08 Dewi Maut

Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kendungnya itu.

Mereka mendengarkan penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. "Betapapun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka."

Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. "Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?"

"Ah, Giok-hong-pang...?" Hek I Sian-kouw bertanya.

Go-bi Sin-kouw mengangguk. "Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia melihat kematian kakan iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!"

"Huhh...?" Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.

"Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan diri!" Hwa Hwa Cinjin berkata. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?"

Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut. "Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?"

Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. "Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?"

Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cie Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.

"Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini."

"Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita," kata Toat-beng-kauw Bu Sit.

Nenek itu menggeleng kepala. "Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji akan mempertemukan dia dengan pecarnya."

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. "Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!" Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.

"Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih."

Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa. Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi Sin-kouw menyerahkan muridnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!

Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, "Terima kasih, terima kasih, terima kasih!" Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.

Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.

Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu.

"In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?" Yalima berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.

In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.

"Tanyalah, mengapa aku harus marah?"

"Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?"

In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikat Copet dan yang kedua dengan Yalima.

"Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku."

Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.

"Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci? Aku sungguh tidak mengerti". Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Houw! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan curiga.

"Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!"

"Eh, aku tidak mengerti, enci."

"Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Kalau dia sudah tahu bahwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!"

Yalima masih bingung. "Seharusnya dia bersikap bagaimana, enci?"

"Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!"

Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, "Enci, apakah engkau cemburu?"

In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu. "Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?"

"Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko..."

"Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain..."

"Seperti yang lain siapa, enci?"

In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta Giok-hong-pang.

"Seperti siapa, enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?"

"Hushh!" In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu. "Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati."

Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin..." Dara itu memandang penuh khawatiran.

"Hemm, kaurasa bagaimana?" In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.

"Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah..."

In Hong tersenyum lebar. "Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima."

"Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci."

"Eh?? Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!"

"Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?"

"Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat."

"Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci."

"Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu."

"Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku... amat... tidak suka kepadanya?"

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakep-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia. Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri! Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

"Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu," dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

"Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo..."

"Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!"

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, "...enci In Hong!" dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia tidak akan terbangun. Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

"...jangan...! Tidak mau...!"

Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.

Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang laki-laki. "Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau kepadaku... heh-heh, diamlah..."

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

"Bruukkkk!" Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.

"Keparat busuk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis.

"Desss... plakkk...!" Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

"Brukkkk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia terlempar dan terbanting!

"Engkau layak mampus!" In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum dan tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, "Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!"

"Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?" Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dada.

In Hong tersenyum mengejek. "Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!"

"Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku..." Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

"Sabarlah, nona Yap In Hong!" Go-bi Sin-kouw berkata. "Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau."

"Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!"

"Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apa jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?"

"Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!"

In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menndapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

"Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!" Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bantrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

"Plak! Plakk!" Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu dengan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

"Tahan dulu, nona...!" Bouw Thaisu berseru.

In Hong meloncat ke belakang, pedangnya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala. "Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendak melindungi mereka boleh maju sekalian!"

"Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan kemudian menyusul keluar.

In Hong mengerutkan alisnya, heran sekali mendengar ini, "Siapa maksudmu?"

"Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebib ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, enci."

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin mengiris jantung ketika dia berkata, "Engkau sudah mendengarnya, Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!"

"Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah berada di tangannya.

"Bocah sombong, kaukira kami takut kepadamu?" Hek I Siankouw juga sudah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

"Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!" In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak dan bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. "Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak perlu memperebutkannya."

Melihat sikap mengalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

"Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian," katanya dengan teguran halus. "Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!"

"Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengalah!" Go-bi Sin-kouw berkata sambil tertawa. "Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh."

"Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlihatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku hendak pergi bersama Yalima sekarang."

"Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan." Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat. Gadis ini lihai sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng kepala. "Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!" Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa "terbang" keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, "Ihh, Sin-kouw, sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!"

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. "Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukarnya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet bocah dusun itu harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita."

"Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!" Toat-beng-kauw berkata. "Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi."

"Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!" Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

"Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku," kata Yalima. Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangen mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang. "Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang dan membasmi mereka."

"Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?"

"Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka."

"Dan engkau...?"

"Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku."

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk menidurkan tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu. Maka dia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

***

Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadang-kadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak.

Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka. Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!

Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yanj hebat, ditambah selama empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.

Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.

"Ibuuu...!" Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.

Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring! Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.

Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri dan takutnya yang hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.

"Plakkk! Desss...!"

Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh! Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.

Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penuh dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya kembali dengen paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.

Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, "Nona kecil, engkau amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!"

Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, "Aku mau tidur."

"Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!"

Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya, "...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!"

Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.

"Nona, bangunlah...!"

Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman dan pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun! Ketika dia bangkit dan duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar dan tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat.

"Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah."

Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap dan baunya sedap sekali. Seperti dalam mimpi rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah. "Arak wangi berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kauminumlah arak itu, nona."

Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut. Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung racun. Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya. Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat! Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya menjaga di situ.

"Ehh...!" tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.

"Nona... kauminumlah arak itu... minumlah... minumlah...!" Suaranya mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak, "Minumlah sendiri!"

Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya menghadapi tiga orang itu.

Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga yang amat dahsyst karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang ketiga itu.

"Desss... auughhh...!" Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja!

Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kiri itu mengarah dada lawan. Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara itu bisa "menghilang" seperti setan pula!

"Setan muka merah, aku di sini!" Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia sadar benar dan dapat mengussai keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah atau si topeng merah. Lawannya menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya yang kini dimainkan dengan cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi menerjang ke arah Mei Lan yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak dan mudah saja.

"Sialan!" Mei Lan mengejek. "Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja! Aku tidak membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa kalian sudah memberi makan kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!"

Akan tetapi si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan Mei Lan menjadi repot juga. Cepat dia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi, dia hendak melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah maklum bahwa gadis cilik itu lihai sekali gin-kangnya, maka dia sudah mengejarnya dengan sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung toya dan kakinya menotok ke bawah.

"Aduhhh...!" Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri Mei Lan telah remuk tulang mudanya dan berdarah!

Pada saat Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu telah muncul sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek bermuka putih yang cepat berkata, "Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu (ketua) menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!"

Sembilan orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi pukulan akan tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya, apalagi kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya, akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar dan dia dibaringkan di atas sebuah dipan kayu.

Mei Lan berusaha untuk mengerahkan tenaga membebaskan diri dari belenggu itu, namun sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu terbuat dari kulit kerbau yang amat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher memandang ke ruangan itu. Ruangan itu luas sekali dan tak jauh dari situ, di tengah ruangan, dia melihat beberapa orang duduk mengitari meja besar dan bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima orang, agaknya merupakan pimpinan dari perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua bermuka putih yang tadi memimpin anak buah menangkapnya juga duduk di situ, bersama tiga orang yang lain menghadap seorang kakek yang membuat Mei Lan menggigil karena ngeri. Kakek ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya bongkok, punggungya menonjol, pakaiannya serba putih dan mukanya mengerikan sekali. Kepalanya gundul, matanya hanya tampak putihnya saja, tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok dan mulutnya yang tidak bergigi lagi itu kelihatan mengejek, mukanya sudah penuh keriput dan dia kelihatan sudah tua sekali, terlalu tua untuk hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah ketua mereka, karena terdengar kakek bermuka putih bertanya. "Pangcu, apa yang akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?"

Kakek gundul itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil. Setelah kini kakek itu menoleh dan wajahnya nampak jelas, benar-benar amat menjijikkan dan menyeramkan. Mata itu benar-benar tidak ada hitamnya, putih semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah seperti itu tidak pantas menjadi wajah manusia, pantasnya menjadi wajah setan di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia memakai topeng seperti anak buahnya, pikir Mei Lan.

"Heh-heh, kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari. Kebetulan sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan upacara sembahyang di bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang berdarah bersih, juga tubuhnya terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam nanti, beberapa tetes darahnya akan memperkuat tenaga batin kalian dan akan meningkatkan kekuatan sihir kalian."

Mereka tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Mendengar percakapan itu, tentu saja Mei Lan menjadi terkejut dan juga takut sekali. Mereka itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap darahnya!

"Lepaskan aku...!" Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras.

Lima orang itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang meronta-ronta. Kakek gundul berkata. "Biarkan dia mengerahkan tenaganya, itu baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya sehingga kita akan memperoleh darah segar malam nanti."

Makin takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar menyeramkan sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblis-iblis ini, dia merasa ngeri dan tak tertahankan lagi dia menjerit dengan pengerahan khi-kangnya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema di seluruh bukit. Ketua itu terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dekat Mei Lan, tangan yang kasar dan seperti penuh koreng dan penyakit gatal, kemerahan dan bernanah itu bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan. Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya.

Kakek itu lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan dan berkata, "Malam nanti kumpulkan semua anggauta. Setelah upacara sembahyang kita berpesta semeriah mungkin untuk menghormati para arwah yang kita undang malam nanti. Apakah untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?"

"Sudah, pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh ekor babi di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan hartawan dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang secukupnya dan lima puluh guci besar arak wangi."

"Bagus... tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu." Kakek gundul berkata dan selanjutnya mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam nanti, akan tetapi Mei Lan sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan tetapi sekali ini, berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis itu, dia merasa ngeri dan takut sekali. Air matanya mengalir dan diam-diam dia menyesal mengapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya yang aman dan tenteram. Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya, dan kenyataan bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya tidak teringat lagi pada saat seperti itu. Kalau ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan dibasmi habis dan dia akan dapat diselamatkan!

"Ayah...! Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!" hatinya menjerit-jerit karena mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi.

Orang-orang macam apakah yang mendirikan perkumpulan aneh ini? Kakek gundul itu adalah seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua tokoh Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga seorang tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena dia telah menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian demi keuntungan diri pribadi. Setelah terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui lagi, tosu ini lain menggunduli rambut kepalanya dan dia lalu menggunakan kepandaian silat dan sihirnya untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan kebatinan yang memuja roh-roh dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin menjadi kuat dan dengan bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat yang menyenangkan setelah mati! Dengan kepandaian silat dan sihirnya, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang kini menggunakan nama julukan Jeng-hwa Sian-jin (Manusia Dewa Beribu Bunga) itu dapat mengelabui rakyat di dusun-dusun sehingga banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya, banyak pula suami isteri dari dusun-dusun yang suka menyumbangkan segala milik mereka untuk mengalami kenikmatan "sorga dunia" di bawah pimpinan kakek yang kini mukanya seperti iblis itu. Sebetulnya, sebelum keluar dari Pek-lian-kauw, tokoh ini telah dihukum oleh para pimpinan Pek-lian-kauw sehingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok dan kedua matanya buta. Akan tetapi, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih dapat menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga menimbulkan kepercayaan kepada orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia ini.

Sedikit pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya makin tunduk dan percaya kepada kakek ini yang membentuk perkumpulan yang diberi nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Satu di antara kepercayaan yang disebarkan oleh Jeng-hwa Sian-jin adalah bahwa untuk dapat "bersahabat" dengan para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi pembantu-pembantu mereka, muka para anggota itu harus menggunakan topeng yang seburuk-buruknya, makin buruk makin baik sehingga para iblis dan setan tidak merasa rendah bercampuran dengan manusia-manusia yang mukanya buruk itu. Inilah sebabnya maka semua anggauta yang aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng setan dan si ketua sendiri karena memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun sudah paling jelek dan menakutkan diantara mereka semua. Dan memang sebab terutama yang menggerakkan ketua itu mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah untuk mengangkat harga dirinya yang dirasa menurun karena mukanya yang buruk.

Akan tetapi, bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap saja yang menarik hati para anggauta pembantu dan anggauta luar yang terdiri dari orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi anggauta, bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka. Yang amat menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pesta di waktu bulan purnama, sebulan sekali pesta berlangsung setelah diadakan upacara sembahyang kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta berlangsung, mereka benar-benar merasakan "sorga dunia" yang amat luar biasa. Pesta yang bagi orang-orang biasa tentu dianggap mesum dan kotor akan tetapi bagi mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka karena mereka sudah berada di bawah pengaruh sihir mujijat, sama sekali bukan mesum dan kotor, melainkan merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi sahabat-sahabat mereka dan mereka merasa terjamin kelak setelah merekapun menjadi roh-roh tanpa jasmani lagi. Di dalam pesta itu, setelah mereka semua berada dalam keadaan tidak sadar, roh-roh itu "meminjam" tubuh mereka untuk bersenang-senang dan terjadilah kemesuman di antara mereka, di tempat terbuka dan terjadi permainan cinta yang kotor, bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang merasa tersinggung, tanpa ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah "roh-roh" yang bersenang-senang dan mereka itu hanya "meminjamkan" tubuh mereka saja untuk menyenangkan roh-roh dan setan-setan itu agar kelak mereka suka membantu mereka sesudah mereka meninggal dunia!

Malam itu bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang menghalang, dan sinarnya sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi tempat pesta dari perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki tangannya dan kini dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di pinggir lapangan terbuka itu. Ketua Jeng-hwa-pang telah duduk di atas sebuah kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih pucat itu bersinar-sinar, kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pemandangan Mei Lan kelihatan makin mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka putih dan beberapa belas orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah hadir pula di situ, jumlah mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang yang memukul tambur dan canang dan sebagian dari mereka membereskan meja-meja yang penuh dengan hidangan dan minuman arak. Dari luar datang berbondong-bondong anggauta-anggauta luar, yaitu para penduduk dua buah dusun di selatan dan di utara bukit yaitu dusun Liong-si-jung di selatan dan dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua penduduk yanq tertarik dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi mereka yang tidak setuju tidak berani menentang setelah tahu bahwa Jeng-hwa-pang yang hanya terdiri dari belasan orang pimpinan itu ternyata mempunyai ketua yang amat lihai. Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semua ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya.

Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau takut-takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka! Kalau pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah yang akan saling mengenal? Biarkan para "roh" yang menguasai mereka dan memilih pasangan masing-masing! Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pasta gila ini, karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan berapa kali saja sepuas hati mereka. Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam pasta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya.

Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas. Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu.

Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. Kini semua orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan. Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! Suasana menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.

Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga menurunkan lengan mereka kini kembali menghadap dan memandang kakek gundul itu.

"Anak-anakku semua...!" Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. "Pada malam hari ini kita semua patut bergembira karena malam ini para dewa dan roh-roh halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus yang mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah murni kepada kita."

Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan mata mengandung kegelisahan.

"Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir." Jeng-hwa Sian-jin yang entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan kekhawatiran ini, berkata pula. "Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia."

"Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan..." Terdengar suara seorang wanita di antara mereka itu.

"Saya juga takut..." Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang semua menyatakan ngeri dan takut.

Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Apa artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum mengerti? Tidak ada yang membunuh atau dibunuh... anak dara ini hanya menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk kemurahan roh-roh halus itu!"

Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat.

"Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta malam ini."

Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahan-lahan mulai terangkat dari atas lantai!

Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya dipasangi sebatang pensil bulu.

Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun mulai bergoyang-goyang!

Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau teman-teman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya!

Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila.

"Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati hidangan!" Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. "Penjahat-penjahat keji, bebaskan gadis itu!"

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan.

"Berhenti!" Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling meja tadi dalam keadaan tidak sadar.

"Siapakah engkau berani mengotori tempat upacara kami yang suci?" Bentak kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu.

"Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!"

"Tangkap dia!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton, kini berteriak marah.

Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh berturut-turut dan tubuh mereka terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei Lan rebah terlentang.

"Bocah lancang...!" Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang maju.

Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik, lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.

"Dukkkk!" Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh si kakek rambut putih. Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti orang-orang yang tidak waras lagi otaknya.

"Tahan... jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan menghadapi pemuda itu.

Sejenak kedua orang itu saling pandang dan jelas bahwa wajah kakek itu membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.

"Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang berani mengganggu upacara suci kami?" tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.

"Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!"

"Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir."

Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam. "Apa... apa maksudmu...?" Dia bertanya bingung dan melihat kakek itu kini menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat dan mulut berkemak-kemik, dia bertanya lagi, "Apa... yang kaulakukan itu...?"

Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak dalam perangkap kakek lihai itu.

"Tio Sun... berlututlah... engkau pemuda pilihan roh-roh halus... berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!"

Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak menolongnya, tiba-tiba menjerit, "Jangaaannn...!" Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu.

"Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka..." Suara ketua yang berkepala gundul itu penuh getaran. "Engkau mengerti...?"

Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan, "Aku mengerti..." Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu. "Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti." katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua masakan dan minuman di atas meja.

Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan menari-nari! Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus dan terdengar syara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu. Dan yang lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengerikan di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sian-jin!

"Siancai... siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!" Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir.

Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar akan keadaannya, di-"keroyok" oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir telanjang.

"Aihhhh...!" Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjangkang ke kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ.

Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu. Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan seruan keras sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di tangannya.

"Plakk... krekkk... desssss!" Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan... tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin terlempar ke belakang.

"Si keparat laknat!" Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.

"Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur kesesatan, kembali ke jalan kebenaran," kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.

Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor srigala terluka. "Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!"

Tio Sun mengeluarkan seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru, "Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!"

"Darrr...!" Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua.

"Locianpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih..." Dara remaja itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.

Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seolah-olah semua ibils dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat dan robohlah empat orang anggota Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut memandang dan kiranya Tio Sun yang sudah menghadang di depan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan mengamuklah pemuda itu. Kini setelah dia tidak berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Tangan kirinyapun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan kirinya mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lwee-kang yang amat kuat. Baru tampak, bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Setelah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang.

"Keparat keji hendak lari ke mana kalian?" Pemuda itu hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara halus mencegahnya,

"Cukup, sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!"

Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi menuntun Mei Lan dan sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.

Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat berlutut dan berseru ke arah menghilangnya kakek itu, "Teecu mohon tanya nama locianpwe yang mulia!"

Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban halus. "Aihh... apa artinya nama? Jangan khawatir, sicu, gadis ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar