Loan Ki memandang dan kagetlah ia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Hui Kauw, nona muka hitam yang pernah dilihatnya di Ching-coa-to.
Wah, agaknya orang-orang Ching-coa-to sudah menyelundup ke kota raja, pikirnya. Tentu nona itu bersekongkol dengan Bun Wan. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu melompat dan menerjang dengan pedangnya.
"Perempuan berhati palsu!" bentaknya karena ia teringat akan semua pengalamannya ketika di Ching-coa-to, di mana wanita ini hampir dijadikan pengantin dengan Kun Hong.
Hui Kauw memang sedang mengejar Bun Wan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, gadis ini meninggalkan Kun Hong untuk mencari A Wan yang terlalu lama tidak juga kembali. Ketika ia mencari di belakang pondok, ia tidak dapat menemukan A Wan karena tidak tahu di mana anak itu menyimpan mahkota kuno. Ia berputar-putar mencari, lalu mendengar suara ribut-ribut dan masih sempat melihat A Wan dikurung beberapa orang pengawal. Hatinya kebat-kebit penuh kekhawatiran, kemudian terjadilah hal yang amat luar biasa. Seorang kakek entah darimana datangnya, dengan gerakan ringan seakan-akan bayangan sehingga bukan merupakan manusia lumrah lagi, tahutahu telah berada di tengah-tengah tempat itu dan sekali menggerakkan tangan dan kaki, A Wan telah disambarnya dan dibawanya pergi seakan-akan melayang! Para pengawal melongo menyaksikan ini, kemudian maklum bahwa kakek itu tentulah seorang sakti, mereka melakukan pengejaran, namun kakek itu sudah lenyap dari pandangan mata. Hui Kauw mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai ke luar pintu gerbang.
Kakek itu seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan melayang naik ke atas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi setibanya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.
Selagi ia kebingungan, ia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang. Ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan gerak-geriknya mencurigakan, ia cepat mengejar, tidak memperhatikan lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.
"Aiihhhhh, kiranya kau di sini?" tegurnya seraya mengelak.
"Kau dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tidak akan ampunkan kalian berdua!" seru Loan Ki mendongkol. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannya pun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan maupun Hui Kauw ini, memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!
"He, jangan sembarangan menuduh!" seru Hui Kauw mendongkol. "Siapa sudi bersekongkol dengan dia itu? Aku pun hendak mengejarnya, karena dia kelihatan mencurigakan." Sambil berkata demikian, tanpa memperdulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.
Dalam ilmu lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw.
Memang ibu angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa ini telah pula diturunkan kepada Hui Kauw. Maka setelah lewat sepuluh li jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui Kauw berseru keras, "Berhenti dulu!" Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota kuno itu. "Kembalikan mahkota itu kepadaku!"
Bun Wan memandang heran dan penasaran. "Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas mahkota ini untuk ibumu!"
"Tidak perduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman."
"Tapi....... bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Chingcoa- to......"
"Berikan kepadaku!"
"Nona, apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!"
"Tak usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!"
Bangkit kemarahan Bun Wan. Kesempatan berhenti lari ini dia pergunakan untuk memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.
"Heemmm, banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
"Pedangku akan memaksamu!" bentak Hui Kauw dan pedangnya langsung bergerak melakukan penyerangan kilat. Bun Wan cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih lihai daripada Hui Siang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya menjadi kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi. Semua jurus yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya bukan kepalang. Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya ini. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.
"Kau benar-benar tidak tahu orang mengalah!" bentaknya dan pedangnya kini melakukan penyerangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi hati lagi, apabila setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang yang ganjil pula.
Menghadapi dua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan tetapi ilmu pedang Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak lari, selain malu, juga akan percuma saja karena tadi sudah ternyata olehnya betapa hebat ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya. Dengan seluruh kepandaiannya, Bun Wan menyerang Hui Kauw dan terasalah oleh nona ini betapa kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguhpun ilmu pedang rahasia yang ia pelajari itu merupakan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia pergunakan untuk bertempur sehingga kurang berhasil sekarang. Betapapun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat daripada ilmu pedang yang ia pelajari dari Chingtoanio.
Sungguhpun sekarang ia mulai terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun kiranya untuk mengalahkan ilmu pedangnya ini, membutuhkan waktu yang tidak pendek.
Sementara itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, kini telah tiba di tempat pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar-benar bertempur melawan Bun Wan, Loan Ki segera dapat cepat mengambil fihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan menyerbulah mereka berdua, mengeroyok Bun Wan!
Tentu saja pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apalagi ilmu pedang Loan Ki terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut.
Hanya saja nona ini belum matang betul kepandaiannya, karena memang ia anak manja yang sering kali malas-malasan untuk berlatih. Juga ilmu pedang pemuda tampan gagah yang amat aneh itu membingungkannya, karena ilmu pedang pemuda itu memiliki daya serang yang luar biasa kuat dan berbahayanya, biarpun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti saat dan kesempatan, namun sekali menyerang amat mengagetkan dan membahayakan. Pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan sekali terkena sabetan, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apalagi pekiknya yang amat nyaring dan mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya serangan itu.
Bun Wan mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak ke sana ke mari tanpa mampu balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan suara keras, "Kalian bertiga ini apakah sudah menjadi anjinganjing istana pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan diri kepada kaisar?"
Marah sekali Loan Ki karena ia dibawa-bawa dalam tuduhan ini. "Tutup mulutmu yang rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu milikku dahulu sebelum dirampas di Ching-coa-to!"
"Hemm, manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!" Sambil menangkis pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. "Kalau kalian, menghendaki mahkota ini, aku pun tidak membutuhkan. Akan tetapi tunggulah aku mencari sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini kuberikan kepadamu. Bagaimana?" Memang yang dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkota, maka setelah dia terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini? Loan Ki dan Nagai Ici tidak tahu-menahu tentang surat rahasia, maka mendengar ini mereka meragu dan mengendurkan penyerangan, Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to, pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, ia pun tidak berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas, ia pun tidak akan memusuhi pemuda ini.
Akan tetapi tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia terkejut sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia sudah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak menghendaki mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apapun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.
"Tak usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau.......
mampuslah!" pedangnya menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan menangkis sekuatnya.
"Traaaannnggggg.......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim bacokan ke arah pundaknya.
Dia segera menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan. Maksudnya dia hendak menggunakan cara ini untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang bersinar merah. Dia lebih kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga lagi.
"Baiklah, aku akan mengadu nyawa!" teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus-jurus terlihai.
Namun kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang pengeroyoknya itu berada di fihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus, pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu, pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas ke arah lehernya. Bun Wan tidak sempat lagi mengelak, pundaknya terasa sakit dan menghadapi berkelebatnya samurai merah itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka sehingga tangan kanannya berkurang tenaganya sehingga ketika menangkis, tidak dapat dia pertahankan lagi terlepasnya pedang dari tangan. Secepat kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya, terdengar kain robek dan di lain saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan sudah terobek ujung pedang.
Loan Ki dan Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.
"Traaanggg! Traanngggg!!" Loan Ki dan Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan tangan mereka tergetar. Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.
"Jangan bunuh dia!" kata Hui Kauw, suaranya gemetar. "Dia calon suami Hui Siang......"
Loan Ki memandang tajam kepada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus menyerang. Hui Kauw yang melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik dengan penuh kekecewaan, berkata perlahan, "Pergilah!"
Bun Wan membanting kakinya. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"
Akan tetapi karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat itu dengan cepat.
"Berikan benda itu kepadaku!" Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan sikap mengancam. Nagai Ici juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini menghadapi siapa pun juga. Hatinya mulai kagum. Dalam waktu singkat dia telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat. Pemuda yang dikeroyok tadi juga amat mengagumkan hatinya. Luar biasa ilmu pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apalagi Si Pendekar Buta tadi yang dikeroyok banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul harapannya mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.
Melihat sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya.
Dengan halus ia berkata, "Adik Loan Ki, ketahuilah, mahkota ini kuperebutkan untuk kuserahkan kepada Kun Hong." Tiba-tiba mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena ia merasa jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa pengantin gagal di Ching-coa-to.
"Kau bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang pandai, kau tidak membantunya malah memperebutkan mahkota."
Kaget sekali hati Hui Kauw mendengar ini. "Betulkah itu? Siapa yang mengeroyoknya?"
"Kulihat seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang dan....... dan......." Loan Ki tergagap karena berat rasa lidahnya untuk menyebut nama ayahnya.
"Dan ayahmu juga?" Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar penuh kecemasan. Celaka kalau Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu, kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biarpun Loan Ki diam saja namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.
"Adik Loan Ki, kau berfihak siapakah? Kun Hong atau ayahmu?" Tiba-tiba Hui Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.
Bingunglah Loan Ki ditanya begini oleh Hui Kauw, "Ah....... aku tidak bisa memilih....." akhirnya ia menjawab juga. "Kalau tadi aku tidak melihat ayah di sana, pasti aku ajak temanku ini membantu Kun Hong......."
Hui Kauw segera mengambil keputusan cepat. "Bagus, adikku." katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat perubahan sikap ini.
"Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?" Melihat Loan Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, "Tidak ada banyak waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi perebutan. Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda Yung Lo.
Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?"
Loan Ki adalah seorang yang jujur, ia percaya kepada Hui Kauw. "Dan kau sendiri?" tanyanya. "Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?"
"Bodoh kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok di sana? Aku harus membantunya, aku harus menolong....... suamiku.....!" Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.
Loan Ki melongo sampai lama. Ketika Nagai Ici menegurnya, barulah ia sadar.
Cepat-cepat mahkota itu ia simpan dalam buntalan pakaian.
"Jadi Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan Ki?"
"Bukan....... bukan....... oh,.... begitulah agaknya......." jawabnya tidak karuan. Kemudian ia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. "Nagai Ici, aku akan memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara, akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?"
Serta merta Nagai Ici mengangguk. "Tentu saja, Nona, Ke mana pun kau pergi, kalau kau menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah....... kalau kau mengijinkan, aku....... aku akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku, selamanya......." Kaku dan tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia mengeluarkan isi hatinya yang berdebar-debar itu dengan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar.
Sepasang mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah ketawa dari mulut yang berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan tangan. "Kau lucu....... hi-hik. Tapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku saja."
Dengan hati penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi rnukanya berubah ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding. "Lihat, siapa mereka?"
Loan Ki cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka berlari, kagetlah Loan Ki. "Cepat, kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!" Para pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya juga terdapat di antara mereka yang mengejarnya itu. Tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke timur.
Celakanya, empat orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ke timur ini melalui tegal rumput yang gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari jauh. Di depan, kurang lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan untuk berlari cepat karena kalau sampai mereka berdua dapat mencapai hutan sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.
Sampai tersengal-sengal napas kedua orang muda itu karena mereka menggunakan tenaga melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini.
Nagai Ici agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata, "Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu, kita lawan saja, takut apa?" Memang, sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.
Loan Ki tadi sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia mengenal bahwa seorang di antara empat pengejar itu adalah....... ayahnya! Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal ia menjawab, "Kau tahu apa......? Seorang di antara mereka adalah ayah!"
Nagai Ici terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.
"He, hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?" Nagai Ici tersenyum, tampan sekali. "Kau aneh, Nona....... eh, Loan Ki. Kalau dia ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justeru untuk mencari beliau?"
Dengan habis sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Ia menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.
"Kau tidak tahu.......! Ayah membantu mereka, membantu kaisar......."
Nagai Ici tidak mengerti. "Biarpun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri? Takut apa?"
"Iiihhhhh, bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tetapi aku takut mereka merampas mahkota ini. Hayo!"
Nagai Ici mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung juga. Benar-benar kacau-balau.
Sang ayah membantu kaisar, si anak memusuhinya. Bagaimana ini? Mana yang benar? Apapun juga jadinya, dia akan membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!
"Heeeiiiii....... Loan Ki.......! Berhenti.......!!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Loan Ki pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biarpun sudah tiba di pinggir hutan. Loan Ki putus asa dan terpaksa ia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici ia lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu. Dia pun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.
Empat orang pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It-to-kiam Cui Hwa!
Cepat sekali gerakan mereka dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di situ, dan tidak seorang pun di antara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici. Empat orang ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang laki-laki tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri Sinkiam- eng dan temannya. Mendengar ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada di kota raja, bersama seorang pemuda tampan gagah, siapakah pemuda itu? Karena khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu yang juga ingin mengejar Kun Hong.
"Loan Ki, kenapa engkau berlari-lari?" ayahnya bertanya, suaranya bengis dan matanya menatap wajah puterinya dengan tajam, lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang panjang yang melengkung dipinggang. Pemuda yang sama tidak dikenalnya.
"..... Ayah........ aku....... aku menyusul Ayah ke kota raja dan......"
"Omitohud, kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anak pun harimau pula. Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?" tanya Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang ke arah, buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.
Loan Ki tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan.
Akan tetapi wajah Tan Beng Kui dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu bertanya, "Loan Ki kau dengar pertanyaan Bhok Lo-suhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah merampasnya?", Biarpun ia sudah biasa dimanja, namun Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada ayahnya karena ayahnya amat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.
"Sudah, Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta orung lain!"
Sin-kiam-eng cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada Bhok Hwesio. "Ada betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan perampok dan anakku yang merampasnya."
Bhok Hwesio tertawa pula. "Menurut The-kongcu, yang penting bukanlah mahkotanya, melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku) memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, kalau sudah terdapat, biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main. Ha-ha-ha!"
Loan Ki mengerutkan kerungnya. Ia pun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, melainkan karena rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat daripada emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah. Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil? "Siapa percaya omonganmu? Aku tidak mengenalmu!" jawabnya sambil memandang hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikit pun juga tidak memperlihatkan rasa takut.
"Ha-ha-ha, betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau tidak percaya?" kata hwesio itu.
"Loan Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu."
Loan Ki merengut dan menepuk-nepuk buntalan di punggungnya. "Ayah, aku mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut.
Masa sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkannya mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, di mana kehormatan kita?"
"Omitohud, benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Luikong Thian Te Cu, maukah kau mewakili kita memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?"
Lui-kong Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam. Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.
"Nona, kepandaian manusia tiada batasnya, tetapi kau hendak main-main, dengan kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa aku menggunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona, awas!" Tiba-tiba tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu sudah melewati kepala Loan Ki dan melengkung hendak merenggut buntalan dari punggung!
Loan Ki terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah ajaib yang ia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki ia dapat berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.
"Ho-ho-ho, kau hebat, Nona!" kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah lagi, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar, dia berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.
"Jangan kurang ajar!" tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan di lain saat kakek itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.
Hebat kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu sedemikian saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam segebrakan saja dapat dilempar ke udara! Padahal kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara seperti sebuah peluru kendali. Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba-tiba dia menyerang Nagai Ici. Pemuda Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek dengan kepalan tangannya. Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.
"Kakek jahat, berani kau melukai temanku!" Loan Ki berseru dan kini ia sudah mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu. Namun kakek yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang pedang. Gadis itu kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa buntalan di punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan itu. Kini kakek itu sambii terkekehkekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang menyambutnya dengan uring-uringan.
"Bagaimana tanganmu?" Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan kiri yang membengkak.
Loan Ki mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga Iweekang amat kuat.
Diam-diam Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu dan jantungnya serasa tertikam ketika dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap si pemuda, dan dia pun terharu menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah berani membela Loan Ki mati-matian.
Sementara itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar ke sana ke mari, lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan tenaga tangannya yang luar biasa, sekali dia berseru keras, kedua tamgannya sudah mematahkan mahkota menjadi dua!
Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!
"Omitohud....... orang muda hendak mengakali orang tua!" Dia melemparkan potongan mahkota ke atas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki dengan muka merah. "Nona, di dalam mahkota ini terdapat surat rahasianya, sekarang ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas serahkan surat itu kepada pinceng."
Loan Ki sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak mengandung sesuatu. Hampir saja ia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Apa artinya ia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu? "Aku tidak tahu tentang surat-surat segala," katanya. Bhok Hwesio menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. "It-to-kiam lihiap, sepantasnya kau seorang wanita yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah diambil dan disimpannya."
It-to-kiam Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan Ki. Nona ini mengerutkan keningnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.
"Nona cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua.
Serahkan saja surat itu daripada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan." Gui Hwa mengancam.
"Ayah, apakah kau membiarkan saja anakmu dihina orang?" Loan Ki menjerit sambil memandang ayahnya.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui bingung. Tentu saja dia pun tidak senang melihat puterinya didesak begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina. "Loan Ki, kalau kau memang mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau mencampuri urusan negara ini," katanya dengan suara bengis dan berpengaruh.
"Aku tidak tahu menahu tentang surat, Ayah," kata Loan Ki, suaranya tegas karena memang ia tidak membohong.
"Lebih baik kau berterus terang, Nona. Jangan main-main!" It-to-kiam Gui Hwa mengancam.
"Nenek buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau apa?" bentak Loan Ki.
"Baik, kalau begitu jangan salahkan aku kalau pedangku akan merobek-robek bajumu dan menelanjangimu di sini." Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya yang tipis dan panjang.
"Srattttt!" Loan Ki juga mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, "Ayah, kalau kau membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja dihina orang!"
Tan Beng Kui bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa sudah menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah. Loan Ki dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan matimatian.
"Jangan hina Loan Ki!" Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata sudah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki.
Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.
"Ho-ho-ho, pemuda sombong, jangan bergerak!" Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan, menghadang gerakan Nagai Ici dan dia pun sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok.
Dengan gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh ini ke arah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Dia pun sama sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan mengalahkannya.
"Trrraaanggg....... singgg....... Hiaaaaattttt!!" kaget bukan main Lui-kong Thian Te Cu. Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat.
Hampir saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa kepala.
"Wah-wah, ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?"
bentak kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan senjatanya yang aneh. Karena memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi daripada Nagai Ici, sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa menggerakkan pedang samurainya ke sana sini untuk menangkis tanduk rusa yang lagaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya dari segala penjuru.
Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui Hwa. Nenek ini adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang, kepandaiannya malah lebih matang daripada kepandaian Bun Wan. Tentu saja tingkatnya jauh lebih tinggi daripada Loan Ki dan dengan mudah saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya ia tentu akan celaka, akan terobek bajunya dan mengalami hinaan yang hebat.
Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa kering. Tiba-tiba terdengar suara keras dan....... pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah terlempar ke atas dan jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri memegangi lengannya, tidak dapat berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu. Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya.
Akan tetapi, melihat betapa Loan Ki didesak hebat oleh Gui Hwa, Nagai Ici mengeluarkan pekik menyeramkan dan dengan tangan kosong dia maju menyerbu, menerkam Gui Hwa tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri!
Gui Hwa terkejut sekali, cepat menghindar, namun ujung bajunya kena dipegang oleh Nagai Ici dan terdengar suara keras ketika baju itu terobek oleh cengkeraman pemuda ini. Baju robek menjadi dua sehingga tampaklah pakaian dalam nenek itu.
Dasar Loan Ki seorang yang nakal. Melihat ini, saking girangnya karena Nagai Ici ternyata berani mati membelanya, ia mengejek, "Hi-hik, nenek buruk, baju siapakah yang robek?"
Gui Hwa menjerit marah, pedangnya berkelebat ke arah dada Nagai Ici merupakan tusukan maut. Kini ia tidak main-main lagi. Tadi sengaja ia tidak mau melukai Loan Ki, hanya berusaha mendesaknya dan mencari kesempatan Untuk merobek-robek pakaiannya. Sekarang dalam kemarahannya, ia menggunakan jurus mematikan untuk membalas perbuatan Nagai Ici yang ia anggap penghinaan besar itu. Agaknya pemuda ini tidak akan mampu mempertahankan dirinya lagi. Baiknya Loan Ki yang melihat bahaya ini, cepat menangkis pedang Gui Hwa sehingga Nagai Ici terlepas daripada bahaya maut.
"Minggirlah, kau sudah terluka......." pinta Loan Ki sambil mendorong pemuda itu ke pinggir. Ia sendiri menghadapi Gui Hwa yang kini menyerangnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Semua jurus yang ia lancarkan dalam penyerangan ini adalah jurus yang mengandung hawa maut, tidak main-main lagi seperti tadi.
Loan Ki berusaha mempertahankan diri, namun pada suatu saat ia kurang Cepat dan "breett!" ujung bajunya terbabat putus sebagai pengganti lengannya! Ia menjadi pucat, tetapi tetap melawan terus, biarpun ia didesak hebat.
Kembali Nagai lci meloncat dan menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah. Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat, maka dengar nekat dia menerjang lagi tanpa memperdulikan larangan Loan Ki. Gui Hwa sudah siap, begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu dengan pedang Loan Ki, ia memapaki dengan tendangan. "Bleeeggg!" tubuh Nagai Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi, menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu Loan Ki.
Sementara itu Loan Ki yang melihat Nagai Ici tertendang, kaget dan marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau.
Pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi, terpaksa menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.
"Tahan....!" terdengar bentakan mengguntur dan tiba-tiba Gui Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya bersiapsedia.
Kiranya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya tadi untuk menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini berhadapan muka.
"Ayah, kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa? Aku tidak tahu menahu tentang surat, dan aku tidak sudi digeledah, lebih baik mati!" Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan, sepasang mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan hatinya.
"Loan Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia itu?" bentak ayahnya.
"Aku bersumpah, demi arwah Ibu!"
Terpukullah hati Beng Kui mendengar sumpah ini, diingatkan dia bahwa puterinya ini semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali dan tiba-tiba dia menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi dengan sikap nekat membela Loan Ki.
"Siapa dia?" tanya Sin-kiam-eng.
"Dia sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia bernama Nagai Ici."
"Apa.......? Seorang Jepang? Bajak laut.......?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan kecewa.
"Siapa bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai Merah! Dia seorang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang pandai. Dia sahabatku, Ayah, dan buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak perduli akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"
Tan Beng Kui menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio. "Bhok-losuhu, anakku tidak membawa surat itu. Aku minta supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."
"Hemmm, mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adatah puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."
"Bhok-losuhu, apakah kau tidak percaya kepadaku?"
Kembali hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Akan tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara, bukan peraturan kang-ouw. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus mendahulukan kepentingan negara.
Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian, kepentingan tugas lebih tinggi daripada kepentingan antara ayah dan anak. Biarkan It-to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat, itu, boleh dia pergi."
"Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menyerah di bawah penghinaan kalian!" Loan Ki berseru marah.
"Jangan takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!"
kata pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam kepada dua orang muda itu sampai lama-, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici, kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"
"Siap!" seru Nagai Ici dengan sikap tegak.
"Kau....... kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"
"Ya!" jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan Ki !"
Tan Beng Kui tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa bahagiakah di samping Nagai Ici?"
Merah muka yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir.
"Ayah....... dia baik sekali......." jawabnya perlahan.
"Cukup! Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah, pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri urusan negara lagi."
"Pergilah! Cepat!" Agaknya Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini, dia lalu menggandeng tangan Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.
"He, jangan pergi dulu!" seru Lui-Thian Te Cu.
"Sing!!" Sinar pedang berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu dengan pedang di tangan dan sikapnya keren serta gagah menantang. Sepasang matanya menyala-nyala ketika dia menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian Te Cu dan Gui Hwa.
"Aku mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang mengejar mereka akan berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring dan bergema, terdengar pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.
"Omitohud! Tan-sicu apakah hendak memberontak?"
"Bhok Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi sudah hendak membuka mulut besar bicara tentang pemberontakan? Huh, kau mau bersikap sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga!! Di jamannya mendiang kaisar ketika masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang mengusir penjajah Mongol. Kalian tahu apa tentang perjuangan? Sekarang kalian hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan, sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan sekali !"
"Tan Beng Kui, kau bicara apa ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar kiranya kau akan mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau membiarkan anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"
"Harus melalui pedang dan mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah. "Anakku sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting daripada segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"
"Kau memang pemberontak ! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"' Lui-kong Thian Te Cu berseru marah dan senjatanya tanduk rusa sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa sudah menerjang dengan pedangnya. Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya bukan main hebatnya. Ilmu Pedang Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung itu, "Omitohud, semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" seru Bhok Hwesio sambil melangkah maju. Dia bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan kedua tangannya sama ampuhnya dengan tabasan pedang tajam, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin dan terasa tajam menusuk kulit.
Sesungguhnya ilmu pedang dari Tan Beng Kui amat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek-kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding).
Kalau mau bicara tentang ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan mampu menandinginya, biarpun It-to-klam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi dari Kun-lun-pai. Akan tetapi, ilmu pedang saja bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan kemenangan, karena dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh tiga orang lawannya. It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, setingkat lebih tinggi daripada ilmunya sendiri sehingga dengan keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu pedang. Lui-kong Thian Te Cu memiliki khikang yang hebat, sehingga tiap kali mengeluarkan bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar dan mengacaukan permainan pedangnya. Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini memiliki tenaga dalam yang hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang selalu dapat memukul miring pedang di tangan Tan Beng Kui.
Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini. Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda itu seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya, karena dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu memiliki kecerdikan tinggi.
"Siaaattttt!" Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir, biarpun dia sudah berhasil mengelak, namun angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah me-nusuk ke arah perut.
"Siiiinggggg!" Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas sehingga dia terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirim tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.
"Omitohud, kau bosan hidup......." seru hwesio itu. Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tidak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak daripada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke arah pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar. "Plaakkkk.......!" Tan Beng Kui mengaduh, pedangnya terlepas dari tangan dan tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang, mukanya pucat sekali. Dia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga Iweekang dan yang telah merusak isi dadanya. Akan tetapi dia benar-benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka. Kedua tangan itu bertumbukan di udara, akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang.
Kagetlah hwesio ini, tidak disangkanya bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.
Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri.
Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.
"Criiiinggggg.......!" Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.
"Omitohud....... bukankah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San taihiap yang datang ini.......?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal lakilaki itu.
Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu. Dia tidak menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah. Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.
"Aduh, kau Beng San....... kau adikku....... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku......." Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa karena kembali dia muntahkan darah. Beng San cepat mengurut dadanya dan menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya dan dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.
"Beng San, adikku, terima kasih....... jangan kau mencampuri urusanku."
"Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu......."
"Tidak! Mereka adalah orang-orang kaisar yang hanya melakukan tugas dan aku....... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku.....
ahh....... Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu....... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai....... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha ! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan.......
anakku sudah pergi jauh....... tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha !"
Mendadak dia menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur.
Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.
"Beng San....... kau melupakan semua kesalahanku dahulu....... bagus, beginilah adikku sejati....... huh....... aku titip Loan Ki....... Loan....... Ki......."
Dan pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya ( baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas ).
Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian dia bangkit perlahan, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Kemudian terdengar suaranya, jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.
"Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran kepada Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.
"Omitohud.......!" Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san......"
"Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"
Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apalagi tadi sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa. Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar.
"Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah." Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya. Biarpun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di fihak yang salah.
Setelah tiga orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah kakaknya, mencarikan tempat yartg baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur kota raja, lalu menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.
Tubuh pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita tekanan batin yang hebat. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thaisan- pai dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah'"dan melarikan diri mencari Cui Sian. Dia sendiri sudah berkelana mencari jejak isteri dan menyelidiki tentang musuh-musuh yang telah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya. Dari beberapa orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum pernah dia dengar namanya karena tiga orang tokoh ini baru beberapa tahun saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian. Akan tetapi ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik seperguruan) Hek Hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Kalau mereka itu sumoi-sumoi dari Hek Hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka. Akan tetapi kiranya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain. Sukarnya, tidak seorang pun tahu di mana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu. Dia seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apalagi karena urusan di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada hubungan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh kaisar pertama Ahala Beng.
Demikianlah, secara kebetulan sekali, di luar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri Tan Beng Kui. Sayang dia terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San ragu-ragu untuk memasuki kota raja.
Kemudian dia teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya, timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya. Semenjak berpisah dengan kakaknya belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang lama. Loan Ki, Tan Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir kakaknya terngiang di telinganya. Ledih baik sekarang menyusul Loan Ki. Mengapa tidak?' Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah puteri seorang pendekar seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.
Berpikir demikian, Beng San lalu melompat dan berlari cepat sekali, menyusul keponakannya yang agaknya lari ke arah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh kakaknya. Ilmu lari cepat yang dipergunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng-kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambii melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja.
****** "Kanda Bun Wan.......!" Seruan girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget meiihat bahwa yang memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis dari Pulau Ching-coato itu! Pertemuan ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Dia berada jauh dari Ching-coa-to, di sebuah hutan di luar kota raja. Baru saja dia mengalami kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.
"Hui Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada di sini?" tanyanya, tersenyum dan mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja dan penuh cinta kasih itu.
"Kanda Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang." Hui Siang berkata manja. "Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara diam-diam? Aku kesepian di sana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bertemu di sini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun Wan?"
Bun Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Hui Siang, kau seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali ke sana menjemputmu?"
Hui Siang merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah. "Wan-koko, banyak sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahuntahun menderita karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang beleh dipercaya janjinya terhadap wanita."
"Hui Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?" Bun Wan berseru keras dan penasaran. "Sungguhpun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena kau yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa aku pun bersalah terlampau menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, aku keturunan tunggal dari Kunlun- pai, tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan kepadamu bahwa apapun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting."
"Kanda Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu, Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai."
"Tugasku berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi," kata Bun Wan halus karena dia terharu pula menya-sikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.
"Apalagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko. Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan."
Bun Wan menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajak duduk di tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding di atas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah melepaskan tangan kekasihnya.
"Hui Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku di sana. Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti di sana, daripada harus melihat kau terancam bahaya bersamaku."
"Tidak, aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekali pun asal bersamamu," kata gadis itu dengan nekat.
"Wah, repot kalau kau rewel begini," Bun Wan menggerutu, lalu berkata lagi sambil memandang wajah yang cantik itu, "Hui Siang, ketahuilah bahwa tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku akan menjadi lawan ibumu."
Agak kaget Hui Siang mendengar kata-kata ini. Ia balas memandang, agaknya tidak percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, ia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh, "Kalau sampai Ibu memusuhimu, aku pun akan berada di fihakmu."
Kembali Bun Wan menarik napas panjang, "Kau mana tahu urusannya ? Tidak ada urusan pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, semata-mata urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara."
Sambil berkata demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.
Sejenak Hui Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini adalah seorang mata-mata pemberontak! Betapa beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan tetapi ia segera menjawab mesra.
"Kau adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andaikata kau ternyata seorang utusan dari neraka sekali pun, aku akan tetap menyertai dan membantumu.
Aku tidak perduli urusan negara."
Bun Wan terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak keliru dia mencintai gadis int. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan pula, "Hui Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini.
Ketahuilah, semenjak dahulu aku adalah" keturunan orang-orang pejuang.
Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber pahlawan-pahlawan pejuang dan dahulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Oleh karena itu, Raja Muda Yung Lo yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai. Sekarang sedang terjadi pergolakan setelah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak untuk menggantikan kedudukan kaisar daripada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku dipiiih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di selatan dan mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal......"
Tiba-tiba pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang ke atas. Hui Siang juga memandang dan....... alangkah kaget hati mereka melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk di atas cabang pohon itu dengan kedua kaki tergantung. Kakek ini sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput, pakaiannya sederhana berwarna kuning sehingga kehitaman kulitnya makin nyata. Muka yang hitam itu hampir tidak kelihatan di antara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya. Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah. Kagetlah hati Bun Wan dan Kui Siang ketika melihat betapa kakek itu jatuh seperti sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu! Akan tetapi, kekagetan hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu mcnyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali ttdak bersuara seakan-akan kepala yang temyata gundul pacul itu terbuat daripada karet yang lembek dan lunak. Sejenak kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan kini dia berdiri di atas kedua kakinya.
Kiranya dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biarpun usianya sudah ada tujuh puluh tahun, namun mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau di balik kulitnya yang kehitaman ftu.
"Heh-heh-heh, orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga pcmberontak. Heh-heh-heh!"
Bun Wan cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kunlun- pai dicela, betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan bertanya.
"Locianpwe ini siapakah, dan apa dosanya Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai pemberontak ?"
"Heh-heh-heh, bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah pemberontak!" Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu adalah pemberontak. Kau sekarang hcndak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa, kau pun pemberontak. Dan akulah orang yang paling benci kepada pemberontak. Hayo kalian berdua pemberontak cilik ini menyerah, menjadi tawananku dan kubawa ke kota raja."
Sekarang Bun Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah mengasingkan diri. Biarpun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan ? Sementara itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya dimaki-maki. Ia seorang gadis manja yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat diandalkan karena mengandung racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amatlah ganas dan jahat, sedikit saja mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.
"Kakek hitam sombong, makanlah ini!" bentaknya dan sekali kedua tangannya bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.
"Ihh, ilmu keji !" Tiba-tiba kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat ke atas, tangan kirinya menyambar beberapa barang jarum dan dari tengah udara dia berseru, "Nih, kau makan sendiri jarum-jarum racunmu!"
Bukan main kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat menyambarnya. Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap di atas dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia menjadi pingsan.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menerjang kakek itu dengan pedangnya. Hek Lojin tertawa bergelak, meiayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Namun kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.
"Bagus!! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"
Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, malah beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening karena benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandang matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam. Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu. Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras, terguling roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.
"Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah mati di sini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas datangnya. Dia kaget dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua matanya.
"Kim-tiauw-ko, jangan serang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke atas tanah. Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan. Pagi hari itu, entah mengapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang, maka cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar