16 Raja Pedang

Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata."Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw." Lian Bu Tojin mengarigguk-angguk. "Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiamong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu.

Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-ong (Raja Obat) sayangnya..... hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang amat keji dan aneh itu." Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.

"Beng San, kau hendak ke mana?" tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.

"Ke mana lagi, Kwa-enghiong? Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta pertolongan Toat-beng Yok-mo.

"San-ko! Kau akan dibunuhnya!" seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.

Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit. "Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia tepat menyembuhkan Lim Kwi." "Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?" Lian Bu Tojin bertanya, mata kakek ini memandang kagum.

"Totiang, menolong orang lain dengaii pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?" Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.

Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.

"Siancai..... siancai..... selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia..... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah patut disebut seorang gagah!" Setelah berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.

* * * Kaki gunung sebelah utara itu amat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan rumput menghijau, di situ mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Di pandang dari lereng, kelihatan betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini, menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali.

Akan tetapi, setelah dia tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri.

Keadaannya memang indah, namun amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang melebihi sunyinya kuburan. Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin, kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau tak pernah terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu yang tak kunjung henti. Akan tetapi, kesunyian yang mencekam amat menyeramkan. Tak seekor pun burung kelihatan terbang, tak seekor pun binatang kelihatan berlari, bahkan tidak ada seekor pun jengkerik berbunyi. Tempat indah, namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk di mana hawa maut selalu mengancam yang hidup! Hanya sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah pondok kayu diantara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu. Makin dekat dengan pondok ia berjalan, makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah itu demikian sunyi. Di sepanjang jalan, banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, dia melihat banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka bintang besar kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang maha dahsyat. Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok.

Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan bau yang amat aneh menusuk hidungnya, bau yang luar biasa, disebut wangi ada bau tak enaknya, seperti bau obatobatan yang dimasak.

"Teecu Tan Beng San mohon bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-ong yang budiman, Beng San berseru tanpa mengerahkan khikangnya, dengan suara biasa saja.

Terdengar suara cekikikan di dalam pondok itu. "Hi..hi..hik! Tidak ada keturunan Yok-ong (Raja Obat) yang budiman di sini. Yang ada Setan Obat, sama sekali tidak budiman! Hi..hi..hik!" Suara itu menyeramkan sekali dengar di tempat sesunyi itu.

"Teecu mohon pertolongan locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat teecu yang terluka dan terkena racun." Kembali suara ketawa seperti tadi, disusui kata-kata yang parau, "Tidak ada Setan Obat penolong nyawa di sini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa (Toat-beng Yokmo)! Hi..hi..hik!" Mendongkol hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.

"Kalau begitu, biarlah teecu mohon bertemu dengan Toat-beng Yok-mo untuk bicara." Pintu pondok yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit dan seorang kakek bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan uap. Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, namun kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya kakek buruk rupa ini.

Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang kepada Beng San yang masih berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh Bun Lim Kwi yang pingsan.

"Hi..hi..hi, orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak bertemu. Apa kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?" la menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia? "Toat-beng Yok-mo locianpwe, aku datang untuk mohon pertolonganmu mengobati temanku yang sakit ini," kata Beng San.

"Goblok! Siapa mau mengobati? Aku hendak mengambii jantungmu dan jantung temanmu itu, mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa?" Orang itu tertawa-tawa.

Beng San memutar otaknya. Jelas baginya sudah bahwa orang ini kalau bukan orang yang luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Melihat sikap dan kata-katanya, tentu orang ini amat sombong dan mengandalkan kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan hatinya.

"Hemmm, kiranya aku salah alamat. Kau bukanlah Yok-mo seperti yang didengungdengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali tidak becus mengobati orang. jangan kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama keturunan Yok-ong. Tak tahu malu.

Mata kanan yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri makin sipit, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.

"Orang muda, aku memang keturunan Yok-ong dan akulah Toat-beng Yok-mo Mengobati orang ini saja apa susahnya? Dia terkena racun kelabang yang dipergunakan orang di ujung senjata rahasia. Tentu dia terluka di punggungnya.

Kemudian...." la mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi, kemudian ditambah lagi dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun memasuki perutnya, juga memasuki tubuh melalui luka. Hih, tiga hari lagi dia bakal mampus!" Sampai ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. la mulai percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan.

Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim Kwi. Tapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.

"Ah, kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit orang. Tapi aku tetap tidak percaya kalau kau bisa mengobati penyakitnya.

Apalagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!" Kakek bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali. "Anak setan! Jangankan baru sakit macam ini, orang mati pun aku bisa bikin hidup lagi!" "Uhhh, siapa percaya omongan ini? Kalau kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan Yok-ong yang pandai seperti dewa. Tapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka.

"Bawa dia masuk, bawa dia masuk..... buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu singkat Toat-beng Yok-mo menyembuhkannya sama sekali!" bentak kakek itu sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu.

Diam-diam Beng San tersenyum girang. Akalnya telah berhasil. Segera dia melangkah masuk ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga sinar matahari dapat menyinar masuk. Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang-tulang, daun kering, akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok terdapat sebuah dipan bambu.

"Letakkan di sini!" Beng San menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa.

Akan tetapi, kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan langsung saja dia membuka pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar yakni merobek baju yang dipakai Lim Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis. Dengan kasar juga kakek ini membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup.

Sebentar dia memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat dari emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, kakek ini lalu menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak sepanjang punggung dan di antara tulang iga.

Beng San memandang penuh perhatian dan kagum melihat cara kakek itu menusuknusukkan jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah tertentu.

Kemudian kakek bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat ke depan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi, melangkah mundur lagi, melompat menotok lagi lain jalan darah berkali-kali.

Makin lama makin cepat dia bergerak sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh Lim Kwi. Setelah melakukan totokan-totokan selama setengah jam dia terengah-engah dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap. Dengan lemas dia lalu mencabuti jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi telentang.

Beng San berdebar kagum. Muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah seperti tadi.

Setelah beristirahat sejenak, kakek bongkok itu menggunakan jarum-jarumnya menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, kini dibagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok terus-menerus dengan gerakan cepat.

Setelah selesai dan mencabuti semua jarum, kakek itu terengah-engah menghadapi Beng San, lalu berkata parau, "Hi..hi..hik, kau lihat? Penyakitnya sudah sembuh, sebentar lagi semua racun di badannya keluar!" Beng San, masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanyalah cairan racun dan seluruh tubuhnya seakan-akan mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya! Dengan tenang kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus memasuki perut. Tak sampai sejam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya merah dan membuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.

"Saudara Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa Toat-beng Yok-mo keturunan Yok-ong!" seru Beng San girang bukan main. Akan tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat kakek itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawatawa, "Eh, eh..... kau mau apa dengan pedang itu?" Beng San bertanya dan merasa seram.

"Hi..hi..hik! Toat-beng Yok-mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa Aku mengobati untuk bertanding dengan penyakit, bukan untuk menyembuhkan or. Siapa yang sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati, sekarang aku mencabut nyawa, hi..hi..hik, nyawamu dan nyawa dia." "Kakek yang baik, kenapa begitu? Mengobati orang sakit memberi pertolongan dan ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong! Adapun urusan mencabut nyawa, kurasa ini bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-lo-ong (Raja Maut) berhak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari bahaya maut, kenapa hendak membunuhnya?" "Hi..hi..hik, belum pernah ada orang kusembuhkan lalu kubiarkan hidup. Tidak terkecuali dia ini." "Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kaubunuh dia." "Hi..hi..hik! Aneh, aneh..... tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan harus kauberikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku mendeorang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?" Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.

Beng San tenang-tenang saja, tersenyum berkata, "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locian-pwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka takkan kulakukan Setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa." Ucapan terakhir dari Beng San. Ini rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu. "Baik, boleh..... aku berjanji takkan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!" "Kauambillah sendiri kalau dapat!" jawab Beng San, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.

"Hi..hi..hik, orang muda yang aneh, yang sinting....." Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Tiba-tiba Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.

"Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!" Ternyata dari gerakangerakannya pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.

"Hi..hi..hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?" "Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, sudah mengobatimu tadi," kata Beng San mencegah.

"Aku tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!" "Hi..hi..hik, anak Kun-lun-pai, hi..hi..hik. Biarlah aku mencoba sampai di mana kehebatan latihan dari Pek Gan Sian-su si mata putih!" Sambil berkata demikian kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar. "Mari, mari sini orang muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi..hi..hik!" Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.

"Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Kalau kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kaucobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu.

Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?" "Hi..hi..hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku? Hi..hi..hik, kausambutlah ini." Biarpun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget, akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak dan membalas dengan serangan yang tak kalah dasyatnya..

Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biarpun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya takkan mungkn dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak. Bingung dia menghadapi penstiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. la memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana? Kakek itu betapapun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi dari cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tidak ingat akan budi kebaikan orang? Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi melawan untuk menolongnya, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali dan pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apabila keselamatan pemuda itu terancam.

Bun Lim Kwi benar-benar sudah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan pertaruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan dia pun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini. la merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi kagum akan pandangan gurunya yang tepat tentang dir Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biarpun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa besarnya scdangkan ilmu silatnya juga amat aneh.

Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu tertawa-tawa selalu dan seakanakan mempermainkan Lim Kwi. Dengan penasaran pemuda ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas! "Hi..hi..hik! Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?" Kakek itu tertawa mengejek dan memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka. Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seprang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang.

Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-lek-ciang-hoat yang dia miliki makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya amat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.

"Yok-mo, jangan bunuh dia.....!" Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, kemudian menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata, "Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!" Biarpun hanya merupakan dua tepukan perlahan, namun sebenarnya Beng San mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus ke arah kedua lengannya. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang le»ngan yang saling tempel itu terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak. Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling di atas lantai, pingsan! Tadi dia mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah tiba-tiba tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan.

Adapun kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.

"Ayaaa.....!" seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main. Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap langsung menyerang kakek bongkok.

Toat-beng Yok-mo mengeiuarkan suara menggereng keras dan hanya dengan menggulingkan tubuh di atas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu. Gadis itu melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya! Adapun Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. la memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dulu, yaitu Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya, dia maklum bahwa kalau Song-bunkwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.

Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu. Keduanya seperti terpesona. Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu... Bi Goat, si bocah gagu! "Bi Goat.....??" Beng San setengah berlari menghampiri.

Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.

"Bi Goat..... benar kau Bi Goat " katanya dengan napas memburu.

Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu! "Bi Goat...... ah, tak dinyana kita bertemu di sini..... kenapa kau begini sedih? Kenapa? Dan kau..... kau berkabung? Bi Goat, apa yang terjadi.....?" Beng San bertanya dengan suara gemetar. Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpi, yang tak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.

"Bi Goat...... anak baik, sayang..... jangan menangis....." Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung.

Seingatnya, Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih? Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati? Teringat akan ini, makin sedih dan terharu hatinya dan dipeluknya gadis itu penuh kasih sayang.

Bi Goat mereda tangisnya, lalu diambilnya sehelai saputangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikanya saputangan sutera putih itu kepada Beng San. Di atas saputangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi : Kau hanyut .......

sungai membawamu pergi jauh, entah mati ataukah masih hidup.

Aku berkabung untukmu.....

sampai kita bertemu kembali, entah di dunia ataukah di akherat.

Membaca tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya, "Bi Goat, alangkah muha hatimu..... alangkah suci cinta kasihmu....." Sampai lama dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah.

Tiba-tiba Bi Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, tertawa-tawa dengan mata masih basah air mata, dipandangnya Beng San dari atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa ia betul-betul telah bertemu dengan Beng San! Sikap kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya.

Kemudian Bi Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja di situ dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-beng Yok-mo.

Entah apa yang dilakukan di dalam, akan tetapi ketika ia keluar kem-bali ternyata ia telah berganti pakaian! Buntalan kecil yang tadi menempel di punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna merah berkembang-kembang indah sekali yang kini dipakainya sebagai pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling berpegang tangan dan saling berpandangan.

"Kau jelita, Bi Goat..... kau hebat....", hanya demikian Beng San dapat berkata lirih.

Bi Goat tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan dapat dirasakan oleh mereka berdua.

"Bi Goat, bagaimana kau bisa datang ke sini dan mengapa kau memusuhi Toat-beng Yok-mo?" Beng San bertanya.

Mendengar ini, Bi Goat seperti kaget seperti baru teringat akan hal penting. Ia menarik tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk ke atas tanah. Ternyata ia menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.

"Kami tinggal di lereng Min-san. Aku harus mengejar Yok-mo. Kita pasti akan bertemu kembali. Selamat berpisah!" Demikianlah bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu merangkul lehernya sekali, tertawa lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.

"Bi Goat.....!" Beng San hendak mengejar akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh. Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit berdiri.

"In-kong (Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita....." kata Bun Lim Kwi sambil menjura dengan hormat. "Tadi ada seorang gagah menolongku, di manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?" Melihat sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas dan berkata, "Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya kalau manusia hidup di dunia ini saling tolongmenolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan? Kalau kita berbicara tentang pertolongan, takkan ada habisnya. Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-mo menolongmu pula, lalu kau juga menolongku dari an-caman Yok-mo, yang kemudian sekali pendekar wanita murid Song-bun-kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San..... eh, Tan Beng San." Bun Lim Kwi nampak terheran-heran. "Murid Song-bun-kwi.....? Sungguh aneh, bagaimana muridnya mau menolongku.... " Beng San tidak suka banyak bicara tentang Bi Goat, maka dia segera membelokkan percakapan, "Saudara Bun, aku mendapatkan kau menggeletak di hutan dalam keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu? Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali. "Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia....." "Dia siapakah?" Kembali pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang. "Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san, suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku..... hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas susiokku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh mendiang ayahku dan pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh....." Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali. "Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah..... dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini." Beng San mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa temyata sekarang bukan Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap mempergunakan senjata rahasia mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada nona itu, maka dia senang mendengar bahwa bukanlah gadis itu yang melakukan penyerangan curang dan keji.

"Tentu ada orang ke tiga yang berbuat curang," katanya. "Saudara Bun, aku melihat kau menggeletak di hutan itu. Kubawa kau kembali ke Hoa-san dan Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan ular-ular pemberian Giam Kin.

Celaka sekali, ular-ular itu sama sekali bukanlah Ngo-tok-coa yang mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya setelah diobati dengan ular-ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah menipu Hoa-san-pai." Tercengang juga Bun Lim Kwi mendengar ini. "Ah, memang tepat sekali wawasan suhu..... sebenarnya Hoa-san-pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh masih mereka usahakan untuk menolong..... hemmm, kenyataan ini makin menguatkan hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio Eng....." "Tapi akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin....." "Tidak, saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak melakukan kebaikan terhadap Kun-lun-pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi untuk mencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid Kun-lun-pai juga. Aku hanya mohon petunjuK-petunjukmu." Beng San tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan suhunya agar supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya seorang sastrawan muda yang berhati mulia dan yang sudah memberi pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawa. Tentu saja Beng San terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta petunjuknya.

"Saudara Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah? Hanya kuharap saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu sudah membuktikan bahwa kau diincar oleh inusuh-musuh gelap. Kwee Sin menurut kabar telah memihak pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka mencari dia sama artinya dengan memasuki gua harimau dan lubang naga. Apalagi kalau diketahui bahwa kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menangkap Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya." Bun Lim Kwi menjura dan memberi hormat. "Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu.

Semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan perjalanan." Beng San menjadi makin suka kepada pemuda Kun-lun-pai yang amat sopan dan merendah ini. Diam-diam dia membenarkan diri sendiri yang hendak memenuhi pesan terakhir dari ayah pemuda ini. Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya lebih lama lagi karena pemuda ini masih selalu gelisah kalau memikirkan perginya Bi Goat yang mengejar Toat-beng Yok-mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-cu Siang-kiam dan di sana masih ada orang yang dia duga adalah kakaknya dan yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula. Apalagi sekarang muncul Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-beng Yok-mo, dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.

Dengan cepat Beng San lari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam dia tidak melihat bayangan gadis itu maupun bayangan Toat-beng Yokmo.

Tentu dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain. Beng San kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, pertemuan yang hanya sebentar itu tldak mencukupi baginya. Aku harus ke sana pikirnya. Harus ke Min-san.

la teringat akan Song-bun-kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah orang sakti itu selalu memusuhinya? Malah bermaksud membunuhnya kalau tidak dapat merampas Im-sin Kiam-sut? Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu. Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-bun-kwi, asal dia bisa dapat bertemu dengan Bi Goat! "Ah, tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia? Setelah semua tugas selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat," Setelah mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi Goat. Urusan merampas kembali Liong-cu Siang-Kiam bukanlah urusan yang terlalu mendesak, tidak perlu dia tergesa-gesa. Akan tetapi urusan mencari Kwee Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang kakakfiya, Tan Beng Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki kota raja.

Kwee Sin kabarnya bekerja sama membantu Ngo-lian-kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol, adapun orang yang dia duga kakaknya itu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan penyelidikan untuk mencari Kwee Sin.

* * * Perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap pemerintah penjajah makin lama makin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Di seluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan oleh para petani di bawah pimpinan orang-orang gagah. Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama makin besar, makin lama makin menjalar dekat kota raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik di pihak pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.

Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggir kota raja sebelah selatan.

Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat kota raja. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semenjak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang hebat.

Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugas masing-masing. Semacam perang rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu amat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini.

Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar. Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki kota raja. Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk.

Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu orang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.

Adapun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah baang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja.

Tiga orang itu segera bangkit dah memandang ke arah dua buah kepal itu penuh perhatian. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah Mongol yang kuasa di kota tak jauh dan situ. segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkanlam keranjang lalu dia berkata, "Lebih dulu kusingkirkan kepala anjing ini." Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.

Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.

"Tentulah ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?" tanya pengemis itu.

Dua orang kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, "Benar, siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan." Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali ia mengomel, "Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tidak menyamar?" Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkala, "Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, bagus sekali, akan tetapi bagaimana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?" Nenek itu kelihatan terkejut. "Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali.

Apakah penyamaranku kurang sempurna?" Suara nenek itu yang tadinya parau dan gemetar seperti suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda.

Phang Khai tertawa. "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata? Sudahlah, andaikata anjing-anjing Mongol mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa? Ha..ha..ha!" Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela, "Ucapan Phang-twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya tidak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh.

Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh takkan ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan dengan rahasia agar jangan sampai gerakan kita ini terbongkar. Seorang saja tertangkap bisa membahayakan seluruh anggota gerakan. Bukankah celaka kalau begini? Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada "tentara Mongol" itu, lalu Phang Tui menjura. "Betul sekali ucapan ini," katanya kagum.

Phang Khai tiba-tiba berkata, "Saudara, maafkan aku!" Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut . orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini, akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru, "Phang-twako harap jangan main-main!" Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak. "Aha, kiranya Bouwenghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabuhi musuh!" Orang itu tertawa. Memang dia ada tan Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kangjiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai menyerangnya untuk memancing ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan, segera Phang Khai dapat mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.

"Bagus, Phang-twako memang cerdik", kata Bouw Hin sambil tertawa. "Tapi Phangtwako tentu belum mengenal dia ini." Ia menuding kepada pengemis tadi. "Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she Lim." "Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-bun?" kata Phang Tui Pengemis itu berdiri dan menjura. Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam." Nona yang menyamar sebagai nenek itu berkata, "Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu urusan penting apakah yang hendak ji-wi sampaikan kepada Si-enghiong?" "Hemmm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjump asendiri dengan Sienghiong," kata Phang Khai.

"Nenek" itu mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya. "Phang-lopek apakah tidak pernah mendengar dari teman-teman bahwa ada hal yang amat tidak mungkin orang menemui Si-enghiong? Si-enghiong, seperti juga Sam-enghiong (pendekar ke tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di kota raja ini, karena hal itu amat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar rahasia pribadi Sam-enghiong dan Si-enghiong, akan rusak binasalah semua usaha kita yang berjuang di bawah tanah di kota raja ini. Segala kepentingan harap Lopek beritahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghubungi Si-enghiong." Phang Khai menghela napas. "Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan yang amat penting." la tampak ragu-ragu.

Melihat keraguan ini, Kang-jiu Bouw, Hin yang berpakaian tentara Mongol itu herkata, nada suaranya tegas, "Siapa pun juga jangan harap dapat bertemu dengan Sienghiong, malah aku sendiri pun tidak pernah bertemu dengannya, apalagi melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut kepentingan perjuangan, lekas ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini. Kalau berkeras hendak menemui Si-enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa pergi lagi saja." Biarpun katakatanya keras, akan tetapi lucu juga nenek yang nyata-nyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai "nyonya Liong".

Phang Khai menjad! merah mukanya. "Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama tentang pertemuan antara Hoa-sanpai dan Kun-lun-pai di puncak Hoa-san. Kami berdua menghadiri pertemuan itu dan....." Nyonya Liong tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih berjajar rapi. "Phang" lopek tak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-enghiong sendiri juga hadir dalam pertemuan itu." Dua orang saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-enghiong, pemimpin ke empat dari pasukan mata-mata di kota raja. Mungkin dia bersembunyi di antara rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.

"Ah, kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi," kata Phang Khai.

"Sekarang soal ke dua. Aku ingin memberitahukan tentang kedudukan teman-teman seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang sekarang sudah mendapat kemajuan memperluas gerakan pemberontakan di sepanjang Sungai Huang-ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan saudara Tan Hok sudah mendekati kota raja dari pergerakannya sepanjang Sungai Yang-ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan membutuhkan bantuan segera." Nyonya Liong mengangguk-angguk. "Sebagian besar beritamu sudah kami ketahui.

Gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja memang sengaja dijadikan umpan agar musuh mengerahkan tenaga ke sebelah sana. Kalau sudah tiba saatnya, pasukanpasukan kita dari selatan dan timur akan menyerbu." Phang Khai kagum sekali. "Ah, sama sekali tak pernah kusangka bahwa kalian dapat bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kausampaikan kepada Si-enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu di mana kami dapat menemukannya. Kami percaya bahwa Sam wi (saudara bertiga) sudah pasti akan dapat memberi petunjuk." Nyonya tersenyum dan memandang tajam. "Tentu saja kami tahu di mana murid Kun-lun-pai itu yang sekarang sudah menjadi pembantu pemerintah dan bekerja sama dengan orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi, pada saat seperti sekarang ini, di mana tenaga semua rakyat dibutuhkan untuk perjuangan menghalau penjajah, bagaimana Ji-wi masih ada kesempatan untuk mencampuri sggala urusan pribadi? "Keliru...... keliru pendapat seperti itu!" Phang Tui yang sejak tadi membiarkan kakaknya bicara mewakili mereka berdua, sekarang berkata dengan sungguhsungguh.

"Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai bertengkar terus sampai-sampai tidak ada waktu membantu kita. Semua ini gara-gara si Kwee Sin seorang. Kami berdua berpendapat bahwa apabila kami dapat menangkap Kwee Sin, mati atau hidup dan membawanya ke Hoa-san, tentu pihak Hoa-san maupun pihak Kun-lun akan menghabisi permusuhan mereka dan apabila dua golongan itu sudah berdamai lalu suka membantu kita, bukankah pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang amat berguna bagi perjuangan?" Nyonya Liong mengangguk-angguk sedangkan dua orang temannya juga menyatakan kebenaran ucapan Phang Tui. Jadi ji-wi berkeras hendak menangkap Kwee Sin lebih dulu?" Ketika dua orang kakek petani itu mengangguk, Nyonya Liong lalu berkata, "Baikiah kalau begitu. Tempat tinggal Kwee Sin adalah di gedung ke lima sebelah barat perempatan jembatan Naga, rumah yang di atasnya ada hiasan ukiran naga. Harap jiwi berhati-hati karena selalu dia bersama dengan ketua Ngo-lian-kauw yang berkepandaian tinggi. Ji-wi kerjakan dulu maksud hati ji-wi, setelah itu baru kita mengadakan pertemuan lagi, tiga hari kemudian pada waktu seperti ini dan bertempat di sini pula dan pada waktu itulah saya akan menyampaikan tugas-tugas baru bagi jiwi.

Nah, selamat berpisah." Mereka berpisah dan keluar dari rumah secara diam-diam. Hanya nyonya Liong dan Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara itu keluar secara biasa saja, dari pintu depan tanpa ada yang menaruh curiga. Ketika dua orang saudara Phang itu melompat ke dalam gelap keluar dari tembok yang mengeliingi rumah, mereka melihat bam berkelebat di dekat mereka. Mereka kaget, akan tetapi bayangan itu berbisik, "Selamat sampai bertemu kembali, ji-wi Phang-twako." Ternyata bayangan itu adalah si pengemis tadi, yaitu Kim-mouw-sai Lim Seng yang cepat meloncat ke kiri dan menghilang di dalam gelap. Dua orang saudara Phang itu kagum karena ginkang dari orang she Lim itu ternyata hebat juga.

* * * Lima orang rahasia yang berkumpul dan mengadakan pertemuan rahasia di malam hari itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-gerik mereka telah diintai oleh Beng San. Pemuda ini dalam usahanya untuk mencari Kwee Sin, telah pula sampai di kota raja dan kebetulan sekali bermalam di rumah penginapan sederhana itu. Malam tadi secara kebetulan dia yang berada di kamarnya mendengar desir angin yang hanya terdengar oleh seorang yang memiliki Iweekang setinggi dia. la kaget dan tahu bahwa ada orang mempergunakan ilmu ginkang bergerak di luar rumah, maka cepat dia keluar dari kamarnya secara diam-diam dan melihat dua bayangan berkelebat, yaitu bayangan dua orang saudara Phang. Demikianlah, secara diam-diam dia mengintai dan mendengar segala percakapan yang dilakukan oleh lima orang itu.

Hatinya kagum bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa lima orang itu adalah pejuang-pejuang, orang-orang gagah seperti Tan Hok yang rela mengorbankan nyawa demi perjuangan bangsa menghalau penjajah. Akan tetapi, lebih girang lagi hatinya karena tanpa sengaja dia mendapat petunjuk di mana dia bisa mencari Kwee Sin.

Malam berikutnya Beng San sudah mengikuti lagi perjalanan dua orang sau-dara Phang yang menuju ke rumah gedung Kwee Sin seperti yang telah ditunjuk oleh nyonya Liong pada kemarin malam. la mengenal dua orang ini sebagai tamu terhormat di Hoa-san-pai, maka diam-diam dia tidak mau mengganggu mereka.

"Betapapun juga, mengajak Kwee Sin ke Hoa-san-pai adalah tugasku," pikimya.

"Aku yang sudah berjanji dan akulah yang harus memenuhi janji itu." Dengan ginkang mereka yang sudah tinggi, dua orang saudara Phang itu dapat memasukt halaman rumah gedung itu dengan mudah. Mereka melompati pagar tembok dan merasa girang karena ternyata rumah gedung ini tidak ada yang menjaga.

Di lain saat mereka sudah mengintai ke sebuah kamar di mana duduk seorang lakilaki yang tampan dan gagah, berusia tiga puluh tahun lebih, wajah yang tampan itu angker dan agung, sedang menulis sesuatu di atas meja. Tak jauh dari situ duduk pula seorang perempuan cantik berpakaian mewah, memandang kepada laki-laki itu sambil tersenyum dan mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Laki-laki itu bukan lain adalah Pek-jiu Kwee Sin, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jago muda Kun-lun-pai yang telah mengakibatkan keributan antara Hoa-san dan Kun-lun.

Adapun perempuan cantik yang pesolek dan bersikap genit itu bukan lain adalah Ngolian- kauwcu (ketua Ngo-Lian kauw) yang berjuluk Kim-thouw Thian li (Dewi Kepala Emas) dan yang oleh Kwee Sin dikenal dengan nama Coa Kim Li gadis yang telah merayu dan merobohkan hatinya "Sin-ko (kanda Sin), Kim-thouw Thian-li berkata dengan suara merdu, "malam ini kau harus menemani aku. Di rumah amat sunyi, jangan kau sibuk dengan pekerjaanmu. Tak usah kau membanting tulang, para pembesar sampai hong-siang (kaisar) sendiri cukup maklum betapa besarnya jasamu kepada pemerintah." "Aku banyak pekerjaan, Li-moi (adik Li). Biarlah besok siang kalau aku pulang dari kantor, aku akan mengunjungi rumahmu. Kau seorang ketua perkumpulan besar seperti Ngo-lian-kauw, bagaimana bisa kesepian?" Kwee Sin tertawa dan menunda tulisannya.

"Biarpun ada seribu orang teman, mana bisa dibandingkan dengan kau?" Coa Kim Li berkata genit lalu menarik bangkunya mendekat.

Pintu kamar terketok dari tuar. Cepat-cepat Kim-thouw Thian-li menjauhkan lagi bangkunya. Ketika pelayan masuk Kwee Sin sudah bersikap keren seperti tadi.

"Kwee-ciangkun, di luar ada Lee-siocia (nona Lee) mohon menghadap Ciangkun (Panglima)," pelayan itu dengan sikap hormat dan tanpa mengangkat muka memberi laporan.

"Baik, minta nona Lee masuk ke ruangan ini," jawab Kwee Sin. Pelayan itu memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan.

"Huh, Sin-ko, awas kau kalau di belakangku kau berani main gila dengan nona muda itu!" tiba-tiba Kim-thouw Thian-li berkata lirih, matanya bersinar penuh cemburu.

Kwee Sin tersenyum pahit. "Kim Li-moi apa-apaan cemburu ini? Kau tahu aku bukan..... bukan mata keranjang dan kau tahu pula bahwa Lee-siocia adalah seorang yang mendapat kepercayaan semua panglima di kota raja, juga lihai ilmu silatnya.

Pertemuanku dengan dia tentu hanya berhubung pekerjaan, mengapa kau menyangka yang bukan-bukan? Dia datang, kau pun di sini, boleh kausaksikan sendiri apa yang hendak dia sampaikan kepadaku!" "Huh, biar dia lihai, siapa takut padanya? Dan siapa sudi bertemu dengannya? Melihat mukanya yang muda, jangan-jangan timbul seleraku untuk mencakar mukanya! Aku akan bersembunyi di belakang pintu, awas kau, sekali saja kau dan dia main gila, kalian akan kubunuh! Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya berkelebat menghilang di balik pintu samping. Kwee Sin menarik napas lega, wajahnya nampak girang dan tersenyum ketika pintu depan terbuka dan seorang nona berpakaian kuning berjalan masuk.

"Nona Lee, kau membawa kabar penting apakah?" Kwee Sin menyambut kedatangan nona ini dengan suara nyaring. "Apakah kali ini kau diutus oleh Pangeran Souw? Ataukah Tan-ciangkun yang mengutusmu?" Nona berpakaian kuning itu amat dikenal di kalangan atas kota raja. Dia bernama Lee Giok, puteri seorang bangsawan di kota raja. Usianya baru sembilan belas tahun, wajahnya yang antik itu nampak muram dan seperti diliputi kesedihan, matanya tajam dan gagang pedang menonjol di pinggangnya. Biarpun ia masih muda, namun ia sudah terkenal sebagai seorang yang amat berjasa dalam menindas kaum pemberontak berkat ilmu silatnya yang tinggi dan otaknya yang cemerlang.

Menghadapi pertanyaan Kwee Sin, nona itu menghela napas, memandang kepada Kwee Sin dengan matanya yang tajam, lalu katanya perlahan, "Kwee ciangkun, kalau memang Kim-thouw Thian-li sudah berada di sini, mengapa ia bersembunyi dan mengintai? Kuharap Ciangkun suka mempersilakan dia keluar karena kedatanganku ini toh bukan hendak mengadakan pertemuan yang bukan-bukan!" Tentu saja Kim-thouw Thian-li kaget sekali. Akan tetapi dia pun seorang wanita yang cerdik. Dengan tenang ia muncul dari balik pintu dan tertawa. "Hebat benar kecerdikan nona Lee! Tadi memang saudara Kwee dan aku sengaja hendak menguji kecerdikanmu yang sudah lama kudengar dibicarakan orang, kiranya benar-benar kau cerdik. Hanya aku yang tolol, tidak ingat bahwa kepergianku dari sini meninggalkan ganda harum. Ehm, benar lihai!" Diam-diam nona itu, Lee Giok terkejut juga. la dipuji cerdik, akan tetapi ketua Ngolian- kauw itu dengan sendirinya telah pula membuktikan bahwa otaknya tidak kalah cerdiknya. Memang tepat sekali kata-katanya tadi, dia dapat mengetahui bahwa Kimthouw Thian-li baru saja meninggalkan ruangan itu karena tercium olehnya ganda harum seperti yang biasa ia cium kalau ia bertemu dengan ketua Ngo-lian-kauw itu.

Setiap orang wanita sudah tentu memiliki kesukaan masing-masing tentang wangiwangian yang dipakainya dan wangi-wangian yang dipakai oleh Kim-thouw Thian-li mempunyai ganda yang khas.

"Kwee-ciangkun, kedatanganku tidak lain hanya untuk menyampaikan peringatan kepadamu. Ada berita sampai kepadaku bahwa pada waktu ini di kota raja datang dua orang saudara Phang dari Hun-lam yang sengaja mencari Kwee-ciangkun dan hendak memaksa Kwee-ciangkun, mati atau hidup, ikut pergi ke Hoa-san." Berubah wajah Kwee Sin mendengar berita ini. "Nona, apakah kaumaksudkan Phang Khai dan Phang Tui Sepasang Naga dari Hun-lam?" katanya setengah berbisik. Nona itu mengangguk, wajahnya nampak makin murung lalu ia membalikkan tubuh berkata.

"Tugasku sudah selesai, Ciangkun. Aku tak dapat lama-lama di sini, khawatir kalaukalau membuat orang lain mendongkol saja." Tanpa melirik kepada Kim-thouw Thian-li yang disindirnya itu, nona ini segera keluar dari ruangan itu dengan langkah ringan dan cepat sekali.

"Hi..hi..hi, baru mendengar ada dua orang tua bangka dari Hun-lam datang saja, kan kelihatan gelisah?" kata Kim-thouw Thian-li.

Li Moi, jangan kauanggap ringan dua orang kakek itu. Nama besar Phang-hengte (kakak beradik Phang) dari Hun-lam sudah lama kudengar. Aku memang tidak takut, hanya sebab-sebab mengapa mereka hendak menangkapku inilah yang menggelisahkan hati." "Sin-ko, mengapa kau begini bodoh? Mudah sekali diduga. Mereka tentulah bergabung dengan para pemberontak maka hendak memusuhimu, atau mungkin sekali mereka itu disuruh oleh perempuan she Liem yang tak tahu malu itu untuk ....".

"Li-moi, kau berjanji takkan menyebut-nyebut namanya!" Tiba-tiba Kwee Sin berkata, jidatnya berkerut tak senang.

"Hi..hi..hi, sudahlah. Hanya dua ekor anjing tua dari Hun-lam itu untuk apa diributkan? Biarkan mereka datang, masih ada aku di sini, mereka bisa berbuat apa terhadap dirimu?" Phang Khai dan Phang tui adalah dua orang kakek ternama di Hun-lam. Tentu saja mendengar mereka dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, mereka tak dapat menahan kemarahan mereka, lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

"Kwee Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-lam datang untuk menjemput kau ke Hoa-san!" kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-thouw Thian-li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah.

Kwee Sin juga berdiri dan menjawab, "Ji-wi Phang-enghiong, dengan maksud apakah ji-wi hendak mengajak siauwte pergi ke sana?" "Murid Kun-lun-pai yang murtad. Kau menjadi biang keladi permusuhan antara Hoasan- pai dan Kun-lun-pai. Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu terhadap Hoa-san-pai!" kata Phang Tui tak sabar lagi.

Kwee Sin menghela napas. Ji-wi Phang-enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku, harap ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat ji-wi adalah tokoh-tokoh terkemuka dan Hun-lam, maka siauwte persilakan ji-wi pergi dengan baik-baik." "Setan, siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mmbawamu ke Hoasan, hidup atau mati. Tui-te (adik Tui), kautangkap dia, biar aku menjaga siluman ini!" Phang Tui maju menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-na-jiu-hoat, kedua lengannya bergerak-gerak dan yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di leher. Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke belakang dan memutar lengan untuk menangkis. Tentu saja jago muda Kun-lun-pai ini tidak mau membiarkan dirinya ditangkap begitu saja.

Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang amat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai saputangan merah yang panjang. Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi maka sekali dia menggereng, dia telah Melakukan penyerangan dengan pedang di tangan. Meiihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan gojoknya "Traaanggg.....!" Phang Khai melompat mundur selangkah sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yangkang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, eh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hatihati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mendesak.

Ilmu pedang dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilmu pe-dang Hoa-sanpai, hanya sudah banyak perubahan. Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoasan- pai, dua orang kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu Hoa-san-pai. Seperti juga ilmu pedang Hoa-san-pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya bedanya kalau ilmu pedang Hoa-san-pai mengutamakan tenaga Im, adalah sebaliknya ilmu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang. Ketua Ngo-lian-pai itu, Kim-thouw Thian-yi, adalah murid dari Hek-hwa Kuibo, tentu saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kimthouw Thian-li telah hidup dalam kesenangan, selalu menurutkan nafsu mengejar kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga dalamnya. Sekarang menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biarpun tidak akan kalah dalam waktu singkat, juga amat sukarlah untuk mencapai kemenangan. Pertempuran ini berlangsung makin hebat di ruangan itu.

Kwee Sin juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan mempergunakan ilmu yang amat dia andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-na-jiu. Siapa kira, Kwee Sin selalu dapat membuyarkan ilmu ini de-ngan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu, semacam ilmu pukulan Kun-lun-pai yang amat dahsyat. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu didesak mundur oleh pukulan Pek-lek-jiu, bahkan dia sendiri yang terancam bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang Kun-lun-pai, maka pertempuran ini pun hebat sekali.

Tiba-tiba Kim-thouw Thian-li mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.

"Li-moi, jangan mencelakai mereka....." Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring, ""Ji-wi Phang-enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah ji-wi (kalian) dengan aman!" Akan tetapi dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau berhenti setengah jalan? Mereka malah mendesak makin hebat dalam usaha mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati! Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kinri-thouw Thian-li tadi. Kiranya suitan itu adalah tanda rahasia bagi ketua Ngo-lian-kauw untuk memanggil anak buahnya. Di mana ketuanya berada di situ pasti berkeliaran banyak pembantupembantunya yang setia, maka pada saat itu, belasan orang tokoh Ngo-lian-kauw memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal KweeSin, siap untuk rmenghadap sewaktu-waktu ketua mereka memanggil.

Akan tetapi kali ini biarpun Kini-thouw Thian-li bersuit sampai tiga empat kali, tidak seorang pun anak buahnya muncul. la menjadi marah bukan main akan tetapi juga gelisah. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang kakek itu datang dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar! Cepat dia mengeluarkan sebuah saputangan yang teraneka warna, saputangan sutera yang berbau harum sekali. Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke arah lehernya. Kim-thouw Thian-li membuang tubuh ke kiri karena tidak sempat menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang mencabut keluar saputangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum menyambar, Phang Khai mencium ganda yang luar biasa harumnya, seketika kepalanya pening, pandang matanya berkunang.

"Celaka....." la berseru dan berusaha mengerahkan Iweekangnya untuk melawan hawa beracun itu. Namun sia-sia, tubuhnya limbung dan kakek gagah perkasa ini roboh terguling dengan pedang masih di tangan! Kim-thouw Thian-li tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan saputangannya. Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan.

Kim-thouw Thian-li sudah menggerakkan pedang untuk membacok mati dua orang itu, namun Kwee Sin cepat berseru, "Jangan bunuh mereka!" Kiranya Kwee Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, kenapa? Hal ini tidak aneh. Sudah bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-thouw Thian-li, tentu saja dia sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan tahu bagaimana cara menolaknya.

Kim-thouw Thian-li marah. "Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa sekarang kau melarangku membunuh mereka?" Pedangnya masih tetap diayun hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras, dan dua sinar hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu dalam ruangan. Seketika penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu gelap gulita.

"Eh, apa ini.....?" Kwee Sin berseru kaget.

"Aduh.....!" Kim-thouw Thian-li mengeluh dan roboh tak dapat bergerak lagi.

Ternyata hiat-to (jalan darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia roboh tanpa bergerak lagi.

Kwee Sin merasa tangannya dipegang orang. Cepat dia mengipaskan pegangan itu, tapi mendadak kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. la pun sudah terkena totokan orang dalam gelap yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada di atas pundak orang yang memanggulnya. Biarpun tubuhnya tak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia bahwa dia telah dibawa lari orang, telah diculik oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi, melalui rumah orang dan akhirnya melompati tembok kota raja, terus lari keluar dari kota raja dengan kecepatan yang mengagumkan.

Adapun Phang Khai dan Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa hawa dingin menyambar ke muka mereka dan Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya. la terheran-heran mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang kelenteng tua di mana dia dan adiknya selama bertugas di kota raja bersembunyi. Dilihatnya Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terietak di situ pula. Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habis terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-thouw Thian-li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun kelenteng dalain keadaan baik-baik saja.

"Ah, tentu ada orang menolong kita," Rata Phang Khai kagum.

"Twa-ko, jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah Kim-thouw Thian-li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur kehinaan membantu pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam ketua Ngo-lian-kauw itu?" Phang Khai menggeleng kepala. "Tak mungkin kalau Kwee Sin yang menolong kita.

malah hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita, bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah kaulihat betapa Kwee-Sin itu takut kepada Kim-thouw Thian-li? Mana bisa dia menolong kita?" "Memang aneh." Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening. "Akan tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?" "Tentu saja. Dia boleh menyamar bagaimanapun juga, mana dia bisa mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati kita, memberi tahu kepada Kwee Sin tentang maksud kita. Orang macam itu mana bisa dijadikan kepercayaan Si-enghiong? Terang berbahaya sekali, karena dengan pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat, seorang antek Mongol seperti Kwee Sin. Biarlah kaulihat saja sikapku besok lusa malam kalau kita bertemu dengan mereka." Tiba-tiba Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya. "Waaah, kenapa aku sampai lupa?" "Apa maksudmu?" kakaknya bertanya.

"Twako, terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian.

Siapakah kaukira yang telah menolong kita tadi?" "Mana aku tahu? Aku pun pingsan? Seperti kau." "Twako, sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di kota raja, yaitu Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah menolong?" "Ah, benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah di antara kedua enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu bekerja penuh rahasia?" Dua orang kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapapun mereka memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya.

* * * Sebetulnya dugaan-dugaan mereka bahwa yang menolong mereka adalah dua orang rahasia dari pimpinan pejuang, adalah keliru. Penolong mereka pada waktu itu bukan lain adalah Beng San sendiri. Seperti diketahui, pemuda ini, juga ikut mengintai di ruangan itu dan melihat semua apa yang telah terjadi. Diam-diam Beng San siap sedia untuk membantu kedua orang saudara Phang itu, akan tetapi melihat bahwa keduanya cukup tangguh untuk melawan Kwee Sln dan Kim-thouw Thian-li, dia merasa tidak enak juga untuk membantu. Ketika Kim-thouw Thian-li bersuit memanggil anak buahnya, Beng San cepat berkelebat menghadang dan dua belas orang anak buah Ngo-lian-kauw itu semua dia robohkan dengan totokannya yang lihai sebelum orangorang itu sempat melihatnya! Ketika kembali mengintai, Beng San terkejut melihat dua orang saudara Phang sudah roboh pingsan. Cepat dia mengambil dua buah kerikil dan disambitkan ke arah lampu penerangan sehingga padam. Di dalam geiap itulah Beng San cepat melompat masuk, merobohkan Kim-thouw Thian-li dan Kwee Sin, kemudian sekaligus dia membawa keluar tubuh Kwee Sin dan dua orang saudara Phang! Kepandaian pemuda ini sudah demikian tingginya, tenaganya luar biasa besarnya sehingga dengan mudah saja dia dapat membawa tubuh tiga orang itu sambil berlari-lari dan berlompatan.

Setelah meletakkan tubuh dua orang saudara Phang ke atas rumput di kebun kelenteng, Beng San lalu cepat membawa Kwee Sin keluar dari kota raja dengan "kecepatan luar biasa. Setengah malam suntuk dia berlari terus dengan cepat, tidak berani berhenti karena maklum bahwa kehilangan Kwee Sin pasti akan menggegerkan kota raja dan sudah pasti Kim-thouw Thian-li akan mengerahkan anak buahnya melakukan pengejaran Setelah malam berganti pagi dia sudah berada jauh sekali dari kota raja dan barulah dia berhenti di dalam sebuah hutan. Kwee Sin diturunkan dan segera dibebaskan dari totokan. Tapi Kwee Sin merasa tubuhnya lemas dan belum kuat berdiri. Dengan amat terheran-heran Kwee Sin melihat bahwa orang yang menculiknya hanyalah seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang pelajar. Bukan main kagum dan herannya, apalagi ketika pemuda itu menjura di depannya sambil berkata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar