02 Pendekar Remaja

"Beberapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!" Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas! Tentu saja pelayan itu menjadi amat malu dan juga tercengang melihat seorang berpakaian tambal- tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi ia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.

Sungguh amat baik untungnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja ia tahu siapa adanya orang ini, tentu ia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.

Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru karena selain ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga Lo Sian terkenal sebagai pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebetulnya adalah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang turun gunung berbareng dengan seorang suhengnya (kakak seperguruannya).

Juga kakak seperguruannya ini selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan, kalau pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suhengnya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)! Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang seperti iblis mengamuk apabila ia menghadapi orang-orang jahat. Dalam memusuhi orang- orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka orang-orang menjadi ngeri dan jerih melihatnya sehingga ia diberi julukan Pengemis Iblis! Secara kebetulan saja Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga ia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguhpun ia telah memiliki pengalaman yang luas dan kenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu. Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, ia merasa heran dan memandang juga. Ia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam ia mulai menaruh perhatian, sungguhpun ia hanya memandang dengan kerling matanya saja.

Alangkah terkejut hati Lo Sian ketika kemudian ia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu dan tiba-tiba menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget setengah mati karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa hebatnya! Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja ia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.

Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biarpun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan ia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan kalau perlu menolong anak itu.

Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.

"Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!" Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya. Sebetulnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu. Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia pegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping! Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan ia memang terkenal beradat keras dan sombong. Tadi ia telah "kecele" oleh Lo Sian dan sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat ia merasa malu dan mendongkol. Kini melihat ada orang yang membuat ribut naiklah darahnya. Dengan langkah lebar ia menghampiri lalu membentak, "Orang kasar dari manakah berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!"

Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu bagaikan api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram dengan minyak hingga makin berkobar. Ia bangkit berdiri dengan perlahan dan sepasang matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.

"Apa katamu...?" katanya perlahan dengan muka merah. "Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?" "Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tidak kuat mengunyah daging!" pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.

Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba- tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, dan sekali ia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dada pelayan itu yang segera menjerit keras, roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, "Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!"

Gegerlah semua tamu dan pelayan yang berada di situ.

Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.

"Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?"

Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul. Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena setiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa, maka dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.

"Buk! Buk!" Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu! Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok telah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu.

Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.

"Duk!" Dan ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tidak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang! Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau, "Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?" Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam. Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja memiliki kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi juga ia terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain banyak memiliki tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya amat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong. Kebetulan sekali Thio Seng pada waktu terjadinya pertempuran di rumah makan itu berada di luar rumah makan, maka ia segera mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah ia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.

Bouw Hun Ti yang masih marah itu ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, bertanya dengan suara kasar, "Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?"

Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka ia menjawab sambil mengangkat dada, "Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!" Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu telah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya. Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka ia menjawab, "Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi ataupun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk dijual!"

Marahlah Thio Seng mendengar ini. "Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?"

"Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!" Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menariknya keluar dari situ. Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata, "Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan- pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw- ciang, jangan harap bisa keluar dari sini!" Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah topinya dan kini nampaklah kepalanya yang licin tak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak. Inilah kepalanya yang amat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah! Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tak dapat menahan marahnya lagi. Ia melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.

"Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!"

"Rasakan pukulanku!" Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan. Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah. Akan tetapi, ia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng itu telah menyambar dekat dengan dadanya, Bouw Hun Ti cepat melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.

"Buk!" terdengar suara keras ketika pukulan itu tepat menghantam dada akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng terjengkang ke belakang seakan-akan ia terdorong oleh tenaga amat besar! Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki lweekang yang sedemikian tingginya! Sungguh seorang berkepandaian tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya. Oleh karena itu, maka maksudnya untuk menolong anak perempuan itu dipikirnya masak-masak.

Ia harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu ia akan dapat menangkan Si Brewok itu.

Sementara itu, Thio Seng yang tadi memukul, merasa terkejut dan marah karena ia merasa seakan-akan memukul karet. Biarpun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi ia telah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Ia tahu bahwa lawannya adalah seorang berkepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan nekat.

"Bangsat rendah, awas serangan pembalasanku!" serunya dan tubuhnya lalu membungkuk dengan kepala di depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.

"Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!" kata Bouw Hun Ti sambil memasang perutnya ke depan!

***

Pada saat itu, Lo Sian sudah mendapat akal untuk bertindak. Ia tadi melihat betapa dengan menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Diam-diam ia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati ia menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.

Anak ini sedang menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran dan marah mengapa ayah ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada penculiknya ini! Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan binasa, akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa bahkan kini ia merasa menyesal kepada ayah ibu dari kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya! Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat menyerang lehernya sehingga tiba-tiba ia merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap yang dapat ia serukan hanya jeritan, "Ayah... Ibu... tolong...!"

Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena ia tahu betul bahwa anak itu telah ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada waktu itu, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin! Tadinya Bouw Hun Ti tak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu amat kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkangnya dan... "cep!" kepala Thio Seng menancap pada perutnya bagaikan anak panah menancap pada batang pohon! Memang benar-benar luar biasa, karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat luruh ke belakang! Dengan sin-kangnya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti telah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong dan ketika kepala lawannya menyeruduk perutnya ia mempergunakan tenaga lwee-kang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu! Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti telah membuat tenaga serudukan Thio Seng kembali menyerang kepalanya sendiri sehingga ia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga! Ributlah keadaan di situ melihat hal yang mengerikan ini. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, ia melihat anak itu telah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan! "Lepaskan anak itu!" seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur kedepan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.

Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lwee-keh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.

Bukan main marahnya Bouw Hun Ti dan berbareng ia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lwee-kang demikian tingginya.

"Bangsat rendah kau ingin mampus!" Dan ia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan.

Akan tetapi, para pelayan dan beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan serentak maju menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya ia lalu memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya. Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biarpun Bouw Hun Ti tidak mempergunakan senjata, namun begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh, tumpang tindih dan malang melintang! Jangankan sampai terkena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja para pengeroyok bergulingan jatuh tak dapat bangun pula! Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lain menjadi terkejut dan gentar sehingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi ia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.

"Kau hendak lari ke mana?" serunya keras dan tahu- tahu tubuhnya telah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu! Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja ia tidak melihat adanya orang yang telah merampas anak itu.

Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi kepada siapakah ia harus melampiaskan rasa marahnya? Ia melompat turun lagi dan ketika ia melihat seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, ia cepat menyambar dengan tendangannya.

Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi! Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau ia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan! Lo Sian membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu.

Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili lalu melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya! Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja ia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang tinggi! Ia mengelak cepat dan berkata, "Eh, eh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?"

Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu, Lili terus menyerangnya membabi buta, menggerakkan kedua tangannva, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka ia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya. Makin lama makin terheranlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Ia paham akan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain- lain, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguhpun pukulan anak itu tentu saja takkan mendatangkan bahaya sesuatu terhadap tubuhnya.

Ia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.

"Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!"

"Kau juga penculik!" tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.

Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Ia dapat menduga bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.

"Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!"

Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tidak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja ia menangis tersedu-sedu! Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu.

"Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?"

Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya, karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seakan-akan membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi! Penderitaan-penderitaan yang ia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, telah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malahan ia telah ditotok sehingga merasakan kesakitan yang luar biasa. Tentu saja ia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja ia menderita sehebat itu! Kini ia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ketika ia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba- tiba ia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu! "Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau takkan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku di sini, takkan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?" Lo Sian mengulang pertanyaannya.

Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, maka ia seakan- akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.

"Namaku Lili," jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.

"Nama yang bagus!" kata Lo Sian. "Dan siapa Ayah Ibumu?"

Tiba-tiba Lili mengerutkan mukanya dan ia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut sedangkan matanya yang masih basah dengan air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.

"Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!" Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya! Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu ia anak seorang pendekar, pikirnya.

"Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she- mu dan di mana pula kautinggal."

Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi ia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka ia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab, "Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!"

"Eh, eh, mengapa tidak mau pulang? Ayah-ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu," kata Lo Sian membujuk.

"Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!"

Lo Sian tersenyum. "Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?"

"Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!"

Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, bahkan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya. Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi, akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja ia maklum bahwa tenaga lwee-kang orang itu masih lebih tinggi setingkat daripada tenaganya sendiri! "Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?"

"Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!"

Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.

"Siapakah nama kakekmu, Lili?"

"Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu."

Lo Sian mengangguk-angguk dan mengira bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak bershe Yo pula.

"Diantara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?"

Dasar anak-anak, biarpun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja ia paling suka membanggakan kepandaian mereka, maka tanpa ragu- ragu lagi ia menjawab, "Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek."

"Kalau misalnya Ayahmu dapat menyusulmu, apa kaukira Ayahmu akan menang melawan penculik tadi?"

Tiba-tiba Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo.

Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini memang sifatnya seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.

"Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti ia akan dapat dirobohkan!" Lo Sian tentu saja tidak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka, akan tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.

Maka, sambil mencari-cari orang tua dan tempat tinggal anak ini, untuk sementara ia hendak membawa anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, karena ia memang belum mempunyai murid dan anak ini tidak mengecewakan kalau menjadi muridnya.

"Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?"

Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian dan berkata, "Tentu saja suka, Suhu (Guru)!"

Demikianlah, mulai hari itu, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biarpun beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi ia tetap tidak mau memberitahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya sehingga diam-diam Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari, karena sesungguhnya ia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.

***

Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, dan dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa. Akan tetapi, sekarang rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca ceritaPendekar Bodoh , tentu tahu bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.

Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, juga Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.

Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh nomor satu dari daerah timur! Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersema suaminya di Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.

Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek.

Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek di waktu terang bulan! Dalam usia sembilan tahun, Goat Lan telah kelihatan bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan amat dimanja oleh kedua orang tuanya, maka ia menjadi nakal sekali. Semenjak kecil ia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguhpun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun ia telah dapat melompat tinggi dan seringkali ia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi! Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga seringkali kedua orang tuanya saling pandang heran karena baik Kwee An maupun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera? "Agaknya ia mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!" pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.

"Tak mungkin!" bantah Ma Hoa. "Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya, karena mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan." Memang anak itu amat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno dan sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apabila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pek-hunya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan. Dari Kwee Tiong ia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali ia datang ke kuil itu, selalu pek- hunya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.

Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, ia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhunya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.

Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar.

Akan tetapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio. Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan kepada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang amat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia. Setelah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini diubah lagi menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan dibawah bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.

Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, amat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan diantara mereka ini, banyak terdapat orang- orang yang memiliki ilmu kesusastraan tinggi, maka di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja. Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur, dan seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan main catur sekarang bahkan merasa amat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sernbilan tahun ini! Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika ia seorang diri memasuki halaman kelenteng, ia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata, "Kwee-siocia, baik sekali kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!"

Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya, "Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?"

"Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal merekag keduanya hanya tertawa-tawa saja.

Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tak pernah berhenti lagi. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapapun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati."

"Aku mau nonton mereka bertanding catur!" kata Goat Lan.

"Akan tetapi Siocia..."

"Ah, Pekhu takkan marah kepadaku!" Goat Lan memotong. "Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?"

Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, ia telah mencium bau arak yang amat wangi dan suara parau seorang berkata, "Tianglo, kudamu terjebak! Ha, ha, ha, ha!" Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.

"Hm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang perajuritmu pun lumayan juga!" Terdengar suara lain yang tinggi kecil.

Goat Lan tak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.

Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa digunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan selain keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.

Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan caturnya, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi cugi arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah tersiarnya bau arak wangi tadi.

Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi ia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.

"Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu."

Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.

"Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasihat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi kalau kau memberi nasihat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!" Kembali ia tertawa.

"Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi betapapun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Agaknya kau tidak menghendaki usia panjang." Mendengar percakapan dan melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu telah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas! "Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tidak butuh pertolongan dan nasihatmu.

Lebih baik kaucurahkan perhatianmu kepada rajamu.

Nah, lihat, rajamu terancam bahaya maut, Ha, ha, ha!"

Sambil berkata demikian, ia menggerakkan biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.

Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan, sehingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama! Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu amat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi ia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur.

Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini telah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.

"Gerakkan benteng melindungi raja!" tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar. Melihat betapa raja hitam terdesak, tak terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak- gerak dan sungguhpun ia tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena ia telah kehabisan jalan, ia lalu menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.

Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.

"Benteng telah kurampas! Ha, ha, ha, kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha, ha, ha!" Tosu kate itu tertawa senang.

Akan tetapi suara ketawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, "Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!"

Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya memang ia tidak mengerti apakah kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan dengan cuma- cuma kepada kuda lawan, tak tahunya bahwa dengan gerakannya memancing itu, kuda lawan meninggalkan depan raja sehingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang! "Bagus, bagus!" katanya girang sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. "Rajamu sekarang terjepit, Im- yang Giok-cu. Bagus!"

Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba menjadi masam dan dengan mulut cemberut ia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat! Sampai beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih amat rendah sehingga tiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana! "Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu-silat) kepadaku?" hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.

Tosu itu tidak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.

"Menteri setia bergerak melindungi raja, kalau perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!" tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu! Anak ini merasa tak sabar sekali mengapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur sehingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya! Bercahayalah wajah tosu kecil itu. "Ha, ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha, ha, ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!" Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah daripada ancaman menteri hitam.

Hwesio itu menjadi penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian ia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.

"Memang zaman sekarang ini zaman buruk! Anak- anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!" Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan ia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguhpun hanya menyindir, namun Goat Lan dapat menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tidak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu! Ia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapapun juga.

"Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!"

Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga zaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, kedua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.

"Otak yang baik!" Si Hwesio memuji. "Sayang agak lancang!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan kini ia membelakangi Goat Lan! "Benar-benar pandai!" Si Tosu juga memuji. "Sayang ia perempuan!" Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.

Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimanakah orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya. Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang menggunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah. Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan gin-kangnya, maka tiba-tiba tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan ia dapat melihat papan catur itu seperti tadi! "Ah, tidak jelek!" kata hwesio gemuk itu.

"Bagus!" Si Tosu juga memuji.

"Inilah murid yang pantas untukku!" kata pula hwesio itu.

"Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!"

Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Kalau tadi mereka panas karena permainan catur, kini mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu. "Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, ia berhak mendapatkan murid ini."

"Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kauteruskan!"

Sin Kong Tianglo lalu menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan! Memang anak ini ahli main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena seringkali raja mereka terkurung, akan tetapi juga seringkali mendesak lawan sehingga seakan- akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.

Betapapun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat lan yang benar-benar tidak berat sebelah, maka setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya! Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun sehingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tak seorang pun diantara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah. Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhlr pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang! Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata, "Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini."

Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata, "Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?"

"Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!" seru Si Tosu.

Hwesio itu tersenyum. "Apakah kita hanya dapat bermain catur dan tidak memiliki ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian yang lain untuk menentukan kemenangan."

"Ho, ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!" kata tosu itu sambil melangkah keluar, membawa guci araknya.

"Aku ingin merasakan kelihaianmu!" kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.

Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata, "Goat Lan kau telah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!"

"Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!"

"Eh, anak nakal!" kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. "Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!"

Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap! Thian Tiong Hosiang yang merasa khawatir kalau- kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, "Cari dia dan antarkan pulang ke kota!" Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.

Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu amat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari- cari kemanapun juga, tidak nampak bayangan Goat Lan! Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba di halaman tengah, mereka rnelihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi! Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu, akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya. Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biarpun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apabila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apalagi ketika ia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya bertambah, maka ia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan! Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri ketika hendak dipaksa pulang oleh pekhunya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, ia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai daripada pertandingan catur tadi! Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka? Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw. Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, ia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat). Biarpun tempat pertapaannya di Pegunungan Go-bi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun- daun dan akar-akar obat yang kemudian dipergunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja ia pergi, tentu ia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal daripada namanya sebagai seorang ahli silat.

Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Ia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya sudah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biarpun ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka merantau ke mana- mana namun ia jarang sekali memperkenalkan diri.

Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang.

Sebetulnya, bukan sengaja kedua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an. Telah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, ia merasa gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh. Dulu pernah ia berhadapan dengan Bu Pun Su dan setelah mengadakan pibu, (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya ia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah ia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, ia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.

Karena Keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo meninggalkan daerah Go-bi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka ia lalu menuju ke kota itu.

Di tengah jalan, ketika ia melalui sebuah dusun, ia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Ia merasa heran sekali oleh karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.

"Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?"

"Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?"

"Yang bernyanyi adalah seorang iblis!"

Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan ia minta penjelasan lebih lanjut.

Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu. Kakek ini minum arak terus-menerus sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang.

Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu! Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci di tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi. Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata, "Ha, ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Eh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?"

Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu mendengar bahwa hwesio itu hendak mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, ia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu! Akan tetapi, karena sudah merasa amat kangen kepada permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur! Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali.

Memang ia pun amat suka akan ilmu silat sungguhpun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur! Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguhpun kalau orang melihat ke atas, langit hitam ketam tak berbintang sedikit pun.

Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, kedua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang amat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya! Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan lambat dan perlahan seperti orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat! Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biarpun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu ia akan merasakan pula apa yang dirasai oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka! Lama juga kedua orang itu bertempur berputar- putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena keduanya maklum akan kelihaian masing-masing, maka tanpa dijanjikan terlebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya. Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silatnya Im-yang Kim-na- hwat yang mendasarkan permainannya kepada gerak berlawanan dari Im dan Yang, sehingga tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekangnya telah mencapai puncak yang amat tinggi. Sebaliknya, semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga melatih diri sehingga tidak saja tenaga twee-kangnya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Go-bi-pai dan bahkan ia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.

Pada saat itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena kelambatan gerakan kedua orang kakek itu, tiba-tiba mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang, "Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?"

Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ. Memang benar, sesungguhnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran dan juga melihat kearah anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan telah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan. Mereka merasa gelisah kalau- kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika dengan berlari cepat sekali sehingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh mereka menuju ke Ban-hok-tong, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka kelihatan jemu dan bosan! Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu.

Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.

"Kepandaian mereka benar-benar hebat!" kata Kwee An kepada isterinya.

Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang.

"Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka."

Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, ia berkata mencela, "Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek daripada permainan catur mereka!" Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.

"Anak bodoh, ilmu silat yang kaulihat amat lambat itu adalah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!"

Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap- alap menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.

Baik Im-yang Giok-cu maupun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.

Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, "Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh telah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!"

"Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah-ibunya lihai dan memiliki kepandaian tinggi!" kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.

Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya, "Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?"

Pertanyaan ini ia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.

Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.

"Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini ia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An dan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai."

Tosu kate itu mengangguk-angguk, "Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, kau sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tidak mengecewakan!" Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apabila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhunya itu! "Sayang sekali bahwa Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi," kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. "Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku."

"Nanti dulu, Tianglo!" kata Im-yang Giok-cu. "Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!" "Eh, eh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi," mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.

"Ji-wi Locianpwe!" tiba-tiba terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh dua orang kakek itu. "Anakku tidak akan menjadi murid siapapun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!"

Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka memandang kepada Ma Hoa dengan heran. "Ah, kau benar-benar seorang Ibu yang tidak sayang kepada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, mengapa kau ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andaikata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biarpun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!" jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran.

Memang Si Kate ini adatnya agak keras.

Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak mempergunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu, isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus, "Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, amat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini."

Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa. "Kalau kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?"

Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan menjawab, "Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!"

Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.

"Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apalagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!" kata hwesio itu.

Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa dan berkata dengan muka sungguh-sungguh, "Nyonya muda, kau harus sadar bahwa zaman ini adalah zaman yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kaukira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik daripada kami kepada anakmu ini?"

Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengah, akan tetapi ia didahului oleh isterinya yang berkata marah, "Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Tentang ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!" Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali! Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.

"Bagus, bagus!" kata Im-yang Giok-cu. "Tianglo, kita telah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari coba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!"

"Nanti dulu," kata hwesio itu, "tantangan orang muda sekali-kali tak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!" Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kwee An dan Mai Hoa. "Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, kalau kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu menjadi muridku!"

"Eh, bukan! Menjadi muridku!" kata tosu itu.

Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.

"Kalau begini, takkan ada habisnya," kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, "Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Kalau kita berdua kalah oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tidak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagaimana?"

"Baik sekali!" kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa. "Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!"

Kedua orang kakek itu lalu bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanyalah isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka? Ma Hoa memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, memang kedua orang kakek ini memandang rendah kepada mereka, ke dua, kalau anak tunggal mereka harus menjadi murid orang, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu. Maka berbareng dengan isterinya, ia pun lalu maju menyerang Sin Kong Tianglo, sedangkan Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu sepasang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya! Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena terkejut dan heran.

Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan amat cepatnya menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar