02 Dewi Maut

"Aduhhh... aduhhhh... am... punnn...!" Kiang Ti yang kini merasa betapa seturuh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan minta-minta ampun.

"Krekk! Krekk! Augghhhh...!" Tubuh Kiang Ti menjadi lemas dan dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua tangannya setelah dengan sin-kangnya dia membuat tulang-tulang dari kedua lengan lawannya itu retak-retak.

"In Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!" Bi Kiok berkata kepada muridnya ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke sana-sini dengan cekatan seperti seekor burung walet.

"Baik, subo!" In Hong berkata setelah dia melihat betapa subonya sudah merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali sambil berseru, "Robohlah...!"

Hebat bukan main akibatnya. Berturut-turut, dua puluh enam orang itu roboh dan tak dapat bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In Hong di tengah-tengah tubuh dua puluh enam orang malang-melintang di sekelilingnya, mereka semua menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar dingin hijau dan berbau harum, akan tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, diapun hanya merobohkan mereka dengan pasir tanpa membunuh, hanya membuat mereka pingsan saja.

Pada saat itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di pulau. Berkat petunjuk para tawanan yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah dan takluk, para anggauta Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat.

Bi Kiok lalu menyuruh para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan agar semua keluarga anggauta Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggauta Giok-hong-pang.

Kiang Ti dan para anggautanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat daripada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li! Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang telah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggauta Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!

Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia mengerti bahwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di depannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya. Suasana sunyi, tak seorangpun berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.

"Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?" Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengengkat muka.

"Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!"

Yo Bi Kiok tersenyum. "Engkau dan empat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia telah menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian."

Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya ketika dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tidak sepadan dibandingkan derigan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata. Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!

"Aku sudah melakukan itu, habis engkau mau apa?" tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapapun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya setelah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga.

"Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba..." seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.

"Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas..."

"Kami hanya diperintah oleh pangcu kami..."

Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan pandang mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sembil berlutut mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.

"Pengecut hina dan busuk!" Tiba-tiba Bi Kiok membentak, tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus!

Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka pucat, akan tetapi hatinya puas karena diapun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.

"Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kautemuilah Lui Hwa di sana!" Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya, tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong. Cepat sekali gerakannya sehingga yang nampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Dan dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang mati setelah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang!

Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggauta Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main.

"Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggauta Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!" Suara ini halus, namun mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani berkutik, apalagi maju ke depan wanita luar biasa itu.

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua telah dia bunuh sebagai hukuman, akan tetapi menurut Lui Hwa, empat orang anak buahnya yang lain itu direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggauta Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini, dari nenek dan kakek sampai anak-anak menundukkan muka dan kelihataan ketakutan dan berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis, berusia paling banyak tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!

Heii, kau ke sinilah!" Bi Kiok menggapai dengan tangannya. Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan, akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, "Jangan takut karena mulai saat ini, engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorangpun akan berani mengganggumu!"

Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, "Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat." Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.

"Siapa namamu?"

"Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu."

"Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?"

Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu berderita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, adalah wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain yang berada di situ. Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya.

"Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu..." Dia menangis lagi.

Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. "Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggauta Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu."

Kiat Bwee mengangguk. "Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri."

"Nah, kautunjuklah mereka seorang demi seorang." Bi Kiok lalu menunjuk tiga orang pembantunya. "Kalian melaksanakan hukumannya!"

Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk dan mencabut pedang masing-masing, lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampaknya gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan tiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo dari orang-orang Kwi-eng-pang itu.

"Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!" Kiat Bwee menudingkan telunjuknya dan setiap kali dia menuding, tampak sinar pedang berkelebat, disusul suara jerit mengerikan dan robohlah laki-laki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam keadaan mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggauta kelamin para pria itu. Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruangan itu penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat penudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!

Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok lalu mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. Ruangan yang menjadi tempat pembantaian manusia itu dibersihkan oleh para anggauta Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggauta Kwi-eng-pang. Mulai saat itu, sisa anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggauta Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi daripada yang laki-laki. Mulai saat itu, Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu menjadi sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah dan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggauta melainkan budak-budak yang setiap hari bekerja keras di ladang, mencari ikan dan lain pekerjaan yang berat. Tidak ada seorangpun yang berani melawan, apalagi melarikan diri, karena mereka maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka.

Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah katapun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apapun membayang di dalam sinar matanya, seolah-olah dia tidak perduli akan semua yang dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperhatikan kecantikan yang demikian mempesonakan kehalusan yang demikian mengharukan memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi?

Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiripun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya tentang pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tidak senang kepada pria. Apalagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggauta Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan timbul di hatinya melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapapun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan. Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tidak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. Bahkan ketika dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu!

Setelah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Kwi-ouw, mereka hidup dengan tenteram dan senang di tempat yang indah ini. Makin tekun pula para anggauta Giok-hong-pang mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang merupakan perkumpulan yang amat kuat, dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.

In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan keadaan hidup para anggauta Giok-hong-pang. Melihat betapa kaum Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggauta Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan dirinya, untuk pemuasan nafsu berahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan. Gurunya, yang juga tahu akan hal ini tidak melarang! Biarpun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggauta Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak!

Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggauta Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang menggunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau. Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang sudah dewasa itu untuk tinggal selamanya di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.

Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak wajar lagi, menjadi tidak bersih lagi, dan pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatahgkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apabila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.

Hubungan yang bagaimana dekatpun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apabila di situ terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau sahabat akan merupakan sikap yang palsu apabila sikap itu timbul karena suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal bertentangan dan mendatangkan duka.

***

Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah int merupakan daerah pegunungan dan dari Puncak Cin-ling-san dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya di sebelah selatan dan barat, yaitu di selatan Pegunungan Ta-pa-san dan di sebelah barat Pegunungan Beng-san yang besar. Jauh di timur tampak puncak Gu-niu-san bersambung di antara mega-mega.

Seperti di semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia di mana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, di Cin-ling-sanpun pemandangan alam amat megah dan indahnya.

Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan amat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang amat terkenal di waktu itu sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga amat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai. Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, namun ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan.

Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang. Di waktu itu, tidak ada seorangpun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh atau berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, sepak-terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan menentang kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan.

Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini selain memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mujijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi-i-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun dapat dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, sedangkan Thi-khi-i-beng sampai saat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong. Isteri ketua inipun bukan orang sembarangan. Wanita yang sekarang telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu di waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal banyak macam ilmu silat dan terutama sekali hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Adapun yang kedua adalah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.

Pada waktu itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di rumah. Suami isteri ini sedang pergi ke Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang mempunyai hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini (baca Petualang Asmara). Kunjungan mereka ini, selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang amat penting, yaitu soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Houw, yang masih berada di Tibet, dan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!

Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama.

Biarpun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggauta Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat. Ada pula beberapa puluh orang anggauta yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Dan di manapun mereka berada, apapun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguhpun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana.

Pagi hari itu, baru saja matahari muncul mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi, para anggauta Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya. Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa sudah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan samadhi di puncak bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka telah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-area mati.

Pagi itu hawa udara amat dinginnya di puncak bukit, dingin sejuk menyusup tulang. Namun, tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tandanya pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu. Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak akan tetapi setelah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada dalam latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.

Tujuh orang laki-laki ini memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka. Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka merupakan pemuda-pemuda dusun di pcgunungan itu sampai sekarang menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai. Pakaian mereka seperti pakaian petani, dan memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Mereka hidup bertani sampai sekarang, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang sudah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga merekapun sederhana, sebagian pula ada yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang "berisi" sungguhpun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana.

Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan.

"Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!"

Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggauta badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha.

"Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!" kembali terdengar teriakan.

Seorang diantara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekar dan membayangkan kekasaran seorang petani namun pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan) sekalian, mari kita lihat apa yang terjadi di bawah."

Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka kini dia menjadi yang tertua di antara para sutenya. Dia bernama Sun Kiang, seorang diantara yang tinggal hidup membujang, tidak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sutenya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring, "Kami sedang turun..." Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka tidak lagi terdengar teriakan-teriakan dari bawah yang memanggil-manggil mereka.

Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua kelihatan tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya, "Apakah yang terjadi?"

"Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelai kain putih...!"

Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.

"Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"

"Tidak ada yang melihatnya. Mungkin hal itu dilakukan di waktu malam, dan tadi kebetulan ada seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.

"Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.

Sun Kiang dan enam orang sutenya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, melainkan sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.

"Sun-suheng, kalau dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya." Seorang di antara Cap-it Ho-han berkata.

Sun Kiang mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang." Setelah berkata demikian, Sun Kiang mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung dan menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik, sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, menyambar pinggiran loteng lagi, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera di puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah. Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah. Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.

Bersama dengan enam orang sutenya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai saputangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguhpun tidak dapat disebut indah.

LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA

Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apa maunya?" Sun Kiang berkata sambil mengerutkan alisnya.

"Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sutenya.

"Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas dan dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!" kata yang lain.

Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sutenya. "Mari kita masuk ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kauperintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan herus diperkuat apalagi di waktu malam di sekitar menara."

Setelah melakukan pesan suhengnya, Coa Seng Ki, yaitu tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana para suhengnya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.

"Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendiri kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapapun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun ke dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, akan tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."

"Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada bertujuh, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiripun tidak gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong."

"Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Lupakah engkau akan pesan suhu bahwa menghadapi apapun juga, kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang amat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun Kiang menegur sutenya.

Coa Seng Ki menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas."

Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak."

Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka, bertujuh akan berangkat ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena kalau mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mempelajari apa sebetulnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa biarpun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tidak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapapun juga.

Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. "Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apalagi sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka dan mengetahui apa maksud dari undangan mereka."

"Saya mengerti, suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka itu adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki membantah.

"Kalau mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang."

"Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?" Coa Seng Ki membantah.

"Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu adalah kalau kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri."

Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."

Setelah meninggalkan pesan kepada para anggauta Cin-ling-pai dan kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar. Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjata pedang. Sungguhpun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apalagi kalau dia menggunakan Pedang Pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang. Ketua Cin-ling-pai ini mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada para murid kepala disesuaikan dengan bakat masing-masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, sedangkan dua orang bersenjata golok sedangkan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.

Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagangan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.

Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini dipergunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah. Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.

Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan bahwa tingkat atas itu telah "diborong" dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.

"Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu. Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Juga dia menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.

"Loya... maafkanlah saya, maafkanlah kami semua... kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han..."

Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia cepat mengangguk-angguk. Betapapun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduiduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.

"Aih, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran.

Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira biarpun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak seorangpun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai. Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para Pelayan juga sudah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.

Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa. Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, namun mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok, bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi sehingga tercium sampai jauh, rambut itu dihias oleh emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendeknya, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru. Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik seperti sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangennya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!

Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha), kepalanya yang gundul itu terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak perdulian.

Orang ketiga adalah seorang laki-laki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya, matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguhpun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.

Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apapun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering, dia tidek kelihatan membawa senjata apapun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga behwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.

"Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!" kata wanita pesolek itu dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu! Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, akan tetapi cara nenek pesolek itu melompat benar-benar amat luar biasa. bukan melompat lagi melainkan terbang!

"Omitobud, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan barbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!" Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu. Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, melainkan menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik seperti seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan ketika telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara "ceplokk!".

Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok seperti seekor ceeak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.

"Heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya lenyap dari tempat itu dan yang nampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga dan tahu-tahu dia telah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.

Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh... anak-anak itu masih suka bermain-main di manapun mereka berada!" Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyaksikan ulah semua tamunya yang aneh-aneh itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba. Selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?"

Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami barempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!"

Pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci eukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng. Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam! Setelah kakek itu tiba di loteng, ramailah semua orang berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu, ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangang melainkan datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih torkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi dan berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya. Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanyalah seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta dan kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, bahkan memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombongannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!

Wanita tua yang pesolek itupun bukan orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) yang terkenal sebagai seorang maling tunggal dan yang pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga hampir dia tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. Adapun orang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa).

Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungen Cin-ling-san itu selalu aman dan semenjak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.

Sebetulnya, empat orang ini hanya merupakan anggauta-anggauta dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian-eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang adalah pemimpin mereka dan kehadiren mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka, karena Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang bekerja sama dengan baik, sehingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tidak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati!

Biarpun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua percaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepala pelayan lalu dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.

"Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itupun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"

Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyaksikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa. Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di depan orang banyak dengan sikap amat sombongnya. Agaknya amat aneh kalau para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biarpun mereka berempat itu harus diakui memiliki kepandaian yang amat hebat. Apalagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya agaknya minum arak sambil bersendau-gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Betapapun juga, semua orang tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya sudah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.

Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu dan orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap ketujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.

Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan enam orang sutenya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga dan mereka hanya memandang tanpa perduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas. Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng.

Ketika tujuh orang pendeker Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan di bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong! Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di situ dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang? Melihat mereka berempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata, "Suheng, agaknya kita salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!"

Sun Kiang melirik kepada sutenya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sutenya tidak langsung menghina orang, sungguhpun dia tahu bahwa sutenya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduga tentu para pengundang mereka.

Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan memandang dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikitpun bahwa tujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka amat tenang.

"Omitohud... ha-ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah dan perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!"

Mendengar kata-kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suhengnya, dia tidak langsung menjawab, hanya memandang langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak, "Petani dan pendekar sama saja, keduanya mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!"

"Sute...!" Sun Kiang menegur sutenya karena ucapan sutenya itu sudah terlalu pedas.

Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tidak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka, maka sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjura ke arah mereka sambil berkata, "Harap maafkan kami kalau mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang..."

Gu Lo It, orang tua bertopi dan berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang temannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangan membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau, "Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."

"Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas brang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.

"Ah, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggauta Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak dari tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!" Gu Lo It berkata dan dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan dan pandang nista dingin laki-laki kurus bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja mempermainkan mereka. Akan tetapi Sun Kiang dengan tenang mengangguk lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi pertama adalah tempat duduk para suhengnya yang tidak dapat hadir. Para sutenya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.

"Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang telah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling berjumpa di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, namun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.

Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu.

"Ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan dan berteriak kepada para pelayan, "Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"

Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir-mudik mengatur hidangan yang memang telah dipersiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di depan sebelas orang itu.

"Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya.

Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, agak lega hatinya karena kirinya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hanya ingin mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sutenya, dan mereka inipun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan dan hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu.

Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak hati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan. Sambil makan dengan lahap, tiada hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini dan minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itupun muak menyaksikan sikap empat orang ini dan kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.

"Heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.

Sun Kiang membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian)."

"Ha-ha-ha, sekarangpun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.

Gu Lo It memandang kepada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri dan teman-temannya, "Saya adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dia ini adalah orang ketiga, Sin-ciang Siouw-bin-sian Hok Hosiang, yang keempat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan kelima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting."

Tujuh orang Cin-ling-pai itu agak terkejut mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka sudah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru atau ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini adalah sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat tidak baik terhadap Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.

"Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan."

Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil memandang tajam. "Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"

Sun Kiang tersenyum dan menggeleng kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suhengku sedang pergi dari Cin-ling-san melaksanakan suatu tugas, maka saya dan enam orang suteku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."

"Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku merupakan orang pertama di saat ini dari Lima Bayangan Dewa karena suhengku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!"

Setelah berkata demikian, Gu Lo It menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan melihat cara penghormatan yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambilkan tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.

Mangkok terisi arak itu berputaran di atas dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan kedua lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang.

"Hemmm..." Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sin-kang yang hebat itu. Dengan tenang diapun mengangkat kedua tangannya dengan lurus ke depan, jari-jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sin-kang melalui kedua lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mujijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.

Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oloh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang. Terjadilah adu tenaga sin-kang yang hanya dimengerti oleh mereka yang duduk mengelilingi meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo dan memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan bingung.

Kedua fihak terkejut ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang dan nampak betapa Gu Lo It menggetarkan kedua lengannya dan tenaga mujijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan! Perlahan-lahan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han, sehingga para sutenya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan, mukanya sudah mulai berpeluh dan terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek-sin-kang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini.

"Uhhhhh...!" Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.

Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat diam enahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya! Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega akan tetapi diam-diam merekapun maklum bahwa kakek bertopi itu lihai bukan main sehingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek-sin-kang, baru dapat mengimbangi.

Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sin-kang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat lima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sin-kang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek-sin-kang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sin-kang ini Sun Kiang dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang kurang sekali pengalaman mereka di dunia kang-ouw, apalagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sin-kang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja. Tiba-tiba diangkatnya kakinya dan dibentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapapun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!

"Uhhhh... hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It dan meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.

"Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"

Akan tetapi enam orang murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sin-kang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kialig yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju dan celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandang ke arah Gu Lo It.

"Kau... kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja. "Kroookkkk...!" Pinggiran meja itu remuk dan Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang dan tewaslah orang kelima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi.

"Cuatt-cuatt-cuattt...!" Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun. Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali den bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dalam jarak yang amat dekat tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa dapat melakukan perlawanan apapun!

"Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah dan mencabut pedang dari balik bajunya. Tiga orang suhengnya juga sudah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok dan orang keempat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.

"Ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu.

Para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka melempar baki dan kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah. Bubarlah semua tamu yang berada di bawah ketika mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlari keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh kekhawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran.

Pertempuran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai maklum bahwa empat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalaskan kematian tiga orang saudara mereka yang menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.

Orang keenam dari Cap-it Ho-han yang bersenjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, sudah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang menggunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang mainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! Adapun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai saputangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar