"Lepas!" Ban Sai Cinjin membentak sambil memutar huncwenya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba ia membetot dan terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Kemudian huncwenya meluncur dengan sebuah totokan hebat dan robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya telah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.
Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, ia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.
"Minum ini!" katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai. Lo Sian biarpun telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka ia diam saja, biarpun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.
"Eh, pengemis jembel!" Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. "Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?" Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga sehingga ketika terdengar suara "plak!" bibirnya pecah dan berdarah! "Buka mulut anjing ini!" kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya. Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor, sehingga mulut Lo Sian kini ternganga diganjal sepatu dari Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian.
Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya. Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya! Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga ia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan tak dapat digunakan lagi, lalu la menjadi pingsan tak sadarkan dirinya! Setelah ia membuka mata kembali, ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tak nampak lain orang di situ dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan.
Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar lagi ia berteriak-teriak, "Pemakan jantung...! Tolong... pemakan jantung...!"
Kemudian, dengan beringas ia melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tidak karuan seperti orang mabok. Terdengar ia berteriak-teriak, sebentar menangis seperti orang ketakutan setengah mati, kemudian ia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu. Ternyata Lo Sian telah menjadi gila! Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mujijat yang merampas ingatannya dan membuat ia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin merasa tak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia mernbiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian! Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan kepada diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Ia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri dan tidak ingat lagi segala kejadian yang lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang! Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila.
Pegunungan Ho-lan-san memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dan daratan Tiongkok Propinsi Kansu. Sungguhpun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di bagian utara, merupakan padang pasir yang amat luas, namun pegunungan ini cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.
Oleh karena itu, tak heran apabila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa- desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang. Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, karena air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan. Pekerjaan ini makin lama makin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup bermodal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan.
Tukang-tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang telah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho telah siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun! Pada suatu hari, tiga orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampaknya kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantungkan di pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.
Ketika mereka tiba di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap, mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.
"Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini," terdengar orang yang tertua berkata.
"Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini? Suhu sendiri katanya kalau melakukan perjalanan lewat di sini mengambil jalan memutar. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu."
"Ah, Twa-suheng," kata yang termuda, mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota memiliki kepandaian, mengapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?"
Orang ke dua menyambung. "Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tak enak di dalam hatiku. Dunia ini memang aneh dan banyak hal- hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?"
"Mengapa takut?" kata pula yang termuda. "Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang telah terkenal namanya di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) akan membayar tiga kali lebih banyak daripada kayu-kayu biasa."
Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang di antara banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka.
Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya! Para penebang pohon ini menjual kayu yang mereka tebang pada perusahaan- perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu, di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.
Sudah menjadi semacam dongeng yang amat dipercaya selama bertahun-tahun oleh penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa puncak yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, jurang-jurang dalam dan gua-gua yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat.
Sesungguhnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang meniadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan! Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat mahluk yang sakti, sungguhpun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa mahluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas, "Lekas keluar dari hutan ini!" Para piauwsu yang mengawal rombongan ini adalah orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman.
Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab, "Mohon maaf sebanyaknya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin lebih dulu. Kami bersedia membayar uang sewa jalan apabila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini"
Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi tiba-tiba terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Kalau suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, sekarang terdengar suara yang juga halus dan nyaring, akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.
"Jangan banyak cakap! Kami tidak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!"
Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi penasaran sekali. Mereka mencabut senjata masing- masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.
"Kalau kami tidak mau pergi dan hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?" tanya kepala piauwsu itu dengan marah.
Kini yang menjawabnya adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh. "Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apabila kalian belum keluar dari sini!"
Seorang di antara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia, diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara itu datang. Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata- senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda- tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang mengherankan, tiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.
Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.
"Tidaklah lebih baik kita mengambil jalan memutar saja?" tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.
"Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Kalau kami mengalah terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?"
Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.
"Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!" tiba-tiba seru suara tadi dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi.
Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh! Sebelum tujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka, terdengar jerit mereka susul- menyusul dan tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang! "Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!" tiba-tiba terdengar suara yang halus itu dari atas pohon.
"Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!"
Rombongan itu dengan amat ketakutan lalu menolong para piauwsu menaikkan dan menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan! Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan amat terkenal dan semenjak itu, tak seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan.
Siapa orangnya yang takkan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu? Berita tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh pendatang-pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Betapapun juga, karena mereka pun tahu bahwa di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai tidak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu. Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.
"Siapa tahu," kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, "kalau-kalau di tempat itu terdapat seorang pertapa yang mengasingkan diri dan tidak mau diganggu pertapaannya."
Akan tetapi, sebagaimana telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan tentang kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu. Mereka ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguhpun tadinya yang tertua di antara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sutenya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu! "Bagaimanapun juga, Sute, kita harus berhati-hati dan lebih baik bekerja diam-diam jangan banyak berisik," kata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon itu. Kedua sutenya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.
Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sutenya dan ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar. "Lihat, apakah itu?" katanya kepada kedua orang sutenya yang memandang heran. Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.
"Orangkah dia?" seorang berbisik.
"Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!" memuji orang termuda yang paling tabah hatinya. "Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam gua itu!"
Kedua orang kawannya ragu-ragu, akan tetapi karena tidak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan berani sudah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.
Benar saja, di tempat yang meninggi, terdapat sebuah gua yang lebar. Gua ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah gua itu merupakan terowongan atau bukan.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam, "He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!" Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari gua yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya! Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, matanya tajam berpengaruh dan mulutnya yang kuat dan membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannva sederhana akan tetapi rapi, seperti pakaian seorang pelajar, berwarna putih. Ia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya berwarna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni gua yang berpakaian sedemikian putih bersih.
Melihat pemuda ini hanya seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu bernapas lega.
"Kami adalah penebang-penebang kayu dan hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini," jawab penebang tertua.
Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali lalu berkata, "jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!"
Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah, "Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak apakah yang kauandalkan untuk mengusir kami?"
"Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Adapun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini daripada kalian bertiga!"
Marahlah penebang muda itu. "Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?"
"Tutup mulut dan pergilah!" seru pemuda itu dan biarpun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang aslinya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak. Akan tetapi, biarpun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, namun ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.
"Ha-ha, anak muda! Betapapun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!" Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, pemuda itu telah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa dapat dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu telah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah! Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu! Akan tetapi kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tidak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya kedua lengan tangannya saja bergerak cepat dan tubuhnya bergoyang- goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan...
"aduh...! aduh...!" dua orang itu merasa kedua lengan mereka tiba-tiba menjadi lemas dan sakit sekali karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu telah berhasil menotok pergelangan kedua tangan penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata mereka terpaksa mereka lepaskan dan jatuh bertumpuk di atas tanah! Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu.
Bagaimanakah mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, kini dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagaikan patung.
Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.
"Pergilah...! Pergilah...!" pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya! Tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua. "Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka!"
Pemuda baju putih itu menengok ke arah gua dan menjawab, "Mereka hanyalah tiga penebang pohon yang tak berarti, Ibu!"
"Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!" suara dari dalam gua itu makin nyaring dan tiba-tiba tiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan! Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.
"Ah, Sute. Kalau kau tadi mendengar omonganku, tidak akan kita mengalami kesengsaraan ini!" kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.
Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuatnya berdebar-debar.
"Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?" tanyanya perlahan.
"Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh," kata orang ke dua.
"Dan bayangan merah tadi... apakah dia itu? Ia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!" kata yang tertua sambil bergidik teringat akan serangan bayangan merah tadi. "Sungguh berbahaya sekali!"
"Betapapun juga, aku masih penasaran, Suheng!" kata yang termuda. "Tak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi ia seorang manusia biasa saja, bukan setan.
Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu? Jangan- jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri."
"Habis kau mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka, lebih baik kita menjauhkan diri," kata yang tertua. "Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan gua!" mengeluh orang ke dua.
"Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!"
Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang "siluman" di hutan itu yang disebutnya "Pek-ang-siang-mo" (Sepasang Iblis Putih Merah).
Pek I Hosiang mendengarkan penuturan tiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.
"Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini amat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?"
Sungguhpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja ia amat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam- diam ia mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu. Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang-siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya. Pemandangan di situ sungguh indah. Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka-ria menyambut datangnya sang Matahari, di atas lapangan nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang cepat sekali gerakannya. Kadang-kadang gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bavangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda baju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan- akan sedang menari saja.
Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan. Ukuran besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat kalau disebut bentuknya seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat daripada logam yang amat keras berkilauan, dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.
Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali lenyaplah tubuhnya terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat. "Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!" terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.
Wanita itu mengenakan pakaian serba merah sungguhpun pakaiannya itu amat sederhana potongannya, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih nampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih. Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, ia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya berkeriput, sungguhpun matanya masih bening dan bersinar tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik! Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.
Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya.
Tak seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena kepandaiannya maupun karena kecantikannya yang luar biasa.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan dan menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (burung rajawali putih) dan telah banyak makan telur ini yang dapat memelihara kecantikannya. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.
Akan tetapi segata sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apalagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar. Khasiat telur Pek-tiauw itu biarpun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang telah makan obat ini, apabila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun! Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, diam-diam Ang I Niocu meninggalkan suamina, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, ia selalu memilih jalan yang sunyi agar tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Akhirnya ia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana ia mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah gua yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya. Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat dan pakaian indah sampai barang- barang permainan apa saja, ia adakan dan tak segan- segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota- kota besar untuk mencari barang-barang itu.
Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedang yang luar biasa, Sianli-utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan-kiam-hwat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata memiliki otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.
Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka ia pun menjadi seorang pemuda yang amat pendiam, keras hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song. Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti).
Tanpa menghiraukan jauhnya tempat itiu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya! Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong makin gagah seakan-akan seekor harimau muda tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu. Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya yaitu Lie Kong Sian dan mengapa mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan tentang pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.
"Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji," Ang I Niocu seringkali berkata.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh daripada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan ia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu! Beberapa kali Lie Siong minta kepada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selatu mencegahnya.
"Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji.
Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai."
Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasa Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa puas betul karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tidak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam ia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya telah mencapai tingkat yang tak lebih rendah daripada kepandaiannya sendiri! Ia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini. "Siong-ji," kata Ang I Niocu sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, "sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu sudah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri."
Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.
"Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?"
Ang I Niocu menggeleng kepala. "Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?"
"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini.
Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?"
Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam.
"Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apabila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!" Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.
Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. "Aneh sekali, Ibu. Aku telah merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini.
Menurut pandanganku wajahmu amat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu buruk? Aku sudah seringkali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!"
Ang I Niocu memegang tangan puteranya. "Ah, Siong- ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu di waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!"
"Aku tidak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimanapun juga perubahan yang terjadi kepada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!"
Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. "Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!"
"Kalau begitu, kauturun gunung, Ibu?"
Kembali kening Ang I Niocu berkerut. "Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu... wajahku ini..."
Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki. "Lagi-lagi Ibu bicara tentang wajah...!"
"Ah, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk- buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?" "Mereka siapa, Ibu?"
"Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa..."
"Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kausebut-sebut saja!" kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya! Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya "Sepasang Iblis" yang ditakuti orang-orang itu. Ia telah dapat menemukan gua tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik tiga orang rnuridnya berserakan di depan gua.
Melihat gua itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.
Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud! Harap dimaafkan apabila pinceng mengganggu Ji-wi, dan datang tanpa diundang. Kalau pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini."
Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu dan membentak, "Pergilah...! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!"
Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.
"Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai.
Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng sengaja datang untuk memintakan maaf bagi ketiga murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?"
"Sudahlah, sudahlah!" Ang I Niocu membanting- banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. "Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula memperkenalkan nama. Kaupergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan kepadamu!"
Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar.
"Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tak bermaksud buruk.
Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, tetapi pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa di sini." "Cukup...! Pergi...!" Ang I Niocu membentak lagi.
"Omitohud! Banyak sudah pinceng ketemu orang- orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini..."
"Kau mencari penyakit!" Sambil membentak marah, Ang I Niocu lalu maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut. Pukulan ini hebat luar biasa sekali, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih! "Omitohud!" Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat seperti kilat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya. Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga tindak, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannva terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang dapat menahan pukulan Pek-in-hoat-sut! Ia maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.
Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.
"Bukankah... pukulan tadi sebuah gerakan dari Pek-in- hoatsut?" katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.
Kembali Ang I Niocu tertegun. "Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini??" Ia maju lagi, siap menyerang kembali.
"Ah... kalau begitu..., Toanio ini, tentulah Ang I Niocu!"
Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini ia berusaha untuk menjauhi manusia agar tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.
"Bangsat gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!" teriaknya dan kembali ia memukul.
Akan tetapi Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, "Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in- hoatsut selain Ang I Niocu?"
Ucapan ini makin membakar hati Ang I Niocu.
Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguhpun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita tadi.
Ketika ia hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, "Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!"
Ang I Niocu tiba-tiba teringat akan puteranya dan ia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah kalau digunakan sebagai ujian bagi puteranya.
"Baik, kaumajulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini," katanya sambil melompat mundur.
Di dalam hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Ia sama sekali tidak menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu. Memang ia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas! Demikianlah, tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sianli- utauw. Hwesio itu kagum sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk mencoba kepandaian "siluman" ini.
Pek I Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang amat terkenal. Bagi pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si Pendekar Bodoh! Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat (baca Pendekar Bodoh), Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.
Pek I Hosiang telah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in-hoatsut, Kong-ciak-sinna dan lain-lain. Maka ketika ia melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, ia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat yang disebut Sianli-utauw! Biarpun gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun ia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan. Beberapa kali ia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali. "Pantas...!" serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. "Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu yang lihai!"
Selama hidup Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking gembiranya, ia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.
"Anak muda, mari kita coba-coba mengadu senjata!" katanya.
Lie Siong mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, ia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Ia lalu mengeluarkan limu Silat Kong-ciak-sinna, semacam ilmu silat yang banyak mempergunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong! Pek I Hosiang terkejut sekali dan biarpun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang matanya memandang kagum, namun di dalam hatinya ia merasa penasaran dan tidak senang. Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, ia lalu memutar kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya bermain toya.
Perlu diketahui oleh para pembaca yang belum membaca Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie Siong tak dapat tahan menghadapinya dengan tangan kosong.
Kedua toya pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak bagaikan sepasang ular besar menyerang dengan berlenggak-lenggok, sehingga usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna untuk merampas senjata ini tak pernah berhasil. Bahkan lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu! Melihat betapa pemuda itu masih saja tidak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu mainkan gerak tipu Hing-san-chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin menderu.
Lie Siong diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini dan ia terpaksa lalu menggerakkan kedua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan Tui- po-lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangan menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut untuk menolak datangnya kedua toya yang berbahaya itu.
Namun, gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata lain, melainkan berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arah menyerangnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguhpun dengan tenaga Pek-in-hoatsut yang lihai.
Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil berseru keras ia melompat dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong-hoan-sin (Naga Iblis Berjungkir Balik) tubuhnya talu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika ia melompat turun kembali, di tangannya telah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu! Bukan main kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin- liong-kiam yang hebat itu! "Bagus, jangan berlaku seeji (sungkan) anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!"
Mereka bertempur lagi dan kali ini benar-benar pertempuran itu hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiam-hwat, sedangkan Pek I Hosiang mainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat dan kuatnya.
Akan tetapi, akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda tapi lihai itu. Dengan gerak tipu Lian-hwa-gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya. Pek I Hosiang amat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini.
Sungguhpun pedang lawannya itu tidak runcing, namun bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok jalan darah atau melukai tubuh. Ia cepat menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan. Inilah gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia-kun-hwat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia-kun-hwat ini selalu mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya! Akan tetapi, Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, maka ia tadi menyerang dengan gerakan Lian-hwa- gai-ho, ia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, ia cepat mengulur tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak-sinna mencoba merampas toya itu! Tentu saja Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, dan ia cepat mengubah gerakan toya kiri ini ke samping agar tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanya gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sesungguhnya yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang. Ketika lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas! Pek I Hosiang terkejut sekali, cepat ia menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya, tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga tidak mengejarnya.
Melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan tersenyum pahit.
"Omitohud! Kau anak muda benar-benar mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!"
Ia menjura kepada Lie Siong. Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas dan meluncur ke arah pemiliknya dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.
Akan tetapi, Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.
"Hwesio busuk, lekas kaupergi dari sini dan tinggalkan toyamu!" katanya dan secepat kilat ia telah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu.
"Tak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!" Ia lalu menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya berkelebat berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.
"Traang...! Traaaang...!" Ketika dua kali pedang Liong- cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya toya-toya itu terbabat putus! Ang I Niocu melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat, "Pergilah!"
Pek I Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan menjura.
"Terima kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!" hwesio ini lalu melompat dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.
Setelah hwesio itu tidak nampak bayangannya lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya, "Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedangku Sin-liong-kiam bertemu dengan pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?"
"Siong-ji, apa kaukira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu? Cabutlah pedangmu itu!"
Lie Siong meloloskan Sin-liong-kiam sedangkan Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam. "Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan bertemu dengan pedangku!"
Anak dan ibu itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat daripada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah Ang I Niocu melatih anaknya! Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, tiap kali berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya! Pernah ia mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini disengaja oleh Ang I Niocu untuk memberi ketabahan kepada puteranya. Kini mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini mereka lakukan. Liong-cu- kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu dan terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang itu ternyata tidak rusak! Seratus jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanya bayang-bayang putih dan merah yang diselimuti oleh gulungan sinar pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas! "Sudah cukup...!" Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya! "Siong-ji, sekarang orang-orang sudah tahu akan tempat tinggal kita, bahkan hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!" Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.
"Jadi, kita turun gunung?" tanyanya penuh harapan.
Betapapun keras hatinya sehingga ia seringkali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.
Akan tetapi ibunya menggeleng kepala. "Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang- ouw!"
"Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini..."
Ibunya mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. "Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku." Sambil berkata demikian, ia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.
"Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?" Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah ia akan segala pengalaman dengan Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu (baca Pendekar Bodoh).
"Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang terjatuh ke dalam tangan Pendekar Bodoh."
"Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couwmu itu, Ibu."
"Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok- couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tidak ada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang sungguhpun ibumu pernah mendapat latihan darinya."
"Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang seringkali Ibu puji-puji."
"Pergilah dan kau tentu akan bertemu dengan mereka yang pandai itu. Pergi dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu."
Setelah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam gua lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Ia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah.
Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi oleh ibunya pakaian warna putih atau kuning sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
"Nah, kaupergilah, Anakku. Kau telah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau sudah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu. Hati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari kita.
Kasihan ayahmu itu, kaucarilah kepadanya dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia.
Berangkatlah, doaku besertamu selamanya."
"Selamat tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku dapat bertemu dengan Ibu lagi?"
"Tak perlu kaubingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak."
Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Ia telah melangkah keluar dari gua, akan tetapi tiba-tiba ia kembali lagi dan memeluk ibunya.
"Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi."
Ang I Niocu merasa terharu dan ia tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.
"Jangan gelisah, Siong-ji. Apa kaukira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku."
Maka berangkatlah Lie Siong, membawa sebungkus pakaian yang diikatkan di punggungnya, dan pedangnya, Sin-liong-kiam atas kehendak ibunya, disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.
Ketika ia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, ia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka ini adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringkan enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu. Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang "siluman" itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar murid-murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu! Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Ketika Lie Siong tiba di dekat tempat itu, ternyata ia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka. Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai.
Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut diantara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk membakar semangat para kawan, empat orang yang terkuat itu lalu memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali! Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan amat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga, menarik tambang itu. Urat-uratnya menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja menanggalkan baju agar tidak robek. Memang sukar dipercaya kehebatan tenaga mereka. Empat ekor kerbau belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi ketika empat orang ini mengerahkan tenaga, terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya! Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian maka tak seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang menonton demonstrasi itu.
Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong. Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak ikut bersorak memuji.
Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, karena tiga orang penebang pohon yang pernah ia robohkan itu tidak berani ikut bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur, "Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah, hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang- siang-mo itu akan ditumpas!"
Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.
Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang ia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tidak berubah sedikitpun juga, ia berkata acuh tak acuh, "Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini."
"Eh, eh, mengapa kau berkata demikian?" tanya Si Jenggot Pendek.
"Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan biarpun hanya satu kakinya saja kalian tidak akan mampu merobohkannya!"
Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga memandang dengan heran dan marah.
"Orang muda, kautahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!" kata seorang di antara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.
"Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong."
"Kaubicara sungguh-sungguh?" kata Si Jenggot Pendek sambil tersenyum menghina. "Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami takkan dapat merobohkanmu?"
Semua orang tertawa mengejek mendengar ini, dan enam orang pengusaha itu berdiri sekelompok dan berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.
Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. "Mengapa tidak berani? Kalau kau bisa menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu."
"Bagus!" seru Si Jenggot Pendek. "Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kaupersalahkan kami, anak muda yang manis!"
Terdengar suara orang tertawa disusul dengan ejekan, "Kalau kakinya sudah copot, bagaimana ia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?"
Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguhpun mereka memandang makin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini.
Apakah dia berotak miring? "Boleh, aku berjanji," jawab Lie Siong yang hendak mempermainkan orang-orang sombong itu, "sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apabila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!"
"Jadi!!" seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu! Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok tersendiri, tidak berani mendekati para "thauwke" (majikan) itu. Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai, "Kau sudah siap?" Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian ia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek. Kalau orang yang memiliki kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan.
Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.
Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sianli-utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar! "Aku sudah siap!" kata Lie Siong dengan suara dingin saja seakan-akan tidak menghadapi urusan penting.
Sambil tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang kepada kaki kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan- kawannya dan sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan, "Kita menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar ia jatuh terjengkang!" Tiga orang tersenyum gembira dan menganggukkan kepalanya. Mereka lalu berdiri berbaris dan memegang tambang itu. Semua orang memandang dengan napas tertahan, karena betapapun mereka merasa lucu dan penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini, melihat wajah yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga.
Sedikitnya kaki yang tak seberapa besarnya itu pasti akan patah oleh tarikan empat orang kuat ini, pikir mereka.
Bahkan seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata, "Hian-te, mengapakah kau melakukan hal yang bodoh ini? Kaumintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja."
Lie Siong paling tidak suka kalau ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke arah orang itu, ia berkata, "Jangan ikut campur, dan mundurlah!" Tentu saja semua orang makin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.
"Aku sudah siap, hayo tariklah sekuatmu!" kata Lie Siong sekali lagi.
Orang berjenggot pendek itu memberi aba-aba, "Tarik...!!" dan keempat orang itu mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayanglah sudah di mata mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah. Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Pemuda elok itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan, kedua tangan ditaruh di belakang dan sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri! "Aduh...! Sungguh aneh!" terdengar suara penonton.
"Tak masuk di akal!"
"Tak mungkin...!"
"Ajaib sekali...!!"
Kalau semua orang yang menonton menjadi terheran- heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi.
Tambang itu telah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seakan-akan sedang menarik sebuah gunung saja! Untuk sesaat mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka lalu menarik lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka "ah-ah, uh-uh" sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke mari, akan tetapi tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali tidak bergeming sedikit pun! Kini tak seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik.
Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!"
Peluh sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya. Lie Siong merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, maka ia lalu membentak keras.
"Tidak lekas lepaskan tambang?" Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan itu terdorong ke depan dan karena mereka masih belum melepaskan tambang itu, mereka jatuh saling timpa! Yang paling sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika ia merangkak bangun kembali, hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah! Kini ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh ini? Biarpun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.
Pada saat itu, nampak dua orang berlari dari bawah lereng dan mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang, "Dia adalah iblis putih!"
Orang ini adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar