"Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau lakilaki!" seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su! Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.
"Kong Hwat, kaulawanlah dia ini, sama-sama setan air!" kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su "berdiri" di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali.
Akan tetapi sepasang matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja dari rambutnya tidak menetes-netes turun air sungai, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!
"Dia Nelayan Cengeng!" seru Sui Ceng dan ia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah tahu bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini? Adapun Cheng-hai-ong ketika melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi, tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air. Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki.
Senjatanya bergerak memukul ke bawah, akan tetapi tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang "setan air" itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo.
Dua orang kenalan lama itu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orangorang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan sukarela ikut ke tempat itu. Akan tetapi ia tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggauta Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka telah tewas, menjadi marah sekali.
Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawankawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun. Adapun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat dan tokoh-tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan ini tidak seimbang. Setelah Thian-te Samkauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apalagi kalau Bu Pun Su ikut membantu kawankawannya.
Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.
Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan. Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menanti di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tak usah takut terhadap siapapun juga. Biarpun kini ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, namun ternyata setelah mereka bertanding di dalam air, Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu. Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lwee-kang tidak begitu ampuh lagi setelah orang berada di dalam air, apalagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.
Dalam hal ini pun Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Kalau mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air kiranya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, setelah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya hampir kehabisan napas diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.
Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini ujungnya ia masukkan mulut dan pipa alang-alang yang panjang itu timbul di permukaan air ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya. Kemudian, dengan leluasa ia dapat berganti hawa dan bernapas melalui pipa kecil itu! Dengan akal ini, tidak heran apabila tak lama kemudian, ia dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Chenghai- ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang. Kong Hwat sendiri cepat naik dan me.nyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.
Para anggauta Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-haiong yang sudah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka makin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring, "Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!" Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su.
Pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,
"Semua kawan tahan senjata!" Bun Sui Ceng yang lain-lain heran sekali dan melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tidak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti? Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di depan mereka dan tahutahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Terpaksa mereka melompat mundur dengan kaget, dan makin heranlah mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!
"Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih
"Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!" kata Bu Pun Su dengan suara kaku dan muka pucat.
Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio! Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!
"Ayaaa....!" Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. "Kwan Cu, apakah kau sudah gila?" Ia memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam. "Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...." akan dapat mentaati permintaanmu." kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apalagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus. Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekaii, karena ia maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.
Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu? Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,
"Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, mengapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?"
"Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw.
Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dan pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, mengapa kita harus terlalu mendesak?" kata Bu Pun Su.
Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Mengapa harus memperbesar permusuhan dengan Mo-kauw yang sebetulnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu? Maka setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-si dan Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggautaanggauta yang terluka.
Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.
Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya. Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit.
Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang (baca kisah Pendekar Sakti).
"Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu.
Sebetulnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!"
"Kwan Cu," kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi kepada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng, "kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dahulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah mahluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri." Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.
"Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kauanggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi melukai hati Kwan Cu... benarbenar kau telah berdosa!" Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.
Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. "Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi..." Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
"Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio; isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu laki-laki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi." Kemudian ia menceritakan betapa ia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang amat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!
"Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!" Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.
Setelah meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya, juga amat rindu kcpada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka! Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ? Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang dan ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri? Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil! Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata "tidak adil" dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya. Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.
Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap "sengsara" atau "menderita" dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan menghancurkan hidupnya sendiri! Kiang Liat tak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya.
Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!
"Ceng Si, kau dan Cia Sun benar-benar keterlaluan.
Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?" Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?
"Nyonya muda mengapa begitu pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercintacintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu." Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.
Akan tetapi kalau ia ingat betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan katakata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu! Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan susut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore! Tukang kuda di belakang gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan membalapkan kuda itu ketuar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!
"Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!" Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. "Eh, pagipagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hatihatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!" kata Bi Li marah.
"Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin.
Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin...." Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
"Kiu Pek-pek, coba kauajak kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!" katanya, kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.
Ketika memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya. Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang Cia Sun sekarang sudah makmur keadaannya.
Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya! Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan.
Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya! Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya. Hati Cia Sun terkejut bukan main.
Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,
"Selamat pagi, Kiang-wan-gwe. Berkat kebaikan Wangwe, sekarang siauwte telah memperoleh banyak kemajuan." Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
"Jahanam keparat!" serunya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.
"Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datangdatang marah kepada siauwte?" Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanyatanya lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,
"Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?" Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.
"Apa...! Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin..." Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.
"Hayo mengaku terus terang!" Kiang Liat membentak lagi. "Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!" Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. "Ampun, Kiang-wan-gwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, memberi surat dan lainlain.
Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw ..." Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.
Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri.
Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.
Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
"Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali." Suaranya halus dan manis sedangkan kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya. Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri! Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang demikian besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu telah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakiti hati daripada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur pada dinding. Ia merayap bangun dan berjalan periahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.
"Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa kalau memang berdosa...!" katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.
Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi.
Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi, ingin ia menangis seperti anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di dada isterinya. Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat makin benci melihat isterinya. Terpaksa ia meramkan matanya, tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,
"Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada kekasihmu, kau siluman betina!" Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
"Kau... kau membunuhnya...?" Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang, akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.
"Kautangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu.
Anak itu... anak itu pun barangkali bukan anakku...!" Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.
Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li.
Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.
"Apa lagi yang kautangiskan?"
"Suamiku... kau... kau terlalu kejam..." Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali ia salah sangka, mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
"Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukanbukan... tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Akan tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya su-rat-menyurat belaka..."
"Bohong! Kauhabiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun, kau mempergunakan Ceng Si sebagai jembatan, kaukira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?"
"Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberitahukan semuanya kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak melakukan hal yang tidak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...."
"Perempuan rendah!" Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam karnar itu, di atas lantai.
Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan makin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya. Berkali-kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dahulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati dan pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikirannya menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang dahsyat. Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya dan tidak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah.
Maka ia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiusian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.
Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun telah lewat semenjak Kiang Liat meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari ketika ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang buruk, dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya. Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir bersama isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu, dan mengingat akan semua ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut "pa-pa" berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepatcepat ia mengusapnya dengan punggung tangan. Tak patut seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang bercucuran dari atas.
Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis berdiri di hadapannya dengan sikap tenang.
"Suhu..." Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buruburu ia menghapus air matanya.
"Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau berduka selalu, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!" Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ. Kiang Liat maklum bahwa watak suhunya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tidak memikirkan lagi tentang suhunya, pikirnya penuh dengan berita yang diterimanya.
Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu rasa marah jauh lebih besar daripada kesedihannya. Tanpa mempedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggalkan oleh suaminya. Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini takkan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jina sebelum menjadi isterin yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan. Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orangorang yang tidak suka kepada keluarga Kiang. Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan lain keperluan. Keadaannya makin lama makin buruk, akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaannya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanya suaminya.
Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang mohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.
Akan tetapi, sudah terlampau banyak buktinya, harapan manusia selalu tidak cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, melainkan seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat! Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja berusia dua puluhan ini, datang tanpa diundang, bahkan tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman! Bi Li segera mengenalnya, maka biarpun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.
"Adikku yang manis, mengapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya..." Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar teguran ini Bi Li tak dapat tahan lagi lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya, yang amat sengsara, betapa ia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan meninggalkannya.
Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
"Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anak. Mana anakmu?" Setelah melihat Im Giok yang sudah berusia hampir enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua terikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerakgerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.
Pendeknya, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Biarpun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini adalah calon seorang gadis yang cantik luar biasa.
"Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!" Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.
Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tidak pernah ia mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, melihat Im Giok tiba-tiba saja ia menjadi terharu, apalagi setelah mendengar ucapan Bi Li, ia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam ia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya! Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li.
Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Adapun Im Giok sendiri, amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dengan berterang ia memuji, "Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?" Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. "Anak yang baik, kelak kau lebih cantik daripada aku atau ibumu." Katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok dan beberapa kali meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni memiliki tubuh sehat, tulangtulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, "Im Giok sukakah kau menjadi muridku?" Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu berkata dengan senyum lucu. "Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ah, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar dan membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa mengajarku, karena aku benarbenar malas dan tidak suka. Lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apalagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku." Pek Hoa tertawa. "Kau suka belajar menari." Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri.
"Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat, Bibi, kalau kau mau mengajarku menari penyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!"
"Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?" tanya ibunya, pura-pura tak senang.
"Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton daripada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?" Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawatawa.
Demikianlah hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil. Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah "terbang" ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apalagi Im Giok berkali-kali memanggil "Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!"
"Enci Pek Hoa, kau hendak bawa anakku ke manakah?" Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalaukalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari! Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekehkekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.
"Ha, ha, ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kaupikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha, ha, mungkin dahulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang baru kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia.
Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!" Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita! Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik. Setelah Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi mana bisa ia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan berlari cepat sekali?
"Im Giok... anakku... Im Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!" Setelah memanggil-manggil sampai suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas.
Dipaksanya berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari, terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.
Setelah matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan ramai-ramai mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tidak dapat menahan serangan batin yang hebat ini. Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan lain.
Keadaan Bi Li amat payah. Siapa yang dapat menolongnya? Kakeknya sendiri, Song Lo-kai telah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat ia hanya memanggil dan menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya. Sebulan kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tak seorang pun menangisi kematiannya, para tetangga yang cukup baik hati menjaganya, hanya menarik napas panjang dan merasa kasihan.
Kegotong-royongan para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar. Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana dan bersahaja, jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba seorang wanita jembel datang berlarilari dan menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong. Pakaiannya kotor tambaltambalan, rambutnya awut-awutan mukanya penuh debu dan lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tak seorang pun di antara para tetangga itu mengenalnya.
"Hujin... mengapa kau tega meninggalkan hamba...? Siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa..." Wanita ini menangis sedih sekali, tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa bergelak! "Ha, ha, ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata mendelik, salahmu sendiri. Ha, ha, ha!" Sekarang baru para tetangga itu mengenalnya.
Perempuan jembel yang otaknya sudah tak beres ini bukan lain adalah Ceng Si. Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari dan membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci kepadanya. Ketika mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat Ceng Si melarikan diri ke luar kota.
Ia terjatuh ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik dan tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat.
Selama tiga tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok makin dalam ke jurang kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya. Bajingan-bajingan yang mempermainkannya, melihat otaknya sudah miring, tentu saja lalu menendangnya dan demikianlah, Ceng Si hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang gila! Kebetulan sekali saat Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si telah tiba di kota itu kembali dan wanita setengah gila ini mendengar tentang berita kematian Bi Li lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas majikannya.
Rumah gedung bekas tempat tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi sekarang keadaannya menyeramkan sekali. Rumah besar itu kelihatan gelap dan kotor, penuh sarang laba-laba dan debu. Tak sebuah pun prabot rumah kelihatan menghias rumah gedung itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal.
Sungguhpun rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya, namun tak seorang pun berani mengganggu atau menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga Kiang? Mereka semua tahu bahwa biarpun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan tetapi kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu orang yang menjualnya itu takkan diberi ampun. Semua orang di kota Sian-koan tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Semenjak meninggalnya Bi Li rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadang-kadang sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan jembel gila, yakni Ceng Si! Pada suatu pagi, kurang lebih sepekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan! Bagaimanapun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya diculik orang dan isterinya sakit keras, namun Kiang Liat masih ingat untuk bertukar pakaian yang pantas sehingga ketika ia masuk kota Sian-koan, ia telah merupakan seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang- pendekar yang gagah.
Tentu saja penduduk Sian-koan mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata berkasihan. Siapa yang tidak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan pembunuhan yang dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui latar belakangnya.
Namun, Kiang Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke rumahnya.
Akan tetapi, setelah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya menjadi pucat. Rumahnya nampak seram dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara ketawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat memutar tubuh memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan kadang kadang telunjuknya menuding ke arahnya, nampaknya perempuan itu geli sekali.
"Kau siapakah dan apa yang kaulakukan di sini?" tanya Kiang Liat.
"Hi, hi, hi... Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah kepadaku? Aku siapa? Ha, ha, lucu sekali. Bukankah aku ini bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Sudah begitu pelupakah engkau?" Kiang Liat terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.
"Ceng Si...! Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?" Tiba-tiba Ceng Si menangis tersedu-sedu. "Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya .... !" Kian Liat makin pucat mukanya dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor, lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang kosong dan sunyi.
"Ceng Si, kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang..." Ceng Si memekik keras dan matanya memancarkan sinar kemarahan ketika ia melangkah maju dan seperti hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
"Kau laki-laki jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha, ha, ha! Isterimu mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas melihatmu sekarang, setan dan iblis telah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih bersih dan suci! Kaukira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha, ha, ha, goblok sekali engkau! Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa ia bermain gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, aku menjadi pembantunya yang setia! Ha, ha, Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha, ha, dan suaminya menjadi cemburu, membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya." Ceng Si tadinya marah-marah, lalu tertawa-tawa mengejek, kemudian tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu.
"Kasihan Bi Li... kasihan Song-ciocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh suamiku...." Makin banyak mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si, menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan,
"Jangan bunuh aku...!" jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta ampun.
"Ceritakan semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!" bentak Kiang Liat. "Kalau kau bohong, kepalamu akan kuhancurkan di sini juga!"
"Ampun Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku. Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai jihujin.
Karena itu, aku membujuk-bujuk Siocia yang masih muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan memaksa Siocia membalas suratsuratnya.
Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan dipergunakan sebagai alat pemeras. Siocia ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh Kiangwangwe, maka segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Banyak sudah uang dan perhiasan dapat kami peras dari Siocia dan..." Kata-kata Ceng Si berhenti sampai di situ saja, disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya ia hendak membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa perempuan ini sudah menjadi orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat bagi hidupnya.
Dengan kedua kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan mata terbelalak.
Seakan-akan ia melihat isterinya berdiri di tengah kamar.
"Bi Li, isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li..." ia berbisik dan maju lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengan menubruk dan hendak memeluk kaki isterinya.
Akan tetapi, ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada siapa-siapa dan ia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh sarang laba-laba!
"Bi Li..." hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar itu. Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat, dan akhir-akhir ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siangkoan, sudah sepekan Kiang Liat tidak makan. Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan melukai jantungnya. Ia amat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, ia meninggalkan isterinya yang disangka dahulu melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati sakit sekali.
Kini, tidak saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar isterinya itu, telah meninggal dunia, ini semua tidak begitu hebat kalau dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik bahkan telah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si! Dan isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar