22 Rajawali Emas

Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi. "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku. Hemm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-sin-kiam lagi!" "Eh, betulkah? Nah, biarlah kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoasan- pai yang kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!" Tosu itu tercengang, juga para tamu karena gadis itu mengancam "awas pedang" akan tetapi belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya! "Ayaaa...." ia berseru kaget dan cepat ia mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga diri. Ia masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani turun ketika ia tidak merasa adanya desakan. Ketika ia berdiri kembali, ia mendengar suara tertawa ramai. Kiranya gadis itu masih berdiri ditempatnya yang tadi hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia berlaku hati-hati dan tanpa menyombong lagi ia berkata, "Majulah, aku telah siap menghadapi pedangmu." Li Eng tersenyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan orang, "Tahan dulu." Dua orang itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda ini menaiki anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa. Dari tempat duduknya tadi, Kun Hong sudah menyaksikan kepandaian Oh Tojin dan maklum bahwa menghadapi Li Eng, tosu itu takkan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li Eng yang selain jenaka dan nakal, juga keras hati. Mendengar bahwa Hoa-san-pai dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam dan menjatuhkan tangan besi kepada tosu itu, maka tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain, melainkan lari melalui anak tangga.

"Eng-ji, kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, hati-hati jangan kau membunuhnya. Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!" Li Eng tertawa, "Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang ini." "Juga tidak melukai secara hebat." "Tidak, aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoasan- pai lagi." Sementara itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan terheran-heran sejenak, lalu meledaklah suara ketawa mereka. Sikap Kun Hong seakan-akan seorang nenek bawel yang memberi nasehat cucunya, justeru sikap kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat memandang rendah kepada Oh Tojin. Kalau sampai pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada tosu itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin akan kemenangan keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi marah dan mendongkol sekali.

Dari tempat duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu, "Kulihat Kun Hong ini benar-benar seorang pemuda yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya." Li Cu tersenyum. "Dia seperti bayanganmu di waktu kau masih muda." Kedua suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum.

Sementara itu, Kun Hong lega hatinya dan kembali ia menuruni anak tangga meninggalkan panggung, Oh Tojin membanting-banting kakinya.

"Orang-orang Hoa-san-pai memang benar-benar sombong sekali! Kau tidak boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah yang akan merobohkanmu dalam beberapa jurus saja. Lihat pedangku!" Pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng dengan gerakan yang penuh kemarahan. Tapi ia tertegun karena selain pedangnya mengenai angin belaka, juga gadis di depannya itu telah lenyap dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara ketawa lirih di belakangnya. Cepat ia membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan gin-kang yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada di belakangnya. Berkali-kali ia menyerang tapi hasilnya sama dan tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali gerakannya, seperti setan. Suara ketawa dan seruan kagum terdengar di sana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan tubuh gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan pedang lawan. Tosu itu mulai marah, tapi diamdiam hatinya mengecil, "Hai, bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau kau memang laki-laki!" "Hi-hik, tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang laki-laki!" Suara ketawa makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia melihat gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li Eng sengaja tidak mau mengelak melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang.

Ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya berkelebat cepat seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin terdesak hebat, mengelak dan menangkis ke sana ke mari tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

"Tosu bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tiada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu pedang yang kumainkan ini inilah Hoa-san Kiam-hoat!" Oh Tojin memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi selama hidupnya tak pernah ia mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin sibuklah ia menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.

"Koai-sin-kiam Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!" gadis itu berseru keras dan pedangnya makin hebat menekan. Oh Tojin berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada detik berikutnya ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya terlepas dari pegangan! Sambil mengerang kesakitan tosu ini melompat turun dari panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi.

Terdengar sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi bersorak karena melihat Li Eng memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu pedangnya sudah dapat menyambar pedang tosu itu dan pedang lawan itu sekarang terputar-putar seperti kitiran di ujung pedangnya! Melihat lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru, "Oh Tojin, ini pedangmu, terimalah kembali....!" Sekali ia mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat seperti kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari. Hebat sekali bidikan Li Eng karena dengan tepat gagang pedang itu menimpa kepala orang dan jatuh ke bawah. Sejenak Oh Tojin pucat saking kagetnya akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepalanya tidak bocor, ia cepat memungut pedangnya dan terus melarikan diri meninggalkan tempat itu diikuti gelak tawa para penonton.

Gelak tawa para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu tua telah meloncat ke atas panggung. Tosu ini pun berpakaian kuning dan rambutnya panjang digelung ke atas. Biarpun pakaiannya kuning sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima bunga teratai dan pada bajunya terdapat tanda-tanda jasa dari istana. Inilah Thian It tosu, seorang di antara tujuh orang pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan Kim-thouw Thian-Li.

Melihat naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu berkata perlahan tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San, "Heran betul, dia itu seorang di antara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau apa ke sini?" Kagetlah Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini dan ia memandang penuh perhatian. Ia maklum dari tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah munculnya ini sebagai tokoh Ngo-lian-kauw, ataukah sebagai pengawal istana Pangeran? Tosu itu telah menjura kearah tuan rumah dan berkata, suaranya rendah parau membayangkan Iwee-kang tinggi, "Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan dengan ilmu silat Thai-sanpai.

Syukur kalau Ketua Thai-san-pai sendiri berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama besarnya" Sin Lee segera menghadap Ayah, "Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini." Beng San mengangguk. Ia pun ingin memperkenalkan putera-puteranya kepada para tokoh kang-ouw yang datang dari pelbagai tempat itu. "Boleh, kau hati-hatilah, dia itu seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia dan pandai ilmu sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia orang istana, jangan sampai membunuh." Sin Lee mengangguk dan ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung melayang ke atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan. Sorak-Sorai menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat yang sepertl burung raksasa ini. Ia memandang pemuda tanpan gagah itu penuh selidik, lalu menegur, "Orang muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai tadi. Siapakah kau dan pinto menantang Thaisan- pai atau ketuanya, kenapa kau yang maju?" "Thian-It Tosu, memang betul wawasanmu aku bukan anak murid Thaisan- pai, akan tetapi Ketua Thai-san-pai adalah ayahku dan karena kau tadi menantang ayahku, sudah sepatutnya kalau aku mewakilinya untuk menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri sekarang ini berdiri di sini mewakili siapakah? Kalau kau sebagai tokoh Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana Pangeran Mahkota, maka kedatanganmu ini sebagai pangawal Istana, harap kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan tidak mempunyai urusan dengan kaki tangan kota raja.

Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw memang tidak melibatkan diri dengan orangorang pemerintah. Wajah Thian It Tosu menjadi merah karena sekaligus pemuda ini membuka kedoknya.

Pada saat itu terdengar lengking tinggi dan di atas panggung berkelebat bayangan orang, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang yang tua sekali.

Alangkah kaget gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini sebagai tokoh yang dianggap manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo! "Berikan dia padaku! Dia pembunuh muridku!" teriaknya dengan suara parau.

Akan tetapi, kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu Ketua Thai-san-pal sudah berdiri di situ pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Beng San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada Hek-hwa Kui-bo, "Kui-bo, pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan kesopanan.

Kalau kau mempunyai penasaran tunggulah giliranmu, harap jangan mengacau. Mundurlah!" Sinar mata Beng San berkilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo gentar juga menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa orang ini telah terluka hebat dalam pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja cepatnya? Untuk menutupi kegugupannya, ia tertawa, "Hi-hik, Beng San, betul juga katamu. Baiklah aku menanti giliranku." Sambil tertawa-tawa ia lalu melayang turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah ke mana. Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya. Semua tamu menahan napas, terhadap tokoh seperti Hak-hwa Kui-bo tentu saja tak seorang pun berani mentertawai.

Keadaan makin tegang setelah mereka ketahui bahwa ternyata tempat itu dihadiri pula oleh tamu-tamu tak kelihatan sehebat Hek-hwa Kui-bo. Siapa tahu masih banyak lagi tokoh-tokoh aneh seperti ini. Karena nenek itu tidak kelihatan lagi, maka perhatian para tamu dialihkan kembali ke ataa panggung, kepada tosu Ngo-lian-kauw dan pemuda yang mengaku putera Ketua Thaisan- pai itu.

Tosu itu memandang rendah kepada Sin Lee, lalu berkata, "Menjawab pertanyaanmu tadi, orang muda, pinto datang ini boleh dibilang atas nama pribadi, juga boleh disebut mewakili Ngo-lian-kauw, apalagi mendengar tadi bahwa ketua kami tewas di tanganmu. Sebagai pengawal istana aku pun mempunyai urusan, yaitu mengejar larinya tiga orang buronan dari kota raja!" Tosu itu dengan mata tajam memandang ke arah tiga anak murid Hoa-san-pai yang duduk di rombongan tuan rumah.

"Kalau yang kau maksud dengan ketuamu itu adalah Kim-thouw Thian-li, aku Tan Sin Lee tak merasa telah membunuhnya. Akan tetapi kalau toh ia mampus oleh pukulanku, hal itu pun aku tidak menyesal karena itu berarti bahwa aku telah melenyapkan seorang jahat, Tentang kau mengejar buronan bukanlah urusanku. Nah, kalau memang kau hendak membalas sakit hati ketuamu, kau majulah! Thian It Tosu memang sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw tewas dalam tangan beberapa orang muda akan tetapi ia tidak tahu siapakah pembunuhnya. Tadi Hek-hwa Kui-bo muncul dan menerangkan bahwa pemuda ini adalah pembunuh ketuanya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ingin membalas dendam. Ia tidak berani memandang rendah lagi karena kalau pemuda ini mampu merobohkan Kim-thouw thian-li berarti dia tentu lihai sekali.

Apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Thai-sanpai.

Tosu ini lalu melolos keluar sebatang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencabut hiasan rambutnya yang berupa lima bunga teratai itu. Hiasan rambut ini terbuat dari benda berwarna putih, merupakan lima buah kembang yang atasnya tertutup rapi berbentuk runcing, dan sekarang gagangnya dipegang oleh tangan kiri tosu itu. Mengingat akan nasehat ayahnya tadi, Sin Lee bersikap waspada dan tidak berani memandang remeh kepada hiasan rambut ini yang melihat ukuran dan bentuknya, bukanlah merupakan senjata yang baik. Sambil mengeluarkan teriakan keras tosu itu menyerangnya dengan pedang, namun Sin Lee cepat mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk pundak lawan.

Thian It Tosu terkejut dan maklum bahwa lawannya ini biarpun masih muda ternyata memiliki gerakan cepat dan ilmu pedang yang aneh namun berbahaya sekali. Ia pun segera bertempur seru, makin lama makin cepat.

Baru belasan jurus saja Thian It Tosu maklum bahwa ilmu pedang pemuda itu benar-benar luar biasa dan ia sudah terdesak hebat. Tiba-tiba tangan kirinya telah menjepit sebuah kembang buatan itu dan melesatlah jarum-jarum halus ke arah lawannya.

Sin Lee mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mendadak mencelat ke atas, demikian cepat gerakannya seperti gerakan seekor burung dan semua senjata rahasia halus yang tak dapat dilihat mata itu lewat di bawah kakinya.

Dari atas Sin Lee membalas pedangnya meluncur turun menyerang kepala tosu itu. Hal ini benar-benar tak pernah diduga oleh Thian It Tosu yang tadinya mengharapkan penyerangannya akan berhasil, siapa duga bahwa orang yang diserang secara mendadak itu malah menyerang dari atas.

Terpaksa untuk menyelamatkan dirinya karena menangkis sudah tidak ada waktu lagi, tosu ini membanting tubuh ke belakang dan bergulingan menjauhi kejaran pedang lawan. Ia meloncat bangun dan kini ibu jari dan telunjuknya menjepit bunga teratai kedua. Terdengar suara ledakan kecil dan dari tangan kirinya itu menyambar asap hitam ke arah muka Sin Lee. Pemuda ini tidak kurang waspada, cepat ia melompat ke samping, cukup jauh agar tidak terkena pengaruh asap beracun itu, sambil menahan napas lalu meniup ke arah asap itu sehingga buyar! "Tosu curang!" Sin Lee berseru keras dan pedangnya kini berkelebatan seperti kilat mencari korban. Ia sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada tosu itu untuk mempergunakan senjata rahasianya lagi, malah ia mengincar tangan kiri yang memegang bunga-bungaan itu, yang dianggapnya lebih berbahaya daripada pedang di tangan kanan. Thian It Tosu berusaha melawan, namun akhirnya ia berteriak keras ketika ujung pedang Sin Lee mengancam pergelangan tangan atau jari-jari tangan kirinya. Terpaksa ia menarik tangannya, tapi terdengar suara "crakk!" dan hiasan rambut itu kini tinggal gagangnya saja yang berada di tangannya.

Sin Lee mengeluarkan suara menghina dan kakinya menendang bungabungaan itu ke bawah panggung.

"Nah, marilah kita bertanding pedang secara laki-laki, tidak main curang!" seru Sin Lee, perlahan-lahan maju menghampiri tosu yang berdiri dengan muka pucat itu.

Akan tetapi Thian It Tosu tidak segera menggerakkan pedangnya. Ia hanya berdiri tegak, mukanya pucat, matanya terbelalak memandang lawan, bibirnya komat-kamit.

"Hayo, majulah, apakah kau takut?" Sin Lee mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya, siap menanti penyerangan lawannya. Akan tetapi tosu itu tetap tidak bergerak, dan mulutnya tetap bergerak-gerak.

Orang lain tidak ada yang mendengar suaranya, namun tiba-tiba Sin Lee mendengar suara yang seakan-akan datang dari dasar bumi suara yang penuh kekuasaan, penuh pengaruh, yang berbisik-bisik dan mendesis-desis, "Sin Lee, pandang baik-baik pinto siapa! Pinto adalah pendeta, kau takkan menang melawan pinto, baru melihat saja kau sudah pening, tenagamu lemah, pikiranmu kacau...." Ucapan ini diulang-ulang. Mula-mula Sin Lee hendak mentertawakannya, akan tetapi ia mulai bingung dan gugup karena tiba-tiba ia merasa kepalanya pening.

Pada saat itu Thian It Tosu sudah menyerangnya dan ia cepat menangkis, akan tetapi benar-benar ia makin gelisah karena tenaganya serasa amat lemah kepalanya makin pening dan pikirannya menjadi kacau-balau, malah mulai agak ketakutan! Samar-samar Sin Lee teringat akan nasihat ayahnya bahwa tosu ini adajah seorang ahli sihir, ia mengerahkan semangat hendak melawan, namun ternyata ia telah masuk dalam perangkap dan telah terpengaruh sehingga usahanya sia-sia belaka karena pikirannya sudah kacau.

Para penonton terheran-heran betapa sekarang tosu itu melakukan penyerangan dengan pedangnya sedangkan Sin Lee hanya menangkis dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk.

Beng San duduk menegang di kursinya, dahinya berkerut, alisnya bergerak-gerak, sinar matanya berkilat. Ia dapat menduga apa yang terjadi dan siap untuk menolong puteranya jika terancam bahaya maut.

Pada saat itu Kun Hong berlari-lari ke bawah panggung, setelah dekat panggung ia menggunakan tangannya menggebrak-gebrak panggung sambil berkata nyaring, "He, pendeta murtad! pendeta penuh dosa, pendeta nyeleweng!" Orang-orang mulai tertawa menyaksikan sikap pemuda ini dan Thian It Tosu yang sudah mulai gembira melihat hasil ilmu hitamnya, kini terpecah perhatiannya dan marah sekali.

Ketika mendapat kesempatan, Selagi Sin Lee terhuyung-huyung, ia menyambar ke pinggir panggung dan menggunakan pedangnya membacok tangan Kun Hong yang mengebrak-gebrak papan. Tentu saja Kun Hong menarik tangannya akan tetapi ia berpura-pura menjerit, "Aduh-aduh, pendeta kejam kau!" Dan pada saat pandang mata Thian It tojin yang penuh kemarahan itu sedetik bertemu dengan pandang matanya Kun Hong mengerahkan ilmu sihirnya dan ia berkata, "Kau pendeta murtad, tak patut menggunakan segala ilmu hitam. Kau patut dihukum pukul kepala sepuluh kali" Setelah berkata demikian Kun Hong lari kembali ke tempat duduknya.

Tiba-tiba semua tamu terbelalak memandang kejadian yang amat aneh di panggung. Setelah tosu itu menghentikan serangan-serangannya, Sin Lee masih terhuyung-huyung dan tosu itu kini berteriak-teriak, "Benar sekali, pinto patut dihukum pukul kepala sepuluh kali" Dan tangan kirinya segera bekerja menampar muka, dan kepalanya sendiri dengan keras. Terdengar suara "plak-plak-plak" berkali-kali dan muka itu menjadi bengkak-bengkak! Sin Lee agaknya sudah sadar kembali. Pemuda ini cepat berdiri tegak dan untuk sejenak ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya sehingga pikirannya jernih kembali, tenaganya pulih dan kini ia memandang terheranheran kepada lawannya yang sedang penuh semangat menghantami kepalanya sendiri itu.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan Hek-hwa Kui-bo sudah berdiri di atas panggung. "Memalukan saja, pergi!" tangannya bergerak dan tubuh Thian It Tosu terlempar ke bawah panggung. Tosu itu roboh dan berbareng dengan jatuhnya itu agaknya ia pun sadar kembali. Dengan bingung ia bangkit berdiri, memandang bingung ke kanan kiri lalu... angkat kaki lari dari tempat itu.

Beberapa orang tamu yang masih melongo lalu membuat tanda dengan telunjuk dimiringkan ke depan kening, yaitu tanda orang yang miring otaknya.

Meraka ini mengira bahwa tosu itu tentu seorang yang berotak miring! Akan tetapi karena peristiwa itu sudah lewat dan di atas panggung berdiri seorang tokoh yang ditakuti, yaitu Hek-hwa Kui-bo, para tamu yang Sekarang menjadi penonton memandang dengan penuh ketegangan. Semua orang tahu bahwa tentu sekarang akan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya.

Hek-hwa Kui-bo dengan muka yang merah dan mata mendelik sudah menghadapi Sin Lee, pedang berkilauan di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang sehelai sabuk beraneka warna.

"Orang muda, kau telah menewaskan muridku. Akan tetapi kau mengatakan bahwa kau adalah anak dari Tang Beng San. Hemmm, jangan kau mencoba mengunakan nama Ketua Thai-san-pai untuk menggertak orang. Aku tahu benar bahwa Cia Li Cu isteri Tan Beng San hanya mempunyai seorang anak perempuan, bagaimana kau bisa mengaku dia sebagai ayahmu? Siapakah ibumu?" Beng San di tempat duduknya meremas jari-jari tangannya sendiri, hatinya mengharap agar Sin Lee tidak usah menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi dengan sikap gagah Sin Lee menjawab, suaranya nyaring, "Hek-hwa Kui-bo, kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau sendiri sudah tahu siapa ibuku, akan tetapi kau sengaja mengajukan pertanyaan ini di tempat umum, tentu dengan maksud keji di hatimu yang memang tidak bersih itu. Akan tetapi aku Tan Sin Lee sebagai seorang laki-laki sejati tidak akan menyembunyikan dan tidak akan malu mengaku bahwa ayahku adalah Tan Beng San Ketua Thai-San-pai sedangkan ibuku adalah Kwa Hong anak murid Hoa-san-pai! Nah, aku sudah mengaku, kau mau bilang apa?" Suara pemuda itu nyaring dan pada saat itu wajah Beng San sebentar pucat sebentar merah.

Ia merasa terpukul, menoleh kepada isterinya dan berbisik, "Dia lebih jantan daripadaku... dia lebih jantan dan gagah...." Hek-hwa Kui-bo tertawa terkekeh-kekeh, wajahnya yang tua dan biasanya masih berbekas kecantikannya itu setelah terkekeh-kekeh kelihatan buruknya, mulutnya yang tak bergigi lagi kelihatan kehitaman dan matanya berputar-putar liar.

"He-he-he-he, kiranya kau anak haram. Ha-hah-heh-heh, memang sejak dulu Tan Beng San bukanlah orang baik-baik. Kapankah ia menikah dengan Kwa Hong? Kapankah ia menjadi ayahmu? Tentu melalui hubungan gelap.

Coba sekalian yang hadir pikir yang baik-baik, orang yang mempunyai anak haram mana patut menjadi ketua sebuah perkumpulan silat?" Sin Lee tak dapat menahan kemarahannya lagi, mukanya pucat matanya seperti mengeluarkan api. Biarpun ia dengan gagah berani mengakui kenyataan dirinya, akan tetapi kalau mendengar hinaan yang diucapkan di depan umum secara demikian merendahkan dan disertai kata-kata kotor, tentu saja ia tidak tahan mendengarnya.

"Iblis betina lihat pedangku!" Ia sudah menerjang dengan nafsu meluap.

Hek-hwa Kui-bo terkekeh-kekeh tapi cepat menangkis serbuan pemuda ini, lalu sambil melayani serangan Sin Lee yang bernafsu, ia masih sempat berkata, "Kau bocah haram harus kubikin mampus dulu, baru kemudian tiba giliran ibumu yang tak tahu malu dan ayahmu yang hina!" Makin naik darah Sin Lee dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menikam mati orang yang dibencinya ini. Dan inilah kesalahannya. Sebagai seorang muda, tentu saja ia berdarah panas dan tidak tahu akan siasat lawan yang jauh berpengalaman dan yang terkenal sebagai seorang tokoh besar penuh tipu muslihat.

Di samping sengaja menghina tuan rumah, memang Hek-hwa Kui-bo sengaja pula membakar hati orang muda ini sohingga sekarang Sin Lee lupa akan kewaspadaan dan menerjang dengan nekat. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, mengumbar nafsu amarah merupakan pantangan besar, Dalam bersilat, apalagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh dihinggapi kemarahan, karena nafsu ini akan menyesakkan dada dan mengurangi ketelitian dan ketenangan. Apabila bermain silat dengan diamuk kemarahan, permainannya tidak tenang dan karenanya daya permainannya kurang kuat.

Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh kawakan yang sebelum mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sudah merupakan tokoh jarang tandingun, Apalagi setelah ia mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut, kepandaiannya menjadi hebat sekali dan orang-orang yang dapat menandinginya hanyalah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi. Biarpun Sin Lee juga merupakan seorang pemuda gemblengan, namun menghadapi Hekhwa Kui-bo ia kalah setingkat, kalah akal dan kalah pengalaman.

Dalam dorongan nafsunya, memang kelihatannya Sin Lee mendesak Hek-hwa Kui-bo dengan penyerangan bertubi-tubi. Ia menggunakan ilmu silatnya yang aneh malah tangan kirinya beberapa kali ia putar-putar untuk melakukan pukulan Jing-tok-ciang. Namun pukulan-pukulan ini dapat dibikin buyar oleh tangkisan Hek-hwa Kui-bo yang mempergunakan ilmu pukulan beracun Hwa-tok-ciang yang dilakukan dengan tangan kiri sekalian untuk mengebutkan sabuknya yang dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh itu. Nenek ini sengaja main mundur karena ia sengaja memancing agar pemuda lawannya ini makin bernafsu sehingga akan terbuka kesempatan baginya untuk merobohkannya sekaligus tanpa meleset lagi.

Beng San memegangi tangan kursinya dengan erat, mukanya agak pucat, Celaka dia, pikirnya gelisah. Sebagai seorang gagah yang memegang aturan kang-ouw, tentu saja tak dapat ia melompat ke depan untuk menolong puteranya itu dan ia tahu betul betapa Sin Lee terancam maut. Hanya Beng San seorang yang tahu akan hal ini, adapun orang-orang lain, bahkan juga Cui Bi, Li Eng dan Kong Bu yang berkepandaian tinggi, tidak dapat menduga akan hal ini. Mereka ini memperlihatkan muka gembira. Hanya Kun Hong yang muram wajahnya karena ia juga mengerti seperti Beng San, melainkan pemuda itu merasa sedih sekali karena sekali lagi ia harus menjadi saksi dari pertempuran-pertempuran maut yang pasti akan membawa korban.

Pengertian Beng San akan hal ini adalah karena ia sudah menyelami keadaan kepandaian Hek-hwa Kui-bo, maka ia dapat mengerti bahwa nenek itu sedang mengintai kesempatan seperti maut mengintai korban.

Betapapun juga, ia bersiap sedia menolong puteranya itu apabila nyawanya terancam. Ia tidak akan mengeroyok, hanya akan menyelamatkan Sin Lee.

Ketika kesempatan itu tiba, pada saat pedang Sin Lee menusuknya, Hekhwa Kui-bo melihat pergelangan tangan pemuda itu tak terjaga. Cepat sabuknya yang beraneka warna itu menyambar dari samping sedangkan pedangnya menangkis. Tentu saja Sin Lee hanya mengira bahwa serangannya ini akan dihindarkan lawan dengan tangkisan ini, tidak tahunya tangkisan ini hanya untuk memancing perhatiannya dan yang penting bagi nenek itu adalah sabuknya yang kini telah menyambar pergelangan tangan Sin Lee dan seperti seekor ular hidup telah melibat-libat pergelangan tangan berikut jari-jari yang memegang pedang! Sin Lee kaget sekali, berusaha membetot tangannya, namun sabuk itu ternyata terbuat dari bahan aneh yang selain kuat dan ulet, juga dapat mulur maka tak dapat ia menarik putus. Dan pada saat itu, pedang Hek-hwa Kui-bo sudah berkelebat menyambar di atas kepalanya diiringi suara ketawa aneh nenek itu. Pemuda itu tak dapat mengelak, tak dapat melompat pergi karena lengan kanannya telah terbelit sabuk, jalan satu-satunya baginya hanya menangkis bacokan itu dengan tangan kiri karena untuk menggunakan tangan kiri memukul, sudah tidak keburu lagi.

Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar lengking tinggi nyaring dan berkelebatlah bayangan orang didahului sinar kehijauan. "Trangggg!'' Pedang yang akan membacok Sin Lee tertangkis oleh sebatang anak panah hijau dan kemudian lima batang anak panah yang terikat pada ujung cambuk yang berujung lima, menyambar-nyambar dan menyerang Hek-hwa Kui-bo.

"Jangan menghina orang muda, Hek-hwa Kui-bo siluman tua bangka, akulah lawanmu, lepaskan anakku!" Hek-hwa Kui-bo cepat melepaskan sabuk yang membelit lengan Sin Lee dan melompat mundur sambil memutar pedang menangkis. Sementara itu orang yang baru datang ini yang bukan lain adalah Kwa Hong sendiri, mendorong pundak Sin Lee dan berkata, "Pergilah kau kepada ayahmu, siluman ini akulah lawannya." Dorongan ini kuat sekali, tak dapat ditahan oleh Sin Lee yang terpaksa melompat turun dari panggung, menduduki lagi tempat duduknya dengan wajah pucat memandang ke atas panggung. Melihat betapa Kwa Hong menggantikan putranya menghadapi Hek-hwa Kui-bo, wajah Beng San dan semua keluarganya menegang, Beng San diam-diam merasa terharu sekali.

Ia maklum bahwa di balik kebencian Kwa Hong kepadanya, masih terdapat kasih terpendam dan akhirnya melalui putera mereka, Sin Lee, agaknya Kwa Hong menyingkirkan sakit hati dan dendamnya sehingga di depan umum Kwa Hong sekarang berhadapan dengan Hek-hwa Kui-bo yang sudah jelas datang dengan maksud buruk terhadap Thai-san-pai.

Memang mendongkol sekali hati Hek-hwa Kui-bo melihat Kwa Hong maju melawannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi ia marah bukan main, lalu memaki, "Aha, inilah perempuan tidak tahu malu yang melahirkan pemuda tadi dari perbuatan hina! He-he-heh, kau murid Hoa-san-pai murtad, wanita iblis sombong, memang orang macam kau ini kalau tak dibikin mampus hanya akan mengotorkan dunia persilatan saja!" Kwa Hong tidak menjawab, melainkan melengking keras dan tahu-tahu ia telah melakukan serangan serentak dengan lima buah anak panah di ujung cambuk dan dengan pedang di tangan kanannya. Hebat sekali serangan ini karena Hek-hwa Kui-bo sendiri yang merupakan tokoh hebat dari selatan sampai berseru kaget dan cepat melompat mundur, ia merasa seakan-akan sekaligus diserang oleh lima enam orang lawan! Nenek ini maklum bahwa kepandaian Kwa Hong tak boleh dipandang ringan, maka ia tidak mau bicara lagi, cepat kedua tangannya bergerak, pedang dan sabuknya sudah menyambar-nyambar mengimbangi permainan lawan. Hebat sekali pertempuran kali ini.

Keduanya memiliki ilmu silat yang ganas dan tak mengenal kasihan.

Hek-hwa Kui-bo segera merasa betapa ilmu pedang yang dimainkan oleh Kwa Hong itu ganas dan aneh bukan main, maka ia pun lalu cepat mainkan Im-sin Kiam-sut untuk melawannya, sedangkan sabuknya juga merupakan lawan dari cambuk di tangan Kwa Hong, Dua orang jago betina bertempur mempergunakan pedang dan senjata-senjata aneh yang mengandung racun, tentu saja pertandingan ini hebat dan seru, juga amat menegangkan hati.

Tiba-tiba terdengar suara parau, "Heee! Hek-hwa Kui-bo, Iblis betina itu adalah untukku, jangan dibikin mampus dulu. Akulah yang berhak membunuhnya!" Berbareng dengan teriakan ini tubuh seorang yang mukanya seperti setan melayang ke atas panggung. Sebagian besar para tamu tercengang dan merasa ngeri menyaksikan muka seorang laki-laki yang begini menyeramkan, mata kiri bolong, mulut robek, telinga kiri buntung dan tangan kiri kaku seperti cakar setan.

"Iblis betina Kwa Hong, inilah Siauw-coa-ong Giam Kin! Kau telah membikin mukaku seperti ini, saat ini kau harus menebusnya!" Seperti orang gila Giam Kin mainkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah suling ular, dimainkan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya yang berbentuk cakar setan itu juga melakukan penyerangan yang hebat.

Dari pihak tuan rumah berkelebat bayangan yang amat gesit seperti burung terbang, disusul bentakan nyaring halus, "Manusia muka setan, tidak boleh main keroyokan. Dasar curang! Hayo sekarang hadapi pedangku secara laki-laki!" Tanpa memberi kesempatan lagi Cui Bi yang sudah berada di atas panggung segera menerjang Giam Kin dengan pedangnya.

Gadis ini menyerang penuh kebencian, maka gerakan pedangnya hebat bukan main, cepat dan kuat sekali. Giam Kin terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, sulingnya terbuat dari logam yang kuat dan dengan mengandalkan Iwee-kangnya, ia ingin membuat pedang di tangan gadis itu terlepas.

Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang di tangan Cui Bi itu yang seperti hidup, melejit ke bawah dan melewati ke bawah dan melewati sulingnya terus menusuk ke arah lambungnya! "Celaka....!" Giam Kin membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas papan untuk menghindarkan diri. Ia tidak mengira bahwa gadis itu demikian cerdik dan ilmu pedangnya demikian hebat. Memang sebelum melompat ke atas panggung tadi, telinga gadis ini mendengar bisikan, suara ayahnya, "... jangan mengadu tenaga...." Pesan inilah yang membuat Cui Bi berhati-hati dan berlaku cerdik.

Ia dapat menduga maksud ayahnya dengan pesan ini. Tentu Si Muka setan ini memiliki tenaga Iwee-kang yang lebih kuat darinya, atau mungkin suling yang berbentuk ular itu mengandung senjata rahasia yang akan bekerja kalau senjata itu beradu dengan senjata lain.

Setelah meloncat bangun, Giam Kin menghadapi penyerangan gadis itu dengan hati-hati sekali, mempergunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun hatinya kecut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang gadis itu makin kuat dan membingungkan.

Hal ini takkan mengherankan hatinya kalau ia tahu bahwa Cui Bi untuk menghadapi orang yang dibencinya ini telah mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Im-yang Sin-kiam-sut yang jarang tandingannya di dunia persilatan, Giam Kin mulai menyesal. Tadinya ia menganggap dirinya sudah kuat benar malah ia ingin menonjolkan namanya dengan mengalahkan Beng San kalau bisa, karena ia sudah mendengar bahwa Ketua Thai-san-pai itu telah, terluka parah. Siapa kira, menghadapi gadis puteri Ketua Thai-san-pai ini saja ternyata amat berat. Dan ia tahu pula betapa bencinya gadis ini kepadanya, gadis yang kemarin dulu hampir mati menjadi korbannya.

Para tamu memandang ke atas panggung dengan hati diliputi penuh ketegangan. Pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dan Kwa Hong sudah cukup hebat dan mengaburkan pandangan mata, apalagi sekarang ditambah dengan sebuah pertandingan lagi antara manusia muka setan dan gadis cantik itu, benar-benar membuat hati menjadi tegang bukan main. Melihat munculnya tokoh-tokoh besar dan melihat ilmu silat yang demikian hebatnya, mereka yang tadinya ingin mempertunjukkan kepandaiannya di atas panggung, sekarang menjadi kuncup hatinya dan keinginan hati itu terbang jauh.

Ilmu pedang Cui Bi hebat bukan main. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia mendapat gemblengan dari ayah dan ibunya semenjak kecil. Tokoh seperti Giam Kin, biarpun memiliki kepandaian yang tinggi, bukanlah lawannya bermain pedang. Segera ternyata bahwa Si Muka Setan itu terdesak dan tertindih hebat sekali sampai tidak mampu membalas serangan Cui Bi, hanya dapat menangkis ke sana ke mari dan meloncat ke kanan kiri untuk menghindarkan sambaran pedang yang akan merupakan tangan maut baginya. Desakan ini membuat Giam Kin menjadi malu, penasaran, marah dan kemudian ia menjadi nekat. Sambil menggereng seperti seekor binatang terpojok, ia menangkis pedang dengan suling ularnya, lalu tangan kirinya yang seperti cakar setan itu bergerak mencengkeram ke arah dada Cui Bi! "Setan tak bermalu!" Cui Bi memaki, menggeser kaki miringkan tubuh jauh ke kanan, lalu dengan gerakan yang indah dan tak terduga-duga pedangnya menyambar dan... terdengar seperti orang membacok kayu ketika pedangnya membabat putus lengan kiri yang kering itu! Tapi lengan yang buntung itu tidak mengeluarkan darah, agaknya tangan itu memang sudah mati dan kering. Kaget sekali Cui Bi dan kekagetannya ini memperlambat gerakannya sehingga ia kena diserang oleh Giam Kin yang menghantamkan suling ularnya ke arah punggung Cui Bi.

Hebat sekali gadis puteri tunggal Ketua Thai-san-pai ini. Ia berada dalam posisi berbahaya sekali, sehabis membacok tangan kelihatan tertegun dan ngeri, sekarang punggungnya disambar senjata musuh yang lihai. Tak mungkin ia dapat menangkis dan untuk mengelak juga sukar karena suling ular itu menghantam dari arah belakangnya. Tapi dasar ia gadis pendekar yang sudah tinggi ilmu silatnya, sehingga punggungnya pun seakan-akan mempunyai "mata" yaitu perasaan naluri yang membuat seorang ahli silat dapat menangkis serangan di waktu ia sedang tidur sekalipun! Melihat dirinya terancam bahaya, Cui Bi tidak menjadi bingung, malah ia menerjang dengan pedangnya menusuk ke arah ulu hati Giam Kin sambil diam-diam mengerahkan Iwee-kang pada punggungnya. Ia pikir, gerakannya tidak kalah dulu dan tidak kalah cepat, andaikata datangnya kedua senjata berbareng, pedangnya sudah pasti akan menembus ulu hati, sedangkan pukulan suling itu belum tentu akan berbahaya baginya karena sudah terjaga oleh pengerahan tenaga Iwee-kangnya! "Ayaaaa....!" Giam Kin kaget setengah mati dan tentu saja ia tidak mau menukar pukulan pada punggung dengan tusukan pada ulu hatinya karena selain rugi, juga sudah pasti nyawanya akan melayang! Secepat kilat ia membanting tubuhnya ke kiri untuk menghindarkan dirinya dari tusukan maut, akan tetapi otomatis pukulannya pada punggung lawan juga menjadi batal.

Cui Bi menjadi marah, selagi tubuh lawan bergulingan di atas papan, ia tidak mau memberi hati, terus menerjang maju, melakukan serangan bertubitubi dengan gerakan pedang yang amat lihai. Sambil bergulingan Giam Kin berusaha menangkis, tapi gerakannya kalah cepat. Sebelum ia meloncat bangun, Cui Bi sudah berhasil menusuk pergelangan tangan kanannya. Giam Kin mengaduh dan suling ularnya terlepas dari pegangan. Cui Bi menyerang terus, membuat Giam Kin bergulingan ke sana ke mari menghindarkan bacokan atau tusukan pedang.

Darah mulai mengucur ketika ujung pedang Cui Bi menembus baju mengenai pundak dan paha, akan tetapi Giam Kin bergulingan terus berusaha menyelamatkan dirinya.

"Bi-moi, jangan bunuh orang....!" tiba-tiba Kun Hong berseru sambil berdiri dari tempat duduknya.

Mendengar suara ini, Cui Bi menahan sebuah tusukan yang sedianya akan menamatkan riwayat Si Muka Setan itu, lalu kakinya menendang. Tubuh Giam Kin terlempar ke bawah panggung dibarengi jeritan kesakitan. Tubuh itu terbanting di atas tanah, ia merangkak lalu lari terpincang-pincang dari tempat itu. Pada saat itu, pertempuran antara Kwa Hong dan Hek-hwa Kui-bo juga mencapai puncaknya. Dengan jurus Im-Sin Kiam-sut yang istimewa gayanya, Hek-hwa Kui-bo yang penasaran itu menyerang. Hebat serangan pedang ini sehingga biarpun Kwa Hong sudah cepat mengelak, tetap saja pundak kirinya tertusuk dan darah mengucur keluar. Hek-hwa Kui-bo tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika pada saat itu Kwa Hong yang tidak mempedulikan pundaknya yang tertusuk, sempat mengerahkan cambuknya dan tiga di antara lima anak panah di ujung cambuk itu menyambar ke tiga bagian tubuh Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini masih dapat menangkis dua anak panah yang menghantam pusar dan dada, akan tetapi sebatang anak panah, yang sedianya menghancurkan kepalanya, biarpun telah ia elakkan, tetap saja menancap pada pinggir lehernya! Hek-hwa Kui-bo melepaskan pedangnya yang masih menancap di pundak Kwa Hong, tangan kanannya lalu menghantam sekuat tenaga ke depan. Kwa Hong yang melihat hantaman ini, tak sempat lagi mengelak, tangan kirinya melepaskan cambuk dan sekali putar ia telah melancarkan pukulan Jing-tok-ciang menyambut pukulan Hek-hwa Kui-bo.

Terdengar suara keras dan tubuh kedua orang wanita itu terlempar turun panggung. Kebetulan sekali tubuh Kwa Hong terlempar ke arah Giam Kin, yang sedang merangkak bangun. Melihat musuh besarnya yang telah membuat wajahnya yang tampan menjadi seperti muka setan, Giam Kin girang dan menggunakan kesempatan itu untuk mengayun tangan kanannya memukul Kwa Hong yang jatuhnya dekat sekali dengan dirinya. "Bukk!" Pangkal leher Kwa Hong terpukul, tapi wanita ini sempat menggerakkan pedangnya dan "cesss!" pedang itu menusuk perut Giam Kin sampai tembus ke punggungnya.

Si Muka Setan itu berkelojotan sebentar lalu diam, putus napasnya. Kwa Hong juga terguling roboh. Di lain tempat, Hek-hwa Kui-bo yang jatuh terbanting berusaha bangun, tapi dua kali ia gagal, lalu roboh tak bernapas lagi, kiranya anak panah yang menancap di lehernya itu mengandung racun yang luar biasa jahatnya sehingga seluruh tubuhnya keracunan, tak dapat ditolong lagi.

Sambil berseru keras Sin Lee sudah melompat ke tempat ibunya, menyambar tubuh ibunya dibawa lari ke tempat rombongan tuan rumah.

Segera Kwa Hong disambut oleh Beng San, Li Cu, dan Kun Hong. Yang lainlain mendekati dan memandang kuatir. Keadaan Kwa Hong hebat sekali lukanya, parah, akan tetapi wanita ini tersenyum-senyum saja.

Melihat Sin Lee berlutut dengan muka pucat, Kwa Hong berbisik, "Mana... mana dia....?" Sin Lee maklum, menoleh kepada ayahnya, Beng San mendekat, berlutut.

"Hong-moi, bagaimana luka-lukamu....?" tanyanya, terharu.

"Tak usah bicara tentang aku, yang perlu anakku, Beng San, apakah kau benar mau menerimanya sebagai puteramu?" "Sudah tentu, Hong-moi, Sin Lee memang puteraku." "Kau akan mendidiknya baik-baik seperti anak-anakmu yang lain?" "Tentu!" "Bersumpahlah!" suara Kwa Hong masih keras dan seperti marah-marah.

Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah bahwa ia akan menerima Sin Lee sebagai putera sendiri dan mendidiknya baik-baik.

Kwa Hong nampak lega. " Mana…. Li Cu?" Li Cu memang berdiri di dekat situ, maka mendengar ini ia pun lalu mendekat dan berlutut. "Li Cu, kau rela menerima Sin Lee sebagai anak tirimu?" Li Cu mengangguk, terharu. "Puteramu adalah putera suamiku, berarti dia itu puteraku sendiri, tiada bedanya." "Enci Kwa Hong, biarkan aku memeriksa lukamu…." Tiba-tiba Kun Hong berkata, mendekati wanita yang terluka parah itu.

"Siapa kau?" Kwa Hong membentak, suaranya ketus.

"Enci Hong, ayahku bernama Kwa Tin Siong, Ibuku Liem Sian Hwa, kita adalah saudara tiri." Sejenak Kwa Hong tercengang, lalu mengipatkan tangan Kun Hong yang menjangkaunya hendak melakukan pemeriksaan. "Jangan sentuh aku! Aku anak…. Jahat, anak murtad." "Enci, Ayah tidak pernah marah kepadamu, rindu sekali dan berkasihan kepadamu." Kata Kun Hong dengan suara halus.

Kwa Hong memandang tajam, agaknya tak percaya. Suaranya makin lemah dan parau ketika ia bertanya, "Ayah…. Ayah mengampuni aku… ?" "Sejak dahulu Ayah mengampunimu, Enci. Malah kau diharap-harap kembalimu ke Hoa-san. Enci, biarkan aku memeriksamu, barangkali aku dapat mengobatimu." "Benar, Hong-moi. Adikmu ini mempunyai kepandaian ilmu pengobatan, aku pun telah mendapatkan pertolongannya." Kata Beng San.

"Tidak! Biar aku mati…. Ah, aku seorang Jahat…. Li Cu, kau begini mulia, Ayah pun mengampuniku…. Semua orang baik-baik sedangkan aku… aku… Sin Lee… Jangan kau tiru Ibumu, Kau ikutlah ayahmu menjadi orang baik-baik…." Tubuh ini menegang sebentar, lalu lemas, mulutnya tersenyum, matanya meram, napasnya terhenti.

Sin Lee menubruk ibunya, akan tetapi dua buah tangan tangan kuat memegang pundaknya. Ia menoleh, melihat wajah ayahnya yang pucat, sepasang mata ayahnya yang tajam itu memperingatkannya bahwa tidak selayaknya seorang gagah terlalu menyedihkan kematian.

"Ibu... ibu... selamat jalan...." Sin Lee terisak lalu menguatkan hatinya, mundur.

Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya dan memberi perintah supaya jenazah Kwa Hong dibawa naik kepuncak dan dirawat di sana. Semua berjalan dengan tenang dan para tamu dari tempat jauh tidak melihat nyata apa yang terjadi di situ. Hanya setelah jenazah itu diangkat mereka tahu bahwa Kwa Hong yang dikenal sebagai wanita iblis itu telah tewas. Jenazah Hek-hwa Kui-bo telah diangkut oleh para anggauta Ngo-lian-kauw, sedangkan jenazah Giam Kin disingkirkan oleh Siauw-ong-kwi. Keadaan sementara menjadi sunyi.

Pada saat itu terdenga orang tertawa terkekeh-kekeh dan dua bayangan orang meloncat ke atas panggung. Mereka ini ternyata adalah Toat-beng Yokmo dan Tok Kak Hwesio, Suara Toat-beng Yok-mo yang tertawa tadi dan sekarang Setan Obat itu pun berkata nyaring dengan suaranya yang serak, "Heh-heh-heh, Ketua Thai-san-pai. Kau benar-benar licik sekali.

Semenjak tadi baru seorang anak murid Thai-san-pai maju, lalu kedua orang putera-puterimu. Kau mempergunakan orang-orang muda untuk melindungi muka Thai-san-pai, malah mengadu domba antara bekas musuh dengan musuh. Pintar! Aku memang tidak ada urusan penting dengan Thai-san-pai, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan pemuda Kwa Kun Hong yang berlindung di tempatmu. Kwa Kun Hong, kau telah menghina kami berdua dengan akal licik, hayo keluarlah memperhitungkan di atas panggung ini!" "Toat-beng Yok-Mo!" suara Beng San amat keras menggeledek. "Tak usah kita bicara tentang pengeroyokan kemarin dulu, kau tidak menantang aku sudahlah. Akan tetapi kau menantang seorang pemuda, keponakanku dari Hoa-san-pai yang menjadi tamu terhormat, Apakah kalian berdua tua bangka hendak mengeroyok seorang pemuda?" "Hi-hi-hi, sama sekali tidak mengeroyok. Biarlah aku turun dulu, menunggu giliran." Ia menoleh kepada Tok Kak Hwesio "Hwesio yang baik, kau boleh memberi hajaran kepadanya, tapi jangan dibunuh, biarkan aku yang menghabisinya, heh-heh-heh!" Setelah Toat-beng Yok-mo melompat turun, Tok Kak Hwesio berkata ke arah Kun Hong. "Siluman muda, hayo kau naik perlihatkan kepandaianmu!" Kun Hong mengerutkan keningnya. Tak senang ia berkelahi, apalagi di tempat umum seperti itu, dijadikan tontonan! Ia ragu-ragu. Didiamkan saja, tentu memalukan, bukan memalukan namanya, terutama sekali memalukan Hoa-san-pai dan juga Thai-san-pai sebagai tuan rumah. Dilayani, ah, mengapa melayani orang gila yang mabuk nafsu membunuh? Kong Bu bangkit berdiri, memegang lengannya. "Saudara Kun Hong, jangan gelisah. Akulah wakilmu!" Sebelum Kun Hong sempat menjawab, tubuh Kong Bu sudah melayang naik ke atas panggung. Dengan muka keren dan pandang mata tajam pemuda ini membentak, "Hwesio tua, sepanjang ingatanku, saudara Kwa Kun Hong adalah seorang yang tidak suka berkelahi, pantang membunuh dan selalu mengalah.

Bagaimana seorang pendeta seperti kau ini mendendam kepadanya? Biarpun dia itu seorang murid Hoa-san-pai, namun ia mempelajari ilmu sastra saja, tidak suka akan ilmu silat. Apakah tantanganmu ini tidak merendahkan dirimu sendiri dan sekaligus membuka watakmu yang tak tahu malu, menantang kepada seorang pemuda yang hanya tahu ilmu sastra dan pengobatan? Kalau memang kau hendak berlagak, akulah tandinganmu!" Tok Kak Hwesio marah sekali. Ia mengenal pemuda ini yang kemarin telah membantu Beng San dalam pengeroyokan, dan sepanjang pendengarannya, pemuda ini katanya cucu Song-bun-kwi. Bagaimana bisa begini dan apa artinya semua ini? "Eh, orang muda, sebenarnya kau ini siapakah? Pernah apa kau dengan Ketua Thai-san-pai dan apamu pula Kun Hong itu?" "Hwesio, aku tahu bahwa kau adalah Tok Kak Hwesio yang berjuluk Kauw-jiauw-kang Si Cakar Monyet, bekas perampok besar! Kau belum kenal aku? Aku adalah putera Ketua Thai-san-pai, namaku Tan Kong Bu." "Ha-ha-ha, semua mengaku putera Ketua Thai-san-pai? Orang bilang kau cucu Song-bun-kwi.... Berapa orang sih isteri Ketua Thai-san-pai?" "Benar! Mendiang ibuku adalah puteri tunggal Kakek Song-bun-kwi. Nah, kau sudah tahu jelas, apakah kau masih berani melawanku sebagai wakil saudara Kwa Kun Hong seorang sahabatku yang baik?" "Keparat, kau sombong benar. Lihat seranganku!" Hwesio itu sudah marah sejak ia dimaki-maki sebagai perampok besar tadi, maka tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang mempergunakan cengkeramannya yaitu Kauwjiauw- kang. Lihai sekali ilmu ini, kedua tangannya sudah digembleng, gerakannya cepat, penuh tenaga Iwee-kang dan sekali lawan kena dicengkeram, pasti kulitnya hancur dagingnya robek tulangnya remuk!

0 Kemarin dulu ketika Kong Bu menolong ayahnya dari pengeroyokan, sudah melihat ilmu kepandaian hwesio ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono menghadapi serangan ini, ia mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Yang-sin-hoat, ilmu silat yang berdasarkan tenaga keras sehingga pukulannya mendatangkan hawa panas. Kong Bu semenjak kecil digembleng hebat oleh Song-bun-Kwi dan karena Song-bun-kwi tadinya bercita-cita supaya cucu ini kelak bertanding melawan Beng San, tentu saja ia menurunkan seluruh kepandaiannya. Siapa kira sekarang cucunya bukan melawan ayahnya, malah sebaliknya di atas panggung ini mempertahankan nama baik Thai-san-pai.

Setelah belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan yang jauh lebih tinggi ilmunya daripada dia sendiri, akan tetapi sungguh ia tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua puluhan tahun, sudah memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini kuat. Di lain pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tak pernah berani melakukan tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul sehingga biarpun ia dapat mendesaknya dengan hujan pukulan, namun masih kurang cepat dan selalu dapat dielakkan oleh hwesio kosen itu.

Apa pula kalau hwesio itu menangkis sambil mencengkeram, ia selalu harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali pukulannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara lirih di dekat telinganya, "Cengkeraman cakar bebek begini saja takut apa? Paling-paling membikin lecet kulit" Kong Bu girang sekali. Itulah suara kakeknya! Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi di situ tidak kelihatan kakeknya muncul, sekarang tahu-tahu ada suaranya yang dikirim dari tempat jauh.

Tadinya ia ragu-ragu untuk membiarkan tangannya dicengkram lalu membarengi memukul, sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah. Ketika tangan kirinya menjotos dada, kakek itu menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda ini sengaja berlaku lambat sehingga pergelangan tangan kirinya benar-benar dapat dicengkeram. Tok kak Hwesio sudah menyeringai kegirangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, dadanya terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah panggung dan roboh terbanting, bangkit lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ! Toat-beng Yok-mo marah sekali, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung. Akan tetapi sebelum Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung melalui anak tangga, terus menarik tangan Kong Bu yang kiri. "Wah, kau terkena racun!" bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan itu, mengurut sebentar lalu berkata, "Saudara Kong Bu, aku berterima kasih bahwa kau sudah mewakili aku, tapi aku tak senang kau atas namaku menjotos orang sampai muntah darah.

Sekarang turunlah, minta Ayahmu supaya mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya, kemudian kau telanlah dua butir pel ini." Ia mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang khasiatnya memunahkan racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, tapi ia memandang ragu kepada Toat-beng Yok-mo.

"Saudaraku, apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?" bisiknya.

"Biarlah, itu tanggung jawabku, kau turunlah,'" jawab Kun Hong. Ketika Kong Bu menoleh ke arah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun, maka ia pun lalu melompat turun.

Adapun Toat-beng Yok-mo ketika melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi, memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia mencakmencak saking marahnya ketika ia mengenal bahwa cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.

"Pencuri, kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!" teriaknya marah.

"Nanti dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Di sini banyak orang gagah yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba katakan orang yang kecurian tentu kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan apamukah?" "Aku tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan. Hayo katakan, apakah kau tidak membaca habis kitab-kitabku tentang ilmu pengobatan? Jawab!" Kun Hong menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian mendengarkan perdebatan itu. "Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan suatu, akan tetapi menuduh siauwte sebagai pencuri.

Bukankah itu aneh? Yok-mo, kau membohong! Dulu ketika kau terluka, kau minta aku menolongmu, menggendongmu berhari-hari lamanya dan sementara itu, kau sudah memberi ijin kepadaku untuk membaca Kitabkitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku tidak mencuri baca kitabkitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Adapun tentang ilmu, ilmu itu bukankah milik pribadi siapapun juga. Siapapun dia orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka mempelajari akan mendapatkan ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah milik pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan pemiliknya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sadarkah kau sekarang?" "Sadar perutmu!" Toat-beng Yok-mo memaki. Siapa yang pernah kuobati dia harus kubunuh siapa yang memiliki ilmu pengobatanku dia pun harus kubunuh!" "Wah-wah-wah, kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh sekali, orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik buruknya tergantung dari manusla yang bersangkutan. Pisau tetap pisau, dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik misalnya pemotong sayur-sayur di dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi pisau yang itu-itu juga dapat dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya menusuk perut sesama manusia! Segalanya tergantung kepada manusia yang memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo ilmu pengobatan pun demikian baik bentuknya tergantung kepada manusia yang menguasainya. Di tanganmu, ilmu itu menjadi alat kejahatan." "Sudah, aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, melainkan untuk mencabut nyawamu. Hayo berani kau melawan aku?" "Berani dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar, aku takkan mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak mengenal berani. Dalam persoalan antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku tidak takut, Yok-mo." "Keparat, lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu berbelit-belit. Keluarkan senjatamu!" "Apakah lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?" Kun Hong menjawab, akan tetapi karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia lalu mencabut pedangnya secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang menghadang ke dalam seperti orang memegang sebilah pisau belati.

"Awas serangan!" Yok-mo segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan kepala lawan, maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.

"Wah, galaknya!" Kwa Hong membungkuk dengan kaku, gerakannya lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu tidak mengenai kepalanya. Tongkat itu lewat dan langsung membabat kembali menyerang dada. Kun Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak "set-set-set" dengan tubuh melengkung ke sana ke mari, kedua tangannya dikembangkan, kadang-kadang ia berdiri di kedua ujung jari kakinya, seperti penari ballet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari ballet, tapi hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biarpun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah. "Wah, Saudara Kun Hongr benar-benar gegabah sekali kakek itu lihai dan berbahaya." kata Kong Bu perlahan.

Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh....

aneh...." Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak "aseli" lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja? Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan, "Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat orang muda itu..." Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.

Namun hebat sekali gerakan pemuda itu. Kelihatannya terhuyunghuyung, jongkok, berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah adakalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki, akan tetapi semua gerakan ini seirama dengan jurus-jurus penyerangan Toat-beng Yok-mo sehingga, semua serangan itu gagal.

Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri! "Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" terlak Yok-mo dengan suara keras, saking marahnya.

"Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih belum mau terima?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa mengeser kaki, seperti sebatatg rumput alang-alang tertiup angin besar.

Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya, Apakah Yok-mo yang main-main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang manapun belum pernah mereka mendengar apalagi melihat. Hanya Beng San seorang yang mengangguk-anguk puas.

Dugaannya ternyata tidak keliru. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi, malah ia dapet merasa bahwa dasar ilmu yang berupa langkah-langkah sakti itu mirip dengan dasar ilmu silatnya sendiri mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat. Hanya bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti, adalah ilmu yang dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah lagi mempergunakan unsur Im dan yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung. Ia makin kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat menjaga menutupi kepandaiannya yang jelas membayangkan watak merendah, watak yang tidak suka menonjolkan diri, apalagi berdasar watak welas asih yang tidak suka melihat bunuhbunuhan.

"Iblls cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku, kalau kau memang berkepandaian!" "Aku tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyereng, boleh, Nah, jaga pedangku, ini!" Kun Hong menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu, tangan kanannya bergerak seperti memukul dan tahu-tahu pedang itu membabat di pinggir lengannya, seperti seekor ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan menggunakan kakinya.

Yok-mo menangkis, sambi mengerahkan tenaga, dengan maksud membuat pedang lawan terlepas. Akan tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata itu, Yok-mo merasa lengannya sakit-sakit dan tubuh Kun Hong terpental ke atas! Ternyata tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata membuat ia terpental, tapi tidak mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah seperti seekor burung yang mematuk, pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya bergantian menendang dan tangan kirinya juga menampar dari samping. Sekaligus Yokmo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu tusukan! "Ahhhh!!" Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk! Tapi hebat sekali, lebih hebat daripada gerakannya sendiri.

Yok-mo terkejut bukan main, cepat ia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah pedang sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tibatiba gerakan tongkatnya terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong! Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah menendang ke arah tangannya sehingga terpaksa kakek ini melepaskan tongkatnya dan melompat mundur. Namun terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat luka memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.

"Ah, aku menyesal sekali. Tidak sengaja...." Kun Hong berseru dan mengembalikan tongkat kepada Yok-mo..

Saking malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Ia menerima tongkat dan tiba-tiba ia menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih, "Aduh... aduh... perutku... kambuh sakitnya...." Kun Hong adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada kakek itu. Melihat muka yang menyeringai kesakitan, ia cepat menyimpan pedangnya dan menghampiri.

"Ada apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo." Ia lalu berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba Yok-mo menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong sambil menendang dengan kaki ke arah dada pemuda itu! "Heh! Curang!!" Tubuh Beng San. melayang ke atas panggung. Juga para penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!" Kun Hong kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat pada kepalanya meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia terjengkang dan bergulingan ke belakang. Anehnya, ia bangun lagi dan sama sekali tidak apa-apa! Sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah lalu roboh dan napasnya putus! Apa yang terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benarbenar hendak mengobatinya dan pemuda ini dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri perut kakek itu.

Tentu saja ia melakukan hal ini dengan maksud baik karena hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan menendangnya. Gerakan ini sebetulnya sama sekali pantang bagi seorang yang urat perutnya dicengkeram, maka begitu menendang, kakek itu merasa perutnya muak dan sakit, kiranya urat-urat perutnya sudah hancur, dan membanjir ke dalam perut dan nyawanya tak dapat diselamatkan lagi. Kun Hong berdiri melongo, tak tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu, wajahnya agak pucat.

"Aku... aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh...." katanya berulang-ulang kepada Beng San yang sudah berada di panggung.

Beng San menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung, lalu ia memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan mengurusnya baik-baik.

"Jangan berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena kau." Beng san menghibur, melihat wajah muram pemuda itu.

"Kau hendak menolongnya, sebaliknya dia membalas dengan tendangan dan pukulan, memang sudah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat." Pada saat itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka tersenyum-senyum dan sepasang mata liar.

Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari utara yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Kakek ini sebetulnya jerih menghadapi Beng San yang ia tahu memiliki ilmu silat hebat, akan tetapi karena dalam pengeroyokan kemarin dulu ia yakin betul bahwa Beng San terluka dalam parah sekali, kini ia hendak mempergunakan kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama sendiri, sekalian untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin celaka dan tewas oleh Kwa Hong, sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka sudah sepatutnya ia membalas kepada Beng San.

"Aku menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk memperlihatkan kepandaiannya sebagai Ketua Thai-san-pai. Kalau ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang-orang muda, biarlah kuanggap dia tak berani karena aku tidak sudi melawan orang-orang muda," Beng San maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa dia kemarin dulu terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum pulih kembali dan Siauw-ong-kwi terkenal seorang ahli ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam.

Tentu saja kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya sehingga hampir saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong. Sekarang pun andaikata mereka harus bertanding dengan senjata, pedangnya sudah pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat duduknya perlahan-lahan.

"Perlu apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang, "Biarlah aku yang melayaninya." Beng San menggeleng kepalanya dan memberi isyart kepada isterinya supaya duduk kembali, "Kau tidak boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan. "Ayah, aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit.

"Kesehatanmu belum pulih, biar aku mewakilimu menghajar kakek gila itu." "Aku pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.

"Biar aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.

"Paman masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman." Li Eng tak mau ketinggalan.

Beng San tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.

"Siauw-ong-kwi tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku, Biarpun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, namun setidaknya satu kali aku harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih kuat melayani dia. Setelah berkata demikian, Beng San berjalan menuju panggung dengan langkah lebar dan tenang lalu meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu yang mengaguminya. Dengan hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura kepada Siauw-ong-kwi yang berdiri di depannya sambil memandang tajam dan tersenyum menyeringai.

"Siauw-ong-kwi apakah kau penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan aku selagi terluka hebat? Kenapa kau begini membenciku, membenci Thai-san-pai yang pendiriannya sama sekali tidak merugikan dan menganggumu?" Sikap sabar mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ongkwi, dikira bahwa Ketua Thai-san-pai ini takut. "Ha-ha-Ha-ha, kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani menghadapi tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan sekarang, perlihatkanlah kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-ha-ha!" "Siauw-ong-kwi, semenjak dahulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau kira di dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai daripadamu? Kau tahu aku terluka karena pengeroyokan curang, sekarang kau hendak mempergunakan keadaanku untuk memperoleh kemenangan, apakah ini sikap yang patut dipuji dari seorang tokoh besar sepertimu?" "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihat, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam, biar aku bertangan kosong saja karena kau bilang bahwa kau sedang tak enak badan," kakek itu tertawa-tawa lagi dan ucapannya ini dikeluarkan dengan keras agar semua tamu mendengar. Beng San maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justeru agar ia tidak mempergunakan pedangnya. Ia maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya, hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biarpun keadaannya terluka, biarpun tanpa pedang, ia masih sanggup mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.

"Siauw-ong-kwi, dengan senjata maupun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan tenang, tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.

Terdengar suara Kun Hong berseru nyaring, terdengar oleh semua tamu, "Ketua Thai-san-pai sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana orang tak tahu malu menantangnya berkelahi? Kalau dengan senjata masih mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang mempergunkan tipu muslihat dan ingin mencapai kemenangan secara curang?" Beng San berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat dengan tangan agar supaya pemuda itu duduk kembali. Benar saja, keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang menganggap bahwa Siauw-ong-kwi bersikap licik sekali, sudah tahu akan keadaan tuan rumah namun hendak mempergunakan kesempatan itu mencapai kemenangan. Dan diam-diam mereka kagum sekali melihat tuan rumah, biarpun menderita sakit, tetapi berani menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar, penuh ketegangan karena maklum bahwa sebentar lagi tentu terjadi pertempuran mati-matian.

Siauw-ong-kwi tak tenang mendengar seruan pemuda itu, maka agar jangan sampai berlarut-larut pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku ini!" Beng San menangkis pukulan pertama itu. "Dukk!" dua lengan bertemu, Siauw-Ong-kwi mundur tiga langkah, Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua Thai-san-pai ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh, ia tadi sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri ternyata biarpun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan sanggup ia mengatasi lawan, namun pengerahan tenaga terlalu besar akan membuat lukanya di dalam dada kambuh kembali! Di lain pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Beng San masih akan memiliki tenaga sehebat itu.

Bukankah kemarin dulu ia melihat sendiri betapa hebat luka-luka yang diderita Ketua Thai-san-pai? Yok-mo sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua Thai-san-pai itu takkan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan sehat, malah tenaganya masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia gegabah menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan Beng San, apalagi sekarang satu lawan satu. Akan tetapi karena sudah tak dapat mundur lagi, Siauw-ongkwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini, menerjang maju lagi, mempergunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga Iwee-kang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan mencengkeram model Mongol.

Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambutpun ia tidak mundur, malah tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi dengan keras lawan keras.

Semua penyerangan dan pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulanpukulannya yang mengandung uap putih.

Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan Iwee-kang yang hebat, maka tentu saja makin lama keadaan dalam tubuh Beng San makin payah dan tak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi lambat biarpun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.

Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali dan tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita. Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tanpa dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Ia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyabut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.

Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani menyambut cengkeramannya? Dua buah tangan itu bertemu, jari-jarinya saling cengkeram tak dapat dicegah lagi. Beng San merasa dadanya seperti tertusuk, akan tetapi, ia menahan napas mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.

Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya menghantam ke arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau menerima hantaman begitu saja. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.

"Dukkk!" Dua pukulan tangan bertemu di udara sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, diterima lagi oleh kepalan tangan Beng Sen, Begitu kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara "hukkk!" seperti tertendang perutnya dan, tubuh Beng San makin keras menggigil. Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh Beng San.

Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja tiga orang muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong ayah mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar