01 Pedang Kayu Harum

Serial Pedang Kayu Harum (1)
Karya : Asmaraman S. Kho_Ping_Hoo
Sumber : http://goldyoceanta.wordpress.com

Kiam Kok-san (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun Lun San yang tak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena Kim Kok-san kurang indah pemandangannya. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari puncak gunung ini amatlah indahnya. Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi seperti menara besi menembus awan tak tampak ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak batu perawan itu merupakan tempat kediaman dewa penjaga gunung. Awan putih yang berarak seperti domba-domba kapas, tak pernah berhenti dihembus angin langit, menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam Kok-san, berkumpul di sekeliling puncak seperti sehelai bulu domba yang hangat. Dari puncak ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah kaki, menyusupi lembah-lembah bukit yang amat curam. Indah, sukar dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari puncak Kiam Kok-san. Bagaimana taman surga terbentang luas di bawah kaki, suram-suram terselimut tirai halimun menciptakan sifat yang ajaib penuh rahasia.

Bukan karena kurang indah, melainkan kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah penuh batu gunung yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki puncak, tidak ada pula jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut mengintai setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu. Jurang-jurang yang curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas, rumput-rumput hijau yang menopengi muara-muara dalam penuh lumpur dan ular berbisa, dan bahaya tersesat jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka yang memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa dan para pendekar masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya seperti Kiam-kok-san.

Pagi hari itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari pagi dapat mengusir halimun menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, menerangi tanah puncak yang penuh lumut dan rumput hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang bermandi cahaya keemasan matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tentram. Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang dijanjikan sebagai anugerah tempat tinggal bagi para manusia yang dalam hidupnya menjauhkan diri daripada segala kemaksiatan dan kejahatan.

Ketika sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan langit, tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah amat tua, terbukti dari kulit wajahnya yang penuh keriput, dagingnya yang sudah tipis sehingga tulang-tulangnya menonjol di balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua pundaknya. Kalau ditaksir, kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun usianya. Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu dengan kedua kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata dipejamkan. Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu daripada seorang manusia hidup. Namun sesungguhnya dia bukanlah arca, karena kalau diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasannya yang halus dan panjang. Di atas tanah, depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan setelah tertimpa cahaya matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda daripada pedang-pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah sebatang pedang kayu!

Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari memandikan wajah tua keriputan itu. Di bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak amat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa kakek ini dahulu tentu seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas membayangkan ketampanan seorang pria.

Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari samadhi. Dia membuka kedua matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas sudah amat tua, namun sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi, karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) amat kuat saja yang dapat mempunyai sepasang mata seperti itu. Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri dengan sinar matanya seolah-olah dia minum dan menikmati segala keindahan yang dicipta oleh sinar keemasan sang surya itu. Kemudian dia menggeleng kepalanya, dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-kata lirih.

"Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu kepada seorang penuh dosa seperti aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tak mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan ganjaran kepada orang yang telah berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup? Tidak ada! Hanya malapetaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku pandai ilmu silat, karena...karena Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh, Tuhanku! Aku tidak akan mengelak daripada kenyataan. Aku rela dan siap sedia menerima hukuman-hukumannya. Tak mungkin aku membebaskan diri daripada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan kasihMu, ya Tuhan....!"

Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua matanya seolah-olah dia tidak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang terbentang luas di depannya. Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali? Tidak! Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus lewat mempermaikan daun-daun pohon. Paduan suara ini seolah-olah mengejek kakek itu, seolah-olah menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia. Tuhan Maha Kasih, tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, akan menerima uluran kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan tergantung daripada rasa penerimaan si manusia sendiri!

Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini berubah cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tidak wajar di tempat itu. Kemudian muncullah bayangan orang-orang berkelebat cepat. Gerakan mereka tangkas seperti burung-burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di depan kakek yang bersamadhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung hinggap di atas dahan. Mereka berdiri tak bergerak, namun dalam keadaan siap-siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan pedang yang terletak didepannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam, adapun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak disembunyikan.

Biarpun kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai perubahan pada kicau burung, ternyata telah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersamadhi. Dia membuka kedua matanya dan menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk lingkaran kipas. Mulutnya tersenyum, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan mereka itu memang telah diduganya. Adapun sembilan orang itu ketika bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya.

"Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang semestinya kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadapmu lunas!"

Kakek itu menoleh ke kanan karena yang bicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan dalam lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak bergigi lagi, seperti senyum seorang bayi yang belum bergigi. Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya, digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak. Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang dahulunya amat indah manis itu kini agak "nyamprut" karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya tinggi semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, tampak gagang pedang tersembul di balik pundak kanannya.

"Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ah, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun semangatmu benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan menghendaki pedang Siang-bhok-kiam sebagai pengganti nyawaku? Eh, dalam hal apakah engkau mendendam kepadaku?"

"Keparat tua bangka! Jangan kaukira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk membikin aku malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, tidak perlu malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggaggahi dan memperkosaku. Dendamku kepadamu setinggi langit!"

Kakek itu tertawa, lalu mengangguk-angguk. "Benar, alangkah cepatnya sang waktu meluncur. Ketika itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selain lihai juga cantik dan terutama sekali angkuh sehingga engkau menolak semua pinangan pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Akupun ketika itu masih muda belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan kepandaian memasuki kamarmu dan memperkosamu. Akan tetapi, heh Lu Sian Cu! Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku dengan penuh kehangatan betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan? Lupakah engkau betapa engkau sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang juga menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar lidah?"

"Cih, laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku dapat menerima pria lain? Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau telah mempermainkan cintaku. Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau mengejek dan minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!"

"Ha-ha-ha, engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan termasuk ikatan rumah tangga! Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu, namun kita bersama, engkau dan aku, telah menikmatinya bersama dan hal yang menyenangkan orang lain mana bisa kausebut sebagai hal yang menyakitkan hati orang itu?"

"Sie Cun Hong! Tak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan nyawamu!" Sambil berseru begini, nenek itu lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan. Senjata ini berupa cambuk berwarna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada ujungnya terpecah menjadi sembilan dan setiap ujung diberi baja pengait seperti mata kail. Inilah senjata cambuk sembilan ekor yang telah membuat nama nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan yang dapat bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu. Dan senjata itu pula yang mebuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toa-nio (Nyonya Besar Berekor Sembilan), sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati terhadap penjahat. Telah puluhan tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang tokoh-tokoh lain yang hadir disitu mendengar disebutnya namanya oleh kakek itu, yaitu Lu Sian Cu!

"Tar-tar-tar...!" Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara meledak-ledak. "Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tidak mau menyerahkan pedangmu?"

"Ha-ha-ha, engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah melempem, kalau kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini, nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!"

Nenek itu mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan telinga, yang mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta ditolak. Cambuknya menyambar ke depan dan tiga buah diantara sembilan ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-ubun kepala. kakek itu masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak menyentil tiga kali.

"Tring-tring-tring....!"

"Aiiihhh.....!" Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara tiba-tiba membalik dan menerjangnya di tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar. Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.

"Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin...cabul!"

Kakek itu hanya tertawa-tawa, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud....!" Ketika melihat bahwa yang maju kini adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak mengenal dua orang pendeta ini.

"Locianpwe benar-benar telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locianpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil kurus. Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan didepan dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...!

Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tak perlu dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.

"Ah, berat sekali menerima pujian jiwi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa artinya kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-san?"

"Omitohud...! Kami berdua adalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe."

"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali!" Kakek itu berkata tercengang.

"Pinceng Thian Ti Hwesio dan ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe agar suka menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to-ci-keng (Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong-hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam agar semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"

"Aha, kiranya ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya lupa bahwa ketika mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan niat agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia sehingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh Siauw-lim-pai ilmu-ilmu itu dipendam, disembunyikan dan hanya diturunkan kepada murid-murid sebagian daripada ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu itu makin lama makin berkurang dan menjadi rendah nilainya? Biarpun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dan dengan pindahnya kitab ketanganku, sesungguhnya Siauw-lim-pai tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh."

"Omitohud!" Hwesio tinggi besar hitam Thian kek Hwesio, melangkah maju dan membentak keras. Kini hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata sepasang matanya lebar sekali, wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan dalam cerita Sam Kok. "Locianpwe agaknya menghendaki kami menggunakan cara Locianpwe sendiri. Meminjam kitab-kitab tidak boleh lalu menggunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak Locianpwe berikan, apakah berarti bahwa kami harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam itu?"

Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab.

"Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."

"Hemmm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang namun pinceng sedikit-sedikit juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah berkata demikian, Thian kek Hwesio membalikkan tubuhnya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu mendorong dengan pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri. Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andaikata manusia diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pasti akan remuk tulang-tulangnya, dan rontok isi dadanya!

Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, merusak amatlah mudahnya. Manusia adalah perusak terbesar diantara segala mahluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang dapat dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah engkau membuat sehelai daun saja? Hemmm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya, sungguhpun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki Thian!" Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan...bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon menempel sejadinya pada cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah! Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi daripadanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dan menggumam, "Omitohud...!"

"Maaf, suteku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang terletak di depan kaki Sin-jiu Kiam-ong dan...pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu.

Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi daripada kekuatan sutenya. Sin-jiu Kiam-ong mengeluarkan suara memuji, "Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kamu tidak boleh berganti majikan. Kembalilah!" Ia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong! Thian Ti Hwe-sio menjadi penasaran sekali. Ia manambah kekuatan pada kedua lengannya, bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu ditempatnya yang tadi. Thian Ti Hwesio mengusap peluh di keningnya, lalu menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.

"Sin-jiu Kiam-ong makin tua makin gagah, tepat seperti apa yang telah diperingatkan suhu kami. Siancai....siancai....!"

"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.

"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi perutmu! Aku seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!"

Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang bicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan, sebatang golok telanjang berada di tangan kanan mengeluarkan cahaya berkeredepan, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.

"Eh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Mengapa engkau datang-datang memaki orang?"

"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu takkan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah disini mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Lima puluh tahun yang lalu, dengan kepandaianmu merayu engkau telah mengganggu isteriku, memaksanya melakukan hubungan perjinaan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu aku kalah terhadapmu, akan tetapi coba-coba kita buktikan sekarang! Bangkitlah dan lawan golokku!"

Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu. "Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang mengapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Aku memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya itu kalau dia sendiri menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan hal itu karena mengingat betapa engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa!"

"Engkau mendapatkan dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas isterinya yang cantik. Apakah kaukira aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan sekali-kali terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang cantik? Engkau merampas wanita dengan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!"

"Keparat! Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (Pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi engkau tentu mampus disini dan biarlah kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh diatas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!" Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap lalu meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebatan dan menggulung-gulung di sekitar batu itu dan terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Setelah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu diantara debu itu, kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biarpun kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil memandang arca itu dan tersenyum!

"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Tidak dapatkah diperhalus lagi? Biar kubantu engkau." Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring.

Segulung sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung terus sinar itu mengelilingi arca batu kemudian terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang memandang dan.... arca batu yang tadinya kasar, kini telah menjadi halus seperti digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah!

"Kiam-sut (ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to Gi-hiap yang sudah marah sekali menerjang maju dengan goloknya. Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerakan berputar mengelilingi golok lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, karena kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan jarak antara mereka masih jauh. Namun si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur memandang ujung lengan bajunya yang sudah buntung!

"Kiam-ong masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan kini dua orang kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat kemajuan batin, sehingga kulitnya indah isinya busuk! Sin-jiu Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi utusan Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu. Engkau pernah mencuri seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat oleh Sucouw kami. Ketua kami akan berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap kami apabila engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!"

Kakek tua renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika dia menjawab. "Bermacam-macam alasan yang dikemukakan bermacam-macam pula yang dipergunakan, namun sesungguhnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku telah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan obat. Akan tetapi semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang Cui Bi yang cantik manis, telah pergi mengikuti aku secara sukarela dan berdasarkan cinta kasih, bukan karena kupaksa! Adapun pedang pusaka Hoa-san-pai, sampai sekarang pun masih kusimpan dengan koleksiku yang lain, karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang dibuat mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw kalian karena ternyata obat itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar dapat kembali bersemangat seperti seekor kuda jantan yang muda. Ha-ha-ha!"

Dua orang pendekar itu sejenak saling pandang dan wajah mereka menjadi merah. Ucapan Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apalagi yang terakhir. Setelah memberi isyarat dengan pandang mata, kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan "singgg!" tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka.

"Sin-jiu Kiam-ong, ucapanmu yang menghina telah menambah dosamu terhadap kami. Biarpun engkau memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami berdua saudara Coa jerih terhadapmu. Hadapilah sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya, Coa Bu juga sudah siap dengan pedangnya. Mereka ini masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau bermain pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka kedua orang ini mendapat julukan Sepasang Pedang Sakti!

"Hemmm, aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang dan apa adanya, sama sekali tidak menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak memperlihatkan Siang-sin-kiam untuk menundukkan aku, kalian melamun yang bukan-bukan karena aku tidak mudah ditundukkan oleh siapapun juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan dengan halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja.

Coa Kiu dan Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka berkelebat dan tahu-tahu telah menjadi satu gulungan sinar tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Tiba-tiba dengan suara mencicit nyaring, gulungan sinar pedang ini melayang ke arah sebatang pohon pecah menjadi dua dan bagaikan mata gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon. Tidak terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang itu melayang kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah dua orang kakek Hoa-san-pai yang sudah berdiri berdampingan, tiba-tiba saja batang pohon itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus membuat batang pohon itu seolah-olah baru saja digergaji!

"Ha..ha..ha, kalian inipun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!" Sin-jiu Kiam-ong mentertawakan. Kakek Coa Kiu dan Coa Bu marah sekali.

"Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi pedang kami?"

"Mengapa tidak?"

"Lihat pedang!" Dua orang kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar terang menjadi satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba terdengar suara mencicit keras ketika sinar pedang itu menyambar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa, menyambar pedang kayu di depan kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya seperti kilat itu.

"Cing..cing..trang......!"

Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya, berkali-kali mengitari tubuh Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu namun selalu terhalang sinar hijau dari pedang kayu, bahkan kemudian terdengar suara keras dan ....sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi dua, yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua orang kakek itu sudah berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak sedikit.

Mereka saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka tidaklah nekat dan cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri, lalu kembali ke tempat tadi, memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang masing-masing.

Sin-jiu Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga orang yang masih belum bergerak, dan belum mengeluarkan kata-kata sampai saat itu hanya menonton saja. Dia melihat seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua orang hwe-sio Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Adapun yang dua orang lain adalah sepasang suami isteri tua yang dia tahu dahulu pernah dia jumpai, namun lupa lagi kapan dan dimana. Karena dia menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila dan berkata.

"Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini, akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu dan datang ke sini, tentu membawa keperluan yang amat penting."

"Siancai...., Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda, segan mengalah dan tidak menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu mudanya sungguh patut disayangkan!"

"Ha..ha..ha, Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan, apa gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan siap menerima hukumannya karena berdosa atau bukan tergantung kepada penilainya, sedangkan penilainya sendiri penuh dosa bergelimpang nafsu mementingkan diri pribadi! Eh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran, lebih menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya daripada orang yang pura-pura suci namun di dalam hatinya amat kotor, tidak sama dengan yang keluar dari mulutnya. Karenanya, aku merasa senang sekali dengan ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini:

"Langit tiada perikemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban. Orang suci tiada perikemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban. Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan! Kosong namun tak pernah berkurang makin besar gerakan makin besar tiupan! Banyak bicara sering kali penghamburan tenaga lebih baik menjaga kejujuran!"

"Sin-jiu Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih memiliki kesombongan! Menggunakan ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti pinto (aku)! Sungguh menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan engkau pura-pura lupa betapa dahulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai. Kedatangan pinto ini mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang. Kami bukan orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya kalau engkau menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap kami."

Sin-jiu Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ah, jadi Toyu ini seorang diantara Kong-thong Ngo-lojin (Lima Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya melatih diri dan kini kabarnya mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar diseluruh dunia, juga merasa jerih untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada kalian lima kakek sakti! Dan kini seorang diantara mereka memberi kehormatan kepadaku? Ha..ha...ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke berapakah?"

"Yang empat lain adalah para suhengku (kakak seperguruan)".

"Ah, jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan tetapi aku percaya yang termuda sekalipun tentu memiliki kesaktian luar biasa. Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat menyerahkan pedang ini kepadamu."

"Kalau begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!" "Begitukah wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu mengapa dahulu lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok di tempat judi! Aku yang sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di waktu muda, tak usah disebut-sebut lagi mengapa aku berada di tempat judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di tempat judi yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah tentang kebatinan?"

"Ah, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya berpura-pura menjadi orang suci namun batinnya kotor melebihi orang-orang yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan dan teguranku, mereka marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang kalah, yang menang hidup yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam hal itu? Kalau Toyu menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang kesalahan mereka, menantangku terserah."

Wajah tosu itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya keren, "Sebagai tokoh Kong-thong-pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan satu fihak saja. Untuk minta keterangan anak murid kami yang tewas, tak mungkin. Yang jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran, adapun nama Sin-jiu Kiam-ong, siapakah tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah dan mari kita mulai!"

"Engkau yang berniat mengadu ilmu, engkaulah pula yang mulai, Toyu. Aku siap melayanimu!"

Tosu ini melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong sambil berkata, "Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dahulu engkau membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dengan tangan kosong, sudah semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, kalau engkau yang kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan dosa!"

"Ha..ha..ha, selalu tersembunyi pamrih dalam setiap perbuatan, di mana-mana manusia sama, menjadi hamba nafsu pribadi. Silakan."

Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-jarinya itu mengeluarkan suara berkerotokan, tergetar hebat dan kedua tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga dan kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan! Inilah Ilmu Ang-liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang sudah amat terkenal kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi amat hebat sehingga tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi! Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di depan Sin-jiu Kiam-ong, kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala dan dada kakek yang duduk bersila dengan tenangnya itu.

"Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!" Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring dan kedua tangannya sudah menggetar-getar amat hebatnya.

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak pendekar. Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi, sayang masih dikotori rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong-jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?" Sambil berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulur kedua lengannya dan sebelum tosu tua itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu.

"Wesssss....!" Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api membara bertemu benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak tangan yang saling bertemu. Tosu tua itu merendahkan tubuh dan mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-liong-jiauw-kang, namun sia-sia belaka karena kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak tangannya, menjalar dari telapak tangan ke atas! Wajah tosu itu mulai berpeluh, matanya merah mulutnya terbuka karena nafasnya menjadi terengah-engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah Kok Cin Cu bahwa kalau dilanjutkan adu tenaga sinkang ini, dia akan roboh binasa. Terpaksa tosu tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya. Kok Cin Cu melangkah mundur di tempat semula, tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah.

"Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali pinto akan datang kembali bersama para suheng."

Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami istri tua yang sejak tadi hanya menonton, melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera menudingkan telujuknya.

"Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau kepada kami suami isteri yang pernah mengalami penghinaan darimu?"

Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak disamping suaminya, kemudian menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah dimana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya."

Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!" Akan tetapi suaminya cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami mempunyai perusahaan pengawal barang kiriman. Lupakah engkau kepada Hek-houw-piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan Hitam)?"

"Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok itu? Dan isterimu yang dahulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata rahasia)? Hemmm, aku pernah merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan kerajaan, bukan? Malah puterinya, ah masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku. Tusuk konde dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku. Eh, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"

"Sin-jiu Kiam-ong, di waktu muda, engkau melakukan segala macam kejahatan. Merampok barang milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal barang dan puteri. Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua ini bersama isterinya menutup kata-katanya dengan gerakan tangan. Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan tahu-tahu suami -isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata rahasia mereka. Piauwsu itu menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau sambit) dan Toat-beng-cui (Bor Pencabut Nyawa), adapun isterinya mempergunakan Ngo-tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih cepat dan lebih berbahaya daripada kedua macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata rahasia itu menyambar ke bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu mengarah jalan-jalan darah yang mematikan!

Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya dan sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak seperti sepuluh ekor ular hidup, namun kuku-kuku jari tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan senjata rahasia dari kedua fihak, yang menyerang dan yang mengembalikan!

"Sahabat-sahabat yang sealiran! Kalau hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk, mau tunggu sampai kapan lagi? Mari kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek, piauwsu tua itu sambil terus menyerang dengan senjata rahasianya.

Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong dan sudah jelas ternyata tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan kepandaian sendiri, tidak akan mungkin dapat mengalahkan kakek sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua mencabut senjata dan menerjang maju! Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang, kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam telah lenyap. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh halimun tebal.

"Ha..ha..ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! kalau aku tadi menghendaki, apa susahnya membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa, alangkah mudahnya bagi kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih ingin menikmati tamasya alam yang amat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian karena aku tidak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena aku masih ingin menikmati keindahan alam disini. Kalau kalian masih belum terima dan merasa penasaran, hayo siapa yang berani boleh naik!"

Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang berilmu tinggi, kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu!

Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha..ha..ha! Jangan kira aku amat pelit untuk menyerahkan nyawa dalam tubuh tua ini dan menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki nyawaku, datanglah ke kaki gunung, sebelah selatan, di dalam hutan mawar, disana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!"

Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada suara lagi. Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apalagi mencoba untuk mengejar kakek sakti itu ke atas puncak batu pedang yang ujungnya lenyap di balik halimun tebal, akhirnya sembilan orang gagah itu meninggalkan Kiam-kok-san dan berjanji dalam hati untuk mencari hutan mawar yang dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian.

***

Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Kerajaan Beng didirikan oleh Ciu Goan Ciang, yang berhasil mengusir pemerintah penjajah Goan (Mongol) dan kemudian menjadi Kaisar Kerajaan Beng pertama dengan julukan Kaisar Thai Cu (1368-1398). Peking (ibu kota utara) yang tadinya menjadi kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya Nan-king (ibu kota selatan) yang letaknya di lembah Sungai Yang-ce-kiang, di daerah yang lebih subur tanahnya. Namun Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang telah diusir dari pedalaman, tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat oleh bala tentara besar dan dipimpin oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.

Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertamanya meninggal. Kaisar Thai Cu meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah meninggal dunia, maka sebelum meninggal Kaisar Thai Cu telah menunjuk keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik tahtah pada tahun berikutnya. Cucu ini yang merupakan kaisar ke dua dari kerajaan Beng bernama Hui Ti. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara. Pangeran Yung Lo atau lebih tepat Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan, ke Nan-king. Terjadilah perang saudara. Perang saudara selalu mengerikan, dimana terjadi bunuh-membunuh antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan, kedok, perisai dan senjata. Padahal kalau cita-cita sudah tercapai dan pribadinya dimabuk kemuliaan, kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja!

Di bagian manapun di dunia ini, setiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita paling hebat. Di dalam masa yang keruh ini, bermunculan oknum-oknum yang mempergunakan kesempatan melampiaskan nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum rimba bermunculan dimana-mana.

Sudah lazim bahwa dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang. Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat berlainan, bahkan celakanya berlawanan, maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan yang mengakibatkan perpecahan dan keributan. Juga di dunia persilatan terjadi perpecahan sebagai akibat daripada pendapat yang berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), ada pula yang pro selatan (Kaisar Hui To) maka diantara mereka terjadilah perang sendiri.

Akan tetapi banyak pula golongan tokoh persilatan yang mengundurkan diri, tidak mau mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara saudara sebangsa. Thian Seng Cinjin, tosu tua berusia seratus tahun yang pada waktu ini menjadi ketua Kun-lun-pai, mengeluarkan larangan keras bagi semua anak murid Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan samadhi sebagai latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism).

"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," demikian antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, camkanlah pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang mengandung makna dalam sekali.

"Dengan keadilan negara dapat diatur dengan siasat peperangan dapat dilakukan, namun hanya dengan mengekang diri (tak bertindak) dunia dapat dimenangkan.

Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?

Karena ini:

Makin banyak larangan orang makin menderita, makin banyak dipergunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan, makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh, makin banyak hukum diundangkan, makin banyak terjadi pelanggaran.

Maka Orang Bijaksana berkata: Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan, kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai. Kami tidak bertindak, rakyat hidup makmur, kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.

Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Thian Seng Cinjin memberi wejangan kepada murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan menanggulangi keadaan sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi. Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, karena sekali mereka turun tangan, mereka akan makin mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara sebangsa.

Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh pengertian.

Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Cia Keng Hong, dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang saudara mulai pecah. Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini terbasmi habis ketika gerombolan perampok yang muncul di waktu perang saudara ini menyerbu dan merampok serta membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua keluarganya terbasmi habis. Keng Hong yang kebetulan pada saat itu ikut menggembala kerbau bersama seorang pelayan di luar dusun, selamat terbebas daripada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang Tojin, tosu yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin. Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar dan penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat menggunakan kepandaiannya menolong penduduk dan berhasil mengusir para perampok. Kemudian oleh Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu Keng Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.

Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakn untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin. Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya membolehkannya, dia memasuki kamar perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dahulu, Keng Hong telah mempelajari ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia kelak menjadi seorang terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi. Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya.

Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng Cinjin sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa kecewa mengapa anak yang berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu. Di lain fihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Ia melihat sesuatu yang aneh dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama sekali dari pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu.

Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng Cinjin dan anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat dan mendengar semua. Suasana di ruangan belajar itu amat hening dan para murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan, membuat Keng Hong makin hati-hati agar tidak mengganggu, namun dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Ia mendengarkan terus.

"Suhu, di puncak Kiam-kok-san telah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya dan merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong sudah kumat lagi watak mudanya yang suka akan keributan. Menurut pelaporan para murid Suhu, ada sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk dua orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatanginya untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah selatan di kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita."

"Siancai..., siancai....! Sie-taihiap (pendekar besar she sie) semenjak dahulu selalu mengejar kesenangan dan ketegangan. Namun harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu tersembunyi watak pendekar yang patut dipuji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal budi. Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita membolehkan dia bertapa di Kiam-kok-san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw (Kakek guru) kita memilih tempat itu sebagai tempat bertapa sampai musnah dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita tidak mencampurinya. Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biarlah Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yang dia kehendaki."

Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, Keng Hong menjadi tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca tentang keanehan para pendekar. biarpun Kun-lun-pai merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah seorang berilmu tinggi, apalagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, namun mereka tak memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini mendengar akan Sin-jiu Kiam-ong yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan sebulan sesudah pertemuan di puncak yang disebut puncak Lembah Pedang, Keng Hong menggembala kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya kalau dia menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu. Akan tetapi sekali ini dia sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau gemuk di luar hutan mawar. Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti seperti yang dia ketahui dari percakapan ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia berbaring menelungkup di atas punggung kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya. Keng-Hong memiliki kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil dia bermain suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguhpun dirangkai sejadinya namun amat sedap didengar.

Sementara semenjak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong telah duduk bersila di antara sekelompok bunga mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, kini pedang Siang-bhok-kiam juga terletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tak bergerak, dengan kedua mata dipejamkan, hening tenggelam ke dalam samadhi.

Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak dan perlahan-lahan dia mengejapkan matanya. Ia mengerutkan keningnya ketika mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu apabila mendengar sesuatu yang mengesankan, daun telinga kirinya dapat bergerak seperti telinga kelinci! Kalau dia sedang samadhi, biarpun ada suara halilintar menyambar diatas kepalanya, dia tidak akan terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang dalam siulannya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulannya (samadhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran mengharukan, yang amat halus seolah-olah hembusan angin padda ujung daun-daun bambu. Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya daripada ledakan halilintar, menggugahnya dari samadhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu! Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang amat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan mampu meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran aseli dari watak yang belum dikotori segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling datang.

Ketika tiba di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang duduk diatas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.

"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Dimana bisa terdapat orang begitu bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?" Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-geleng kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah susuk bersila lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak bersamadhi, melainkan memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.

Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san, akan tetapi dia tidak perduli, bahkan pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai. Ia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang kembali kepada masa mudanya dan diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa malu bahwa diambang kematiannya, karena memang dia telah mangambil keputusan untuk menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya. Bahkan sebaliknya, dia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasihnya dengan banyak waita yang dibalasnya hanya karena dorongan nafsu berahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni. Betapa dia hidup secara berandalan, tidak mau membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya. Sungguhpun dia semenjak dahulu selalu tidak mempunyai niat menjahati orang lain, namun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah haitnya. Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti dia yang merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya daripada senangnya.

Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata di tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sesungguhnya merupakan sebab utama kunjungan mereka.

"Ahhh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku tidak akan melawan kalau hendak bunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dahulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya. Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya, Sin-jiu Kiam-ong mandapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir. Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya ada beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. Kayu yang amat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi selain harum juga kayu ini merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apabila tersentuh kayu ini seolah-olah terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.

"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidungnya. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat penyimpanan seluruh milikku, dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!" Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum iklas, sama iklasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.

"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.

"Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya.

"Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, Kiu-bwe Toanio, kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.

"Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditangkis oleh banyak senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapar menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan itu.

Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar