19 Raja Pedang

"Bawa masuk tiga orang murid Hoa-san-pai1" Berdebar jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat. penyiksaan terhadap diri Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan dihatinya, namun ditahantahankannya karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan kedatangannya ke tempat itu adalah untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu. Sekarang mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.

Tiga orang muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan.

Seperti juga yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua tengan mereka ke belakang.

Akan tetapi tiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh sikap menantang. Diam-diam Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalan perlu akan dia pertaruhkan nyawanya.

Agaknya karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.

"Ha..ha..ha, murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau kalian sudah menggeletak tak berkepala tagi, apakah masih dapat bersikap sombong seperti sekararig ini," kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oieh sikap tiga orang muda ini. "Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha..ha..ha!" "Manusia berbatin rendah!" terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring sekali. "Siapakah yang takut akan mati? Anak murid Hoa-san-pai tidak takut matt dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu kau menyebutnyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dahulu kau telah menculik aku dan suciku dan kaupergunakan itu untuk memaksa suhu berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang melanggar janji, kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm, mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik daripada hidup sebagai manusia rendah macam engkau! Hampir saja Beng San bertepuk tangan memuji mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa Hong yang gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya sehingga terdengar suara Keras.

"Perempuan liar. Di sini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan? Hermm, hukuman mati masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina daripada yang paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha..ha..ha!" Suara ketawa Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali dan Beng San melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi makin pucat dan tubuh gadis itu menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini dengan mata mendelik.

Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat.

Thio Ki menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata.

"Sumoi, berkatalah sedikit halus, ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh.

Biarlah aku menyerahkan nyawaku untuk keselamatanmu." Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi, "Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman mati. Akan tetapi, demi prikemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang demikian hina dan rendah kepada sumoiku. Kalian boleh menghukum aku, boleh mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoiku ini. Biarlah badanku menjadi penggantinya." Kui Lok cepat berkata, "Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hongmoi.

Taijin, aku cinta kepada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kaujatuhkan hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kaubebaskan Hong-moi!" "Lok-te, tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa-supek sudah merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa "Siapa bilang bertunangan? Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiri pun belum menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku..... cintaku kepadanya lebih besar dan suci!" Beng San menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong? Juga Kwa Hong menjadi gemas sekali. "Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu? Apa pun hukumannya, akhirnya orang mesti mati, Siapa takut mati?" Sementara itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan pangeran itu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng San mendongkol sekali. Celaka, pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum waktunya turun tangan, hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.

Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia berkata, "Seorang di antara kalian berani rela berkorban? tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.

"Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!" kata Thio Ki.

"Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta," kata Kui Lok.

Pangeran itu tertawa lagi. "Bagus, kalian ini orang-orang muda mabuk cinta. Kalau seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara katian mau mati dan mermberikan nona ini kepada yang lain?" Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tidak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.

"Sekarang keputusanku begini," kata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata kepada Tan Beng Kui. "Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan kuberikan keoada pemenang pertandingan." Setelah berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dua kali tabas terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu. "Ambilkan dua batang pedang," katanya lagi. Dua orang penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh! "Thio-suheng dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?" teriak Kwa Hong dengan gemas sekali. "Setelah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?" Dua orang muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan tetapi mereka jerih untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya, pula, mereka dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga saktisakti itu? Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang di antara mereka? "Sumoi, urusan dirimu di antara kami memang tak pernah akan beres tanpa ada keputusan terakhir. Salah seorang di antara kami harus mati lebih dulu agar yang hidup dapat memperoleh dirimu," kata Thio Ki dengan suara tegas. "Kui Lok, kau mulailah!" Kui Lok meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata, "Adik Hong, kalau aku yang kaJah dan mati, biarlah kau hidup bahagia dengan Suheng." Setelah berkata demikian pedangnya menyambar dan dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling serang dengan hebat dan seru.

Dengan air mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan kecewa akan kebodohan tiga orang suhengnya itu yang begitu tolol sehingga mau dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suhengsuhengnya itu di dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan dirinya. Dahulu, ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak rendah. Air matanya makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh bedanya dua orang suhengnya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya makin deras mengucur. Alangkah rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.

Pertempuran antara Thio Ki dan Kui Lok berjalan makin seru dan ramai. Memang kedua orang muda ini setingkat kepandaiannya, apalagi mereka memang terdidik semenjak kecil dalam satu perguruan, tentu saja sudah saling mengenal gerakan masing-masing. Bagi orang yang mengenal ilmu pedang Hoa-san-pai, tentu menyangka mereka itu main-main saja atau sedang berlatih, akan tetapi bagi orang luar mereka kelihatan sedang bertempur dengan hebat, karena memang ilmu pedang Hoa-san-pai kelihatan amat cepat dan bergaya indah. Sesungguhnya mereka ini sama sekali tidak main-main, melainkan saling serang dengan mengeluarkan gerakangerakan mematikan. Tiada lagi pilihan bagi Thio Ki dan Kui Lok. Mereka harus memilih satu antara dua, membunuh lawan untuk bebas bersama Kwa Hong, atau terbunuh. Sudah tentu saja tak seorang diantara mereka sudi mengalah, bukan persoalan matl hidup yang penting bagi mereka, melainkan persoalan mendapatkan atau kehilangan diri Kwa Hong, yang mereka cinta! "Thio-suheng! Kui-suheng! Dengarkan aku baik-baik!" tiba-tiba Kwa Hong berseru nyaring dengan suara terisak. "Dengar sumpahku ini, siapapun juga di antara kalian yang menang dalam pertandingan ini, aku tidak sudi menjadi isterimu! Nah, dengar! Siapa pun juga yang menang, takkan menjadi suamiku malah akan menjadi musuh besarku selama hidup karena telah membunuh seorang saudara seperguruan!" Seketika wajah dua orang pemuda Hoa-san itu menjadi pucat dan pedang mereka tertahan. Peluh memenuhi leher dan muka, mata mereka memandang ke arah Kwa Hong dengan sedih, kaget dan bingung.

"Sumoi..... kalau begitu..... siapakah yang kau..... kaucinta?" tanya Thio Ki dengan suara serak.

"Ya, katakan siapa orangnya yang kaucinta, Hong-moi, agar kami tidak penasaran dan tidak menganggap kau membohong untuk mencegah kami saling bertempur," kata Kui Lok dengan wajah pucat.

Kwa Hong bingung mendengar kata-kata mereka itu. la maklum bahwa kalau ia tidak bisa menjawab, keduanya tentu akan bertanding lagi karena menganggap bahwa dia hanya membohong untuk mencegah mereka saling serang. Kalau ia mengaku,ah, bukankah hal itu amat memalukan? Akan tetapi, keadaan sudah mendesak, daripada kedua suhengnya mati saling serang, lebih baik mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah. Pula, dia sendiri sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup lebih lama lagi atau keluar dari tempat ini dengan selamat, maka apa salahnya kalau ia mengeluarkan isi hatinya? Dengan muka merah, air mata mengalir di kedua pipinya, tapi sambil mengangkat dada dan dengan suara yang nyaring ia berkata.

"Aku mencintai kanda Beng San" Pada saat itu terdengar suara ketawa keras. "Ha..ha..ha..ha..ha! Kiranya nona manis ini tidak suka menjadi isteri seorang di antara suhengnya." Dan cepal sekali seperti terbang saja tahu-tahu tubuh Giam Kin sudah berada di tengah ruangan itu. la menoleh ke arah Souw Kian Bi dan menjura sambil berkata.

"Taijin tadi menyatakan bahwa siapa yang menang akan mendapatkan diri nona Kwa Hong yang manis ini. Sekarang dua orang Hoa-san ini tidak mau lagi saling serang agaknya, biarlah hamba merobohkan mereka berdua dan hadiahnya tentu saja diri nona manis ini. Mengharapkan perkenan Taijin." "Giam Kin, bukankah nona yang satu lagi dari Hoa-san-pai yang kau cinta?" tanya Souw Kian Bi sambil tersenyum. Giam Kin tertawa lagi memandang ke arah Kwa Hong sambil menyeringai.

"Yang itu juga cinta, yang ini juga suka. Kalau bisa kedua-duanya pun boleh.

Ha..ha..ha!" "Dasar mata keranjang. Nah, kauhadapi dua orang itu, kalau kau menang, boleh kauambil nona ini," kata Souw Kian Bi pula sambil tertawa geli.

Sementara itu, pengakuan Kwa Hong bahwa dia mencinta Beng San tadi memang sudah dapat diduga lebih dulu oleh Thio Ki dan Kui Lok. Dahulu, di puncak Hoa-san, ketika Kwa Tin Siong hendak memaksa Kwa Hong nnenikah dengari Thio Ki, gadis ini pun memberontak dan menolak, malah berani mengaku di depan ayahnya bahwa dia suka kepada Beng San. Akan tetapi dahulu itu mereka semua mengira bahwa Kwa Hong yang terkenal keras hati, keras kepala itu mengaku demikian hanya untuk mencari alasan penolakannya belaka. Pada waktu itu, siapa bisa percaya bahwa Kwa Hong mencinta seorang pemuda tolol seperti Beng San? Tapi pengakuan sekarang ini lain lagi, tak mungkin Kwa Hong main-main di depan jurang kematian. Dua orang saudara seperguruan ini saling pandang dan mata mereka menjadi basah. Sungguh mereka senasib sependeritaan. Keduanya kehilangan ayah, dan keduanya sekarang kehilangan kekasih. Dalam pertemuan pandang mata ini sekaligus lenyap semua kebencian, lenyap semua persaingan, dan timbullah kasih sayang antara saudara seperguruan yang mesra. Timbul kasih sayang dan kesetiakawanan. Baru terbuka mata hati mereka betapa mereka tadi bersikap pengecut dan amat mementingkan diri sendiri saja. Baru teringat bahwa sebagai murid-murid Hoa-san-pai seharusnya mereka bersikap gagah perkasa, menghadapi kematian di tangan musuh dengan pedang di tangan, siap mati demi membela kebenaran, apalagi dalam hal ini membela tanah air dan bangsa.

"Lok-te, mari kita basmi anjing-anjing penjajah" bisik Thio Ki.

"Ki-suheng, aku sehidup semati denganmu!" Keduanya melangkah maju, saling peluk dengan air mata bercucuran. Kemudian keduanya membalik menghadapi Giam Kin dengan pedang di tangan. Kini pedang itu tetap dan kokoh dalam genggaman tangan orang-orang yang sudah siap mempertahankan diri sampai titik darah terakhir! Sambil tertawa-tawa Giam Kin mencabut pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, kemudian membentak keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan gerakan cepat sekali dia telah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah Thio Ki dan Kui Lok. Tentu saja dua orang pemuda Hoa-san ihi segera menangkis dan balas menyerang. Namun segera dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah Giam Kin karena biarpun mengeroyok dua, segera sinar pedang Giam Kin mendesak dan menindih kedua pedang mereka. Betapapun juga, karena dua orang pemuda ini sekarang bertempur dengan semangat menyala-nyala dan nekat, tidak mudah bagi Giam Kin untuk merobohkan mereka dalam waktu singkat.

Tadinya ketika melihat dua orang murid Hoa-san-pai itu saling serang untuk memperebutkan diri Kwa Hong, Beng San merasa amat kecewa dan muak sekali sehingga dia tidak ambil peduli. Bahkan kiranya dia akan mendiamkan saja andaikata melihat dua orang pemuda itu tewas di tangan musuh. Akan tetapi sekarang, melihat perubahan sikap mereka, dia menjadi terharu dan girang serta kasihan juga. Melihat betapa mereka berdua sekarang mati-matian mempertahankan diri dari serangan Giam Kin yang ganas dan keji serta maklum bahwa tak lama lagi mereka tentu akan roboh, Beng San lalu mengambil keputusan untuk turun tangan sekarang juga. Betapapun juga akhirnya dia harus turun menolong Kwa Hong.

"Saudara Thio Ki dan Kui Lok, berikan iblis ular ini kepadaku!" Sambil mengeluarkan seruan nyaring ini Beng San sudah melayang turun dan tahu-tahu dua orang seperguruan dari Hoa-san-pai itu tertolak mundur sampai beberapa tindak ke belakang sedangkan Giam Kin yang mendesak maju merasa tangannya sakit sekali.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa pedangnya di tangan kanan sudah pindah tangan, sekarang dipegang oleh pemuda yang bukan lain adalah Tan Beng San si pemuda sastrawan yang lemah dan tolol! Giam Kin yang mukanya kepucat-pucatan itu menjadi makin pucat, sejenak dia berdiri terlongong. Geger di tempat itu ketika tahu-tahu muncul Beng San. Bukan saja para penjaga yang kaget, juga orang-orang sakti seperti Siauw-ong-kwi dan Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main, juga malu karena mereka sebagai orang-orang sakti sampai tidak tahu bahwa di atas genteng bersembunyi seorang muda yang agaknya telah mengintai semenjak tadi.

Adapun Thio Ki dan Kui Lok yang melihat munculnya Beng San dan menyaksikan kehebatan pemuda ini yangg sekaligus dapat merampas pedang Giam Kin, menjadi girang dan kagum bukan main. Mereka memutar pedang dan berteriaklah Thio Ki.

"Saudara Beng San lekas kau selamatkan Sumoi!" "Betul! Kau larikan Hong-moi, biar kami berdua menahan mati-matian!" teriak pula Kui Lok sambil siap-siap menahan penyerbuan para musuh yang amat banyak itu.

Yang paling girang adalah Kwa Hong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini sudah maklum akan kelihaian Beng San, malah sudah secara berterang mengaku cinta, akan tetapi Ia kecewa mendengar pengakuan Beng San yang ternyata hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak, membuat, ia patah hati dan lari pergi.

Tadinya ia sudah merasa kecewa dan benci kepada Beng San, akan tetapi sekarang melihat munculnya pemuda yang sudah berhasil menguasai cinta kasihnya itu, timbul pula perasaan mesra dan dia berseru girang. "San-ko, akhirnya kau datang juga menolongku!" Akan tetapi Beng San tak dapat atau tak sempat menjawab semua seruan ini karena pada saat itu melayang beberapa orang yang segera menyerangnya dengan hebat.

Mereka ini adalah Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin yang tidak malumalu lagi lalu mengeroyoknya. Beng San memutar pedang rampas-nnya dan melayani mereka mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang sekaligus merupakan gundukan sinar pedang yang amat hebat bagaikan nyala api berkobar-kobar dahsyat menghantam tiga orang lawannya. Hek-hwa Kui-bo sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki Im-yang Sin-kiam-sut maka dia tidak amat heran, yang amat kaget dan heran adalah Siauw-ong-kwi dan Giam Kin.

Sementara itu, Thio Ki dan Kui Lok maju menyerbu Pangeran Souw Kian Bi yang mereka anggap adalah pemimpin pihak musuh. Akan tetapi sebelum senjata mereka dapat mendekati pangeran itu, beberapa orang perwira telah meloncat maju dan menghadapi mereka. Sebentar saja Thio Ki dan Kui Lok telah dikeroyok oleh empat orang perwira yang berilmu tinggi dan mereka berdua kembali terdesak hebat. Kwa Hong yang masih terbelenggu tangannya dapat menonton dengan hati berdebar, akan tetapi pandang matanya selalu diarahkan kepada Beng San. Hatinya gelisah akan tetapi juga lega, tidak penasaran seperti tadi. Sekarang ia mempunyai keyakinan bahwa andaikata ia mati, Beng San juga tewas di tangan musuh, kalau Beng San berhasil, tentu ia akan diselamatkan pemuda pujaan hatinya itu. Mati hidup bersama Beng San, dan ia takkan penasaran lagi Wajah yang tadinya pucat menjadi agak kemerahan, air matanya berhenti menitiK dan pandang matanya berseri-seri.

Kalau dua orang murid Hoa-san-pai itu sudah nekat dan tidak mengenal takut lagi sedangkan Kwa Hong juga dalam kegembiraannya melihat Beng San tidak gentar menghadapi kematian adalah Beng San yang diam-diam merasa khawatir sekali.

Memang, dengan ilmu pedangnya dia masih dapat mempertahankan diri kalau hanya dikeroyok oleh Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Giam Kin saja. Apalagi penyerangan Hek-hwa Kui-bo mempergunakan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sudah dihafalkan benar. Dengan ilmu pedangnya dia tidak hanya dapat mempertahankan diri, bahkan dapat menyerang dengan gerakan-gerakan dahsyat sehingga setelah berlangsung dua puluh jurus, ujung pedangnya dengan sinarnya yang gemilang berhasil melukai pundak Giam Kin, membuat pemuda itu terhuyung mundur dengan ketakutan dan tidak berani maju lagi. Akan tetapi melihat keadaan Thio Ki dan Kui Lok, yang sudah terdesak hebat, apalagi melihat Kwa Hong yang terbelenggu dan tak berdaya sama sekali, hatinya gelisah bukan main.

Kekhawatirannya terbukti ketika terdengar seruan mengaduh dan Kui Lok terhuyunghuyung, paha kirinya terluka golok lawan. Thio Ki memutar pedang dengan marah, akan tetapi dia pun hampir roboh ketika pundak kirinya kena dikemplang toya seorang perwira. Dua orang muda ini mengamuk hebat, sudah merobohkan empat orang lawan, akan tetapi karena jumlah lawan lebih besar dan selalu yang roboh ada penggantinya, akhirnya mereka terluka. Namun, patut dikagumi semangat Thio Ki dan Kui Lok, biarpun sudah terluka mereka masih memutar pedang dan Ilmu Pedang Hoa-san-pai yang cepat itu membuat para pengeroyok mereka belum dapat mendekati dua orang pemuda itu.

"Souw Kian Bi! Tan Beng Kui! apakah kalian tidak malu? Lepaskan tiga orang anak murid Hoa-san-pai. Bukankah dahulu kalian sudah berjanji dengan Lian Bu Tojin takkan memusuhi Hoa-san-pai?" Beng San berteriak-teriak. Tanpa ragu-ragu dia menyebut nama kakaknya begitu saja karena sudah timbul kebencian dalam hatinya terhadap kakak kandungnya jitu yang dianggapnya terlalu keji.

Kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Souw Kian Bi. Bukan main lihainya Beng San, biarpun sedang menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti, dia masih dapat mendengar percakapan mereka.

"Taijin, kalau kita ampunkan mereka, banyak keuntungan yang akan kita dapat bisik Tan Beng Kui.

Pangeran itu mengerutkan keningnya. "Hemmm, Tan-ciangkun, apakah kau kasihan melihat adik kandungmu?" Tan Beng Kui tertawa. "Ha, kiranya Pangeran sudah tahu akan hal itu. Memang, dia itu adik kandungku yang dulu lenyap ditelan air bah. Akan tetapi setelah dia menjadi pembantu pemberontak, mana ada hubungan darah lagi antara dia dan aku? Usulku hanya untuk kebaikan kita, bukan untuk aku pribadi. Pertama, dengan mengampunkan murid-murid Hoa-san-pai, tentu Lian Bu Tojin akan berterima kasih dan akan melupakan permusuhan dengan kita, takkan suka membantu para pemberontak.

Kedua kalinya, kulihat bocah itu lihai sekali ilmu silatnya. Kalau dia mau berjanji takkan memusuhi kita, apalagi kalau mau membantu, bukankah dia akan merupakan tenaga bantuan yang malah lebih hebat daripada para locianpwe itu? Dan lebih baik lagi kalau dapat mengikatkan dia dengan Hoa-san-pai, misalnya dengan...., mengawinkan dia dengan gadis Hoa-san-pai ini, sehingga mau tak mau dia tentu takkan mengingkari perjanjian Hoa-san-pai dengan kita. Lalu diatur begini....." Suara Tan Beng Kui menjadi bisik-bisik dan Beng San yang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi, tak dapat menangkap lagi apa yang diucapkan kakak kandungnya itu. Diam-diam dia mendongkol sekali dan lebih hati-hati terhadap kelicikan orang.

Tiba-tiba Pangeran Souw Kian Bi berdiri dari kursinya dan berseru menyuruh orangorangnya berhenti menyerang. Thio Ki dan Kui Lok yang ditinggalkan para pengeroyoknya menjadi lemas dan setelah berhenti bersilat mereka mereka pening dan roboh tak bertenaga lagi. Beng San juga melompat ke belakang ketika Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi menunda penyerangan mereka. Dengan tenang dan penuh tantangan Beng San berpaling kepada Souw Kian Bi.

"Hemmm, permainan apalagi yang hendak kaukeluarkan, Pangeran?" tanyanya.

"Orang muda, kau hebat sekali. Sayang kalau orang seperti kau dan teman-temanmu ini sampai tewas di sini." "Hemmm, mudah saja kau bicara. Siapa bilang kami akan tewas? Mungkin kau yang akan mati lebih dulu!" jawab Beng San.

"Ha, orang muda, selain hebat kau pun sombong dan berani sekali! Tidak perlu lagi kau membuka mulut besar di sini karena kau pun tentu maklum bahwa andaikata kepandaianmu berlipat sepuluh kali, belum tentu kau dan teman-temanmu akan dapat lolos dari tempat ini. Apa kau hendak berkukuh bahwa kau dapat melawan ribuan orang tentara kami? Masukmu ke sini mungkin dapat kaulakukan karena kurang telitinya penjagaan, akan tetapi bagaimana kau akan dapat lari pergi? Lihat!" Telunjuk pangeran ini menuding ke sekelilingnya dan Beng San dengan lirikan matanya mendapat kenyataan bahwa tempat itu sudah terkurung rapat oleh ribuan orang tentara. Bahkan di atas genteng sekarang telah siap menanti banyak sekali tentara dengan anak panah terpasang di busur. Jangankan seorang manusia, seekor burung yang pandai terbang sekalipun kiranya takkan mungkin meloloskan diri dari tempat itu. Akan tetapi dia masih bersikap tenang-tenang saja, malah sekali meloncat dia telah berada di dekat Kwa Hong, sekali renggut dan sekali tepuk dia telah berhasil memutuskan tali belenggu lengan gadis itu dan membebaskannya dari totokan.

"San-ko, biarlah kita mati bersama....." Kwa Hong berkata mesra dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi ia merangkul lengan tangan Beng San. Melihat ini, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah lemas itu menjadi pucat dan mengeluh dalam hati. Mereka berebut mati-matian, kiranya gadis itu memilih orang lain! "Pangeran Souw Kian Bi, sekarang apa yang menjadi maksud kehendakmu?" dengan tenang Beng San bertanya. Jangan kaukira bahwa kami berempat takut akan kematian. Orang-orang gagah rela berkorban nyawa demi kebenaran dan keadilan." "Bagus, kau benar-benar gagah perkasa, Beng San. Dan kami amat suka melihat orang-orang gagah seperti kalian itu, sayang kalau sampai tewas. Kalian masih muda, berkepandaian tinggi." "Apa maksudmu? Berterusteranglah!" kata Beng San tak sabar lagi mendengar musuh memuji-muji itu.

Souw Kian Bi tertawa. "Beng San, sebetulnya Hoa-san-pai bukanlah musuh kami selama Hoa-san-pai tidak membantu kaum pemberontak. Permusuhan kecil ini hanya terjadi karena salah paham. Sekarang, melihat bahwa tidak ada kaum pemberontak berusaha menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan, kami anggap tiada perlunya permusuhan diteruskan. Kami bebaskan kalian berempat dan sebagai tanda persahabatan, marilah kita makan minum bersama.

Bukan main girangnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar ini. Juga Kwa Hong girang sekali, dipeluknya lengan Beng San lebih erat lagi sambil berbisik, "San-ko, semenjak sekarang, jangan kautinggalkan aku lagi....." "Tenanglah, Hong-moi, tenanglah kau....." Beng San berkata sambil mengelus-elus pundak gadis itu, dalam hatinya bingung sekali menyaksikan sikap Kwa Hong seperti ini. Tentu saja di tempat itu, disaksikan oleh banyak orang, dia merasa amat malu melihat sikap Kwa Hong, akan tetapi juga tidak berani menegurnya karena khawatir akan menyinggung perasaan orang. Pikirannya masih penuh oleh ucapan Tan Beng Kui kepada Pangeran Souw Kian Bi tadi dan otaknya diputar untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Terang bahwa kalau dia nekat mengamuk, tiga orang murid Hoa-san-pai ini akan celaka. Bahkan dia sendiri sedikit sekali ada harapan untuk dapat lolos dari kepungan ribuan orang tentara itu. Lebih baik sekarang menerima uluran tangan pangeran itu untuk menjauhi pertempuran, apa salahnya? Ini hanya siasat untuk menyelamatkan murid-murid Hoa-san-pai, terutama Kwa Hong. Maka dia tidak membantah lagi dan dengan tenang dia mengajak Kwa Hong menerima tawaran Pangeran Souw Kian Bi.

Atas perintah pangeran itu, ruangan yang tadinya menjadi medan pertempuran, sekarang cepat dibersihkan dan diatur menjadi ruang pesta. Seperti sulapan saja, sebentar meja-meja diatur dan hidangan yang mewah dikeluarkan. Biarpun lemas, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah mendapat pengobatan, dapat pula duduk menghadapi meja hidangan. Arak wangi menyegarkan tubuh mereka dan membangkitkan semangat lagi, biarpun mereka tidak mau bicara dan muka mereka masih membayangkan penderitaan batin karena melihat sikap Kwa Hong yang demikian mesra terhadap Beng San.

Tan Beng Kui juga berubah sikapnya. Sambil berdiri dia mengangkat cawan arak dan berkata kepada Beng San, "Setelah bertemu dalam keadaan dewasa, aku mengucapkan selamat kepadamu, adik Beng San. Kau telah memperoleh kepandaian tinggi dan memperoleh..... hemmmmm.,..." ia melirik ke arah Kwa Hong, "seorang calon isteri yang gagah dan cantik. Kionghi-kionghi (selamat-selamat)!" Girang juga hati Beng San. la menahan air matanya yang hendak menitik turun.

Betapapun juga, Beng Kui adalah orang yang selama ini dia rindu dan kenangkan.

Kakak kandungnya yang dahulu amat menyayangnya, akhirnya sekarang mau mengakuinya. Akan tetapi di balik keharuan dan kegirangan hatinya ini terkandung kepahitan dan kenyataan bahwa sikap kakak kandungnya ini hanya siasat belaka.

Siasat untuk menarik dia, mempergunakan tenaganya untuk mengabdi kepada pemerintah penjajah.

la pun berdiri dan mengangkat cawannya pula. "Kakak Beng Kui, alangkah bahagianya hatiku karena kau mau mengaku adikmu ini. Sayang seribu kali sayang, jalan kehidupan kita bersimpang. Betapapun juga, adikmu selalu memujikan agar kau selamat dan akhirnya dapat memilih jalan baik. Adapun tentang nona Kwa Hong ini, harap jangan salah sangka. Tak berani aku menganggap dia sebagai..... sebagai calon isteri....." Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tertawa bergelak-gelak sehingga dalam suasana riuh rendah itu orang tidak memperhatikan betapa dua titik air mata mengalir turun dari sepasang mata Kwa Hong, namun cepat diusapnya.

"Ha..ha..ha, adikku yang baik. Orang gagah seperti engkau ini, mana boleh bersikap malu-malu kucing? Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa antara kau dan nona ini terjalin kasih sayang yang amat besar? Jangan kau khawatir, karena kita tidak mempunyai orang tua lagi, aku boleh dibilang mewakili orang tuamu. Akulah yang akan melamarkan diri nona ini dari tangan Lian Bu Tojin untukmu. Kutanggung pasti akan diterima. Ji-wi Locianpwe, bagaimana pendapat Ji-wi (kalian)?" Beng Kui berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi yang duduk di situ pula bersama Kim-thow Thian-Ii dan Giam Kin.

"Hemmm, baik-baik....." kata Hek-hwa Kui-bo sambil menenggak araknya dan nampak kaget karena semenjak tadi nenek ini menatap wajah Beng San tiada sudahnya. Sukar untuk membaca isi hati nenek ini, hanya Beng San yang tahu betapa inginnya nenek ini merampas kepandaian Yang-sin Kiam-sut daripadanya untuk memperlengkapi Ilmu Im-sin Kiam-sut yang dahulu dicuri oleh Hek-hwa Kui-bo dari tangan kakek Phoa Ti.

Siauw-ong-kwi sebaliknya tertawa terkekeh-kekeh. "Orang muda saling cinta, menunggu apalagi kalau tidak cepat-cepat dirangkapkan? Asal saja tidak mengulang penyakit-penyakit lama, kalau sudah berjodoh dan punya anak, lalu bosan dan mencari yang lain. Heh..heh..heh! Kebetulan sekali Tan-ciangkun hendak pergi meminang ke Hoa-san, karena aku pun hendak melamarkan nona hitam manis dari Hoa-san-pai untuk muridku, si gila Giam Kin. Ha..ha..ha!" Giam Kin juga tertawa dan pemuda ini semenjak tadi hanya tersenyum-senyum saja sambil menyikat hidangan-hidangan yang paling enak, tiada hentinya minum arak seakan-akan semua arak itu dituang ke dalam gentong yang tak berdasar. Thio Ki dan Kui Lok ternyata tidak kuat minum banyak. Setelah menerima penghormatan Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui sebanyak lima cawan saja mereka sudah menjadi pening dan tak dapat ditahan lagi keduanya tertidur di atas kursi masingmasing.

Hal ini terutama sekali karena tubuh mereka yang masih lemah akibat pertempuran hebat tadi yang menghabiskan sebagian besar tenaga mereka.

"Ha..ha..ha, dua orang ini agaknya belum dapat merasakan kesenangan berpacaran, maka kesenangan satu-satunya hanya tidur saja!" kata Pangeran Souw Kian Bi yang segera memanggil pelayan dan menyuruh beberapa orang pelayan menidurkan dua orang tamu ini ke dalam sebuah kamar yang bersih. Ketika melihat Beng San mengerutkan kening atas kejadian ini, Beng Kui segera berkata.

"Adik Beng San, tak usah kau berkhawatir. Biarlah dua orang saudara itu melepaskan lelah lebih dulu. Nanti setelah mereka bangun, kami akan antarkan kalian semua keluar dari tempat ini dan memberi kuda yang terbagus." Kemudian dia bertepuk tangan tiga kali. Tiga orang yang berpakaian seragam kemerahan keluar dari tempat sembunyi. Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi dari pangeran dan perwira itu.

"Ambil Arak Pengantin Merah," kata Tan Beng Kui sambil tertawa-tawa riang.

Tak lama kemudian orang-orang itu kembali membawa seguci arak merah yang harum sekali baunya. Wajah Kwa Hong dan Beng San menjadi kemerahan, akan tetapi diam-diam Beng San menjadi amat curiga hatinya. Namun apa yang dapat dia katakan? la hanya melihat saja betapa pangeran dan kakak kandungnya itu menuangkan arak merah ke dalam cawan-cawan mereka, juga cawan-cawan Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi, Kim-thouw Thian-li, Giam Kin dan beberapa orang perwira tinggi yang ikut mengawani mereka dalam pesta ini.

"Adik Beng San, arak ini namanya Arak Pengantin Merah. Biarpun kalian belum menjadi pengantin, akan tetapi hatiku sudah amat kegirangan dan mari kita minum tiga cawan untuk kebahagiaan calon sepasang mempelai!" "Beng Kui-koko, aku..... aku dan Hong-moi ini..... eh....." gugup sekali Beng San, akan tetapi ketika dia melirik ke arah Kwa Hong, dia melihat nona ini biarpun mukanya merah sekali, namun sudah mengangkat pula cawan araknya dan sepasang mata bintang itu kelihatan membasah. la tidak tega untuk menolak lagi, dan pula, bukankah semua ini hanya siasat yang mereka pergunakan untuk dapat meloloskan diri dari situ? Tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengangkat cawan araknya dan menenggak araknya perlahan. Ia menaruh perhatian dan waspada, akan tetapi ketika merasa bahwa arak itu hanya wangi dan enak, dan tidak ada reaksi apa-apa dari tubuhnya yang penuh hawa Im dan Yang itu, dia menelan terus dan tidak menolak ketika kakaknya menuangkan arak merah itu sampai tiga kali dalam cawannya. Juga Kwa Hong minum tiga cawan penuh.

Kembali Tan Beng Kui bertepuk tangan dan kini memerintahkan pelayan supaya mengeluarkan hidangan yang disebut masakan "anak naga". Ternyata hidangan ini berupa masakan ikan laut yang amat aneh bentuknya, benar-benar hampir menyerupai naga kecil.

"Ikan macam ini hanya dapat ditemukan di laut sebelah utara," kata Pangeran Souw Kian Bi. "Baik sekali untuk kesehatan, terutama untuk..... calon pengantin baru, ha..ha..ha!" Semua orang tertawa gembira kecuali Beng San yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak sekali, sedangkan Kwa Hong juga menundukkan mukanya yang kemerah-merahan. Akan tetapi bagi gadis ini keadaan itu amat membahagiakan hatinya. la merasa seolah-olah memang sedang menghadiri pesta pernikahannya sendiri bersama Beng San! .

Biarpun malu-malu, Beng San dan Kwa Hong tak dapat menolak ketika dipersilakan makan daging "anak naga" yang ternyata sedap dan lezat rasanya. Tiba-tiba Beng San meramkan matanya. la merasa kepalanya agak terputar dan sepasang matanya berat.

Dikerahkannya tenaganya, akan tetapi, ternyata makin dia mengerahkan tenaga Iweekangnya makin pusing kepalanya! "Celaka....." ia mengeluh dan tak dapat ditahan lagi dia menjatuhkan kepalanya di atas kedua lengannya di meja. Sepasang sumpitnya jatuh.

"San-ko...... kau kenapa.....? Hong segera memegang pundaknya.

"Ha..ha..ha, tidak apa-apa dia, Nona. Mungkin karena tidak biasa minum arak maka dia menjadi mabuk seperti dua orang saudara tadi.".

"Tidak.....! Kalian tentu bermain curang! Kalian sengaja meracuni dia.....!" i Kwa Hong serentak berdiri dan menjadi marah sekali, siap hendak mengamuk.

"Jangan salah sangka yang bukan-bukan. Bukankah kau calon adik iparku. Dia ini adalah adik kandungku, dan sekarang bukan musuh kami lagi, untuk apa kami berlaku curang? Kalau kau tidak percaya biarlah dia disuruh mengaso dalam kamar, dan kau boleh mengawani dan mengurusnya." Beberapa pelayan diberi perintah dan tubuh Beng San yang sudah lemas itu diangkat orang menuju ke sebuah kamar. Kwa Hong dengan siap sedia dan waspada mengikuti dari belakang.

Begitu memasuki kamar, wajah Kwa Hong berubah makin merah. Bukan main indahnya kamar itu dan diatur amat mewah seperti kamar pengantin saja. Tempat tidurnya, kelambu, perabot-perabotnya semua baru. Seprei dan sarung bantalnya semua berkembang indah, menggambarkan sepasang burung hong yang sedang bercumbuan, daun jendela dan daun-daun pintu menggambarkan pasangan-pasangan burung yang amat rukun dan penuh kasih mesra. Hatinya berdebar tidak karuan ketika para pelayan itu segera meninggalkan kamar dan membiarkan dia berdua saja dengan Beng San. Malah pelayan terakhir dengan perlahan menutupkan daun pintu dari luar.

Dengan amat susah payah Kwa Hong melawan perasaan aneh dan debar jantung yang menyesakkan dadanya itu lalu ia memeriksa keadaan Beng San dengan hati khawatir. Pemuda itu mengeluh perlahan, nampak gelisah dan kepalanya bergerak ke kanan kiri. Wajahnya menjadi merah seperti udang direbus dan perlahan-lahan berganti menjadi pucat kehijauan. Diam-diam Kwa Hong gelisah dan terheran-heran.

Teringatlah ia akan muka pemuda ini yang semenjak dahulu sering kali berubah-ubah warnanya sehingga ia menyebutnya dahulu sebagai "bunglon".

"San-ko..... San-ko..... bagaimana rasanya badanmu.....?" tanyanya khawatir sambil menyentuh jidat pemuda itu. Cepat ia menarik kembali tangannya karena jidat itu terasa dingin seperti es! Dan ketika perlahan-lahan muka itu berubah kemerahmerahan lagi, jidatnya pun berubah panas seperti api.

"San-ko..... ah, San-ko, kau diracun orang....." Kwa Hong saking bingung dan khawatirnya lalu memeluk Beng San dan menangis sedih. Sementara itu, ia sendiri merasa betapa ada sesuatu yang aneh terjadi dalam tubuhnya. Darahnya mengalir cepat dan panas, napasnya sesak dan mukanya menjadi merah sekali.

"Hong-moi..... Hong-moi..... jangan menangis..... ah, Hong-moi, apa yang terjadi.....? Aduh, kau cantik sekali Hong-moi." Kagetlah Kwa Hong ketika tiba-tiba Beng San memeluknya. Ketika ia memandang, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata setengah terkatup, mulutnya berbisik-bisik dan dalam keadaan setengah sadar.

Kwa Hong amat mencinta Beng San, Semenjak pertemuannya dahulu, ia sudah mempunyai perasaan luar biasa terhadap Beng San. Makin lama perasaan ini menjadi makin kuat dan akhirnya, pertemuan mereka kembali ketika sudah dewasa, membuat perasaan luar biasa itu berkembang menjadi perasaan cinta kasih yang mesra. Apalagi setelah mendapat kenyatan bahwa Beng San adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu sakti, cinta kasihnya menjadi makin hebat dan ia rela meninggalkan siapa saja, rela melakukan apa saja demi cinta kasihnya terhadap pemuda ini. Sekarang, baru sekarang, ia melihat sikap Beng San yang membalas cintanya. la tidak tahu bahwa keadaan Beng San dalam setengah sadar, tidak tahu bahwa Beng San berada dalam pengaruh obat mujijat, tidak sadar pula bahwa dia sendiri pun terpengaruh obat beracun itu. Betapapun kuat batin orang, kalau dia masih muda, mudah sekali dia tunduk kepada nafsu. Apalagi dalam keadaan seperti mereka itu yang terkena racun, dalam keadaan setengah sadar, mudah sekali bagi iblis untuk menguasai hati dan pikiran mereka. Maka, berbahagialah orang-orang muda yang berbatin teguh, yang kuat untuk menahan nafsu, yang selalu ingat akan susila, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sebaliknya, celakalah mereka yang berbatin lemah! Masa muda remaja adalah masa yang paling gawat dan paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Justru di masa inilah, masa akil baliq, di waktu keadaan jasmani manusia sedang berkembang dan di waktu semangat sedang bernyala-nyala, di waktu manusia mengalami perubahan dari kehidupan kanak-kanak berubah menjadi manusia dewasa, dalam penghidupan paling banyak datang goda yang beraneka macam.

Dalam menanjaknya usia dewasa ini manusia masih belum banyak mengalami derita pengalaman pahit getir sebagai akibat dari perbuatannya yang hanya menuruti perasaan hati dan nafsu, oleh karena kurang pengalaman ini memuat dia lalai dan lengah. Jiwa yang belum matang oleh gemblengan hidup penderitaan, membuat dia hanya melihat hal-hal dari segi keindahannya dan kenangannya belaka. Tidak cukup luas pandangannya, tidak cukup jauh wawasannya dan semua ini mengakibatkan pertahanan batin yang amat lemah menghadapi goda-n iblis yang selalu mengirrtai di balik hati perasaannya.

Orang muda seperti Beng San sesungguhnya tak mudah tergelincir oleh perangkap yang dipasang iblis di mana-mana, yang membahayakan setiap langkah dalam kehidupannya. Semenjak kecil biarpun jauh orang tua, namun boleh dibilang Beng San menemukan keadaan yang amat menguntungkan batinnya. Hidup sebagai kacung di kelenteng dekat dengan orang-orang saleh yang selalu mengutamakan perbuatan baik selalu mempelajari ilmu filsafat kebatinan yang mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mengharamkan perbuatan maksiat Godaan terbesar dan paling berbahaya bagi orang muda, yaitu goda berupa nafsu pelanggaran susila, sebetulnya tidak akan mudah menundukkannya. la sudah digembleng oleh orang-orang sakti, sudah memiliki dasar batin seorang ksatria utama, kiranya dia akan lebih suka kehilangan nyawanya daripada melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dan perikemanusiaan.

Akan tetapi, malang baginya, pada waktu itu dia sudah kehilangan kesadarannya akibat obat yang tercampur dalam arak dan makanan. Obat mujijat yang, membuat dia lupa diri dan hanya menjadi hamba dari nafsu tidak sewajarnya yang timbul oleh obat beracun itu. Semua ini ditambah lagi oleh keadaan Kwa Hong yang memang mencintanya, seorang gadis muda yang semenjak kecil sudah memiliki sifat hendak menurutkan kata hati sendiri, yang lebih-lebih lagi pada waktu itu juga dipengaruhi oleh racun yang membuat ia menjadi hamba nafsu mujijat.

Namun, agaknya memang segala macam peristiwa di dunia ini sudah ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, boleh berikhtiar sedapatnya, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berikhtiar, namun akhirnya hanya Tuhan yang menentukan. Peristiwa yang nampak kecil selalu menjadi sebab dari perkara besar. Setitik bunga api dapat menyebabkan kebakaran sebuah kota. Peristiwa yang terjadi malam itu pun kelak mengakibatkan terjadinya cerita hebat, cerita berjudul RAJAWALI EMAS yang akan menjadi cerita tersendiri sebagai lanjutan cerita RAJA PEDANG ini.

* * * Gemuruh disertai hiruk-pikuk teriakan-teriakan di luar kamar membangunkan Beng San dari tidurnya. Pemuda ini membuka mata dan tubuhnya yang sudah memiliki kepandaian silat itu otomatis melompat turun dari pembaringan, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Kekagetan suara gemuruh itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekagetannya ketika dia melihat keadaan di dalam kamar yang indah ini. Kwa Hong tidur di atas pembaringan itu pula dalam keadaan yang membuat wajah pemuda ini seketika pucat. Ingatannya segera dapat membayangkan kembali apa yang telah terjadi malam tadi. Kwa Hong juga terkejut mendengar suara gemuruh di luar. Gadis ini membuka mata, bangun duduk dan melihat Beng San sudah berdiri di pinggir pembaringan, gadis ini memandang dengan mata sayu, bibir mengulum senyum dan kedua pipinya menjadi merah. Beng San merasa seakan-akan jantungnya ditusuk pedang, dia terhuyung mundur tiga langkah, makin terang sekarang ingatannya dan sambil memekik aneh dia melompat keluar kamar, sekali dorong dia merobohkan daun pintu dan terus meloncat keluar.

Dua orang perwira datang menubruk dengan pedang di tangan. Tapi Beng San Segera timbul marahnya, kemarahan luar biasa yang baru kali ini dia alami selama hidupnya.

Tangannya menyambar dan dua orang perwira itu roboh dengan kepala remuk. Baru kali ini Beng San membunuh orang, membunuh dengan sengaja karena kemarahannya. la berlari terus keluar dari bangunan itu dan kiranya di dalam cuaca pagi yang masih remang-remang itu terjadi peperangan hebat. Benteng itu, ternyata diserbu orang dan di sana-sini terjadi perang tanding yang amat hebat. Semua ini membuat dia berdiri mematung. Dari gerakan orang-orang itu dan menilik pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa penyerang itu tentulah barisan orang-orang Peklian- pai dan dia melihat pula tosu-tosu Hoa-san-pai dan orang-orang Kun-lun-pai! Kiranya Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai telah bergabung dengan Pek-lian-pai lalu menyerbu benteng ini. Juga dia melihat Lian Bu Tojin sendiri bersama Pek Gan Siansu ikut mengamuk, malah dua orang ini menandingi Hek-hwa Kui-bo dan Siauwong- kwi. Juga tampak olehnya Thio Bwee ikut berperang di samping Thio Ki dan Kui Lok. Yang amat mengherankan hatinya, di situ kelihatan pula nona Lee Giok yang dulu menyamar sebagai nyonya Liong atau yang oleh Pangeran Souw Kian Bi disebut Ji-enghiong, ikut bertempur di samping lima orang gadis lain yang ilmu pedangnya hebat-hebat! Melihat semua orang gagah ini menyerang barisan pemerintah, hati Beng San makin perlh. Semua orang itu, patriot-patriot sejati, orang-orang gagah perkasa sejati, berjuang untuk negara, mati-matian bertempur untuk mengusir penjajah. Dan dia? Ah, dia kena dibujuk. musuh, untuk menolong nyawa sendiri dan nyawa Kwa Hong serta dua orang Hoa-san-pai, dia malah sudi berpesta-pora dengan musuh. Lebih hebat lagi, dia dan Kwa Hong..... ah, mengapa terjadi hal itu? Seperti orang gila, Beng San menjambak-jambak rambutnya, menampar kedua pipinya dengan tangan sampai darah mengalir dari mulut dan hidungnya, menjambak-jambak lagi rambutnya sambil menangis.

"Apa yang kulakukan.....? Ah. Tuhan apa yang kulakukan? Mampus saja kau mampus!" Ia menampari lagi mukanya yang sudah tidak karuan macamnya itu.

Tiba-tiba dia dipeluk orang "San ko..... San-ko..... kau kenapa... ?" "Hong-moi.... tidak..... tidak! Biar aku mampus aku harus mampus..... . la merenggutkan tubuhnya sampai Kwa Hong terpelanting. Tapi gadis ini menubruk lagi sambil menangis, memeluk tubuh Beng San, rambutnya terlepas, terurai membelai leher Beng San. Hal ini lebih-lebih mengingatkan Beng San akan peristiwa malam tadi. Kembali dia merenggutkan diri dan terlepaslah pelukan Kwa Hong.

San-ko..... kauingatlah... San-ko, lihatlah aku. Aku Hong moi, aku istrimu ... San ko suamiku....." Ucapan ini seperti garam pada hati yang terluka, membuat Beng San roboh terguling dan kembali dia menghantam muka sendiri. Darah mengucur dari pinggir matanya. la bertekad untuk memukul kepalanya dengan pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya wejangan-wejangan para hwesio di kelenteng dahulu tentang orang yang membunuh diri. Di waktu dia masih kecil, dia melihat seorang petani membunuh diri setelah membunuh isterinya sendiri karena keadaan yang terlampau miskin. Hwesio kepala dari kelenteng di mana dia bekerja berkata tentang itu, "Membunuh diri untuk menyesali perbuatan dosa adalah perbuatan yang amat pengecut, malah menambah berat dosanya. Dosa harus ditebus dengan perbuatanperbuatan baik. Membunuh diri karena menyesal berarti tidak berani mempertanggungjawabkan kesalahanannya, tidak berani menghadapi hukuman atas perbuatannya itu." Seketika dia menjadi tenang. la mengusap darah yang memenuhi mukanya, yang membuat mulutnya terasa sesak bernapas dan matanya terasa pedas sukar dibuka. la lalu bangkit berdiri dan ketika Kwa Hong hendak memeluknya, dia mengulur kedua tangan menolaknya halus.

"Jangan, Kwa Hong. Jangan ulangi perbuatan kita yang biadab! "Apa katamu? San-ko, kau bilang perbuatan biadab? San-ko, aku adalah isterimu, isterimu yang mencintamu sepenuh jiwa ragaku." "Diam, Kwa Hong! Kita sudah melakukan pelanggaran susila. Aku harus mampus untuk itu, tapi biarlah kau saja yang membunuhku. Aku..... aku tak dapat membunuh diri. Hong-moi, aku telah menodaimu, nah, kaucabut pedangmu dan, kaubunuh aku." "Tidak, San-ko. Kau adalah suamiku ......" "Bukan, Hong-moi. Aku tidak bisa menjadi suamimu....." "Tapi..... tapi aku isterimu yang mencinta. Aku..... aku cinta padamu....." Beng San menarik napas panjang, menggeleng kepala. "Dulu sudah kukatakan kepadamu. Aku tidak mencintamu sebagai seorang kekasih. Aku cinta kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Hong-moi, memang aku sudah berdosa kepadamu. Aku tidak sengaja..... hemmm, tak perlu aku membela diri, pendeknya, aku sudah berdosa kepadamu. Hanya tepat ditebus nyawa. Kaubunuhlah aku sebelum orang lain tahu, Hong-moi .... bunuhlah aku, bunuhlah!" Beng San menjerit-jerit minta dibunuh.

Tapi Kwa Hong terhuyung-huyung mundur, mukanya pucat sekali. Rambutnya yang terurai dan hitam itu menambah kepucatan mukanya. Air matanya bercucuran. "Sanko.....

kau..... kau tetap tidak mau mengambil aku sebagai isteri setelah..... setelah apa yang terjadi malam tadi.....?" Beng San merasa jantungnya seperti diremas-remas. "Tidak, Hong-moi. Kalau aku memaksa diri, dosaku makin besar. Hal itu berarti aku membohongimu, membohongi diri sendiri. Kau akan lebih tersiksa lagi kelak. Aku...., aku tidak bisa menjadi suamimu.

"San-ko... katakanlah, apakah..., apakah ada orang lain.....?" Beng San tersenyum pahit lalu mengangguk. "Sungguhpun sekarang aku tidak ada harganya lagi untuk mencintanya. namun ..... di dalam hatiku aku bersumpah .. aku hanya dapat mencinta dia seorang....." "Siapa dia? Bilang, siapa dia?" Karena sedang bingung dan gelisah, pikirannya kacau-balau, Beng San menerangkan juga. "Dia seorang gadis gagu, puteri Song-bun-kwi....." Kwa Hong menjatuhkan diri berlutut lalu menangis terisak-isak. Hati Beng San makin hancur melihat gadis itu berurai rambut sambil menangis demikian sedihnya.

"Hong-moi, kau..... kau bunuhlah aku sekarang juga. Aku sudah tidak suka lagi hidup di dunia ini....." katanya dengan suara serak.

Tiba-tiba Kwa Hong meloncat bangun, mukanya pucat sekali, sepasang matanya tidak lagi menangis. "Beng San! Kau..... kau manusia berhati kejam! Kau sudah dua kali menghinaku, menolak cintaku dan kau..,.. ah, seharusnya kubunuh engkau!" "Bunuhlah, aku akan berterima kasih...." Tiba-tiba Kwa Hong tertawa, nyaring dan aneh bunyinya sampai meremang bulu tengkuk Beng San. "Jangan tertawa seperti itu Hong-moi, kau bunuhlah aku orang kejam dan hina ini....." "Ha..ha..ha, tidak! Aku takkan membunuhmu, biar kau hidup menderita dan gila karena perbuatanmu semalam. Dan aku..... ha..ha..ha, kaudengar Beng San, aku akan kawin dengan laki-laki yang paling buruk, yang paling bodoh, kawin dengan laki-laki mana saja yang pertama kali kujumpai....." Setelah berkata demikian Kwa Hong melompat dan lari pergi dari situ. Dari jauh, mengatasi suara hiruk-pikuk peperangan, terdengar jeritnya melengking tinggi, terdengar seperti tertawa akan tetapi juga seperti tangis sedih.

Beng San menjatuhkan diri berlutut dan menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi dia tidak lama berada dalam keadaan seperti ini. Ketika dia teringat akan semua peristiwa yang dialami, kemarahannya memuncak terhadap Pangeran Souw Kian Bi dan kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Dua orang itu yang menjadi gara-gara sehingga dia mabuk dan melakukan perbuatan hina itu. Serentak dia bangun, matanya kemerahan dan liar. Lalu, melihat orang-orang berperang tanding, dia mengeluarkan suara menggeram keras dan lari menyerbu ke arah pertempuran. Seperti menggila dia mengamuk, entah berapa banyaknya tentara musuh dia robohkan dengan tangan kosong saja. Setiap memegang seorang tentara musuh, dia tanya di mana adanya Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Kalau tentara itu menjawab tidak tahu, lalu dibantingnya orang itu sampai remuk kepalanya. Dan memang dua orang yang dia cari itu sudah tidak ada lagi di situ, sudah sejak tadi pergi setelah melihat bahwa keadaan benteng tak dapat dipertahankan lagi. Bahkan Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ongkwi, Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin juga sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

Mereka ini pun maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, mereka tentu akan menjadi korban karena selain pihak lawan banyak terdapat orang tangguh, juga jumlah lawaa makin lama makin membanjir datangnya amat banyaknya. Jelas sudah benteng itu tak dapat dipertahankan lagi, korban pihak tentara pemerintah luar biasa banyaknya dan yang masih sempat lari mulai menyelamatkan diri.

Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang yang dicarinya itu tidak ada di situ, Beng San lalu berlari pergi dalam keadaan yang mengerikan. Mukanya bengkakbengkak hidung dan mulutnya masih berdarah, matanya merah sekali, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat kehijauan.

Berulang-ulang bala tentara pemerintah diserbu dan dihancurkan oleh pihak pejuang.

Bahkan kini para pejuang sudah berani mengganggu dan kadang-kadang menyerbu kota raja secara bergerilya. Di sekeliling kota raja, di luar tembok kota, sudah mulai tidak aman. Para bangsawan, pembesar dan keluarga kerajaan mulailah merasa gelisah, bahkan ada yang sudah pergi mengungsi jauh ke utara. Semua usaha yang telah dilakukan oleh para perwira terutama sekali Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui untuk menghancurkan para pejuang, selalu gagal. Malah agaknya setiap rencana penyerbuan mereka, setiap gerak-gerik dan taktik perang mereka, selalu diketahui lebih dahulu oieh pihak pejuang sebelum taktik itu dilaksanakan. Misalnya seorang penjaga dan penyelidik melapor akan adanya sepasukan musuh di luar tembok kota. Pangeran Souw Kian Bi segera mengatur sebuah pasukan yang lebih besar untuk menyergap dan membinasakan pasukan lawan itu. Akan tetapi sesampainya di sana, tak seorang pun tentara pejuang kelihatan, malah dalam perjalanan kembali, pasukan pemerintah ini tahu-tahu sudah dikurung musuh yang lebih banyak jumlahnya dan dihancurkan! Dinasti Goan yang dibangun oleh Jengis Khan itu sekarang sudah berada di pinggir jurang kehancuran. Kejayaan bangsa Mongol di Tiongkok agaknya sudah hampir berakhir,.

Justru kekacauan di kota raja ini yang membuat Beng San selalu tidak berhasil dalam usahanya mencari Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Berkali-kali dia menyerbu ke istana di kota raja, namun selalu tidak menemukan dua orang itu yang agaknya amat repot dalam menghadapi penyerbuan-penyerbuan para pejuang.

Akhirnya dia teringat akan tugasnya yang belum dia laksanakan, yaitu merampas kembali pedang Liong-cu Siang-kiam, maka pergilah dia, ke Thai-san karena dia teringat bahwa saatnya telah tiba untuk diadakan perebutan gelar Raja Pedang seperti yang sering dia dengar di luaran. la merasa yakin bahwa gadis she Cia yang mencuri Liong-cu Siang-kiam itu pasti akan muncul di dalam arena perebutan gelar Raja Pedang itu mengingat akan iimu pedangnya yang amat hebat ketika gadis she Cia itu mendemonstrasikan kepandaiannya di puncak Hoa-san setahun yang lalu dengan mengalahkan Pek Tung Hwesio dan Hek Tung Hwesio, Apalagi sudah jelas bahwa pada masa ini yang memiliki gelar Raja Pedang adalah Cia Hui Gan, ayah gadis itu.

Teringat akan semua ini, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat ke Thai-san agar tidak sampai terlambat kedatangannya.

Pagi-pagi benar di puncak Gunung Thai-san sudah nampak kesibukan. Cia Hui Gan atau terkenal sebagai Raja Pedang tinggal di salah sebuah puncak bukit ini. Cia Hui Gan adalah seorang pendekar besar yang amat terkenal namanya sebagai ahli waris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dahulu diciptakan oleh pendekar wanita sakti Ang I Niocu. Akan tetapi jarang sekali pendekar ini turun gunung karena sesungguhnya semenjak isterinya yang tercinta meninggal dunia, Cia Hui Gan menjadi bosan di dunia ramai, hidup sebagai pertapa di puncak Thai-san bersama puteri tunggalnya, Cia li Cu. Karena memang dia adalah keturunan bangsawan kaya raya sebelum bangsa Mongol menjajah di Tiongkok, maka biarpun hidup mengasingkan diri di puncak Gunung Thai-san, dia hidup serba kecukupan. Apalagi setelah berada di tempat sunyi itu, dia tidak membutuhkan banyak keperluan, adapun untuk makan sehari-hari bersama puteri dan pelayan-pelayan serta murid-muridnya dia mendapatkan hasil dari sawah ladangnya.

Cia Hui Gan amat mencinta puteri tunggalnya sehingga ilmu pedangnya telah dia turunkan kepada Cia Li Cu. Bahkan untuk menyenangkan hati puterinya yang agak manja, pendekar ini sengaja mendatangkan dua belas orang pelayan wanita-wanita yang muda-muda dan cantik-cantik untuk menjadi teman Li Cu, malah berkenan menurunkan ilmu pedang yang cukup lihai bagi para pelayan atau teman anaknya ini.

Pagi hari itu, tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Cia Hui Gan sudah duduk di ruangan depan rumahnya yang amat lebar. Semua bangku dan kursi di dalam ruangan dikeluarkan dan diatur di pekarangan itu, memutari pekarangan yang berlantai rumput hijau. Pendekar ini yang usianya sudah lima puluh tahun, nampak gagah dalam pakaiannya yang ringkas berwarna kuning. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dan dia nampak gesit dan berseri wajahnya yang biasanya muram.

Para pelayan yang berjumlah dua belas orang dan cantik-cantik itu pun berpakaian serba ringkas, juga di pinggang setiap orang pelayan tergantung sebatang pedang.

Karena pakaian para pelayan ini kesemuanya sama, berwarna kuning berkembang merah, mereka tampak angker dan juga cantik-cantik, seperti puteri-puteri dalam pesta di istana. Yang hebat adalah Cia Li Cu sendiri. Gadis itu seperti biasanya berpakaian serba merah, sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam tergantung di punggung. Rambutnya yang panjang menghitam itu digelung ke atas sehingga tampak kulit lehernya yang putih kuning. Di dekat nona ini kelihatan seorang nona lain, juga cantik manis berpakaian serba kuning. Nona ini bukan lain adalah Lee Giok! Mengapa Lee Giok yang dikenal sebagai li-enghiong pemimpin mata-mata pemberontak itu berada di situ? Hal ini tidak aneh kalau diketahui bahwa Lee Giok sebenarnya masih murid Cia Hui Gan yang kepandaiannya pun hebat, sungguhpun ia hanya mewarisi ilmu pedang ciptaan Raja Pedang itu sendiri. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut terlalu tinggi untuk dapat dipelajari oleh Lee Giok. Tidak sembarang orang dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini karena membutuhkan dasar dan tenaga murni yang kuat.

"Sumoi (adik seperguruan), kali ini tentu ramai nanti di sini," kata Lee Giok sambil tersenyum, kelihatan gembira dan tidak sabar menanti datangnya para tamu yang hendak memperebutkan gelar Raja Pedang.

"Suci (kakak seperguruan), dahulu ketika diadakan perebutan gelar Raja Pedang, aku masih kecil dan kau belum menjadi murid ayah. Aku pun ingin sekali melihat apakah ada orang yang akan dapat mengalahkan ilmu pedang ayah kali ini," kata Li Cu.

Biarpun dalam tingkatan kepandaian, Li Cu jauh lebih tinggi daripada Lee Giok, akan tetapi karena Lee Giok lebih tua, maka menyebutnya, suci dan nona she Lee ini menyebutnya sumoi.

Melihat puteri dan muridnya bicara sambil tertawa-tawa, Cia Hui Gan menegur, "Kalian kelihatan gembira amat. Kiraku kalian takkan segembira ini kalau tahu bahwa kali ini yang datang ke sini tentulah orang-orang sakti yang amat lihai kepandaiannya.

Aku sendiri meragukan apakah aku masih akan dapat mempertahankan gelar Raja Pedang yang sebetulnya kosong melompong itu." Orang tua ini menarik napas panjang. "Apalagi setelah umum mengetahui bahwa murid-murid Thai-san banyak yang menjadi pejuang. Kali ini aku tidak akan dapat menyembunyikan rahasiaku lagi, aku akan berterus terang bahwa memang kita adalah pejuang-pejuang yang benci melihat penjajahan di negeri kita. Oleh karena itulah maka aku sengaja menahan Lee Giok biar mereka tahu bahwa Lee Giok yang terkenal di kota raja adalah muridku!" Ucapan terakhir ini diucapkannya dengan suara bangga. Lee Giok menjadi merah mukanya, kemudian terbayang kesedihan.

"Suhu, teecu telah gagal dalam tugas teecu..... sehingga terlambat pula menolong.....

Kwee-taihiap....." "Hemmm, Kwee Sin harus dipuji. Dia seorang patriot sejati yang untuk tanah air dan bangsanya rela mengorbankan nama baik, mengorbankan perguruan, mengorbankan tunangan dan akhirnya mengorbankan nyawanya. Jarang di masa sekarang terdapat orang seperti dia." Setelah orang tua ini berkata demikian, keadaan menjadi sunyi dan terdengarlah isak tertahan dari Lee Giok. Semua orang, termasuk gurunya sendiri tidak tahu bahwa nona ini selama bekerja sama dengan Kwee Sin, telah jatuh cinta kepada pemuda Kun-lun-pai itu. Hanya sebentar Lee Giok terisak karena ia segera dapat menekan perasaannya.

"Suci, memang menyedihkan kalau diingat nasib Kwee-taihiap. Akan tetapi, setelah kau dikenal sebagai pejuang, apakah kiranya tidak akan ada pasukan pemerintah yang mengejarmu ke sini? Ayah, apa sekiranya pertemuan kali ini tidak akan memancing datangnya pasukan musuh?" tanya Li Cu.

"Biarkan mereka datang! Aku akan melawannya, pula, kiraku teman-teman seperjuangan kita takkan tinggal diam begitu saja. Pek-lian-pai juga sudah siap sedia.

Memang pertemuan kali ini hanya kupergunakan sebagai kedok saja. Yang penting adalah mengumpulkan orang-orang gagah untuk kubujuk dan bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah yang sudah makin lemah ini." "Sumoi dan Suhu harap tidak berkhawatir. Agaknya sudah pasti barisan besar penjajah akan datang ke sini, akah tetapi semua ini sudah diatur oleh dia di kota raja, dan Pek-lian-pai juga sudah bersiap bersama pasukan-pasukan pejuang yang lain.

Sudah dapat teecu bayangkan, Suhu, bahwa pada saat di sini kita merayakan perebutan gelar Raja Pedang, kota raja pasti akan mengalami hal-hal yang hebat sekali!" Kembali wajah yang tadinya sedih ini berseri-seri dan penuh semangat.

"Mudah-mudahan dia berhasil....." kata Li Cu dan segera muka gadis cantik jelita ini berubah merah, semerah bajunya ketika melihat betapa Lee Giok mengerlingnya dengan senyum menggoda.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari bawah puncak, disusul berkelebatnya bayangan orang yang berlari-lari naik sambil berteriak-teriak, "Wah celaka..... celaka betul.....

mana ada aturan begitu.....?" Ketika semua orang memandang, ternyata yang berlarilari dengan napas sengal-sengal itu adalah seorang kakek yang tubuhnya bongkok dan matanya besar sebelah. Biarpun dia lari sambil terbongkok-bongkok, namun kedua kakinya ternyata dapat bergerak cepat sekali. Cia Hui Gan segera mengenal orang ini dan bertanya.

"Yok-mo (Setan Obat), kenapakah kau datang berlari-lari seperti dikejar setan?" "Hayaaa, memang setan yang mengejarku malah raja setan, iblis sendiri....." Kakek itu terengah-engah sambil menoleh ke belakang ketakutan. "Coba kaupikir, Kiam-ong (Raja Pedang), mana ada aturan begini? Orang memaksa-maksaku untuk menyembuhkan penyakit, kemanapun aku pergi aku dikejar terus dan nyawaku terancam....." "Yok-mo, kau adalah ahli pengobatan, sudah sewajarnya kalau orang minta tolong kepadamu," kata Cia Hui Gan tenang.

Mata yang besar sebelah itu melebar. "Apa kaubilang? Namaku adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), mana bisa aku menyembuhkan orang? Boleh kusembuhkan penyakitnya, tapi nyawanya harus kucabut." Wajah Raja Pedang yang angker itu nampak tak senang, lalu kata Cia Hui Gan, suaranya angkuh, "Hemmm, setiap orang memang berhak mempunyai pendapat sendiri. Toat-beng Yok-mo, habis apa keperluanmu datang berlari-lari ketakutan ke tempat kami ini?" "Kiam-ong kautolonglah aku kali.

Diam-diam Cia Hui Gan heran juga. Orang seperti Toat-beng Yok-mo ini memiliki kepandaian yang tinggi, tidak sembarang tokoh kang-ouw dapat mengalahkannya, apalagi membuat dia ketakutan seperti itu. Pendekar ini mengeluarkan dengus mengejek. "Hemmm, kau sendiri pantang menolong orang tapi masih tidak malu minta tolong kepada orang lain! Yok-mo, kalau kedatanganmu hanya minta tolong, kau pergilah lagi. Aku tidak suka mencampuri urusanmu." Toat-beng Yok-mo adalah seorang yang amat cerdik biarpun kadang-kadang dia seperti tidak normal otaknya. Cepat dia berkata, "Bukan, bukan hanya ingin minta tolong, tapi terutama sekali untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang. Bukankah hari ini diadakannya? Kiam-ong, aku hari ini menjadi tamumu pertama!" Pada saat itu terdengar bentakan, "Yok-mo, kau hendak lari ke mana?" Suara ini nyaring dan parau, terdengar dari jauh sekali akan tetapi cukup keras sehingga Cia Hui Gan kembali terkejut. Jelas bahwa orang yang mengeluarkan bentakan ini adalah seorang yang memiliki Iweekang tinggi sekali. Dan lebih-lebih kaget dan herannya ketika berbareng dengan bentakan dari jauh itu berkelebat bayangan merah dan tahu seorang gadis muda berpakaian merah menyambar dekat. Sinar pedang berkelebat dan bergulung-gulung mengurung tubuh Setan Obat itu! "Bagus.....!" Cia Li Cu tak terasa lagi mengeluarkan seruan memuji karena sebagai seorang ahli pedang, puteri tunggal Raja Pedang, tentu saja ia segera mengenal ilmu pedang yang amat hebat ini. Juga Cia Hui Gan mengeluarkan seruan kagum. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa yang ditakuti Setan Obat ini hanyalah seorang gadis muda dan melihat gerakan pedangnya, memang gadis itu benar-benar seorang ahli pedang yang hebat ilmu pedangnya. Saking kagumnya pendekar ini sampai lupa akan bahaya yang mengancam diri Yok-mo dan mendiamkan saja.

Yang repot adalah Yok-mo sendiri. Baiknya dia adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi, maka biarpun digulung oleh sinar pedang dan amat gugup, dia masih dapat menyelamatkan dirinya, mengelak ke sana ke mari, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri dan bergulingan menuju ke belakang Cia Hui Gan.

Barulah pendekar ini sadar bahwa sebagai tuan rumah, dia harus mencegah terjadinya pembunuhan terhadap seorang tamunya. Tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Nona ini ilmu pedangnya luar biasa sekali, sebaiknya dicoba dengan ilmu pedang puterinya.

"Li Cu, halangi Nona ini mengacaukan tempat kita," katanya. Li Cu memang sudah gatal tangannya. Sebagai seorang pendekar, ia gatal-gatal tangannya melihat ilmu pedang orang lain begitu bagusnya tanpa mengujinya. Secepat kilat ia melompat maju dan menyambar sebatang pedang dari tangan seorang pelayan. Bayangan merah berkelebat ketika Li Cu dengan pedang di tangan melompat ke arah gadis yang mengejar Yok-mo tadi. Mereka kini berhadapan, seakan-akan saling mengukur kepandaian dan kecantikan masing-masing dengan sinar mata mereka yang bening.

Memang keduanya sebaya, keduanya cantik jelita dan anehnya keduanya berpakaian serba merah! Hanya bedanya, gadis pengejar Yok-mo ini sepasang matanya indah menyinarkan cahaya yang diliputi kelembutan dan kedukaan, sebaliknya sinar mata Li Cu penuh semangat dan keangkeran. Dalam hal kecantikan, keduanya memiliki sifatsifat tersendiri, keduanya menarik dan jelita.

"Kau cantik...." Li Cu mengetuarkan pujian.

Gadis itu menggerakkan pedangnya ke bawah dah mencoret-coret ke atas tanah.

Tampak beberapa huruf indah di atas tanah itu dan ketika Li Cu membacanya, ternyata huruf-huruf itu berbunyi, "Kau lebih cantik lagi!" Cia Li Cu terheran. Kenapa orang ini tidak bicara, sebaliknya menyatakan pendapatnya dengan bentuk tulisan. Betapapun juga, ia kagum melihat gerakan pedang ketika membuat coretan-coretan itu, karena semua itu dilakukan dengan gerakan ilmu pedang yang tinggi.

"Bi Goat, sudah kautangkap Setan Obat itu?" tiba-tiba terdengar suara parau bertanya dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang kakek kecil kurus berpakaian serba putih.

Gadis itu yang bukan lain adalah gadis gagu Kwee Bi Goat, menoleh kepada kakek ini lalu menggeleng kepala sambil mengerling ke arah Yok-mo yang masih bersembunyi di belakang Cia Hui Gan.

"Ha..ha..ha, agaknya Si Raja Pedang melindungi Setan Obat!" kata kakek itu yang ternyata adalah Song-bun-kwi.

"Hemmm, Song-bun-kwi Kwee Lun. Kiranya kau yang muncul ini! Pantas saja begitu kau muncul terjadi kekacauan di sini. Ketahuilah, tidak sekali-kali kami melindungi Setan Obat, hanya karena dia pada saat ini menjadi tamuku untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang,maka terpaksa sebagai tuan rumah aku tidak mengijinkan orang mengganggu tamuku. Song-bun-kwi, apakah kedatanganmu hanya untuk mengejar Yok-mo?. Kalau begitu halnya, harap kau turun gunung lagi dan menanti saja Yok-mo di bawah gunung. Kalau kau juga menghadiri perebutan gelar, kau pun menjadi tamuku dan silakan kau duduk!" "Ha..ha..ha, Bu-tek Kiam-ong, setelah menjadi Raja Pedang kau ternyata sombong sekali. Kau tidak bedanya dengan orang-orang yang begitu menduduki tempat tinggi lalu lupa kepada asalnya, berubah menjadi manusia sombong yang mengira diri sendiri paling pandai, paling besar dan paling berkuasa. Kedatanganku bersama muridku ini memang hendak menangkap Yok-mo dan sekalian hendak merebut gelar Raja Pedang. Bi Goat, kaulanjutkan permainanmu, kaucoba ilmu anak Raja Pedang itu!" Bi Goat menggerakkan pedangnya, demikian pula Li Cu yang sudah bersiap sedia.

Gerakan Pedang Li Cu amat indahnya seperti seorang bidadari kahyangan sedang menari. Sebaliknya, gerakan Bi Goat cepat dan keras, mendasarkan gerakannya pada kekuatan dan kekerasan serta kecepatan. Segera dua orang gadis ini sudah saling serang. Terdengar bunyi tang-ting-tang-ting dan bunga api berhamburan. Diam-diam kedua orang gadis ini kaget dan harus mengakui kelihaian lawan masing-masing.

Sementara itu, Song-bun-kwi dengan penuh perhatian menonton puteri atau muridnya mainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut menghadapi ilmu pedang lawan yang benar-benar amat hebat dan indah itu. Juga Cia Hui Gan sambil bertolak pinggang menonton dengan kagum. Baru kali ini semenjak dia menjadi Raja Pedang dia melihat ilmu pedang yang tak dikenalnya dan hebat pula, malah banyak sekali tanda-tanda bahwa ilmu pedang gadis gagu itu mempunyai sumber yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri. Karena ini dia memandang penuh perhatian, penuh keheranan dan penuh penyelidikan.

"Heeei, Song-bun-kwi iblis tua bangka, kau mau borong sendiri gelar Raja Pedang?" begitu kumandang suara lenyap, muncul orangnya. Seorang nenek yang masih kelihatan cantik genit, seorang kakek bertangan baju panjang dan tertawa-tawa nakal, diikuti oleh seorang wanita cantik berpakaian indah pesolek dan seorang laki-laki muda bermuka pucat. Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo, Siauw ong-kwi, Kimthouw Thian-li dan Giam Kin.

Melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo, cepat sekali Song-bun-kwi memerintah puterinya, "Bi Goat, mundur kau" Bi Goat cepat menarik kembali pedangnya, melompat dan berdiri di sebelah kiri ayahnya. Sementara itu Cia Hui Gan sibuk menerima para tamu karena di belakang empat orang ini muncul pula tamu-tamu lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar