"Wuuuttt... ehhhh......?" Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput! Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu, menyelinap, bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!
"Bukk!" Perut Tung-hek-kwi terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi, anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!
"Ha-ha-ha, yang kaukira kelenci berdaging lunak ternyata anak naga!" Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam. Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!
"Ehhh...!!" Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkangnya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tidak kuat bertahan dan anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya dan mengangkat tubuh itu ke atas!
Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan ia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki. "Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!" Melihat sikap anak itu, dan mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.
"Ha-ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Ia memiliki bakat yang lebih baik daripada Sin-tong agaknya!"
"Serahkan padaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidiknya!" kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan seluruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.
"Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong dan kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.
"Desss.......!" Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.
"Ouhhh......!" Nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan siuman, melihat suaminya ditendang, bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, menggerakkan kakinya pula ke arah wanita itu.
"Desss.....!" Kini giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar dan terbanting menindih mayat suaminya.
"Kalian pembunuh-pembunuh jahat!" Berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi, Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kiri seperti orang membawa seekor ayam saja. Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada saat itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya. Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong terus melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi!
Kejar-kejaran itu berlangsung sampai semalam suntuk dan sampai keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi. Mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan main rasa kagum di hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kalipun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan ataupun menangis! Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi!
Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaiannya berimbang dengan Tung-hek-kwi. Kalau dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi untuk menyerahkannya, dia pun tidak rela. Akhirnya dia memperoleh akal dan dia pun berhenti. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biarpun dia seorang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua membuat kekuatannya tidak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.
"Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik, namun kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau ketiak penuh keringat yang dekat hidungnya itu saja membuat ia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun ia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.
"Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus menjadi muridku." Jawab Tung-hek-kwi, semakin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis, kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apalagi anak perempuan.
"Aku pun ingin menjadi gurunya." kata Pak-kwi-ong.
"Aku akan merampasnya dari tanganmu." Tung-hek-kwi menjawab kukuh.
"Kalau aku melawan sambil membawa anak ini tentu aku kalah, akan tetapi, kalau anak ini berhasil kaurampas dan aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini terkena pukulan kita, Setan Hitam!"
"Tidak peduli, ia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.
"Aih, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan ia, siapa di antara kita yang ia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya. Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh ia mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.
"Anak baik, kami berdua ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kaupilih, siapa di antara kami yang kau pilih untuk menjadi gurumu?" kata Pak-kwi-ong dengan suara ramah dan muka penuh senyum.
Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, penuh kebencian dan ia pun menjawab dengan suara ketus. "Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemmm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibuku dan orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.
"Wah, anak ini berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!" Tung-hek-kwi berseru sambil mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya dan dia pun mengedipkan mata kepadanya.
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!" Anak itu tetap membentak dan matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu, sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.
"Anak baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh Ayah Ibumu. Bukan kami yang membunuh mereka......."
"Bohong! Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh Ayahku, kakek gendut dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!" Bi Lian menudingkan telunjuknya bergantian kepada mereka. "Kelak aku akan menuntut balas!"
"Ah-ah, engkau tidak mengerti. Memang tangan kami..... "
Kaki kalian yang membunuh!!" teriak Bi Lian, teringat betapa dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.
"Benar, memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan Ayah ibumu, mengenal mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian dan yang menjadi biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian Ayah Ibumu!"
"Benar, Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!" kata pula Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk. Bi Lian menjadi bingung dan mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Jangan memutar-balik, kalian menendang mati Ayah Ibuku, bagaimana menyalahkan orang lain?"
"Tahu akibat harus tahu sebabnya!" kata pula Pak-kwi-ong. "Aku dan Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, lalu datanglah dua pasang suami isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya Ayah dan Ibumu yang menjadi korban karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi kami. Kami tidak mengenal Ayah Ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andaikata mereka tidak mengajak orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuh orang-orang dusun termasuk Ayah dan Ibumu?"
Bi Lian adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi ia sudah maklum bahwa dua orang kakek ini memiliki kesaktian yang hebat sekali mungkin tidak kalah oleh suhu dan subonya. Dan mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, ia pun dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah ibunya adalah dua pasang suami isteri itu!
"Jadi, kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di antara kami." kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap.
Hati Bi Lian menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih lihai dan tiba-tiba ia mempunyai akal yang amat baik. "Aku hanya mau menjadi murid kalian berdua, bukan seorang di antara kalian. Kalau kalian berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian." katanya.
Dua orang kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan syarat itupun dapat mereka terima.
"Kita kerja sama... ? Ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.
"Kita sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?" kata Tung-hek-kwi.
Demikianlah, mulai saat itu, Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan main. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk sesat yang tidak kalah besar namanya dari mereka sendiri, yaitu cucu dari mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis yang pernah mengguncangkan seluruh dunia- kang-ouw! Dan agaknya Bi Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga ia menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis namun ganas keras dan penuh keberanian. Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid mereka itu, biarpun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau setidaknya akan mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.
Demikianlah riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena ia di luar tahunya adalah anak kandung suhu dan subonya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia digembleng oleh kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Tentu saja watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu, sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika ia meninggalkan dua orang gurunya yang kini sudah amat tua itu, ia telah menjadi seorang gadis yang selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan kadang-kadang ganas sekali.
Pertemuannya tanpa disengaja dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Mula-mula ia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, ia pun tidak peduli. Juga, karena pemuda itu tidak melawannya ketika ia usir dari dalam ruangan kuil tua, ia pun lalu mencoba untuk melupakan pemuda yang tampan dan suka bergurau dan pandai merayu itu. Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini ia harus beristirahat yang enak dan tidak terganggu agar besok tenaganya pulih kembali karena ia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yaitu mencari musuh-musuh besarnya. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan.
Sementara itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan agaknya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi wataknya demikian galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun memilih tempat dekat sungai kecil airnya jernih yang mengalir di luar dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi.
Selagi ia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba. dia mendengar suara ketawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya indah.
"Aih, kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona manis?" tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.
"Sstttt....!" kata gadis bertahi lalat yang menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama temannya ia menghampiri Hay Hay. "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras, takut ada yang mendengar. Engkau... tadi tidak apa-apakah?"
Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.
"Kami khawatir sekali, Hay-ko." Kata gadis manis bermata indah. "Kemudian kami mendengar bahwa engkau sore ini kembali lagi ke sini, agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."
Hay Hay menggerakkan pundaknya. "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"
"Kami mendengar dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kaupakailah agar malam ini engkau tidak kedinginan dan tidak diganggu nyamuk." kata gadis bertahi lalat, mengeluarkan sehelai selimut tebal yang dilipat rapi dan tadi disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.
"Dan ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Hanya ini untuk sekedar penambah makan malammu, Hay-ko." kata gadis hitam manis.
Hay Hay yang tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan. Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka berdua.
"Ah, kalian sungguh baik sekali!" serunya terharu. "Kenapa kalian bersusah payah untukku? Kalian tahu, kalau sampai terlihat kepala dusun atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."
"Biar saja mereka marah!" Gadis bertahi lalat berkata penasaran. "Si A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"
Hay Hay tersenyum. "A-liong siapakah yang kaumaksudkan? Pemuda tinggi besar yang hendak menghajarku itu?"
Gadis hitam manis mengangguk. "Benar, dia mencinta Siauw Lan....."
"Akan tetapi aku tidak sudi padanya!" Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya itu memotong. "Pula, apa salahnya kalau kami berkenalan denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak seperti mereka. Aku... kami... suka padamu......"
Hay Hay semakin terharu dan dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua tangannya. Tangan-tangan hangat dan tulus. "Kalian memang Adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih padamu. Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak bagi kalian kalau sampai kelihatan orang lain kalian datang menjengukku, apalagi membawakan setimut dan makanan."
Dua orang gadis itu pun merasa terharu walaupun mereka girang sekali dapat saling berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu. "Hay-ko, engkau tentu akan lama tinggal di sini, bukan?" tanya Si Gadis Bertahi Lalat.
"Benar, jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman. Setiap pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat menjengukmu....." kata gadis kedua.
Hay Hay menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan tangan mereka. "Aku besok pagi sekali harus melanjutkan perjalanan. Nah, pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."
Dua orang gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biarpun mereka merasa ogah dan tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah. Mereka merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tidak akan berada lagi di tempat itu dan mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.
"Selamat tinggal, Hay-ko."
"Semoga kita bertemu kembali kelak, suatu waktu......!"
Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lalu mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu, menyalakan api unggun dan setelah hari menjadi gelap, dia pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat di dagunya. Selimut yang tebal dan hangat. Akan tetapi Hay Hay sudah melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tidak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira dan kini dia pun duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada bekas-bekas peristiwa masa lalu yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan, dan menimbulkan keinginan untuk mengulanginya maupun yang tidak menyenangkan dan menimbulkan kegelisahan atau duka.
Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang amat indah di malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu. Para penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang malam itu! Orang tuanya bingung mencari karena mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.
"Mereka tentu pergi mengunjungi pemuda itu!"tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"
"Hemm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.
"Mari kita cari ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.
Kepala dusun menyetujui dan berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondong-bondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.
Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di luar dusun, di sebuah lapangan rumput, ada yang berteriak dan semua orang segera menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu. Yang mengerikan, gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat di dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih dan seperti orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauhi, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.
"Hay-ko... tolong... tolonglah aku.....!" Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduganya apa yang terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Dan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat.
Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, dan menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi dan agaknya sudah sadar.
"Keparat! Ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!" Teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.
Hanya pemuda tinggi besar yang tinggal di situ, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu kini telah sadar dan ia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Ia meronta-ronta minta lepas sambil menangis tersedu-sedu.
"Lepaskan aku...! Ah, lepaskan aku, biarkan aku mati saja.....!!"
Akan tetapi, A-Liong, demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar tentang gadis yang membunuh diri karena aib dan gadis yang dicintanya ini, bukan tidak mungkin akan membunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.
"Siauw Lan, kaupakailah pakaianmu dulu... jangan berduka, ada aku di sini. Maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?"
Gadis itu sadar bahwa masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Ia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah dan ia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.
"Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?"
Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak. "Kami berjalan berdua......dan tiba-tiba orang itu menyergap. Aku merasa dipukul pundakku dan aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dia menyeret kami ke sini dari jalan itu dan melemparku di atas rumput. Aku tidak mampu menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia.....dia menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh......!"
Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya, "Tenanglah, semua telah berlalu dan ada aku di sini menjaga dan melindungimu." Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan ia menangis di pundak pemuda itu. Setelah tangisnya mereda, ia melanjutkan.
"Orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu.....lalu pedangnya berkelebat dan... ah, mengerikan......!" Ia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.
"Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"
Siauw Lan mengangguk. "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan aku ditepuknya di pundak, dan tiba-tiba aku dapat bergerak lagi. Dan dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, berkata bahwa kalau aku melawan aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku......uhuhuhuuuhhh........!"
A-liong mendekap mukanya di dada. "Tenanglah, engkau tidak bersalah ....."
"Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.
"Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... cinta padamu, dan aku yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu....."
Gadis itu mengangkat muka, melalui air matanya ia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak. "Kau.....? Mau mengawini aku yang telah ternoda......?"
A-liong mengangguk penuh kepastian. "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Tentang perkosaan itu, bukan salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya....."
Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong. "A-liong, siapa yang kaumaksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kaumaksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"
A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut. "Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"
"Hay-ko... ?? Ahh.....tidak, tidaaakkk.....!!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.
"Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan..... memperkosamu?"
"Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta padaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"
"Bukan dia... ?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.
"Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini......ini...." Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput dan akhirnya menemukan yang dicarinya, sebuah benda kecil berkilauan. "Ini...dia meninggalkan ini untukku... katanya, kalau kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya....."
A-liong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah sinar bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah, terbuat dari emas dan batu merah.
"A-liong, kita harus cepat ke sana, mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"
A-liong adalah seorang pemuda petani yang kasar namun jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun menggandeng tangan Siauw Lan dan diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri dan sukar baginya untuk jalan cepat.
"Biar kupondong engkau agar cepat!" kata A-Iiong. Gadis itu tidak menolak, karena ia ingin agar mereka dapat cepat tiba di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu.
Kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur ketika orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia masih duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri daun-daun kering, berkalung selimut pemberjan Siauw Lan sampai ke lehernya untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walaupun dia telah membuat api unggun. Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang. Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Kekhawatiran timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada. Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali tidak. Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir. Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.
Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang kini berdiri membuat setengah lingkaran di depannya itu mempunyai niat buruk. Kemarahan dan kebencian terbayang dalam pandang mata mereka. Hay Hay merasa heran dan siap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.
"Selamat malam Chung-cu." kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka Cu-wi beramai-ramai malam-malam begini datang ke sini?"
Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.
"Lihat, itu selimut Siauw Lan!" tiba-tiba seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka memuncak.
Hay Hay meraba selimut itu. "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut dan makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang Nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka...."
"Berterima kasih dengan memperkosa dan membunuh!" bentak kakak Siauw Lan dan dia sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay, dan pada saat itu, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok!
Dalam keadaan seperti itu, Hay Hay tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia harus melindungi dirinya, akan tetapi dia maklum bahwa sekelompok orang dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan memiliki tenaga biasa saja. Mereka bukanlah lawannya dan dia tidak ingin melukai orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah paham terhadap dirinya. Maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal, menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala dan mukanya.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh Hay Hay. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan beberapa orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, yang nampak bekas serangan itu hanyalah selimut dan baju yang robek-robek, akan tetapi kulit tubuh itu lecet sedikit pun tidak, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik, telapak tangan mereka terasa nyeri.
"Dia lihai.....!"
"Dia kebal......!"
"Punya ilmu setan........!"
"Saudara-saudara sekalian, apakah yang telah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi aku berada di sini, Siauw Lan dan temannya hanya berkunjung sebentar dan tidak terjadi apa-apa yang tidak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi (kalian) marah-marah kepadaku?"
"Bohong! Dia memang laki-laki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pantas dihajar!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu. Semua orang menengok, juga Hay Hay, dan dia terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita yang sudah dijumpainya di kuil sore tadi. Gadis itu memang Bi Lian. Dari kuil di mana ia beristirahat, malam itu ia mendengar suara berisik. Ia lalu keluar dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, ia dapat melihat banyak orang berlarian sambil membawa obor. Tentu saja ia tertarik sekali karena orang-orang itu keluar dari dusun di bawah itu. Tentu telah terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang ia menuruni bukit menuju ke padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak melihat sesuatu.
Karena ia menuruni bukit itu seperti terbang cepatnya, ia tiba di padang rumput itu pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu telah dijadikan korban seorang jai-hwa-cat, penjahat pemetik bunga atau tukang memperkosa wanita! Kemarahannya timbul dan ia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu wanita yang mata keranjang itu! Cepat ia pun lari dari situ tanpa diketahui Siauw Lan ataupun A-liong, dan pada saat semua penduduk sedang terkejut melihat betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki Hay Hay.
Hay Hay mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul memakinya sebagai seorang penjahat pemetik bunga, sungguh keterlaluan!
"Nanti dulu!" bantahnya. "Aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kalian tuduhkan itu!"
"Jangan percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar aku yang akan menghajar dan menangkapnya untuk kalian!" Berkata demikian, Bi Lian sudah menerjang maju. Gadis ini tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi ia terkejut bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah. Kiranya pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura tolol di kuil itu hanya main-main saja dan ia merasa dipermainkan. Maka, begitu menerjang, ia telah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay Hay, sebuah serangan pancingan karena tangan kanannya, dengan cepat sekali mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk merobohkannya!
Melihat datangnya serangan gadis itu, walaupun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, mengenal tangan ampuh yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan pukulan-pukulan itu sendiri amat ganas. Tamparan ke arah kepalanya itu mengandung hawa pukulan yang panas dan kalau mengenai sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan tangan kiri, sukar diduga akan menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan berbahaya karena merupakan pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.
"Plakk!" Hay Hay mengangkat tangan kanan menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang pula, sedangkan matanya waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian. Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya untuk merobohkannya, dia pun cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Dukkkk!"
Dua kali kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan kekuatan masing-masing. Karena serangannya dapat dihindarkan lawan, Bi Lian menjadi semakin penasaran.
"Jai-hwa-cat memiliki juga sedikit kepandaian!" katanya penuh ejekan dan kini ia menyerang lagi, akan tetapi sekali ini ia tidak main-main dan serangannya demikian kuat dan cepatnya, bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas sekali sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian menjadi semakin sengit. Ia maklum bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi ia hanya ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada para penduduk yang akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, ia bermaksud untuk merobohkannya, hidup atau mati! Perubahan ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat dan setiap pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya, saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.
"Ehhh......!!" Hay Hay berkali-kali berseru kaget dan dia terpaksa selain mengelak juga melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan tenaga sinkangnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia merasa betapa kulit lengan itu kuat dan mengandung hawa panas! Kalau saja sinkangnya tidak kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit tangannya akan terluka hangus bersentuhan dengan lengan gadis itu.
Para penduduk yang melihat munculnya seorang gadis gagah perkasa yang menyerang pemuda mata keranjang itu kalang-kabut, tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan dapat mengjmbangi kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini mulai bergerak mengurung dan setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Hay Hay menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya daripada Si Gadis lihal! Soalnya, kalau gadis itu dapat ia hadapi dengan sinkang dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali kalau menangkis serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlalu kuat mempergunakan sinkang, ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi pembunuh! Terpaksa Hay Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat menghindarkan semua serangan, termasuk pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh gadis itu. Ilmu Ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian Lama.
Diam-diam Bi Lian kagum bukan main. Baru sekali ini semenjak meninggalkan perguruan ia bertemu dengan lawan yang dapat menghindarkan semua serangannya, padahal sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang tanpa pemuda itu membalas satu kalipun, bahkan disampingnya masih ada orang-orang dusun yang mengeroyok, walaupun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu gerakannya saja.
Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. "Berhenti.....! Ahhhh, jangan keroyok dia! Dia tidak bersalah..... jangan keroyok dia....!"
Semua orang terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan yang digandeng oleh A-liong.
"Apa maksudmu, Siauw Lan?" bentak kepala dusun kepada keponakannya.
"Paman, bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah....."
Hay Hay membelalakkan matanya memandang kepada Siauw Lan. "Nona, engkau diperkosa dan temanmu itu dibunuh orang......??"
Siauw Lan menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Hay-ko.....ahh.....Hay-ko....!"
A-liong mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata, lantang, "Kawan-kawan, kita memang telah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"
Tiba-tiba Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh A-liong itu telah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian mengamati benda itu dan mengangguk-angguk. "Hemm... Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)...! Aku pernah mendengar namanya. Seorang jai-hwa-cat yang keji!" Ia mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay. Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Ia memutar tubuh menghadapi kepala dusun dan berkata. "Kita telah salah sangka. Aku akan mencari penjahat itu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ, membuat orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat menghilang seperti itu, pikir mereka.
"Bagaimana sekarang? Apakah Cuwi masih menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk itu?" Hay Hay bertanya sambil tersenyum. Dia tidak marah kepada orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya.
Si Kepala Dusun menjura ke arah Hay Hay. "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap Kongcu"
"Sudahlah, kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan mencari keparat itu." Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan berkata, "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau melindungimu. Kalau aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."
Siauw Lan masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan. "Terima kasih, Hay-ko."
Hay Hay mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut dan bajunya yang sudah robek-robek, kemudian dia pun tidak lagi menyembunyikan kepandaiannya dan sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula dari situ. Untuk kedua kalinya, para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu demi satu! Mereka lalu kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga ia pun merasa terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.
Pagi-pagi sekali Hay Hay sudah keluar dari daerah dusun dan pegunungan itu. Dia menuju ke barat karena dia sedang melakukan perjalanan untuk mencari keluarga Pek yang dulu tinggal di Tibet. Semenjak dia menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia seringkali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang sakti itu pun tidak dapat menentukan dia anak siapa! Sejak bayi dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo. Dan ternyata suami isteri itu bukan orang tuanya, melainkan telah menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Akan tetapi, dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukan putera keluarga Pek, karena sudah dipastikan oleh para Dalai Lama bahwa putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas, menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek!
Satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya bisa diharapkan datang dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa dia ketika bayi dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh Lam-hai Siang-mo. Inilah sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat untuk mencari keluarga Pek dan menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.
Dia pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur, yaitu beberapa tahun yang lalu, ketika dia berusia kurang lebih tiga pelas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai menuju ke barat, ke Tibet!
Dengan santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir, dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk menikmati keindahan matahari terbit.
Bola merah yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tidak berani terlalu lama memandang bola api itu, walaupun sinarnya belum terlalu menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya. Yang dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga kita dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal kita yang paling ajaib.
Setelah puas menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun karena tak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam! Namun hanya sebentar dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera tersenyum ramah dan melangkah maju menghampiri lalu menjura.
"'Selamat pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang amat cerah dan indah, bukan?"
Akan tetapi gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh, pikir Hay Hay, kenapa gadis ini cemberut dapat nampak demikian manisnya? Apanya yang membuatnya demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh perhatian!
"Aku tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada di sini sengaja menantimu dan bicara denganmu!"
"Ahai, lebih baik lagi kalau begitu! Ah, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini, tentu tadi aku akan bersicepat dan tidak membiarkan diri terpesona oleh kecantikan alam di waktu pagi." Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi. "Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?
Sejenak Bi Lian, gadis itu, tertegun juga. Betapa indahnya kata-kata yang dikeluarkan oleh pemuda ini, sambil tersenyum, wajahnya berseri, sepasang matanya yang tajam itu memandang lembut. Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang perayu wanita, seorang laki-laki mata keranjang, maka ia memasang muka cemberut lagi. Lebih cemberut daripada tadi. Akan tetapi lebih manis, pikir Hay Hay.
"Tak usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"
Diam-diam Hay Hay terkejut dan juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah dalam urusan ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia anggap sudah habis dan selesai, kenapa nona ini bicara tentang penyelesaian hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.
"Wah, menarik sekali!" Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya dan duduk di atas batu dl tepi jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan sebuah cerita yang menarik. "Berapakah hutangku kepadamu dan bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin......"
"Bukan engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."
"Aih, semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?" "Pertama-tama aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku telah menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk yang tidak kaulakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan aku ingin melunasinya sekarang!"
"Ehhh.....?" Sekali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran sekali. "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu, Nona?"
Gadis itu memperlihatkan kedua lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal. "Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan perhitungan kecuali dengan mengadu ilmu silat? Majulah dan bersiaplah, kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"
"Wah-wah-wah!" Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala. "Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kaubayar saja hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap lunas saja!"
"Apa?" Gadis itu memandang dengan mata mendelik. "Engkau mau menghina aku rupanya! Kauanggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"
"Eh, bukan begitu! Tapi......, wah kenapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak merasa menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu sudah lunas dan kita jangan membuat hutang-hutang lagi, Nona." Hay Hay lalu mengambil buntalan pakaiannya, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan yang amat cepat karena pada saat itu ada angin pukulan yang panas dan kuat sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.
"Heiiiitttt......!!"
"Brakkk.....!" Batu yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan ujungnya terkena pukulan tangan gadis yang lihai itu. Debu mengepul dan Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak dan kena pukulan seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas bukan main!
"Eh-eh, tahan dulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan berhutang kepadaku, kenapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku kena pukulanmu dan mati?"
"Berarti aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang sudah mati."
Kalau saja nona itu tidak bicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya main-main atau kelakar.
"Lalu bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kaukalahkan?" Hay Hay menyelidik.
"Kalau aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati mempunyai hutang kepada siapapun juga!"
Wah, pikir Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tidak pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus saling membunuh? Diam-diam dia memandang penuh perhatian. Seorang gadis yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tidak berselisih banyak dengan usianya sendiri.
"Kau aneh, Nona."
"Sudahlah, aku tidak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo bersiap, kita lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!" Bi Lian sudah siap lagi untuk melakukan penyerangan. Kuda-kudanya amat indah akan tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki-kaki kiri ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala, tangan kiri menyembah di dada, leher dimiringkan dan napas ditahan! Agaknya gadis itu sudah siap untuk melancarkan pukulan maut yang aneh lagi!
"Nanti dulu...! Nanti dulu, Nona." Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar nona itu tidak keburu menyerang.
"Ada apa lagi? Cerewet benar engkau!" nona itu mengomel.
"Sebelum aku kaupukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang hutang kepadaku dan membayarnya dengan pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"
"Huh!" Bi Lian mendengus melalui hidungnya. "Siapa sembunyi? Kaukira aku takut mempertanggungjawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian...."
"Nama yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya...."
"Aku tidak butuh pujianmu!"
"Aku tidak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali....."
"Apa sayang?" Bi Lian cepat memotong dan diam-diam Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, gadis ini tetap seorang wanita yang wajar dan ingin sekali mendengar pujian, pantang mendengarkan celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata sayang.
Hay Hay cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang wanita, baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!
"Sayang kalau aku mati olehmu, aku tidak lagi dapat menikmati kecantikanmu, dan engkau tidak lagi ada yang memuji."
"Sudahlah, jangan cerewet. Siap menghadapi seranganku!" kata Bi Lian dan Hay Hay melihat betapa wajah ltu tidak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.
"Nanti dulu, nanti dulu! Aku sudah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."
"Namamu... Kakak Hay, aku sudah tahu! Engkau perayu dan mata keranjang, gila perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!" Dan ia pun sudah menerjang lagi dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak cakap lagi!
"Haiiiittt.....!"
Serangan itu demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan menjauh, melompat berdiri lagi. "Nanti dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"
Bi Lian yang sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Apa? Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"
"Hutang lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."
"Apa tukang kredit?"
"Itu, orang yang melepas uang dengan bunga, hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, mana yang benar?" Hay Hay memang sengaja Cari-Cari urusan saja sebagai bahan untuk dibicarakan agar nona itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga melihat betapa serangan nona itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.
"Siapa berbohong! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li!"
"Dewi Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"
"Apa lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"
Hay Hay tersenyum, senang telah dapat memancing nona itu bercakap-cakap. "Memang tidak mungkin, sama tidak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti mempunyai hati yang lembut, penuh belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas memiliki hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan yang kejam, ganas dan suka membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik, lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk, berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi, bukan?"
"Peduli apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu, atau berhati apa saja, sesukaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"
"Memang, seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita daripada....."
"Daripada apa?" Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis itu dengan celaan.
"Engkau adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik daripada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"
Kini Bi Lian agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang, bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah gadis ini dan ia membentak. "Cukup sudah! Cerewet benar kau! Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan perhitungan!"
Hay Hay merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga. "Nanti dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... eh, siapa yang berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku sudah begini tidak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik, Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."
Tentu saja Hay Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar memperpanjang waktu dan mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya itu seperti kelakar saja. Maka tentu saja terheran-heran ketika gadis itu menanggapinya dengan serius!
Sepasang mata itu memandang penuh selidik. Dan kini suaranya tidak seketus tadi, melainkan penuh harap. "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas perhitungan antara kita tanpa mengajakmu bertanding."
Wajah Hay Hay yang tadinya terkejut dan heran itu berubah girang sekali. Dengan senyum ramah dia cepat bertanya. "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."
"Aku mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu di mana mereka berada."
"Siapakah mereka, Nona?"
"Mereka adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan."
Tentu saja Hay Hay merasa terkejut bukan main dan biarpun dia memiliki batin yang cukup kuat dan tidak mudah terkejut, sekali ini kekagetan itu nampak pada pandang matanya yang melebar.
"Kau kenal mereka? Di mana mereka? Aku mencari-cari mereka!"
Tentu saja Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun, sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan adalah suami isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai ayah ibunya itu.
"Kenapa engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"
"Aku hendak membunuh mereka!"
Kembali Hay Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu menunjukkan bahwa ia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal amat kejam dan jahat itu. Dan hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari golongan sesat!
"Nona Cu Bi Lian yang baik, mengapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?"
"Cerewet benar kau!" Gadis itu membentak dengan mata melotot. "Katakan saja, engkau mengenal mereka atau tidak? Tak perlu engkau mencampuri urusanku dan jangan kau membohong!"
Hay Hay mengangguk. "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali." katanya terus terang dengan sikap tenang.
Mendengar ini, Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay bengong saking kagum dan melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.
"Wah, bukan main...!" Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya menatap wajah yang berseri itu penuh kagum. Bagaimana dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat di bagian tulang menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.
"Apanya yang bukan main?" Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang mata pemuda itu demikian tajam dan ia pun mengenal bayangan kagum mata laki-laki seperti yang sering ia lihat kalau ia bertemu dengan kaum pria.
"Wajahmu itu, hemmm... cantik bukan main, Nona." kata pula Hay Hay terus terang. Sepasang mata itu terbelalak. Bermacam perasaan mengaduk di hati Bi Lian. Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar. Harus ia akui bahwa banyak ia menerima pujian kaum pria, baik melalui pandang mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi selalu laki-laki yang memujinya itu mempunyai pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya merupakan rayuan. Akan tetapi, pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan kekaguman yang terbuka, yang tidak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.
"Simpan rayuanmu, manusia mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana mereka?"
Hay Hay masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu, dari keadaan berseri girang menjadi marah-marah, bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar dan dia pun menjawab bingung, "Mereka siapa?"
"Keparat, jangan kau mempermainkan aku!" Bi Lian membentak, tangannya membuat gerakan seperti hendak menampar. "Tentu saja dua pasang suami isteri itu! Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"
Hay Hay menggeleng kepalanya, "Aku tidak tahu."
"Bohong!" Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali. "Engkau pembohong besar!"
Hay Hay kini mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada seorang gadis secantik ini, akan tetapi sudah dua kali dalam waktu sehari saja dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama ketika dia menyangkal tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong sehingga dia dikeroyok banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong lagi, untuk kedua kalinya.
"Nona Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Kalau sikapmu seperti itu, andaikata aku tahu juga di mana adanya dua pasang suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu kepadamu."
"Hemm, kaukira aku tidak akan dapat memaksamu membuka mulut kalau engkau tahu di mana mereka berada?"
Panas juga rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu lihai, akan tetapi bukan karena takut kalau dia selalu bersikap mengalah, melainkan berat rasa hatinya kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik. Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka daripada memusuhi mereka! Akan tetapi sikap Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga. Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga ia bersikap demikian angkuh.
"Aha, aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."
"Dengan ini!" Dan Bi Lian sudah menerjang dengan pukulan yang amat hebat, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan main sampai sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat kejam dan ganas sekali!
"Eiiihhh ......!" Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil siap untuk melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang dan terus saja melanjutkan totokannya dengan cepat bukan main.
"Dukkk!" Terpaksa Hay Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya itu terpental.
Bi Lian menjadi marah. "Mampuslah!" Ia membentak dan kini ia sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya masih membantu kaki dengan serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang amat ganas dan kuat sehingga angin pukulan itu saja yang mengandung hawa panas sudah akan dapat merobohkan lawan yang kurang kuat.
Betapapun cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun yang dihadapinya sekali ini adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara Empat Setan, maka tentu saja tidak mengherankan kalau tingkat kepandaian Hay Hay juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian. Dia terkejut juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, namun dia tidak gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan pukulan tangan Bi Lian mengenai angin kosong belaka. Dari See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu menyerang secara bertubi-tubi dan karena tidak satu pun serangannya mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak, Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.
"Keparat, balaslah kalau engkau memang memiliki kepandaian!" Semakin Hay Hay mengalah, ia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.
"Baik, terimalah ini!" Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja. Akan tetapi Bi Lian tidak berani memandang rendah karena ia pun maklum bahwa pemuda ini, biarpun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke arah lambung. Akan tetapi, Hay Hay membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"He-heh...... !" Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan kedua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!
"Eeiiiittt...! Aku belum mau menjadi buta!" katanya, terpaksa melepaskan tangkapan tangannya dan meloncat ke belakang. Bi Lian melihat betapa pergelangan tangannya yang dipegang tadi terdapat tanda bekas jari tangan dan ia pun menjadi marah bukan main.
Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay. Pemuda ini terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara) yang amat kuat. Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang dan khikang yang amat kuat, seperti binatang harimau dan singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!. Maka dia pun cepat menahan napas mengerahkan sin-kangnya, lalu dia pun tertawa bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian.
Pada saat itu, Bi Lian, tanpa menghentikan lengkingannya, sudah menerjang lagi, kini pukulannya yang dilakukan dari kanan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat. Melihat ini, Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas serangan Bi Lian. Ketika tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipisnya dapat dielakkan, otomatis tangannya menotok ke arah leher gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan. Tangkisan tendangan itu membuat tubuh Bi Lian terguling dan Hay Hay merasa terkejut dan menyesal sekali. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting. Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting tadi.
Hay Hay terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh, melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar tendangan itu.
"Bukkk...!" Dan tubuh Hay Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka. Gadis itu seperti menendang sebuah bola karet saja yang terisi angin! Semua gerakan kedua orang tadi amat cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan kecepatan yang melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang sudah mendarah daging dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi daripada semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan seringkali di luar kecepatan perhitungan pikiran.
"Heh-heh-heh!" Hay Hay bangkit dan mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu. "Terima kasih, tendanganmu lumayan lunak membuat pegal-pegal di pinggangku lenyap seketika."
Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena ia menganggap pemuda itu mengejeknya. "Singgg..... !" Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang! Hay Hay terkejut. Gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, seperti main sulap saja. Dia dapat menduga bahwa tentu pedang di tangan gadis itu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat baik dan pedang seperti itu amat berbahaya dan tajam.
"Aihhh, nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau mengeluarkan senjata? Apakah untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar bermaksud untuk membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, tidak ada hal-hal yang pantas dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."
"Tak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan perkelahian ini. Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Bi Lian, masih merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, biarpun ia belum kalah, namun jauh untuk dapat dibilang ia menang. Dan sikap pemuda itu yang agaknya memandang ringan dan mengejeknya, sungguh membuat hatinya panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir pegal-pegal!
Sebetulnya Hay Hay masih ingin untuk menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya akan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, dia merasa keberatan sekali.
"Nona yang baik ......"
"Sudah, tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!" Bi Lian memotong.
Hay Hay mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak. "Habis, apakah aku harus menyebut Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tidak merasa malu untuk menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
Bi Lian mengerutkan alisnya. "Apa? Jangan bicara yang bukan-bukan engkau!"
"Nona tadi sudah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan tentang dua pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Kenapa Nona hendak mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar