Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam lagi. "Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani bertanya. Kiranya lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang. Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan dengan telah berpindahnya Siong-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami di hutan depan untuk mempererat persahabatan."
In Hong pernah mendengarkan penuturan subonya tentang dua golongan, yaitu golongan putih dan hitam dan subonya secara samar mengatakan bahwa Giok-hong-pang boleh jadi digolongkan golongan hitam. Menurut subonya, golongan putih terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan paling pandai. Sedangkan golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subonya juga tidak pernah melakukan hubungan dengan golongan manapun juga. Akan tetapi dia pernah mendengar subonya bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui lebih banyak.
"Kalian siapakah?"
Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum lebar dan berkata, "Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan itu."
Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, "Harap lihiap jangan khawatir dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap."
Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya agar tidak khawatir dan takut, harga dirinya memberontak. Dia khawatir? Dia takut?
"Hemmm...!" Dia menggeram lirih. "Baiklah, hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan!"
Jawaban inipun jelas merupakan tantangan, namun dua orang itu seolah-olah tidak mengerti dan dengan girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.
"Biar kubawakan buntalanmu, nona," si muka pucat berkata.
"Tidak perlu, aku bawa sendiri," jawab In Hong. Si muka pucat ini berusaha untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengah keramahan pelayan restoran yang wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan dan tidak menyenangkan karena terlalu dibuat-buat dan pandang mata pemuda inipun tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang ajar.
"Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat lihiap lelah kalau membawa barang berat." Setelah berkata demikian, si muka kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan memasuki hutan besar itu.
In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke belakang itu menjadi kagum juga. Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar saja mereka telah tiba di tengah hutan besar di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai, terdiri dari pondok-pondok yang berdiri tersembunyi di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Kedatangan mereka disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari orang-orang kasar.
"Ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat, pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!" Orang yang bertahi lalat di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.
"Twa-suheng, nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw. Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk singgah di sini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng," kata si muka pucat.
"Ahh, begitukah? Seorang naga betina dari Giok-hong-pang? Bagus, silakan masuk, nona," kata si tahi lalat.
In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk dan mengikuti empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mana dia dipersilakan duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.
"Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan." In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.
"Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita bicara dulu dan silakan menikmati hidangan seadanya," kata si tahi lalat yang ternyata adalah orang pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. "Kami mendangar bahwa Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan membasmi Kwi-eng-pang. Benarkah? Kami kenal baik dangan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana dia sekarang?"
"Dia telah tewas," In Hong menjawab pendek.
"Ahhh...!" Si tahi lalat berseru. "Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai tewas, tentu kepandaian subomu itu hebat bukan main!"
In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak suka arak.
"Aku tadi mendangar tentang Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?" Akhirnya dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang pusaka itu.
"Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendangar berita hebat itu? Ha-ha, akhirnya Cin-ling-pai dangan Cap-it Ho-hannya menemui tanding! Cap-it Ho-han yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha, ingin aku menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!" Si tahi lalat berkata dangan nada girang bukan main.
In Hong tidak pernah mendangar dari subonya tentang Cap-it Ho-han, dia hanya mendangar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh subonya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka terampas, tentu para perampasnya itu hebat sekali.
"Siapakah Lima Bayangan Dewa?" tanyanya.
"Kami sendiripun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Setelah ada datuk-datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa? Ha-ha-ha, kaum kang-ouw tentu akan geger sekarang."
In Hong bangkit berdiri. "Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Aku akan melanjutkan perjalananku."
"Eh, eh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa beruntung sekali dengan pertemuan ini yang harus dirayakan malam nanti," si hidung besar bertahi lalat berkata.
"Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?" kata si muka pucat dangan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurangajaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
Tiba-tiba terdangar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang laki-laki yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat seperti seekor babi yang akan disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke atas lantai di depan Fen-ho Su-liong.
"Siapa dia? Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?" Si tahi lalat membentak marah. Sementara itu, melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan duduk sambil menonton penuh perhatian.
"Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi ketika kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan menggulingkan perahu karena piauwsu-piauwsu itu lihai. Kami berhasil menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut tenggelam."
Si tahi lalat menjadi merah mukanya. "Bodoh! Kenapa harus menggulingkan perahu?"
"Piauwsu-piauwsu itu lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka."
"Plakk!" Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya. "Memalukan saja, di depan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!" Dia menoleh kepada In Hong sambil berkata, "Coba nona lihat, apakah tidak memalukan mempunyai anggauta seperti ini?"
"Maafkan kami, twako..."
"Hayo buka ikatannya!" Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu yang sudah mulai siuman itu. Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini,sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat.
"Tapi... twako..." anggauta bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu ini.
"Buka...!" Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia sudah agak mabok. "Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!"
In Hong memandang dangan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak perduli dan tidak merasa kasihan kepada piauwsu itu karena merasa bahwa yang dihadapinya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan dirinya, dan diam-diam dia pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang menganggap sebagai "sahabat" dari Giok-hong-pang.
Piauwsu itu dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak dan tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri sebagai seorang gagah.
"Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!" Si muka pucat menghardiknya.
Piauwsu itu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, memandang kepada empat orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat seorang gadis cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dangan ketika dia memandang bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik inipun kaki tangan bajak! Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.
"Kalau tidak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dan kami golongan piauwsu tidak ada permusuhan, bahkan ada kerja sama baik. Seingat saya, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tidak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Mengapa hari ini su-wi mengganggu kami?"
"Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manispun tidak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!" kata si jenggot pendek.
Piauwsu itu membusungkan dadanya. "Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam dan barang-barangnya hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kamipun tidak mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu mengapa terjadi perubahan ini di fihak kawan!" Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.
"Ha-ha-ha-ha!" si tahi lalat tertawa. "Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han? Ha-ha-ha!"
Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia kang-ouw tentang kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!
"Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan siapapun. Untuk pekerjaan kami, kami sendiri yang bertanggung jawab. Setelah kalian membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?"
"Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!" Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dangan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.
"Dukkk...!" Plauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka seimbang.
"Haii, kau berani melawanku!" Si tahi lalat membentak marah dan terus menyerang dangan ganas. Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan menangkis. Akan tetapi tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat.
"Bukk!" Tiba-tiba orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget.
"Plakkk!" Si jenggot pendek menampar dari samping. Biarpun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting.
"Desssss!" Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang, tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah.
"Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!" Piauwsu itu membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dangan niat untuk mengadu nyawa. Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah lelah dan empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia menjadi permainan mereka, dipukul dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.
In Hong melihat ini semua dan dia kini berkata perlahan, "Bagus! Jadi begini gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga lagi?"
Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tak dapat melawan lagi itu mundur dan menyeringai agak malu. "Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana mampu melawan kami? Nona, kaulihat tonjokanku dangan jurus Naga Sakti Mencuri Mustika tadi begaimana, hebat tidak?" Si tahi lalat bertanya kepada In Hong.
"Ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!" si kurus pucat berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan panas perutnya.
In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendangar suara tangis wanita dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-puteri saudegar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.
"Ah, inikah anak-anak ayam itu?" Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.
"Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah untuk kalian bertiga, sute! Sedangkan aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat, engkau nanti kupersilakan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan..."
"Manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di tanganku!" In Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin, seperti bukan suara orang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan dingin, agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis. Dia telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tidak sempat mengganggu tiga orang wanita itu. Andaikata di situ tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan turun tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat tiga orang wanita itu akan dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.
Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. "Wah, kiranya dia juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dangan jinak, twako!" kata si muka pucat.
"Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan menjinakkannya, sute bertiga!"
Empat orang laki-laki itu sambil tertawa-tawa lalu berlompatan keluar. Tugas untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dangan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong amat mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dangan tiga orang wanita yang dibajak itu.
In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika empat orang itu mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.
"Haaai-hooohhh!" Si tahi lalat menggertak dan pura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang mau menangkap, akan tetapi In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru.
"Bressss...!!" Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena meraka saling bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dangan tenangnya di sebelah sambil memandang mereka dangan sikap mengejek. Sementara itu, para anggauta bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka ketika mendangar bahwa empat orang pimpinan mereka sedang "menjinakkan" seorang wanita cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua sudah mendengar bahwa tamu itu adalah anggauta Giok-hong-pang yang diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria! Tentu akan merupakan tontonan yang menarik melihat bagaimana empat orang pimpinan mereka menjinakkan wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka masih tertawa-tawa ketika melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji bahwa wanita itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan pada saat mereka menubruk.
Kini empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari belakang, si muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap dangan sikap masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot dan suhengnya menghampiri dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau.
Tiba-tiba terdangar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampak sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil! Ternyata, sama sekali tidak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang dahsyat, In Hong sudah bergerak, entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang di tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suhengnya yang berdiri depan belakang! Pedang itu menembus dada dua orang itu dan pada detik berikutnya, tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat, terdangar suara keras dan mereka menjerit berbareng dangan jerit dua orang yang "disate" itu, kemudian roboh dangan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.
Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambutpun mereka tidak pernah menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ. Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka seperti buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!
Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dangan susah payah merangkak keluar, sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas dan disusul oleh empat belas orang bejak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali. Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dangan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya menyambar buntalan itu dan melangkah pergi.
"Lihiap...! Tunggu dulu...!" Piauwsu itu berseru dan memaksa dirinya untuk berlari menghampiri.
In Hong menoleh, matanya bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut. "Lihiap, terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui nama besar lihiap...?"
"Kauurus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"
"Baik, lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari depannya!
Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorangpun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik.
"Cantik seperti Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dangan sebuah perahu karena kalau sampai datang kembali bajak-bajak itu, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka.
Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andaikata tidak terjadi penghinaan atas diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dia berjanji di dalam hatinya untuk terus mempergunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita! Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subonya atau seperti para bibi anggauta Giok-hong-pang! Dia tidak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Dia tahu, karena sering mendangar cerita para anak buah subonya, bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang telah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.
Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan! Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar tentang terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subonya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subonya.
Karena gangguan perjalanan itu, hari telah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia seperti orang dusun benar-benar memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Karena tidak dapat memilih, ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya.
Hampir dia tersenyum ketika dia diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!
Setelah mandi dan memesan makanan, makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lalu menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan diapun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas.
Menjelang tengah malam dia mendengar pernapasan orang di balik jendela! Dangan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun! Dengan tenang In Hong lalu mengambil hawa murni melalui hidungnya sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dangan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik. Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu memiliki obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biarpun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dangan pendengaran telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu! Kalau orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi aneh, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!
In Hong tidak mau ribut-ribut menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dangan hati-hati, memakai sepatunya dangan cepat dan sambil membawa pedangnya, dia meloncat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dangan tubuh ringan.
In Hong terkejut. Dari lampu di belakang hotel, ketika bayangan itu menoleh, dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan gin-kangnya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut. Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendangar bentakan halus, "Maling sial, mau lari ke mana kau?"
"Wah...!" Dia lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, dia secara tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan. In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu telah lari lagi!
In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak. Cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.
"Kembalikan buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas. Akan tetapi, tiba-tiba maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan lalu tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya!
Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi. "Gila!" bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus ia sudah menubruk dan dangan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.
"Waduuuhhh...!" Orang tua itu memekik dan roboh terguling, buntalan itu dapat dirampas kembali oleh In Hong. Maling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata, "Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!"
Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan demikian hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itupun amat berlebihan.
Sebelum dia sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang ilmu kepandaiannya tinggi menjulang sampai ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!" Dia lalu membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu dan untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.
"Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu berteriak.
"Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi buntalannya. "Begini ringan, tentu ada yang kauambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!"
Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya sakit, juga kecewa karena wanita muda yang cantik ini tidak dapat diakali. Dangan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel. "Celaka tiga belas! Benar makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dangan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dangan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka."
In Hong terkejut dan kagum. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu dapat menduga hampir persis jumlah isinya!
"Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Mengapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Apakah artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!" Maling itu hendak mengelak.
"Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Mengapa kaulakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"
Maling itu menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan awakku! Baiklah, harap lihiap, dengarkan baik-baik pengakuanku. Nama saya Can Pouw dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw dan di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah..."
"Jangan memutarbalikkan omongan, pakai mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.
"Yaahh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya mempergunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dangan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dangan paksa, berbeda dangan kami yang bekerja dangan halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?"
"Cerewet! Kau hendak main-main dangan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.
"Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa kira, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu hanya merupakan minyak wangi saja agaknya bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!"
"Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"
"Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnyapun?"
"Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, makin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.
"Eh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."
"Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.
"Iya, ya... jika seorang pencopet, maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... eh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tidak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"
"Mereka telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.
Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina..."
"Hayo ceritakan mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"
Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. "Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"
"Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang..."
Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya. "Nah, kauterimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan malapetaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.
"Heiiiii... lihiap, tungguuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. "Bukan main kehebatan gin-kang dari lihiap."
"Hayo ceritakan, berita apakah itu?"
"Lihiap begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."
Mendangar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sebetulnya karena saya sudah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dangan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguhpun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah menduga bahwa tentu lihiap seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."
"Dugaanmu benar, paman Can Pouw. Aku adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang."
"Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.
"Mengapa?" In Hong terheran.
"Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia..."
"Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"
"Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya Siang-bhok-kiam, bukan?"
In Hong terkejut. Dia memang tertarik oleh urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu. "Kalau benar demikian, mengapa?"
"Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang sudah mengampuni saya, sudah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!"
In Hong terkejut lagi. "Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya curiga, takut kalau dibohongi lagi.
"Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!" Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. "Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tidak ada berita yang lebih menarik daripada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya berjuluk Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki."
"Hemm, apa anehnya itu? Akupun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa."
"Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya lima orang sakti itu dan terutama sekali di mana mereka itu berada?"
In Hong benar-benar tertarik. "Dan engkau tahu, paman Can Pouw?"
"Tentu saja! Dengar baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang kesemuanya merupakan musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Melihat julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!"
"Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu."
"Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti daripada mendiang suhengnya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Adapun orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak dan kepalanya merupakan senjata ampuh."
In Hong mencatat dalam hatinya. Biarpun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu.
"Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya dan beracun, apalagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!"
In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka dan tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah bicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersendau-gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.
"Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit, dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap."
In Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. "Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku."
"Ada yang lebih penting lagi!" Can Pouw berseru. "Yaitu sarang mereka!"
"Di mana?"
"Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal di sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukan penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan bahkan menjadi pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggautanya melakukan pekerjaan dagang. Ketika kami dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang dapat keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!"
In Hong mengerutkan alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, "Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa."
In Hong tersenyum. Baru sekali ini selama dia meninggalkan Kwi-ouw, dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sungguh tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah! "Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari depan Can Pouw yang menjadi bengong. Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri memiliki gin-kang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seolah-olah dara itu pandai menghilang seperti setan!
Demi dewa...!" Ia berkata lirih, "berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!"
Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat dan bersembunyi di atas pohon mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu. Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia kalau yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekalipun julukan itu? Setelah maling tua itu pergi, barulah In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbul suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana kalau dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!
***
Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan gembira sambil menghadapi makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya dihidangkan di atas meja, dan arak wangi pun berlimpah-limpah. Para pelayan yang terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut ruangan, menanti kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan minum dengan gembira itu.
Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta kemenangan mereka, setelah mereka berhasil membunuh tujuh orang Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.
"Sungguh menyebalkan," Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, "pedang kayu macam ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan para tokoh kango-uw. Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biarpun mengandung hawa mujijat namun tidak lebih berguna daripada sebatang pedang baja yang baik."
"Dahulu lain lagi, Phang-suheng," kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. "Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka."
"Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha." Pat-pi Lo-sian tertawa dan mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia enam puluh lima tahun! Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan dan dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang selain suhengnya, juga seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi. Oleh karena itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan berduka sekali. Ketika itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam kematian suhengnya terhadap seorang musuh seperti ketua Cin-ling-pai saktinya, maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suhengnya. Setelah merasa dirinya kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itupun merupakan orang-orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka lalu mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, setelah Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka, ilmu yang didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok adalah yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa.
"Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong kalau dia pulang dan mendengar akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya Siang-bhok-kiam! Dan dia akan bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!" kata Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa.
"Biar dia mencari-cari setengah mampus!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa dan menenggak araknya.
"Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat kita."
"Eh, hwesio murtad, apa engkau takut?" Pat-pi Lo-sian bertanya, "Engkau meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya."
"Ha-ha-ha-ha, siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali mencoba Thi-khi-i-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana kekuatan daya sedotnya" Memang ada persamaan antara Thi-khi-i-beng dan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sin-kang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang pongah ini tidak tahu bahwa Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, melainkan Thi-khi-i-beng menyedot sin-kang orang membanjir keluar dari dalam tubuh!
"Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan. Betapapun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak teman-temannya yang lihai, sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku akan banyak tokoh hitam yang akan suka membantu kita."
Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, "Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh bernyali besar sekali!"
Lima orang itu terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat sungguhpun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.
"Memang mengagumkan dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!" terdengar suara kedua dan tahu-tahu muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan diapun lalu meraba sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja dan ingin menguji kepandaian dua orang tamu itu sebelum mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk menyambut mereka.
"Kedua tamu yang tak diundang, silakan!" kata orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.
Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan sekaligus jari-jari tangahnya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, berputaran dan ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti di atas kepalanya dan perlahan-lahan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Dia membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.
"Nenek tua, terimalah suguhan pinceng!" Hok Hosiang juga menggunakan sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata rahasia yang berbahaya.
"Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!" Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan sepasang sumpit itu menancap di depan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tanpa terbanting keras seolah-olah diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!
Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu amat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, "Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat."
"Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang tanpa diundang dan begitu datang ikut menikmati hidangan, ha-ha-ha!" kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. "Sebagai tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri..."
"Nanti dulu!" Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, "Biarkan kami menduga-duga siapa adanya ji-wi!" Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian wajah dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dulu berseru. "Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin"
Tosu tinggi kurus itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Hebat memang Lima Bayangan Dewa, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar."
"Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?" Hui-giakang Ciok Lee Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil tersenyum pula.
"Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena telah berani mengejek ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian," kata Hek I Siankouw.
Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga sungguhpun mereka jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toat beng Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dahulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi pembantu utama dari The Hoo (baca Petualang Asmara). Karena kini Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas kepada seorang panglima besar yang amat kuat kedudukannya seperti Panglima The Hoo, maka kini semua dendam ditumpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apalagi ketika mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin segera mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai, dengan dalih ikut berduka cita dan bersembahyang. Mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu.
Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin. Karena penyelewengan mereka menuruti nafsu berahi inilah yang membuat mereka terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan nenek. Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke manapun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini tak pernah berpisah.
Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lalu memperkenalkan diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa Hwa Cinjin menepuk meja.
"Ahh, kiranya sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali karena mendiang suhengmu itu adalah sahabat baik mendiang suhengku, yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba saatnya untuk melakukan balas dendam kepada Cia Keng Hong dan keluarganya."
Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.
"Aku mempunyai seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena diapun tidak suka kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat." Hek I Siankouw berkata.
"Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?" tanya Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah tua namun masih tetap cantik!
"Dia adalah Go-bi Sinkouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau bergabung dan datang ke sini."
Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama mereka menghadapi Cin-ling-pai, dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang dianggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang golongan hitam.
Mereka berangkat berpencar dan menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan orang-orang sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, seluruh penduduk Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.
***
"Adik In Hong...!"
In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak nampak seorangpun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut. Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang amat jauh, namun suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di pinggir telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.
Tak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam waiah yang cantik jelita itu.
"Yap In Hong, adikku, adik kandungku..."
In Hong mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.
"Sejak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang ketika menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu."
"Engkau... engkau mau apakah?" Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu. Hatinya berdebar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora di dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, akan tetapi juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.
"In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan setelah kita bertemu bagaimana engkau bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tidak ada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu."
Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan sejak kecilpun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita berpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapapun juga."
"In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san."
Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan mengira bahwa adiknya sebagai seorang gadis muda tentu akan menjadi merah mukanya karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya dan memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak perduli, kelihatannya agak termenung seperti orang terkejut. Dan memang bukan urusan perjodohan itulah yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan, berarti bahwa ketika ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu dan mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar tentang peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi malapetaka yang menggegerkan.
"In Hong, karena itu sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku dan kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subomu kepadaku maka aku selama ini tidak mau mempergunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin mempergunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu."
"Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan suboku, mana mungkin aku akan menyakiti hatinya dengan berbaik kepadamu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali." Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"In Hong...!" Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. "Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku sudah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"
"Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, koko?" jawab In Hong dengan nada mengejek.
Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal. Kini, baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk "menebus dosa" atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia lupa bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya itu seperti halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tidak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.
Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. "Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti akupun tidak akan mencampuri urusanmu."
In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, "Ayah dan ibu, anakmu ini sejak dahulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adikpun tidak mampu. Ampunilah aku..."
Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Ketika dia mengenangkan adiknya, hatinya perih. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh ketika In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andaikata adiknya menjadi mantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik. Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apabila dia teringat kepada In Hong.
Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu! Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan telah dirundingkan masak-masak, telah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... eh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekalipun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu.
"Lihat saja kalian nanti!" gerutunya. "Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!" Dengan hati panas dia melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu.
***
Sukar dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.
Cia Keng Hong menggigit bibirnya dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, lalu menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apalagi ketika mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali.
"Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekalipun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju. Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang pernah namanya menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!
Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya akan penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.
"Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat..." Pembicara itu menghapus air matanya. "Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberitahukan nama-nama mereka."
"Lekas sebutkan nama-nama mereka!" Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama dan julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu dan dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.
"Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok," Cia Keng Hong berkata marah. "Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?"
Mendengar dicurinya Siang-bhok-kiam, tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Akan tetapi isterinya berkata, "Biarpun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Lebih dari itu malah, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi."
Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu."Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw."
Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu dan tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, "Tidak kusangka, di dalam usia tua aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tidak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai matipun aku selalu akan membela kebenaran dan menentang kejahatan!" Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.
Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan. Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sutenya mendengar penuturan tentang matinya tujuh orang sutenya dan lenyapnya pedang puaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar