu telah mentertawakannya. Kemarahannya makin menjadi dan cepat Keng Hong sudah membalikkan tubuh menghadapi kakek itu lagi. Kok Cin Cu merasa tidak enak sendiri harus menghadapi seorang lawan muda dengan senjata di tangan. Akan tetapi dia pun maklum betapa bahayanya kalau dia bertangan kosong saja, mengingat pemuda itu memiliki ilu Thi-khi-I-beng. Dia tentu sja tidak tahu bahwa sesungguhnya dalam hal ilmu silat, kepandaian keng Hong masih dangkal sekali. Bahkan dalam hal itu pukulan, dia hanya mengenal ilmu pukulan sakti San-im-kun-hoat di samping ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut yang hanya bisa dimainkan dengan pedang kayu itu! Kakek itu mengira bahwa pemuda yang sudah memiliki Thi-khi-I-beng tentu memiliki pula ilmu-ilmu silat yang amat tinggi. Dan dia tidak berniat merobohkan pemuda ini dengan membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya yang tentu saja lebih sukar daripada kalau membunuhnya.

"Totiang, engkau jahat!" Keng Hong berseru dan kini dia menerjang maju sambil mainkan jurus ke tiga Ilmu Silat San-in-kun-hoat. Jurus ini disebut Siang-in-twi-san (Sepaang Mega Mendorong Gunung), dilakukan dengan pukulan mendorong ke arah lawan mengunakan sepasang lengan yang dilonjorkan sambil melompat maju. Untuk melakukan serangan ini, Keng Hong menggunakan sinkang sehingga angin pukulannya dari jauh sudah menyambar ke arah dada Kok Cin Cu. Tokoh Kong-thong-pai ini sendiri adalah seorang ahli Iweekeh, seorang yang mahir mempergunakan sinkang untuk melakukan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang, juga sinkangnya sudah kuat sekali. Akan tetapi, ketika angin pukulan kedua tangan pemuda itu mendorongnya dan dia merasa betapa tenaga itu amat dahsyat dan kalau dia lawan agaknya dia tidak akan kuat, dia menjadi terkejut bukan main, cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik ke samping, kemudian pecutnya disabetkan ke depan mengarah tubuh Keng Hong yang masih meloncat datang. Ujung cabuk ini melibat kedua kaki Keng Hong terpelanting keras ke atas tanah. Kembali dia terjatuh dan terguling-guling dan kembali dia mendengar suara ketawa anak murid Kong-thong-pai yang baginya lebih menyakitkan daripada bantingan itu sendri.

Keng Hong melompat bangun lagi, bajunya robek pada bagian siku dan pundak, akan tetapi dia tidak peduli akan keadaan dirinya, bahkan tidak peduli akan rasa nyeri pada pinggul dan paha ketika terbanting tadi. Kemarahannya membuat dia tidak mau mengeluarkan suara, melainkan siap untuk menyerang lagi.

Melihat sikap pemuda ini yang agaknya nekat dan sama sekali tidak mengenal takut, Kok Cin Cu menjadi makin tidak enak. "Orang muda, lebih baik engkau menyerah saja. Pinto hanya ingin mengajaku ke Kong-thong-pai, pasti sukarnya bagimu? Mengapa harus menantang pinto? Pinto sunggah tidak ingin menghina orang muda, tidak ingin menyakitimu."

"Tosu palsu, tak perlu banyak bicara manis lagi karena bicara manis itu menyembunyikan kepahitan yang memuakkan. Engkau menghendaki Siang-bhok- kiam dan aku tidak ingin memberikan. Mau bunuh atau mau apakan aku, terserah, aku tidak takut!" jawab Keng Hong.

"Ah, bocah keras kepala, kau memang perlu dihajar!" bentak Kok Cin Cu yang benar-benar tidak berdaya untuk mebujuk. Sabuk bajanya menyambar dan meledak-ledak ke atas kepala Keng Hong, lalu meluncur ke bawah mencambuk ke arah leher pemuda itu. Keng Hong cepat mengelak, akan tetapi cabuk itu seolah-olah bermata, karena begitu juga mengejar dan dengan suara keras cambuk telah menghanntam pangkal bahunya.

"Tarrr..!"

Untung Keng Hong cepat sekali mengerahkan lweekangnya sehingga ujung cabuk itu mental kembali dan hanya berhasil menggigit robek baju di bagian bahunya. Betapapun juga, kulit bahu terasa pedas dan panas. Adapun kok Cin Cu yang melihat betapa kulit bahu tidak lecet sedikitpun, diam-diam makin kagum dan harus memuji pemuda ini yang benar-benar telah memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Diam-diam dia harus mengakui pula bahwa jika pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan terlatih, kiranya sukarlah baginya untuk dapat menandingi pemuda ini. Untung baginya, pemuda ini agaknya hanya mewarisi sinkang yang amat dahsyat, namun belum mewarisi ilmu silat Sin-jiu Kiam-ong yang tinggi. Biarpun gerakan serangannya tadi luar bisa anehnya dan dahsyatnya, namun gerakannya masih kaku, tanda bahwa pemuda ini kurang terlatih dalam ilmu silat.

"Tarr.!Tarrr!!! Tarrrrrrrrr!!!" Cambuk itu melecut-lecut dengan ganasnya, menghujani tubuh Keng Hong dari segala jurusan dan datangnya dari jarak jauh sehingga pemuda itu tidak ada kesempatan untuk balas menyerang. Memang benar bahwa dengan sikangnya Keng Hong dapat menolak lecutan tiba, sehingga mulaillah darahnya mengalir keluar dari kulit paha dan kulit punggung yang ikut robek bersama pakaiannya. Melihat darahnya sendiri dan merasa betapa nyeri punggung dan pahanya, Keng Hong bukan menjadi jerih bahkan menjadi makin marah. Ia kini berusaha menerima lecutan cambuk dengan kedua tangannya dan setelah kedua lengannya penuh luka oleh ujung cabuk, akhirnya dia berhasil menangkap ujung cambuk dengan tangan kanannya.

Keng Hong mengerahkan tenaga membetot untuk merampas, Kok Cin Cu mengerahkan dengan susah payah. Untung bagi Tosu ini bahwa Keng Hong memegang ujung cambuk baja itu yang kecil, licin dan keras, berbeda dengan tosu itu yang memegang gagangnya yang tentu saja lebih enak sehingga sampai beberapa lama Keng Hong belum juga berhasil merampasnya. Sementara itu, anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong. Pemuda ini terancam bahaya, terutama sekali dari Kok Cin Cu yang mulai menggerahkan tangan kirinya dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang sehingga perlahan-lahan tangan kirinya itu berubah merah sekali, tanda bahwa tenaga Ang-liong-jiauw-kang telah terkumpul. Kini tosu itu siap dengan tangan kirinya dan agaknya begitu Keng Hong dapat menang dalam perebutan cambuk, tentu dia akan mengirim pukulan mautnya.

"Suhu, biar teecu serampang kakinya dengan tombak teecu!" seru seorang di antara murid-murid Kok Cin Cu.

"Biar teecu tusuk dari belakang," kata yang lain.

Teriakan-teriakan mereka itu dibarengi dengan pengurungan yang makin ketat dan tangan mereka sudah bergerak-gerak penuh semangat karena begitu ada komando dari guru mereka, tentu mereka itu akan berlumba untuk menyerang Keng Hong.

"Jangan..turun tangan...." terdengar Kok Cin Cu berkata lirih dan cepat kakek ini mengerahkan tenaga lagi karena begitu dia bicara sedikit saja, cambuk terbetot dan hampir dapat terampas oleh Keng Hong. Pemuda ini pun agak berkurang kemarahannya, bahkan kalau tadi dia bernafsu membunuh kakek ini, sekarang nafsunya hilang dan dia sadar bahwa betapapun juga, kakek ini bukanlah seorang para tokoh kang-ouw lainnya, haus akan pusaka simpanan gurunya. Kakek ini masih mengenal sifat gagah buktinya dia melarang murid-muridnya turun tangan padahal kalau hal itu terjadi, sudah jelas bahwa kakek itu tentu akan dapat mengalahkannya, menangkapnya atau pun membunuhnya.

Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi dan suara ini disusul teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah empat murid Kong-thong-pai. Mereka roboh bergulingan lalu berkelojotan karena pelipis mereka masing-masing telah tertusuk sebatang tusuk konde berkepala bunga bwee! Pada saat itu, bayangan putih berkelebat dan Sie Biauw Eng telah meloncat dengan gerakan ringan. Ketika tangannya bergerak, sebuah sinar putih melayang ke depan dan ujungnya menyambar ke arah mata Kok Cin Cu!

"Hayaa....!!" Tosu itu berseru kaget melihat menyambarnya sabuk sutera putih yang amat cepat seperti ular hidup ini. Terpaksa dia melepaskan cambuknya sehingga tertinggal di tangan Keng Hong sedangkan dengan gerakan cepat kakek itu meraih ke arah ujung sabuk sutera putih dengan cengkeraman tangan kirinya untuk merampas senjata wanita baju putih ini, Sie Biauw Eng sudah menyendal kembali sabuk suteranya karena niatnya hanya hendak menolong Keng Hong daripada bahaya tadi.

Akan tetapi Kok Cin Cu tidak mengerti akan niat wanita cantik yang baru datang ini. Melihat gerakan sabuk sutera putih, Kok Cin Cu yang juga seorang ahli memainkan senjata lemas, maklum bahwa wanita muda ini merupakan seorang lawan lihai yang sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia pikir bahwa sebelum di keroyok dua orang muda lihai ini, lebih baik turun tangan dulu membunuh Keng hong, baru menghadapi wanita itu. Pikiran inilah yang membuat Kok Cin Cu tiba-tiba meloncat ke depan menubruk ke arah Keng Hong dan mengirim serangan dengan ke dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang luar biasa dahsyatnya!

"Keng Hong ....awas...! " Sie Biauw Eng menjerit ngeri menyaksikan dahsyatnya serangan tokoh Kong-thong- pai ini dari tangannya meluncur sinar putih.

Keng Hong juga maklum akan kelihaian Ang-liong-jiauw-kang, maka dia pun lalu mengerahkan sinkangnya dan karena dia tidak ingin membunuh kakek ini, dia menggunakan tenaga sinkangnya untuk mendorong agar tubuh kakek itu terpental. Kini dia tidak marah kepada kakek itu, maka otomatis tenaga sedot yang mujijat di tubuhnya pun tidak bekerja!

"Dessss...!" Dua tenaga raksasa yang tidak tampak bertemu di udara. Tubuh Keng Hong tergetar dan bergoyang-goyang kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi Kok Cin Cu mengeluarkan keluhan tertahan, tubuhnya terbanting ke belakang dan kakek itu roboh tak berkutik lagi!

"Kau..perempuan keji..!!" Keng Hong menoleh ke arah Biauw Eng karena dia dapat melihat jelas betapa ujung sabuk sutera Biauw Eng tadi menotok ke arah jalan darah di belakang kepala tosu itu, sebuah totokan maut yang tak mungkin dapat dielakkan oleh tosu yang sedang mengadu tenaga dahsyat dengan dia tadi. Gerakan sabuk sutera di tangan Biauw Eng sedemikian cepatnya sehingga hanya dia yang melihatnya, sedangkan sisa murid Kong-thong-pai tidak ada yang mengetahuinya, mengira bahwa guru mereka itu tewas di tangan Keng Hong.

Biauw Eng memandang heran. "Keng Hong ..., aku hanya membantumu...!"

"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu! Siapa membutuhkan bantuanmu? Pergi, muak perukku melihatmu!"

"Kau... Kau...!" Biauw Eng terisak dan mukanya pucat sekali, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat itu meninggalkan isak tertahan. Keng Hong menghela nafas panjang, memandang ke arah mayat Kok Cin Cu dan mayat empat orang murid Kong-thong-pai, kemudian dia berkata, suaranya berat.

"Heh, kalian murid-murid Kong-thong-pai, semua ini salahku. Aku telah membunuh Kok Cin Cu totiang dan empat orang saudara kalian. Nah, tangkaplah aku, belenggu tanganku. Bawa aku ke Kong-thong-pai menghadap para pimpinan kalian agar aku menerima hukumannya secara adil."

Empat orang laki-laki gagah dan dua wanita cantik itu sejenak memandang kepadanya dengan perasaan jerih, benci, marah dan juga heran. Kemudian mereka meloncat maju dan menelikung kedua tangan Keng Hong ke belakang. Seorang di antara mereka mempergunakan cambuk baja milik Kok Cin Cu untuk mengikat kedua lengan pemuda itu ke belakang, kemudian mereka mengiring Keng hong sambil membawa lima jenazah itu. Mereka menuju ke sebuah dusun dan dengan bantuan penduduk di situ, kelima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya ikut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar