06 Pendekar Mata Keranjang

Tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama sepuluh tahun di tempat terasing itu.

"Suhu, kalau aku tidak dapat membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran. Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini dan melemparkannya ke bawah tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya merasa tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku ingin pergi mengunjungi Cin-ling-pai, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka mereka berani menghina Suhu!"

Selama sepuluh tahun berdua dengan suhunya di dalam guha itu, Hui Lian mendengar banyak tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhunya. Juga dara ini mendengar tentang dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Karena itu, selain mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua menderita, ia pun diam-diam merasa penasaran kepada Ketua Cin-ling-pai.

Ciang Su Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu. Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku ingin melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan Lam-hai Giam-lo, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu."

"Apakah hal yang lebih penting itu, Suhu?"

"Pertama-tama, mencari pakaian yang pantas untukmu!" kata Ciang Su Kiat sambil tersenyum melihat keadaan muridnya. Muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan wajah yang amat cantik manis, tubuhnya yang padat berisi dan sudah masak sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di depan umum dengan pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya menutupi dadanya saja. Mana mungkin menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang menggairahkan itu!

"Pakaian?" Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Ia sudah tidak merasa canggung sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhunya, karena sudah terbiasa, dan karena memang tidak ada pandang mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu dari gurunya. "Ah, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?"

Suhunya bangkit berdiri dan memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat dan teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja, terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai.

"Kita pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu."

"Mencuri... ??" Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak dan Su Kiat memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata yang demikian lebar, jeli dan indah. "Suhu sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat."

"Memang benar, muridku. Kalau kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang mahal dan indah, kalau mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apalagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan kepada yang kita curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada artinya bagi yang kecurian. Apa artinya pakaian beberapa potong bagi keluarga kaya? Mari kita pergi." Hui Lian mengikuti gurunya melangkah pergi setelah mereka untuk yang terakhir kalinya menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk aku dan untuk Suhu."

Hampir saja Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang dan minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu? Akan tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimanapun juga, belum tentu yang dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman yang mau menolong. Andaikata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia pada umumnya, dari pengalaman langsung. Dia merasa kasihan kepada muridnya. Sejak berusia dua belas tahun telah terasing, hanya berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak bersikap kurang ajar. Gadis itu masih merasa seperti kanak-kanak, tidak tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang gadis yang masak, yang memiliki wajah dan tubuh menggiurkan, apalagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu.

"Baiklah, engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun." katanya.

Setelah mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari telah menjelang sore dan matahari mulai condong ke barat, cahayanya mulai redup. Seorang diri Hui Lian melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang terbelalak. Mula-mula orang mengira bahwa ia seorang perempuan gila, akan tetapi ketika mata mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan terheran-heran.

Tanpa mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus dan akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang kaya, pikirnya. Ia sendiri di waktu kecil adalah puteri gubernur, dan banyak rumah-rumah besar dan indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana.

Kebetulan sekali pada saat itu, seorang pria berusia tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringkan oleh empat orang pengawalnya, keluar dari rumah itu. Tentu saja dia dan empat orang kawannya, yang rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul, tertegun melihat masuknya seorang gadis hampir telanjang dari pintu pekarangan. Gadis yang amat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai!

Hui Lan sudah melangkah dekat dan menjura, "Apakah engkau pemilik rumah ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali.

Pria itu masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, bukit-bukit payudaranya nampak, perutnya juga nampak, kulitnya begitu putih mulus, namun gadis itu sama sekali tidak kelihatan malu-malu atau canggung!

"Benar, Lui-kongcu ini adalah tuan rumah." seorang di antara pengawalnya yang menjawab sambil menyeringai.

Hui Lian sudah mengerutkan alisnya melihat pandang mata lima orang laki-laki itu. Pandang mata mereka itu bukan hanya pecundang mata keheranan, melainkan mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya.

"Aku datang untuk minta pertolongan." katanya pula.

"Ah, tentu saja, Nona. Aku akan suka sekali menolong Nona. Silakan masuk, Nona." kaki-Iaki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap manis.

Hui Lian menggeleng kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan membutuhkannya."

Lui-kongcu tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari masuk dan kau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau butuhkan."

"Berilah sepasang saja untukku dan sepasang untuk Guruku, dan aku akan pergi dengan berterima kasih."

"Aihh, mengapa tergesa-gesa, Nona? Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi segalanya asal saja engkau mau......"

"Mau apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang.

"Heh-heh-heh!" Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa.

"Masa engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau cantik dan aku suka sekali....."

"Plakkk!" Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya.

"Aughhh.....!" Lui-kongcu terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditampar tadi.

Melihat ini, tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali. Tanpa dikomando lagi, mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu.

Akan tetapi, Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki tangannya dan empat orang itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka karena tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dan kepala pening dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka sadar dan dapat bangkit, ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ.

Hui Lian menghadap suhunya dengan muka merah, masih marah dan mulutnya cemberut. Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Memang aku membiarkan engkau menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah menyarankan agar kita mencuri saja?"

"Suhu, apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Ia teringat akan sikap gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang seperti Suhu sikapnya?"

"Tentu saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur menganggap wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu untuk dipermainkan dan untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu, melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurangajaran mereka timbul secara menyolok."

Hui Lian mengepal tinju. "Hemm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu, akan kubunuh dia!"

Su Kiat mengerutkan alisnya. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita yang dianggapnya buruk dan tidak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya, maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat dinamakan jahat, walaupun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Kalau seorang laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat, dan perlu diberantas."

Malam itu juga, dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian yang lenyap berikut sepatu, bahkan sejumlah uang. Biarpun tak seorang pun melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu dapat menduga bahwa tentu kehilangan barang-barang itu ada hubungannya dengan gadis manis setengah telanjang yang menghajar dia, dan empat orang tukang pukulnya. Karena itu, dia pun tidak membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai dan galak itu datang kembali.

Setelah memperoleh pakaian yang rapir, mulailah Su Kiat dan Hui Uan melakukan penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu. Pada suatu hari, selagi Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur, karena semalam bergadang, namanya dipanggil orang dari luar. Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan suara itu.

"Lam-hai Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!"

Tentu saja kakek yang sudah berusia lima puluh tahun itu, menjadi marah mendengar makian orang, apalagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya? Setelah menggosok kedua matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya.

Seorang gadis berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berusia dua puluh tahun lebih, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya, maka lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu. Sepuluh tahun yang lalu, Su Kiat merupakan lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali kepada pria berlengan buntung sebelah itu. Apalagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa.

Sebaliknya, Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini dan mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan. "Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat.

"Siapakah kalian?" Lam-hai Giam-lo membentak, marah karena dua orang itu agaknya memandang rendah kepadanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.

"Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?"

"Dan aku meloncat ke bawah, menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhunya mengingatkan kepada musuh itu.

Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda daripada suaranya yang sudah parau dan serak itu.

"Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu? Hah-hah-hah !" Tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan memandang dengan mata yang sipit itu dicoba untuk dilebarkan. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing.....bagaimana sekarang bisa muncul lagi?"

"Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, engkau bukanlah Giam-lo-ong yang sesungguhnya dan tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang melampaui takaran itu."

Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh, heh, heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan dulu itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya.!"

"Jahanam bermulut busuk!" Hui Lian memaki dan gadis ini sudah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan tusukan kilat ke arah perut lawan.

Melihat sinar pedang yang meluncur cepat itu, dan sinarnya berkilauan menyambar, Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang rendah dan dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi, ternyata pedang yang meluncur lewat itu tahu-tahu sudah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!

"Ehh...!" Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.

"Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.

Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah Guruku Ciang Su Kiat." Lalu dara itu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun.

Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulungnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan seperti badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah terjatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat. Dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.

Lam-hai Giam-lo hampir tidak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia telah mewarisi ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya dibandingkan dengan mendiang gurunya, tidak banyak selisihnya. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lalu belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu. Yang berbahaya bahkan lengan baju kiri yang buntung itu karena secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan laki-laki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat. Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas. Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu seperti seekor naga yang mengamuk! Akan tetapi nampaknya demikian lembut dan indah sekali gerakannya, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut di setiap gerak serangannya! Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimanapun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya hanyalah berkat latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal berlatih ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung, sehingga kurang keseimbangan kalau dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa, dan karena penciptanya wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.

Perkelahian itu semakin seru dan hebat mati-matian. Makin lama, Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama dan kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya, pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat. Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung. Kesempatan ini cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan. Lam-hai Giam-lo terkejut, untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa dia berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.

"Plakk!" Pedang itu tertangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu, sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat mengenai punggungnya.

"Bukk!" Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri.

"Pengecut, hendak lari ke mana kau!" Su Kiat membentak dan mengejar.

"Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar.

Keringat dingin membasahi dahi dan leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sukar baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkangnya untuk mempercepat larinya, namun bayangan dua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih! Dan dia sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, kalau dilanjutkan pengerahan sinking seperti ini, akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.

Dengan napas terengah-engah karena harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air. Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu telah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini lalu mencari perahu untuk dapat menyeberang dan ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan mereka melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo dan bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain tersohor juga Lam-hai Giam-lo memiliki wajah yang mengesankan, sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda, suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula. Mereka dapat mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya kurang lebih sebulan kemudian, mereka berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swatouw, Su Kiat dan Hui Lian menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di situ bersama lima orang temannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swatouw untuk mengeroyok.

Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk dan lima orang teman Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenal perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat kembali membuatnya muntah darah dan untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri! Dan dua orang musuhnya melakukan pengejaran.

Akan tetapi sekali ini, Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sehingga ketika dia bersembunyi di luar kota Swatouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah mempunyai tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air.

Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang. Bahkan kini untuk kedua kalinya dia terluka, lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apalagi kalau minta bantuan orang lain? Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya dan bantuan mereka tidak ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu. Demikianlah, kejar-mengejar terjadi sampai akhirnya Lam-hal Giam-lo menggunduli rambutnya dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian, dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi karena Su Kiat dan Hui Lian tentu saja sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apalagi, guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Inilah sebabnya, Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun. Akan tetapi memang dasar seorang jahat, ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu dan dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian kalau dua orang hukuman di dalam kuil, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.

Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya dan dia tidak berani lagi merajalela di selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik.

Nama Pat sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang di dalam kisah Asmara Berdarah, nama mereka tidak pernah muncul karena mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah lagi berkecimpung di dunia persilatan sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat Sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.

"Kini, yang muncul di dunia setelah usia mereka tua, hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama, keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para Dalai Lama. Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, hanya dua orang kakek itu yang agaknya masih hidup. Dua yang lain adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui, telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, di temukan secara kebetulan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam guha yang amat sukar untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.

Berbeda dengan See-thian Lama yang hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya dan tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri. Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak nampak dari pantai karena kecil saja pulau itu, akan tetapi setelah orang berada di pulau itu akan merasa kagum karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memilik tanah yang amat subur. Pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah berbahaya sekali untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya. Karena tidak mengalami gangguan dari luar.

Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tidak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar akan banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak. Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut dan menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya dan menyeret mereka ke darat untuk diadili. Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dia pun dengan nekat memasuki daerah berbahaya itu, berhasil mendarat dengan selamat dan ternyata pulau itu, yang kemudian dinamakan Pulau Hiu, merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan. Dia menyerbu dan membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih. Akhirnya, sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Akan tetapi dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertaubat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda.

Sisa harta simpanan para bajak masih amat banyak dan mulai Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil dan benar saja, para bekas bajak itu dapat merobah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak lagi mau melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka lalu berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu. Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi semakin angker dan disegani para nelayan. Bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi di bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.

Kini, anak-anak dari para bekas bajak telah belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat dan penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya.

Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekalipun, dalam sebuah di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau. Segala keperluan kehidupan para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan kalau membutuhkan ikan, hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, sedangkan keperluan-keperluan lain mereka peroleh dengan membeli ke daratan.

Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-kai sekali ini agak terlalu lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu, juga diketahui oleh pihak lain yang mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek berperut gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat. Dengan sigapnya, dari lima buah perahu besar itu berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka menjadi lima puluh orang. Adapun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu, sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Dan lima puluh orang itu, sambil menghunus senjata tajam, segera dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, menyerbu ke tengah pulau. Tentu saja gerakan lima puluh orang ini segera diketahui oleh penghuni pulau dan terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan para penghuni segera nampak berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu, kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Dan mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh. Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut itu yang datang sengaja untuk membalas dendam terhadap Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ selagi kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam.

Terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh. Akan tetapi, kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sukar dilawan dan banyak yang sudah roboh olehnya. Selain itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka terdesak.

Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja tiba dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya. Perahunya meluncur seperti terbang saja, apalagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.

Melihat betapa anak buahnya banyak yang sudah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, apalagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.

"Bajak-bajak tak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran. Para penghuni pulau yang melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya sudah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.

Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu

Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu. Akan tetapi, kakek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, menggunakan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Namun, rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai! Biarpun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tidak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.

"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah mengacau ke sini?" Ciu-sian sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.

Tadinya raksasa muka hitam itu terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan atas rekanku!"

Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung di pinggangnya, dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat. Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orang yang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, biarpun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.

"Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya. Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biarpun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tidak urung dia menjerit, melepaskan rantai dan menggunakan dua tangan untuk mendekap muka sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.

Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun, mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk seperti seekor harimau kecil yang galak. Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tak ada yang melawan lagi! Ada di antara mereka yang tewas, banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak berani berkutik, ada yang malah pura-pura mati!

Dengan pandang matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah.

"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya. Para penghuni pulau itu dengan senang hati melaksanakan perintah ini. Biarpun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap sukur bahwa guru dan majikan mereka sudah pulang tepat pada saatnya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis! Dengan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang sudah tak bernyawa, yang luka berat maupun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena ketika diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.

Pada saat itu, dua orang anak buah pulau itu datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.

"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.

"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima buah perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."

Mendengar pelaporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah seorang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras. Akan tetapi, Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang ditolaknya sehingga menimbulkan pertengkaran. Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau.

"Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"

"Ti....tidak....Tocu.....," kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.

"Saya melihat ketika pagi tadi semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, dia tidak ada dan ketika saya menaruh curiga dan mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dah menyeretnya ke sini, Tocu."

"Kai Ti, engkau tahu bahwa aku dapat menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu?" Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah.

Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi."Ampunkan saya, Tocu......saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh..."

Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya untuk mencari alasan saja untuk membersihkan diri. "Baiklah karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu"

"Ampunn... Jangan......saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya, akan tetapi karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan para penghuni pulau memang tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu. Perahu-perahu itu lalu didorong ke tengah, layar-layar dikembangkan dan tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang. Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak menghindarkan batu-batu karang. Juga dia melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu kini sudah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar. Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tidak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Dan menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi. "Kai Ti, anjing keparat! Kau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu.

"Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang...." kata Kai Ti dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.

"Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"

"Tidak, jangan!" Kai Ti menjadi semakin ketakutan, kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.

"Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!"

Akan tetapi, tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah kepadanya dan mereka memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya. Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya digerakkan.

"Crappp......!" Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. sayang baginya saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya. Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sukar dicabut dan pada saat itu, enam orang anak buah bajak telah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya. Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang mengejarnya, akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang besar-besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit seperti babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.

"Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.

Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera mereka lemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air. Agaknya ikan-ikan hiu itu masih kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.

Tiba-tiba perahu pertama yang paling besar tergetar keras ketika terdengar suara meledak, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam! Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka roboh dalam perkelahian dan akhirnya perahu kecil itu terlepas dan jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang. Akhirnya perahu itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi, apa artinya renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Sebentar saja, di bawah pekik-pekik mengerikan ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah daripada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.

Terdengar suara keras lagi dan perahu ke dua terguling, disusul perahu ke tiga. Kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi kini dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan dan Hek-bin Hai-liong berteriak. "Mana penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!"

Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Setelah Kai Ti tidak ada lagi, siapa yang akan mampu menunjukkan jalan aman? Berturut-turut, dua perahu lainnya juga melanggar karang dan terjadilah peristiwa yang amat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu. Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, dan dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan setelah sebelah kakinya kena disambar ikan dan tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya

Penglihatan yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati maupun yang tadi terluka. Lima puluh orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih nampak berenang hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tidak ada sepotong pun tangan tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan sepatu mereka! Hay Hay terpaksa lari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia muntah-muntah. Bukan hanya dia, akan tetapi banyak di antara anak buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.

Tujuh orang anak buah Pulau Hiu yang tewas dalam penyerbuan itu juga diperabukan, Ciu-sian Sin-kai melarang mereka dikubur. "Pulau kita begini kecil, kalau kita membiasakan diri mengubur orang-orang kita yang mati, sebentar saja pulau ini akan menjadi kuburan dan tidak ada sisanya lagi untuk kita yang masih hidup." Demikian katanya dan memang ucapannya ini mengandung kebenaran. Maka mayat-mayat itu pun dibakar dengan upacara sederhana.

"Suhu, kenapa Suhu demikian kejam terhadap para bajak itu?" Hay Hay yang sudah biasa bersikap terbuka kepada Ciu-sian Sin-kai, bertanya dengan nada suara mencela.

Kakek itu tertawa, "Heh-heh-heh, kejam? Hay Hay, dapatkah engkau membayangkan bagaimana andaikata kita datang terlambat beberapa jam saja? Seluruh anak buahku akan habis dibantai, yang perempuan akan mereka larikan dan permainkan, seluruh kekayaan yang berada di sini akan habis mereka bawa, dan segala yang terdapat di pulau ini, yang tak dapat mereka bawa, akan mereka bakar! Mereka itu jahat dan ganas melebihi binatang buas."

"Akan tetapi, haruskah mereka itu dihukum secara demikian kejam, Suhu?" kembali Hay Hay membantah, masih bergidik membayangkan betapa orang-orang itu dipermainkan ikan-ikan hiu.

Kembali kakek itu tersenyum. "Menghadapi orang-orang jahat memang kadang-kadang harus tidak mengenal kasihan. Engkau belum tahu tentang kekejaman. Pendekar yang paling kejam terhadap orang-orang jahat, yang tidak mengenal ampun dan bertangan baja menghukum dan membasmi orang-orang jahat, dijuluki orang Pendekar Sadis."

"Pendekar Sadis?"

"Ya, dan engkau akan bergidik melihat betapa dia menyiksa orang-orang jahat. Akan tetapi dia seorang pendekar budiman dan berkepandaian tinggi sekali. Akan tetapi, aku tidak pernah bertemu dengan dia, karena aku tidak pernah mencampuri urusan dunia sudah lama sekali dan dulu pun aku bergerak di sekitar pantai saja. Hanya ketika terjadi gelombang pemberontakan di daerah selatan, aku bersama rekan-rekan lain, termasuk See-thian Lama, mencampuri dan nama kami dikenal orang sebagai Pat-sian. Menurut kabar, isteri dari Pendekar Sadis juga pernah menjadi datuk selatan yang terkenal sekali. Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu yang cukup, engkau boleh merantau dan berkenalan dengan para pendekar, termasuk Pendekar Sadis."

Ketika Hay Hay diajak masuk ke dalam gedung yang dibangun oleh kakek itu, di tengah pulau, anak ini terbelalak kagum. Gedung itu seperti istana saja! Kiranya gurunya yang baru ini adalah seorang yang kaya-raya dan hidup sebagai seorang raja saja di pulau ini. Pantaslah kalau gerombolan bajak laut itu berusaha untuk merampok tempat ini.

Mulai hari itu, Hay Hay menjadi seorang di antara para penghuni Pulau Hiu. Dia mempelajari rahasia jalan masuk menuju pulau itu, dan selain mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Ciu-sian Sin-kai, juga mematangkan ilmu-ilmu pukulan yang diperoleh dengan jalan "mengadu" Ciu-sian Sin-kai dengan See-thian Lama secara tidak langsung, dia pun mempelajari ilmu-ilmu dalam air dari para penghuni Pulau Hiu yang rata-rata pandai bermain di air itu.

Dan sebentar saja Hay Hay menjadi pemuda yang paling terkenal di pulau itu. Bukan hanya karena dia dianggap murid terkasih dari Tocu, akan tetapi karena memang dia cerdas dan lihai bukan main. Di antara para gadis-gadis kelahiran pulau itu, yang sebaya dengan Hay Hay, bahkan yang lebih tua sekalipun, dia amat terkenal karena dia berwajah tampan, bertubuh tegap dan juga lincah jenaka dan ramah, terkenal pandai merayu dan menyenangkan hati para gadis. Tiga tahun kemudian saja, setelah Hay Hay berusia lima belas tahun, dia pun menjadi rebutan di antara para gadis dan wanita di pulau itu. Setiap orang gadis jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadi kawan dekatnya. Dan Hay Hay ternyata memiliki bakat untuk menyenangkan hati para gadis itu. Dia selalu bersikap manis dan ramah terhadap setiap orang gadis sehingga mulailah dia dikenal sebagai seorang pemuda perayu wanita. Para pemuda lain yang merasa iri kepadanya, menyebutnya pemuda mata keranjang yang seolah-olah hendak menggandeng semua wanita yang berada di situ. Tentu saja sebutan mata keranjang ini mereka lontarkan di belakang Hay Hay karena kalau berhadapan, mereka tidak berani terhadap murid Tocu yang paling lihai ini

Tentu saja perkembangan ini tidak terlepas dari pengamatan Ciu-sian Sin-kai. Ketika Hay Hay berusia lima belas tahun dan pemuda ini suka sekali bergaul secara akrab dengan para gadis di pulau itu, sehingga menimbulkan iri hati para pemuda lain, pada suatu malam kakek itu memanggilnya dan mengajaknya bicara di dalam kamar.

"Hay Hay, berapakah usiamu sekarang?"

"Seingat teecu menurut pemberitahuan Suhu See-thian Lama, ketika teecu mengikuti Suhu, teecu sudah berusia dua belas tahun. Sampai sekarang, teecu sudah tiga tahun ikut Suhu sehingga kalau tidak salah, usia teecu kini sudah lima belas tahun."

"Lima belas tahun, ya?" kakek itu mengelus jenggotnya dan memandang dengan tajam, mengamati muridnya itu. Hay Hay berwajah tampan memang, sepasang matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kegagahan akan tetapi juga manis, sikapnya periang dan lincah sekali, wajahnya cerah dan pertumbuhan badannya amat baik sehingga dalam usia lima belas tahun dia sudah nampak dewasa. "Engkau sudah hampir dewasa, muridku dan melihat ketekunanmu berlatih, aku tidak merasa heran kalau engkau memperoleh kemajuan begini pesat dalam ilmu silatmu."

"Berkat bimbingan Suhu yang bijaksana, mudah-mudahan teecu akan selalu dapat belajar dengan tekun."

Selain tampan dan ramah, anak ini pun pandai membawa diri, pandai mengeluarkan kata-kata yang menyenangkan hati orang, pikir Ciu-sian Sin-kai. Tidak mengherankan kalau para gadis suka kepadanya. Wanita memang paling suka kepada pria yang pandai merayu dan bersikap manis, apalagi kalau rayuan dan sikap manis itu bukan palsu, melainkan keluar dari watak yang ramah seperti Hay Hay ini.

"Hay Hay, engkau tahu bahwa seorang gagah akan selalu berterus terang dan tidak perlu menyembunyikan segala hal seperti seorang pengecut."

"Teecu mengerti, Suhu." kata Hay Hay dan hatinya merasa agak tidak enak karena dia dapat menduga bahwa tentu suhunya akan membicarakan sesuatu mengenai dirinya dan dia diharapkan untuk bicara terus terang.

"Hay Hay, aku mendengar dan melihat sendiri betapa engkau bergaul akrab sekali dengan semua gadis berada di pulau ini. Sampai sejauh manakah pergaulanmu itu?"

Hay Hay tersenyum, agak malu-malu akan tetapi hatinya lega karena kiranya hal itu yang ditanyakan gurunya. "Salahkah itu, suhu? Teecu bergaul dengan mereka karena bukankah mereka itu masih terhitung sekeluarga pulau ini? Pergaulan teecu hanya akrab saja, bermain-main dengan mereka di tepi pantai, menggoda ikan-ikan hiu, memancing ikan, bekerja di ladang dan kadang-kadang kalau bulan purnama, teecu membantu mereka berlatih silat di pantai berpasir sambil main-main."

Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Kesenangan seperti itu adalah sehat. "Apakah hanya seperti itu saja? Apakah tidak pernah engkau melakukan hubungan yang lebih mesra lagi? Merangkul dan mencium seorang gadis misalnya?"

Kembali Hay Hay tersenyum malu-malu, bahkan kini kulit mukanya menjadi agak kemerahan.

"Aihh, Suhu, apakah hal itu juga salah? Kalau sedang main-main, kami saling rangkul dan... , eh, adakalanya... eh, kami saling cium karena dorongan rasa suka, apakah itu.....maksud teecu, melanggar kesusilaan seperti yang pernah teecu pelajari di dalam kitab-kitab yang diberikan oleh Suhu See-thian Lama?"

Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha-ha, pelanggaran kesusilaan bukan ditentukan oleh pandangan umum terhadap suatu perbuatan. Jadi, engkau pernah saling rangkul dan saling cium dengan seorang gadis? Apakah ada gadis tertentu di sini yang melakukan hal itu denganmu?"

Hay Hay menggeleng kepala dengan sungguh-sungguh. "Tidak hanya seorang tertentu, Suhu, akan tetapi... sebagian besar dari mereka. Hampir semua!"

"Dan kau layani mereka semua itu?" suhunya bertanya, kini memandang dengan mata terbelalak walaupun mulutnya mengulum senyum geli.

Hay Hay mengangguk. "Kami melakukannya karena merasa gembira dan suka, Suhu. Apakah hal itu salah dan dilarang? Kalau Suhu melarangnya, tentu teecu tidak berani lagi melakukannya."

"Tidak, muridku, aku tidak melarangnya. Akan tetapi, kenapa kemesraan itu kaulakukan dengan semua wanita yang berada di sini?"

"Tidak semua, Suhu." kata Hay Hay sejujurnya, "hanya.....mereka yang suka saja dan juga mereka yang teecu sukai......"

"Kaumaksudkan, mereka yang suka padamu dan mereka yang kausukai karena mereka itu cantik? Jadi mereka yang cantik-cantik saja?"

Hay Hay mengangguk dan meledaklah suara ketawa Ciu-sian Sin-kai. "Ha-ha-ha, kau ini kecil-kecil sudah mata keranjang!"

"Apakah hal itu tidak baik dan tidak boleh, Suhu?"

Dengan senyum lebar kakek itu berkata. "Semua laki-laki adalah mata keranjang! Tidak ada seorang pun pria di dunia ini yang tidak suka melihat wanita cantik, kecuali kalau dia sakit dan ada kelainan. Kalau kebanyakan pria hanya menyembunyikan rasa sukanya, maka engkau menunjukkannya dengan terus terang. Engkau jujur, akan tetapi sifat mata keranjang ini juga ada bahayanya bagimu sendiri, muridku."

"Bagaimana bahayanya, Suhu?"

"Engkau belum cukup dewasa untuk mengetahuinya dan kelak engkau akan tahu sendiri. Kalau engkau tidak hati-hati, engkau akan menjadi hamba nafsumu sendiri, dan yang jelas, engkau akan mendatangkan rasa iri di dalam hati banyak pria. Sekarang pun di pulau ini para pemuda sudah merasa iri hati kepadamu karena engkau paling disuka oleh para gadis di sini. Para pemuda lainnya merasa tersisihkan!"

"Akan tetapi teecu tidak merebut gadis, Suhu. Para gadis itu sendiri juga suka bermain-main dengan teecu. Kenapa mereka tidak mau seperti teecu, menyenangkan hati para gadis itu?"

"Ha-ha, sudah kukatakan tadi, kebanyakan pria merahasiakan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik. Ada yang demi harga diri, ada yang karena malu, atau demi kesopanan dan sebagainya. Sekarang dengar baik-baik, Hay Hay. Engkau boleh saja bergaul dengan mereka, akan tetapi....eh, urusan peluk cium itu sedapat mungkin harus kaujauhi, atau setidaknya, kaukurangi."

"Kenapa, Suhu? Jahatkah itu, salahkah dan kalau salah, mengapa? Kami sama-sama suka melakukannya dan tidak ada yang memaksa, tidak ada yang merugikan orang lain

"Husshh, kau belum mengerti. Permainan seperti itu berbahaya sekali. Wanita dan pria ibarat api dengan minyak, kalau terlalu berdekatan dapat saja terbakar habis-habisan."

"Teecu tidak mengerti, Suhu."

"Sudahlah, kelak engkau akan mengerti sendiri. Asal engkau ingat saja semua percakapan kita ini, dan ingatlah selalu bahwa main-main yang terlalu akrab itu dapat mengobarkan api yang membakar, dapat menimbulkan nafsu dan amat membahayakan. Hanya laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi suami isteri sajalah yang patut melakukan kemesraan itu karena di antara mereka tidak ada batas-batas susila dan larangan-larangan, tidak terdapat pula bahaya, misalnya kalau si wanita menjadi hamil karena hubungan dengan pria yang menjadi suaminya."

Hati Hay Hay tertarik sekali. Belum pernah dia mendengar pelajaran tentang itu, dan yang diketahuinya secara sedikit-sedikit hanya kalau dia bercakap-cakap dengan para pemuda di pulau itu. Dia hanya tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis kalau sudah menikah lalu mempunyai anak. Biarpun dengan malu-malu, para pemuda pernah pula menyentuh urusan hubungan sex dalam percakapan mereka, akan tetapi percakapan itu sifatnya hanya kelakar saja, dilakukan dengan malu-malu dan hanya merupakan pengertian samar-samar saja. Dan harus diakui bahwa kalau ada seorang gadis manja yang suka bersentuhan dengannya, bahkan dia dan gadis itu saling rangkul leher atau pinggang, dan saling mencium dengan hidung menyentuh pipi, dagu atau leher, timbul gairah yang membuat dia kadang-kadang tergetar hebat. Akan tetapi, dia tidak berani melakukan yang lebih dari itu, karena ada pengertian bahwa satu hal sama sekali merupakan pantangan dan tidak boleh dilanggar, yang dapat menyeret mereka ke dalam bahaya, yaitu kehamilan gadis itu!

"Suhu, teecu ingin sekali mengetahui dengan jelas akan hubungan antara pria dan wanita, mohon petunjuk Suhu agar teecu tahu apa yang boleh dan tidak boleh teecu lakukan, di mana letak bahaya-bahayanya."

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Memang sudah tiba saatnya muridnya itu tahu akan segala urusan itu. Bagaimanapun juga, seorang manusia, tak peduli dia itu pria ataukah wanita, pada waktunya akan memasuki masa akil balik, usia dewasa yang tubuh mereka menuntut kebutuhan sex. Sebaliknya kalau orang memasuki masa itu dengan mata terbuka, mengerti akan keadaan masa itu, sehingga tidak akan sesat jalan. Daripada dibiarkan mendapatkan pengertian tentang itu secara liar di luaran, salah-salah bisa saja mengetahui tidak sebagaimana mestinya.

"Hay Hay, coba kau pergi ke lianbu-thia (ruangan belajar silat) dan ambil ke sini gambar tubuh manusia laki-laki dan perempuan yang menggambarkan jalan-jalan darah untuk latihan tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) itu."

Hay Hay pergi dan kembali ke kamar suhunya membawa dua gulungan gambar yang melukiskan tubuh seorang pria dan seorang wanita dengan garis-garis jalan darah masing-masing yang mempunyai sedikit perbedaan. Dia sudah hapal akan jalan-jalan darah pria dan wanita itu, akan tetapi kini perasaannya membisikkan bahwa yang hendak diajarkan suhunya sama sekali tidak mengenai jalan darah!

Ciu-sian Sin-kai menggantungkan dua gambar itu berdampingan di atas dinding, kemudian mulailah dia menjelaskan tentang keadaan tubuh pria dan wanita dalam hubungannya dengan sex. Dengan jelas, tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu dia menceritakan semua, mulai dari hubungan kelamin, sampai terjadinya benih yang tumbuh menjadi seorang anak di dalam rahim si wanita. Dengan perlahan dia memberi penjelasan sehingga Hay Hay dapat memperoleh gambaran yang amat jelas tanpa menjadi terangsang.

"Nah, sekarang engkau tentu sudah mengerti betul. Pria tertarik kepada wanita cantik dan sebaliknya, merupakan hal yang wajar, muridku. Daya tarik dari masing-masing pihak itulah yang merupakan syarat utama sehlngga pria dan wanita saling mendekati dan melakukan hubungan badan sehingga terlahirlah manusia-manusia baru, seperti juga yang terjadi pada semua binatang dan semua tumbuh-tumbuhan. Yang berbeda hanya cara melakukan hubungan itu saja. Tanpa pertemuannya dua zat Im dan Yang, takkan terjadi pertumbuhan kehidupan baru."

Hay Hay mengangguk-angguk tanpa menjawab, hanya sepasang matanya kadang-kadang memandang wajah suhunya, kadang-kadang memandang kedua gambar tubuh manusia di dinding itu.

"Karena itu, berhati-hatilah mengendalikan rasa sukamu terhadap wanita. Pergaulan akrab boleh saja, mengapa tidak? Hanya, engkau harus berhati-hati. Hubungan kelamin yang dapat membuahkan manusia baru, hanya tepat dilakukan oleh kedua orang pria dan wanita yang saling mencinta, yang sadar bahwa hubungan mereka dapat menghasilkan anak, dan keduanya sudah siap untuk menerima kehadiran anak itu untuk dibesarkan dan dididik. Hubungan yang berdasarkan nafsu dan iseng belaka, kalau sampai membuahkan anak, tentu akan mereka terima sebagai suatu malapetaka dan hal ini tentu saja amat tidak baik."

"Terima kasih atas segala petunjuk Suhu yang amat berharga." kata Hay Hay dengan hati lega. Sebegitu jauh, belum pernah dia melakukan pelanggaran dan memang dia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa dia akan lupa diri bersama seorang gadis, melakukan hubungan, kemudian mendapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung dan melahirkan seorang anak! Tidak, dia belum siap untuk menjadi ayah! Belum siap untuk menikah Dia akan selalu ingat akan bahaya ini.

"Nah, sekarang engkau sudah tahu. Orang-orang muda di pulau ini mempunyai ayah bunda, tentu mereka akan mengetahui hal itu dari orang tua mereka. Engkau boleh saja mengajak mereka bicara tentang ini, juga boleh engkau memberi tahu kepada para gadis itu agar mereka berhati-hati. Wanitalah yang menanggung akibat jauh lebih hebat daripada pria dalam hubungan di luar nikah ini, karena wanitalah yang akan mengandung dan melahirkan anak! Jadi, terutama sekali, wanita yang harus mengekang diri dan berhati-hati. Masih baik kalau si pria bertanggung jawab dan mencintanya dengan sungguh-sungguh sehingga bersedia menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya. Bagaimana kalau mendapatkan pria yang hanya main-main karena terdorong napsu belaka, setelah wanita itu mengandung lalu meninggalkannya begitu saja?"

Semenjak menerima petunjuk dan nasihat gurunya, Hay Hay bersikap lebih hati-hati. Bukan berarti dia menjauhi wanita, sama sekali tidak. Dia memang suka sekali bergaul dengan gadis-gadis, apalagi gadis yang cantik manis dan manja. Dia suka mengamati wajah mereka yang manis, rambut mereka yang halus dan kulit tubuh mereka yang putih mulus. Dia suka mencium bau sedap tubuh mereka, suka mendengar suara mereka yang halus merdu dan manja, menyentuh kulit yang hangat dan halus. Betapapun juga, dia kini lebih berhati-hati!

Masalah sex dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, sejak dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan yang tak kunjung habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan besi berupa pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan sebagainya untuk mengekang anak-anak mereka agar jangan sampai tergelincir oleh godaan nafsu dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit semenjak tubuh mereka menjadi dewasa. Ada pula yang acuh saja, bahkan kurang perhatian dan masa bodoh sikapnya. Akan tetapi kedua-duanya, kalau sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum menikah, menjadi kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi karena dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.

Mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang gadis di dalam kamarnya atau dalam rumah saja, sudah bukan jamannya lagi sekarang. Akan tetapi membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan dalam keadaan yang kurang kuat sehingga mudah ia tergoda dan tergelincir, tentu saja bukan suatu sikap yang baik dari orang tua. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua menghadapi pergaulan yang makin modern dan bebas dari anak-anaknya? Orang tua yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka menghamili seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis itu sebagai mantu, cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah ataukah belum. Sebaliknya, orang tua yang mempunyai anak gadis selalu khawatir kalau anaknya itu tergoda dan tergelincir menjadi hamil dan seribu satu usaha dilakukan orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara yang tidak terpuji, yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!

Setiap orang anak memiliki dunianya sendiri, kehidupannya sendiri, selera dan jalan pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Namun semua ini tidak terpisah sama sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan keluarganya. Sudah sepatutnya kalau anak yang lahir di dunia karena ulah ayah bundanya, memperoleh cinta kasih yang murni dari ayah bundanya, karena HANYA KASIH SAYANG inilah merupakan pendidikan yang paling benar. Dengan adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua menjadi akrab, dan keakraban ini yang membuat si anak menjadikan orang tuanya sebagai sumber segala pertanyaan, sumber segala perlindungan. Dengan dasar cinta kasih, anak akan menerima keterangan-keterangan tentang kehidupan dari orang tuanya, dan sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat, tidak pernah merasa terkekang dan merasa bebas dan bertanggung jawab akan segala perbuatan yang dilakukannya sendiri. Rasa tanggung jawab ini meniadakan penyesalan atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Apalagi kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa dirugikan, merasa dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan dan kemarahan-kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan dirugikan! Namun, kasih sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Anak akan memasuki kehidupan dalam masa apapun juga dengan mata terbuka dan jiwa bebas kalau anak itu memperoleh cinta kasih sejak kecilnya. Jiwanya tidak terkekang, tidak tertekan, terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang membuatnya menjadi pengecut dan tidak berani mempertanggung-jawabkan segala akibat daripada perbuatannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar