"Sombong rasakan cambukku!" Orang ke tiga yang bernama Teng Houw ini segera menyerang, cambuknya mengeluarkan bunyi tar-tar keras dan ujung cambuk bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu, Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya ia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu hanya membunyikan cambuknya dan mengamang-amangkan untuk menggertak saja. Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudarasaudaranya, ia tadinya merasa jengah untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah berapa banyak nyawa lawan direnggutnya. Kiranya pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum dan memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas. Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bcrgerak mendahului gerakan cambuk dan sedikitpun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Malah ia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton." Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tak lama kemudian, benar saja matanya menjadi makin juling kctika ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar -putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka, ia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi-buta, seakan-akan menyerang bayangan setan. Tiba-tiba terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha menbetot gagangnya namun makin dibetot makin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik! Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi berhasil menyambar ujung cambuk dan melilitkannya di leher lawan sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Baru setelah twakonya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri.
Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan. Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Ia sudah banyak pengalaman maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu.
Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran terdahulu, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang amat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah memiliki kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thaisan- pai itu apamukah?" Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan, "Eh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai menantumu? Apakah anak menantumu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak tapi tidak becus apa-apa, berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari "Thai-san-pai!" Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus ia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa biarpun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik Iwee-kang maupun gin-kangnya dari tingkat tinggi. Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya juga mata keranjang. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Ia melintangkan ruyung di depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahu siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau memiliki mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?" Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tiada artinya bagimu. Kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan takkan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan kalau kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu." Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kaupun akan bertangan kosong saja?" Pemuda itu sejenak meragu. Biarpun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling." Ucapan ini benar-benar amat takabur karena keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan lebih banyak pengalamannya sehingga lebih patut kalau yang tua yang mengalah.
Namun kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!" Baru saja habis ucapannya ini, ruyung telah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang hebat, ruyungnya yang berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya! "Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring karena ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang "berisi", jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka ia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang-kadang juga untuk baias menyerang. Anehnya, kedua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang amat janggal, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi dengan sengit juga balas menyerang setiap kali mendapat kesempatan. Hebatnya tak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalas, sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu berseru memuji karena ternyata segera bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang amat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan ia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam diri pemuda ini dari segala jurusan. Melihat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benarbenar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapapun tak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela matimatian kepada Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tidak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, ia pun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu. Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san pai dan tidak membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah ia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik dan ketika turun ia disambut hantaman ruyung, kembali ia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas. Pertunjukan ini hebat sekali sampaisampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji.
Agaknya Si Mata Juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengah penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehlngga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi! "Cringgg! Aduhhh....!" Tampak bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan ruyungnya sapat ujungnya, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada di tangan kanannya! Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak saja untuk menangkis, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas senjata! serunya dengan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Sl Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu telah berputar di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung! Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Si Mata Julingi dengan wajah pucat memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau apanya Si Raja Pedang....?" Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat Si Pemuda harus mengerahkan kepandaiannya dan bersilat dengan sungguhsungguh.
Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, kemudian tubuhnya melesat ke sana ke mari dan kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat Si Pemegang Ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan. Pada saat Si Mata Juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu dengan gerakan yang amat ringan seperti burung walet terbang, meloncat ke atas. Namun lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuh» nya masih di udara itu! Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong Si Pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. Biarpun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup malah.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, setelah bawahanmu kalah semua, apakah kau pun ingin coba-coba?" Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas mcmbayangkan kekaguman.
"Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kangouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?" Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis akan tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli Iwee-kang, namun Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lweekang!" "Bagus, kau boleh coba menyambut ini!" Kakek gendut itu lalu memukul dengan! tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pernuda. Melihat ini pemuda itu dengan berani sekali lalu menyambut pukulan dengan tangan kanannya. Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru celaka, karena ia maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga Iwee-kang yang amat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk? Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu maka ia sengaja mengajak adu tenaga Iwee-kang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel tangan kirinya, kemudian datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat mempergunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong.
Begitu kedua telapak tanganya itu bertemu, tubuh keduanya tergetar, akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, namun yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia maklum bahwa pemuda itu lihai karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di "tempel". Inilah yang ia kehendaki. Sambli tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat, sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk. Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepala seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya amat cekatan dan tangkas tidak kalah dengan gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...."bretttt" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa!" Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga pelan-pelan kedua tangan itu terlepas, dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga Iwee-kang yang membalik.
Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara. Sama-sama mereka membebaskan diri dari penyerangan tenaga Iwee-kangnya yang membalik, namun tentu saja gerakan pemuda itu jauh lebih indah dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua dan pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrak pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha, sudah sejak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, ia merasa tepukul dan malu sekali. Nama mereka sembilan orang laki-laki gagah yang namanya tidak asing lagl di dunia persilatan, hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, kalau pemuda in! tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak, "Orang muda, biarpun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!" Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya. "Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak mampu merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!" Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, benar-benar keadaannya berbahaya. Biarpun seorang melawan seorang dia telah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Selain ini, kalau dikeroyok, kiranya pemuda itu tidak akan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah, Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!!" Semua orang menunda gerakan masingmasing dan menoleh heran.
Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batinnya sepcrti yang ia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benarbenar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau pergi saja sebelum kalian mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!" Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Akan tetapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil, bibirnya membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot seakanakan hendak keluar biji mata mereka dari ruangnya. Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri seperti patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk "mengatur" matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang makin menjuling. Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, lalu ia berteriak, "Siluman....!" "Iblis...,!" "Setan! Lebih baik pergi." "Lari....!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu....?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya, melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong, nadanya mengejek. Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!" "Eh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?" "Siapa sudi jadi tontonan orang!" "Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang." "Eh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?" "Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apalagi mengandalkan kepandaian. Ah, aku tidak berkepandaian apaapa." Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya dlangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali.
Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa artinya gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempilingnya itu. "Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah.
Memang kau manusia sombong, manja dan mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!" Mata pemuda itu makin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, memberi nasihat Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu." Dada Kun Hong terasa panas hendak meledak. "Kau memang anak jahat.
Heran aku mengapa Thai-san-pai mempunyai murid begini jahat." "Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Mengapa kau mengikuti aku?" "Setan, siapa mengintai? Siapa mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?" Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tidak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula mengapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengaco seperti sembilan ekor tikus tadi?" "Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai adalah sahabat yang amat baik dari Ayah, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa." Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai." Mengkal benar hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai." Pemuda itu mendengus, "Siapa tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, kalau mereka anak Hoa-san-pai, kau pun tentu orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong." "Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanyalah anak murid Thai-san-pai biasa saja, walaupun kepandaianmu tinggi. Hemm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak-terjang muridnya seperti kau ini! Pemuda itu nampak terkejut, terbelalak memandang Kun Hong. "Heee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?" "Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai." Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tidak menyembunyikan kekagetanhya ketika bertanya, "Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?" Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, ia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga. "Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san." Pemuda itu makin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada...
kepada pamanmu itu?" "Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?" "Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?" "Tentang apa? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang...." Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan pada pipinya. Pemuda itu mengangkat muka memandang.
"Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?" "Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San." "Apakah kau pernah bertemu dengan dia?" "Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya." Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dan puas.
Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang! Kemudian pemuda itu mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!" Kun Hong tersenyum mengejek kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak? Orang seperti kau ini patut diberi hajaran, biar kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!" Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku...." Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya.
Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin? Akan tetapi mulutnya hanya mendengus, "Huhh....!" "Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih...
kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan...." Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali ia menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus, Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih hendak melaporkan aku....?" "Hemmm...." Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?" "Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, eh... sebetulnya, eh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan." Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini! Pemuda itu dengan girang lalu menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, seperti sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu. "Ah, Twako yang baik, terima kasih. Kau.
tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?" Mau tak mau tertawa juga Kun Hong, biarpun tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini benar-benar masih bocah. Heran sekali, sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut." "Aduh, terima kasih. Kau berjanji?" "Janji!" "Sumpah?" Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!" "Ah, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!" Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini ia amat benci, ya amat membencinya sehingga suka ia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Eh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?" "Aku tidak pernah bilang siapa namaku." "Ah, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?" "Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu." Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya kalau tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?" "Namaku Kun Hong." "Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)." Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu tidak menarik perhatian Kun Hong, yang tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?" "Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku mendengar sendiri iblis itu mengaku di depan para pengawal istana.
Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka." Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi....? Ah, sudah kuduga....! Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?" "Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian-kauwcu. Song-bun-kwi lari menyeret aku, lalu ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi, mereka bertempur dan aku lari lalu...
bertemu dengan kau." Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh, benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tapi tidak pandai silat.
Kau tidak pandai silat, akan tetapi bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian-kauwcu dan lain-lain. Hebat!" Pemuda ini menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi "ck-ck-ck" tanda bahwa ia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang makin ia kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ah, alangkah cocoknya dengan Li Eng! "Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka." Kembali terasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat ia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan agar pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee.
Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok." Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?" "Betul, karena itu kau tidak boleh main-main." Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika ia berkata, agaknya sengaja memanas hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... eh, cantik jelita?" Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?" Cui Bi tertawa. "Ah, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, kau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?" "Kau bilang apa??" Kun Hong mendelik marah.
"Hissss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?" "Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?" "Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apalagi... Nona Hui Cu.
itu, terhitung masih saudara seperguruanku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri rnereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagairnana kepandaian mereka?" Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukanbukan? "Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia." "Cantik benarkah dia?" "Cantik, seperti bidadari, seperti... Seperti bunga mawar hutan." Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau amat romantis, Twako. Pandai mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?" Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadangkadang kalah ia bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, tapi jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifatsifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan." "Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?" "Wah, jangan tanya tentang kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini." Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
0 Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia." Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran. "Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!" Ketlka ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya, "Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?" "Dia? Hemm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun mempelajari ilmu pedang dari ibunya." "Hee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?" "Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!" "Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara mainmain saja." Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepatcepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu, kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!" Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu, diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas.
Ucapan terakhir tentang suhunya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar.
Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa. Pemuda aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda....! Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu amat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ. Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walaupun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya.
Tentu saja Kun Hong tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggeleng kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan.
Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras, "Nah, inilah mereka!" Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...." terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung, cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap. Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya.
Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ. Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak, orang ke dua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah.... Toat-beng Yok-mo sendiri! Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya. Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu Iwee-kang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia dapat mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali menyatakan tidak ada kepandaian. Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.
"Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan berkepanjangan!" Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu. Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid keponakannya saja sudah demikian lihai, apalagi paman gurunya. Dan di situ masih ada Toat-beng Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Namun melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang pendeta Buddha, timbul harapannya.
"Jangan main bunuh!" Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas. "Lo-suhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama." Akan tetapi hwesio itu tersenyum menyeringai memperiihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk ke arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat ke arah Cui Bi.
"He, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, tidak boleh kau, membunuh orang! Lo-suhu, kau seorang hwesio bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?" Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.
"Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan banyak rewel!" ''Hemm, Kang Houw, alangkah jahat kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji takkan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana? Kalau aku lari atau mampus sebelum kaupukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini." Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu.
Andaikata berkepandaian juga, mana dapat menahan pukulan seorang ahli Iwee-kang sampai seratus kali? Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian, penuh keberanian dan pengorbanan, untuk melindunginya, tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya. Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong kalau Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar ia melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk di akal terhadap Kang Houw yang lihai itu.
Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua. "Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini? Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau takkan lari dan menerima begitu saja?" "Siapa akan membohongimu? Kau boleh menggebuk. terus-menerus sampai seratus kali jangan berhenti." "Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tak usah ribut dikubur lagi. Kalau sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-haha!" "Mulailah, dan hitung baik-baik!" kata Kun Hong, suaranya tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat membuat Toatbeng Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget, bahkan Cui Bi juga terkejut sekali mendengar suara ini. Ia teringat bahwa ketika pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang lalu, juga pernah bersuara seperti itu.
"Awas, lihat cambuk. Satuuu....!" Disusul bunyi "tarrr!" keras sekali. Cui Bi sudah siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong betul-betul, tidak bergeming dari tempatnya dan anehnya... cambuk itu bukan digebukkan kepada kepala Kun Hong, melainkan kepada sebuah batu besar di sebelah kiri pemuda itu.
"Duaa... tarrrt! Kang Houw mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu beterbangan terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga Iwee-kang raksasa itu. "Tigaaa... tarrr!" Kang Houw mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya sedangkan Kun Hong enak-enak berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan menghampiri Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo menyaksikan peristiwa luar biasa ini. Cui Bi lupa akan peranannya berpura-pura pingsan tadi, ia bangun dan duduk bengong menyaksikan betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung-terus! "Yok-mo, kau juga mencari aku mau apakah?" Kun Hoing bertanya tenangtenang saja kepada Yok-mo.
Sejenak kakek ini bingung, memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw, sampai lama berganti-ganti ia memandang. Kemudian ia terbatuk-batuk dan berkata, "Orang muda yang aneh, aku datang hendak bertanya apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang kau kembalikan itu?" "Tentu saja! Bukankah dahulu kau sendiri yang memberi ijin kepadaku untuk membacanya?" jawab Kun Hong sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.
"Hemm, kalau begitu kau harus mampus. Tak seorang pun boleh mempelajari ilmuku." "Nanti dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, biarlah aku bicara dulu dengan Losuhu ini. Lo-suhu, kau sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud membunuh aku?" Hwesio itu nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya tentang pelajaran Agama Buddha. Memang, pada waktu itu banyak penjahat yang mencukur rambut masuk menjadi hwesio agar terbebas dari pengejaran yang berwajib. Juga selain ini, dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa melakukan kejahatan sambil memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah seorang di antara mereka itu.
"Pinceng (aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, tidak ada urusan denganmu. Lebih baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan pinceng." "Hemm, enak saja kau bicara, Lo-suhu. Sebetulnya, biarpun kau berjubah hwesio dan kepala gundul, namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang Houw. Sebetulnya aku tidak sudi melayani orang palsu seperti engkau, juga aku tidak sudi berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plinplan ini. Akan tetapi karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi hendak membunuh temanku. Padahal termanku itu tak dapat melawan dan akulah yang melindunginya. Nah, kalian berdua majulah berbareng, kalau malu seorang demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang saja kurang berharga bagiku. Hayo, majulah kalau memang berani, melawan aku!" Setelah berkata demikian, Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.
Cui Bi diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betulbetul Kun Hong seorang ahli pedang seperti yang ia sangka. Akan tetapi hampir saja ia terkekeh geli melihat cara Kun Hong memegang pedang, seperti seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan atau seperti seorang tukang mencacah bakso memegang goloknya. Juga Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini? "Hayo maju, boleh kalian rasai ilmu pedangku! Lihat, pedang pusaka ini akan membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha!" "Bocah edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?" Hwesio itu membentak.
"Kun Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah takkan mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya mengambil sepuluh buah jari tanganmu agar kau tidak melanggar janji," kata Toat-beng Yok-mo.
Bergidik Kun Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tak patut disebut manusia lagi. Ia menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua telapak tangannya. "Hemm, kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi sialan bagiku kalau sampai terkena darah kalian berdua. Hanya aku akan membagi-bagi tempilingan kepadamu, majulah dua ekor iblis tua!" Toat-beng Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang bernama Tok Kak Hwesio, merupakan tokoh besar yang lihai sekali ilmunya, apalagi ilmunya Kauw-jiauw-kang (Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan, biar oleh lawan bersenjata sekalipun. Sekarang bocah yang lagaknya seperti orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.
"Yok-mo, bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlumba, siapa yang lebih dulu mematahkan batang leher bocah ini, dialah yang menang!" "Heh-heh-heh, bagus, Tok Kak Hwe-sio, mari mulai!" Dua orang kakek itu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak Hijau) saja, berlumba. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka. Keduanya bingung dan Kun Hong sudah tertawa di belakang mereka.
"He, aku di sini!" Keduanya membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang mematikan. Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi ia melihat Kun Hong. terhuyung-huyung ke samping, kedua lengan berkembang, tubuh berputaran dengan pantat ditarik-tarik ke atas seperti lagak burung hendak terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan kedua orang tokoh besar itu mengenai angin! "Hayo serang terus... serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa...
awas, kanan... kiri... muka... belakang....!" Cui Bi sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah mulutnya yang kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan melenggang tenang dan enak sekali keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini saling serang dengan hebatnya! "Eh, kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat masuk?" Buru-buru Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi.
Saking heran dan bingungnya, ia merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun Hong menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.
Sekali lagi ia menengok dan memandang tajam. Gila betul! Apakah dia sudah gila sehingga pandang matanya kacau? Ataukah mereka bertiga itu yang gila? Ia masih melihat Kang Houw menggebukl batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung, "Lima puluh empat... tarrr!" dan melihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk, saling jotos! Sekall lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja diseret oleh Kun Hong.
Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan memasuki sebuah kuil kosong di luar sebuah kampung kecil. Dengan napas terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri dan seremnya, Cui Bi menjatuhkan diri di atas lantai yang kasar dan kotor, memandang Kun Hong.
"Eh, kenapa kau memandangku begini rupa? Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri. Kau tidak pingsan lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu memberi hajaran kepada mereka?" tanya Kun Hong, diam-diam merasa tidak enak karena ilmu yang ia pergunakan itu membuat pemuda ini terheran-heran dan ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan kepandaiannya.
"Hong-ko... apa yang kau lakukan tadi? Mimpikah aku? Bagaimana mereka itu bisa... bisa...." "Bisa apa?" "Bisa begitu... ah, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah menjadi gila, memukuli batu seperti itu? Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur sendiri dengan hwesio itu?" "Ha-ha-ha, apanya yang aneh? Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau batu itu dapat habis aku mengaku kalah. Adapun Yokmo dan hwesio itu, mereka berkelahi karena berebutan untuk membunuh aku.
Mereka tidak mau saling mengalah, hendak berlumba untuk membunuhku.
Memang untungku, juga untungmu, bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu." Cui Bi memandang tajam, tentu saja ia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis apa sebabnya terjadi peristiwa yang begitu aneh? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Hong-ko, apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat? Apakah kau bukannya tengah berpura-pura padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?" Kun Hong tersenyum. "Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar silat, bagaimana aku bisa mewarisi kepandaiannya? Tentu saja aku tahu banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku telah membaca semua kitab-kitabnya." Cui Bi benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu silat tanpa melatihnya. Apa gunanya? Dan pemuda ini... benarbenar mengherankan. Dikatakan pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu kaku dan kacau, jelas membayangkan bahwa ia memang tidak pandai bersilat. Akan tetapi, dikatakan tak pandai, mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh! Malam hari itu mereka bermalam di dalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih di sebelah belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun yang mereka lewati tadi, lalu membaginya dengan Kun Hong. Mereka makan roti kering dan minum air dari sumur yang berada di belakang kuil, Kemudian mereka merebahkan diri, Cui Bi di atas meja sembahyang yang sudah tidak ada isinya apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring di situ.
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui Bi saling pandang ketika mendengar suara seorang laki-laki, suara yang keras dan nyaring penuh nada mengejek, "Heeei, semalam suntuk kau nekat berjalan terus setelah pagi malah berhenti! Agaknya sudah tidak waras otakmu!" Terdengar jawaban, nyaring, akan tetapi ketus, "Tutup mulut! Kau tawananku, ingatkah? Aku hendak berbuat apa yang kusuka, kau tak berhak membuka mulut mencampuri urusanku, mengerti?" Kun Hong mendengar suara ini seketika berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar, Cui Bi yang melihat gerakannya, cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan menaruh telunjuk pada bibirnya, minta temannya itu supaya jangan berisik.
"Dia itu... dia itu Li Eng...." bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan tetapi segera ia menjauhkan mukanya dan bergidik karena mencium bau harum dari sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai minyak segala! Cui Bi nampak terkejut, akan tetapi ia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak membuat gaduh dan mereka akan mengintai dulu. Berindap-indap mereka keluar dan mengintai ke ruangan depan. Kun Hong menuruti kehendak temannya karena ia pun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama musuh-musuh tangguh, juga ia ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu.
Betul juga dugaan Kun Hong, Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan tawanannya. Seperti telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu, pemuda yang menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng memukul roboh Kong Bu dan balas menawannya. Tentu saja Li Eng tidak sudi memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja membalasnya dengan sikap ketus dan melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu kaki Kong Bu, lalu mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan! Li Eng cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung. Sewaktu-waktu kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan perjalanan di waktw malan. Ia tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis melakukan perjalanan dengan menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu? Demikianlah, pagi hari itu ia tiba di kuil tua. Semalam suntuk ia telah berjalan sambil menyeret tubuh Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu berhenti dan mengambil keputusan untuk beristirahat dan tidur di kuil tua ini. Tentu saja ia sama sekali tidak penah mengira bahwa pamannya berada di belakang kuil dan bahwa sekarang "Paman Hong" itu sedang mengintainya.
Jalan masuk ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu setengah meter.
"Hayo bangkit, kita masuk ke kuil! Tak mau aku orang yang lewat di depan ini mellhat kita." Li Eng membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang kuat itu.
Kong Bu masih rebah telentang diatas tanah. Pemuda ini sudah tidak karuan lagi macamnya. Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya di bagian punggung sudah habis, robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi hebatnya, tiada sedikit pun kulit tubuhnya yang rusak biarpun gadis itu menyeretnya sepanjang hari.
Mendengar perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh ejekan, "Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biar mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak mempropagandakan kebusukan Hoa-san-pai di depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor binatang, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini? Huh, anak murid Hoa-san-pai, memang betul kata-kata Kakek.
Anak murid Hoa-san-pait terutama yang perempuan, jahat seperti siluman." "Tutup mulutmu!" Li Eng memekik marah. "Kau yang jahat, kau yang seperti iblis, kau yang palsu, Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau menurut, tidak mau jalan mengikuti, Habis kalau tidak menyeretmu bagaimana aku bisa membawamu ke Thai-san? Dasar kau licik dan jahat." "Itulah kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong ke mana-mana, sekarang setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!" "Cihhh, tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu? Puuhhh! Hayo naik, masuk ke kuil." "Tidak sudi!" Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar sehingga deretan giginya yang putih rata dan kuat itu tampak berkilat di atas dagunya yang membayangkan kekerasan hati yang luar biasa.
"Kepala batu!" seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong Bu melayang melewati anak tangga, ke dalam kuil. Akan tetapi ketika tubuh itu turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering saja, sama sekali tidak terbanting keras.
Diam-diam Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong, terkejut dan kagum sekali melihat ini. Cara gadis cantik jelita ini membetot tali membuat tubuh pemuda itu melayang ke dalam kuil, membuktikan kehebatan Iwee-kang Si Gadis dan hanya seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu. Di lain pihak tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula kehebatan gin-kang dari Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah orangorang yang memiliki kepandaian hebat! Sementara itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat "keponakannya" memperlakukan seorang tawanan seperti itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru, "Eng-ji, benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!" Li Eng menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar.
Tanpa terasa ia melepaskan ujung tali dan lari menubruk Kun Hong, "Paman Hong....! Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncatloncat seperti anak kecil diberi permen. "Aduh, Paman Kun Hong... siapa mimpi bertemu dengan kau di sini?" Kun Hong mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang akan tetapi berpengaruh sekali.
"Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu kau harus lepaskan belenggu dia itu!" Ia menuding ke arah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam akan tetapi ia tidak mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan tetapi sudah butut, sikapnya lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.
"Aih, mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang telah menawan aku dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula olel orang lain entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua Song-bun-kwi diserahkan kepada... iblis muda ini. Baiknya aku dapat... eh...." "... menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba," Kong Bu menyambung.
"Diam kau, setan alas!" Li Eng memaki.
"Li Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian dapat dirundingkan. Tak patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini. Hayo, kaubuka ikatan tangannya." "Tapi... tapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin...
aku... belum tentu dapat menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang buas...." Sementara itu, Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan dengan tajam sekali. Serasa ia mengenal wajah ini, akan tetapi entah di mana. Tak mungkin wajah segagah dan setampan ini dihuni watak yang rendah. "Kau lepaskan, aku yang tanggung." Li Eng adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri.
Akan tetapi semenjak bertemu dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia membantah perintah pamannya yang muda ini. Setelah menarik napas berulang-ulang, ia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali tabas ia hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat ke belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah. Kiranya Kong Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakan kedua tangannya dan... Belenggu akar pohon itu seketika putus-putus! Dengan gerakan ringan sekali Kong Bu meloncat bangun, berdiri dengan baju bagian belakang hancur sehingga punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu. Pemuda ini dengan berdiri tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh ejekan. Gadis itu merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau mau, dalam perjalanan mereka itu dapat melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda itu membiarkan dirinya ditawan, hanya untuk menggodanya.
"Setan kau!" desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang. "Eng-ji, jangan!" Kun Hong membentak dan... gadis itu dengan lemas menurunkan kembali pedangnya.
"Dia... dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke depan Sukong (Kakek Guru) agar dihukum!" Kun Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, namun sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Dia pun dapat menduga bahwa pemuda yang gagah di depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura menyerah saja. Gin-kang yang didemonstrasikan tadi, juga tenaga memutuskan tali, akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga bahwa kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.
"Sahabat, harap kau maafkan kalau keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku percaya kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis, keponakanku ini. Kau boleh meninggalkan kami dan kuharap kau suka memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua orang keponakanku dan ke mana pula perginya keponakanku yang seorang lagi." Kalau tadi perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia memandang kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun. Mata itu. Terang bukan mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh wibawa dan kekuasaan. Dan kata-kata yang halus itu! Diam-diam ia kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa! "Sahabat, kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai, memang beralasan. Ibuku mati karena anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid Hoa-san-pai, yang seorang dirampas oleh orang lain, entah siapa. Seorang lagi diserahkan kepadaku.
Aku tawan keponakanmu ini, aku malah sudah melemparnya kepada anjinganjing hutan untuk dimakan, Akan tetapi aku menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu, tertawan olehnya. Dia menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas-membalas sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini. Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan.
Kita sudah seri. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, juga tidak, mau disalahkan." Kun Hong mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat meraba isi hati orang, dapat menaksirkan watak orang.
Pemuda ini berjiwa gagah, jujur dan sama sekali tidak jahat. Hanya keras hati, dan aneh. Ia menggeleng kepala.
"Apakah yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang di antara kedua keponakanku ini?" tanyanya, menegur.
"Bukan! Akan tetapi mereka pun anak murid perempuan Hoa-san-pai." "Hemmm, kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Seorang anak murid Hoa-san-pai membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi semua orang Hoa-san-pai? Kalau begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani di permukaan bumi ini? Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kau pun akan memusuhi seluruh manusia di jagat ini?" "Ngaco!" Kong Bu membentak. "Itu lain lagi!" "Bukan ngaco, apa bedanya? Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu semua anak murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya kalau ada seorang petani bersalah belum tentu seluruh petani harus bersalah, atau kalau ada seorang manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan seluruh umat manusia. Apalagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan, setiap orang pun bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, kalau bias berbuat begitu barulah terhitung seorang gagah sejati." Kong Bu termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Ia membalikkan tubuh, berkata, "Sudahlah, aku pergi!" Sambil mengerling ke arah Li Eng ia berkata, "Sampai berjumpa lagi." "Apa?" Li Eng menyerang ketus. "Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong aku ingin bertempur seribu jurus denganmu sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!" Kong Bu tertawa mengejek, "Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu." Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.
Kun Hong menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua pipinya. "Kenapa kau begitu membencinya, Li Eng?" "Aku benci padanya! Benci... benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman. Dia bilang semua murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak memandang sebelah mata kepadaku!" Suara gadis ini makin parau seakan-akan ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.
Kun Hong tersenyum. "Benci atau cinta itu sama saja...." "Hisss! Kau bilang apa, Paman....??" Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua matanya terbelalak. Indah sekali sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling indah di antara anggauta tubuh keponakannya ini adalah matanya yang seperti bintang itulah. Ia kagum sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum, "Baik cinta maupun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi oleh keadaan, berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yans sudah menjadi watak dasar setiap manusia. Siapa yang menguntungkan dan menyenangkan diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak menyenangkan diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan tak mungkin esok hari kita mencintanya." "Apa....?" Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. "Kau mau bilang aku akan mencinta... dia....?" Kun Hong mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andaikata ia bukan paman Li Eng, agaknya gadis ini akan menamparnya. "Bukan kau...
bukan kau... aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja mengalami hal ini dan... heee, mana dia?" "Dia siapa?" Li Eng menengok ke kanan kiri belakang.
"Dia tadi di dalam bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)... keluarlah!" Kun Hong memanggil-manggil, malah segera masuk ke dalam mencari-cari. Namun orang yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang pintu, pada tiang kayu yang keras di mana mereka berdua tadi bersembunyi dan mengintai, terdapat tuiisan, ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu yang keras itu.
"Hong-ko, aku pergi dulu, sampai jumpa pula." "Siapakah dia itu, Paman Hong?" tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca tulisan ini. "Hebat juga Iwee-kangnya!" Kun Hong menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat akan persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.
"Dia anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ah, sayang ia pergi. Aku tidak tahu mengapa ia buru-buru pergi, aku ingin sekali memperkenalkan dia kepadarmu Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga dengan dia.
Sekarang lebih baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar kita dapat memberi tahu kepada Paman Tan Beng San dan di sana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang jahat." "Baiklah, Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu...." Li Eng nampak gelisah dan berduka.
"Jangan kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Adil. Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku seperti mendapat firasat bahwa kita akan berjumpa dengan dia di Thai-san juga." Berangkatlah dua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng maupun Kun Hong melakukan perjalanan dengan wajah, muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada masing-masing bahwa mereka murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diam-diam hendak mereka bantah sendiri bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orang-orang yang mereka "benci" dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini.
Kong Bu berlari cepat keluar masuk hutan. Bayangan Li Eng terbayang-bayang di pelupuk mata, tak mau lenyap biarpun ia berusaha mengusirnya. Ah, anak murid Hoa-san-pai, mengapa harus diingat-ingatnya? Tapi senyumnya, sinar mata yang indah itu... ah! Tiba-tiba ia berhenti merenung memandangi daundaun di depannya. Hatinya serasa kosong, sunyi. Aneh sekali, sekelilingnya tampak sunyi tak berarti, alangkah bedanya dengan perasaan ketika ia masih diseret-seret tadi. Ia menepuk kepala sendiri. "Bodoh kau! Dia benci dan tak suka kepadamu, kau musuhnya, kenapa dipikir-pikir? Tolol celaka!" Dan ia lalu lari lagi cepat-cepat.
Mendadak ia melihat bayangan berkelebat di sebelahnya dari terdengar suara orang berseru, "Sahabat, berhenti dulu!" Kong Bu tidak lari secepat ia bisa, akan tetapi cukup cepat sehingga gerakan bayangan yang menyusulnya itu cukup membuat ia terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ilmu lari yang hebat juga. Ia berhenti dan memandang. Seorang pemuda, masih amat muda, tampan sekali, berdiri di depannya. Mata yang tajam memandangnya penuh selidik. Pakaian pemuda ini amat indah dan rapi, kuku-kuku tangannya terpelihara baik-baik, segalanya begitu bersih sedangkan dia sendiri begini kotor. Kong Bu menghela napas.
"Kau siapa dan mau apa menahan perjalananku?" tanyanya, suaranya penuh kecurigaan dan ketidaksenangan. Memang hatinya sedang risau, sedang tak senang karena ia tidak puas dengan keadaan hatinya sendiri.
"Apakah Song-bun-kwi itu kakekmu?" pemuda tampan yang bukan lain adalah Cui Bi itu bertanya.
"Tak perlu aku sembunyikan hal itu. Benar, Song-bun-kwi adalah kakekku. Kau siapa dan mau apa?" "Dan orang tuamu... apakah mendiang ibumu bernama Kwee Bi Goat dan ayahmu bernama Tan Beng San?" Pemuda tampan itu bertanya terus tanpa mempedulikan pertanyaan Kong Bu.
Kong Bu terkejut sekali. "Bagaimana kau bisa tahu?" "Tak peduli bagaimana aku bisa tahu.
Cucu Song-bun-kwi, cabutlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kelihaian cucu dari Song-bun-kwi!" setelah berkata demikian, Cui Bi menggerakkan tangan kanannya dan "srattt!" pedangnya telah berada di tangan.
Kong Bu membelalakkan matanya, membusungkan dadanya yang bidang.
"Sombong kau! Tanpa sebab kau menantangku, kau kira aku takut kepadamu?" Dengan marah ia pun lalu mencabut pedangnya. Diam-diam ia bersyukur bahwa Li Eng gadis liar itu tidak merampas pedangnya ketika gadis itu menawannya.
Cui Bi tersenyum mengejek, "Hendak kukenal dengan ilmu pedangmu. Lihat pedangku!" Tanpa banyak rewel lagi pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menusuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar