13 Raja Pedang

"Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat." Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya., "Cih, tak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kali boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya." Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun. Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi kemerah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum. Beng San juga diam saja, hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.

"Ampun...... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.

Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi kagum.

"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.

Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau ....".

Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika ia mengangkat muka memandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?" Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kaumajukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!" "Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti." Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.

"Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api." "Bagaimana? Mana batu apinya?" Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan." Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja ditaruh di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar menyambar daun yang sudah beri minyak, menyala. Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.

Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih.

Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.

"Aduh, bukan main sedap baunya....." "Itu baru baunya, belum rasanya!" . Beng San membangga. "Sekali kau mencicipi, aku khawatir takkan kebagian." "Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadangkadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.

Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung. "Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?" "Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini." Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering, itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul.

Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.

"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya. Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya! "Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.

"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata.

"Lancang! Kaukira aku...........mengintaimu?" Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan." Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.

"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kaucari, aku berjanji akan membantumu." Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.

"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.

"Bukan, aku she Tan." "Sayang....." Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis.

Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.

"Andaikata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu. Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan "srrrattt!" pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan..... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.

"Kalau kau orang she Bun, akan menjadi seperti itulah....." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik.

Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong..... eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.

la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun"?" yang agaknya musuh besarnya. "Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba menghibur.

Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.

"Kaumaksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat." Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya. yang hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana." Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa." la segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba.

Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganmu.

Pertolongan menyeberangkan aku dari terutama sekali..... pertolongan yang kauberikan ketika aku tenggelam. Nona, keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu....." Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.

Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu, kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan la menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika la berhasil membuka mulut.

"Nona..... kau kenapakah.....? Jangan menangis, ahhh..... maafkan kalau tadi aku berkata lancang menyinggung perasaanmu....." Tangis dara itu makin menjadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.

"Aku sebatangkara..... ah, nasibku sengsara....." Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat la telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.

"Tenanglah..,.. diamlah..... Nona, jangan menangis. Ah, kau membuat aku ikut bersedih....." la tak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang.

Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus, ".....

ibuku sudah meninggal..... ayah terbunuh orang..... aku yatim piatu, sebatangkara.....

tiada orang tiada tempat tinggal..... selalu menerima hinaan orang..... baru kau..... baru kau seorang yang baik kepadaku....." "Hemmm, kasihan....." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatangkara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatangkara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini." Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang amat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.

"Kau baik sekali..... kau baik sekali....." berkali-kali gadis itu berbisik.

"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya." Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.

"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku....." "Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?" "Panggil saja aku Eng..... sudahlah, kaukenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatangkara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan..... alangkah sayangnya..... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah..... ah, kalau saja kau pandai silat..... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang.

diri....." la menangis lagi.

Beng San bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.

Dengan bekal pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-lian-pai kepadanya, Beng San dapat melakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan pakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan. Lima belas hari kemudian dia telah tiba di daerah Hoa-san dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai. Hatinya berdebar ketika dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu.

Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Apa-kah mereka berada pula di sini? Dan bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai? Ah, di antara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka kalau mereka melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan mengamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya berdebar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang kelenteng Hoa-san-pai.

Tiba-tiba Beng San melompat ke belakang pohon lalu menyelinap menyem-bunyikan diri. Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke dalam sebatang pohon besar yang amat lebat daunnya. la bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai. Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah. Yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu, akan tetapi gadis ini kelakuannya amat mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman! Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan kegembiraan sekaligus, pakaiannya indah akan tetapi serba putih seperti orang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala dan sebatang pedang tergantung di pinggang. Adapun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi gerakannya lemah gemulai namun mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli. Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan dan halus terpelihara, sepasang matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak. Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang dibelakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya ini membayang keangkeran dan kegagahan. Setelah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar itu takkan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa lagi kalau bukan si kuntilanak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain orang memiliki mata seperti itu? Juga gadis ke dua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tidak seputih Kwa Hong, namun tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah kemanisannya. Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakaian serba putih, namun tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, ia membawa sebatang pedang yang dironce putih pula.

"Hemmm, seperti menonton sandiwara ? Wayang saja," pikir Beng San geli, apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dulu nakal-nakal ini?" Teringat dia bahwa dia sendiri pun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Tak terasa lagi mengingat ini, Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.

Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan dan mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu berkata, "Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa semenjak dulu aku selalu mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta ...."

"Sudahlah, Lok-ko, jangan diulang-ulang lagi," Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian tiba-tiba matanya bersinar nakal ketika ia berkata, "Tak enak bicara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu." Kui Lok memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biarpun ditumbuhi rumput hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di, depan orang yang lebih tinggi tingkatnya! Wajah Kwa Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Sebaliknya Kui Lok sekarang menengadah memandang wajah cantik jelita di sebelah atasnya.

"Lok-ko," kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya, "aku tidak suka kalau kau setiap kali bertemu selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud menjodohkan aku dengan Ki-ko, itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri, tapi kelak!" "Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku takkan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu..... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan....." "Sssttttt...... ada orang.....!" Kwa Hong yang amat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebetulnya dalam hal ini Kui Lok takkan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati.

Mereka berdua meloncat ke satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka. Keduanya berdiri bengong, dan keduanya memerah muka.

"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membantingbanting kaki kanannya. "Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?" Kui Lok tunduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku kalau tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?" "Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi... eh...... menjadi jodohmu." "Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih....." Kembali Kwa Hong membanting kakinya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apa kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup kataku!" Kui Lok menarik napas panjang, berkata lemah, "Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu....." lalu pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah.

Semua ini dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya. Ia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat mengharukan hatinya. Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan menurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit asmara menggoda hati muda. Selagi dia berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat masuknya seorang pemuda dengan tergesa-gesa ke taman itu. Pemuda ini tinggi kurus, wajahnya tampan dan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati, di pinggangnya tergantung pedang dan pakalannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.

"Aduh, akan ramai kali ini....." Beng San tersenyum.

Sementara itu, Thio Ki tergesa-gesa menuju ke tempat duduk Kwa Hong, setelah menengok ke kanan kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu membelalakkan kedua matanya memandang pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya itu.

"Eh, eh...... apa-apa kau ini, Ki-ko (Kakak Ki)?" "Kwa Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami kakak beradik yang sudah tak berayah lagi." Kwa Hong mengerutkan keningnya. Aihhh..... apa maksudmu, Ki-ko? Apakah kesalahanku terhadap kau atau terhadap enci Bwee?" Dengan muka membayangkan kekerasan hatinya, biarpun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang tajam kepada gadis itu. "Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa-supek juga sudah setuju akan perjodohan antara kan dan aku. Dan kau pun tahu bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-te (adik Lok)." Kwa Hong tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut. "Hemmm, habis mengapa? Suaranya penuh tantangan.

"Janganlah kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok." Kwa Hong menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil ini, yaitu membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong. "Ah, enci Bwee setelah tak tahu malu mengintai orang, lalu lari merengekrengek kepadamu minta bantuan?" Thio Ki juga bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya mengandung kasih sayang, "Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, aku sebagai kakaknya menjadi pengganti ayah." "Hemmm, apa saja yang ia ceritakan padamu?" "la melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu? Ingatlah, Hong-moi. Aku mencintamu sepenuh jiwaku dan adikku mencinta Kui Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah sudah tepat sekali kalau di antara kita cucu murid Hoa-san-pai terjalin ikatan ini? Kau dengan aku dan Kui Lok dengan adik Bwee? Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan Hoa-san-pai yang selalu diganggu musuh?" "Ki-ko! Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa? Kalian semua goblok dan yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku..... seujung rambut pun tak pernah memikirkan urusan itu. Aku lebih suka memikirkan pembasmian musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!" "Hong-moi..... katakanlah sejujurnya..... apakah kau mencinta Lok-te?" "Kalau aku mencinta siapapun juga, kau dan semua orang peduli apa?" Kwa Hong membentak dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi pipinya itu.

"Akan tetapi aku tidak mencinta siapa-siapa! Lok-ko boleh datang di sini seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku? Aku sendiri tidak mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-ko pun tidak. Nah, jelaskah sekarang?" Thio Ki menjadi agak pucat mukanya. "Begitukah? jadi kalau begitu, Kui Lok yang merusakkan semua ini. Aku harus mencarinya memberi hajaran kepadanya!" Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan pergi dari situ meninggalkan Kwa Hong.

Untuk beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo, matanya bergerak liar dan mukanya menjadi agak pucat, kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman bunga.

Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih merasakan ketegangan semua yang telah dia dengar dan lihat dari tempat persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini bisa mengakibatkan hal yang amat hebat! Mengingat akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi pertempuran antara saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong! Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula karena dianggap merampas laki-laki yang dicintainya. Berkali-kali Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri.

"Nah, kau tahu sekarang? Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu, sekarang melihat Kwa Hong dan Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kaulihat kesengsaraan mereka itu? Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan sesuatu, sekarang sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Gara-gara hati lemah menghadapi wajah cantik." Akan tetapi perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohonpohon.

Pergerakan bukan oleh meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak cepat sekali, melintas tak jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari orang baru ini. Ah, sudah banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona Eng, kedua kalinya orang muda yang sekarang lewat ini. la juga karena merasa pernah melihat orang muda ini, entah di mana. Seorang pemuda yang bertubuh kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning. Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tak pernah berhenti tersenyum lebar, angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang ini? Dengan hati penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu yang berlari cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat itu, setelah keluar dari taman lalu membelok ke kanan dan menuju ke sebuah lereng yang sunyi. Lereng ini indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat pohon yang kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang luas dan sunyi, bagi Beng San bahkan lebih indah daripada taman bunga yang baru ditinggalkannya tadi. Dengan hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia harus berhati-hati karena yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi. Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk menyelinap di belakang pohon apabila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka. Akhirnya dia melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu mengintai. Beng San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat apa yang diintai oleh pemuda yang di depannya itu.

Ternyata bahwa Thio Bwee, gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk di atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu da.nmenangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Beng San menjadi terharu juga. la telah mengenal thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa Hong ketika terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya takkan merasa sedih dan malu kalau melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang gadis lain? "Nona yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia bukan hanya setelapak tangan lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia, lebih baik dari orang she Ku itu....." Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi, akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.

"Siapa kau.....? Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!" la mengusir pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.

"Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukan orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin." Pemuda tampan pucat itu berkata sambil tersenyum memikat. "Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta daripada Kui Lok....." "Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau masuk tanpa ijin.

Pergilah sebelum pedangku bicara!" Mendadak Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.

Adapun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan di mana? la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu.

Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin tertawa mengejek. "Bagus sekali! Memang betapapun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita mainmain sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu....." "Keparat, lihat pedang!" Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah dada Giam Kin. Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan dapat berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan makin pucat.

.

"Bagus! Kau benar-benar nona manis berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!" Sambil berkata demikian pemuda itu meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh. Benda ini tak salah lagi tentu sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya seperti ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekormular dengan cara memegang gagang pedang.

"Ah, diakah.....??" Beng San tiba-tiba teringat. Terbayanglah dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor ular berbisa. Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya! Di waktu kecil pun sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani kelaparan secara kejam sekali. Apalagi sekarang. Orang macam ini harus menjadi musuhnya. Akan tetapi Beng San tidak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukanlah seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apalagi, bukankah dia berusaha menyembunyikan kepandaiannya? la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap menolong apabila gadis itu terancam bahaya. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apalagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya? Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya. Akan tetapi kalau gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi.

Suling berbentuk ular yang dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh gerakan-gerakannya, penuh dengar gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak mengherankan apabila Thio Bwee perlahan-lahan terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling ular. Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan mulutnya tiada hentinya tersenyum sambil mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.

"Kaulihat, nona manis. Bukankah aku cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu.

Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku....." Mendengar ini, Beng San diamdiam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tidak waras lagi otaknya, patut disebut edan! Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu akan "mencinta" setiap orang wanita yang cantik dan manis, apalagi seperti Thio Bwee! Kalau ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biarpun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.

"Murid Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!" Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sukar diketahui bagian tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus Poa-san Kiam-hoat yang disebut jurus Kwan-kongsia- ciok (Kwan Kong Menahan Batu). Ujung pedang di tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang demikian lihainya seperti Giam Kin. Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apabila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan jurus Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik dia terkesiap dan kaget, akan tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuh ke belakang. Tubuhnya menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-kong-siaciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali. Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya dan suling ularnya bergerak menyambarnyambar dari bawah mengarah kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki, kadang-kadang meloncat ke atas menyerang pundak. Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satusatunya baginya hanya mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-mo-po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.

"Ha..ha..ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak mau, apalagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?" Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi! Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, namun sia-sia, pedangnya seperti berakar pada senjata lawan. Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk maklum dan kagum akan kehebatan Iweekang dari pemuda pucat itu.

"Ha, nona jelita. Kaulihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka......?" kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali. Tangan kirinya bergerak dari secara kurang ajar dia mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang berkulit halus! Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya terbetot oteh lawan dan terlepas dari tangannya. Betapapun juga, murid Hoa-san-pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la menubruk maju mengirim pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali.

Memang hebat Thio Bwee, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang sudah hampir kalah. Kenekatannya ini sama sekali tak pernah terduga oleh Giam Kin yang memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur dan pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.

"Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.

"Siapa berani bermain gila di Hoa-san?" Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, tersenyum nakal memandang kepada dua orang yang baru datang. Yang seorang adalah seorang lakilaki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali, biarpun sudah lebih empat puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh. Sekali pandang saja Beng San dengan girang mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-engcu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang tersohor.

Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya.

Sebaliknya Kwa Tin Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu biarpun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu, bukanlah orang sembarangan.

Di lain pihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya, "Siapa berani main gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Suhengnya gagah perkasa dan tampan, sumoinya cantik jelita dan lihai, benar-benar mengagumkan....." Ia tertawa lagi dan aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik. Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata.

"Sahabat di depan siapakah, dari partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?" Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, namun sikapnya masih penuh sifat main-main dan mengejek. "Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-san-pai dan melihat-lihat. Siapa tahu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik murid Hoasan- pai, ingin berkenalan secara baik-baik....." Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu berkata lagi, "Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang mulia?" "Ha..ha..ha, orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih raja di utara..... ha..ha..ha....." Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata, "Apakah yang dijuluki orang Siauw-ong-kwi.....?" Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya. "Kau juga berani menyebut suhuku Setan Kecil? Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar kau takkan berkepala lagi!" Kwa Tin Siong tersenyum masam. "Kurasa Siauw-ong-kwi locianpwe takkan berpemandangan sesingkat kau, orang muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan akan diadakan sepekan lagi. Harap kau datang pada waktunya dan sementara itu harap jangan main-main dan bikin takut kepada anak-anak murid Hoa-san-pai. Bukankah kau datang dengan maksud baik?" "Baik sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biarlah sepekan kemudian aku datang lagi. Sampai berjumpa kembali, nona manis." Giam Kin lalu membalikkan tubuhnya, meniup sulingnya secara aneh. Tiba-tiba Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya ketika dari mana-mana datang ular-ular besar kecil mengikuti di belakang pemuda aneh itu.

Makin lama makin banyak sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor ular seperti bebek-bebek mengikut penggembalanya! "Hebat..... berbahaya sekali dia ...." terpaksa Sian Hwa mengakui.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Sudah lama aku mendengar nama gurunya, Siauw-ong-kwi. Baru muridnya saja sudah demikian lihai, apalagi gurunya. Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari utara itu dengan mengirim mundnya ke sini?" Kemudian dia menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat. "Bwee-ji, kau seorang diri di sini sedang mengerjakan apa? Bagaimana bisa bertempur dengan dia?" Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung kasih sayang dan perhatian, biarpun terdengarnya keren dan galak.

"Aku..... aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar kenal. Aku..... aku lalu menyerangnya." Hemmm, pikir Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai Thio Bwee berani membohong kepada supeknya. Setelah berpikir demikian tubuhnya melesat pergi mengejar Giam Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup sampai.

Giam Kin berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa Hong dan Thio Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-san-pai, pikirnya. Apalagi Kwa Hong! Tidak rugi aku mewakili suhu ke Hoa-san. Seorang di antara mereka harus kudapatkan. Tiba-tiba pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara ular-ular yang kini menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya, ular-ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak sampai mati sekalipun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin. Seperti orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini nenari-nari dan tertawa-tawa, pasti akan menimbulkan serem dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa takkan merasa serem melihat seorang pemuda yang mukanya pucat seperti muka mayat itu menan-nari di antara ular-ular yang buas dan tertawa-tawa seperti setan? "Giam Kin, kau benar-benar sudah gila!" terdengar suara teguran, suara yang besar dan bergema di seluruh tempat itu.

Giam Kin terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara. Matanya terbelalak kaget dan mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu, muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali sepasang matanya yang tajam seperti mata iblis! "Ssseeeee.... tan,,,, kau, setan....." Giam Kin tergagap.

Laki-laki itu tertawa. "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!" Dalam kaget dan gugupnya, Giam Kin lalu meniup sulingnya. Ular-ular yang tadinya kacau-balau, mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar ular-ular berbisa yang amat berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu. Laki-laki muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan..... seperti daun-daun kering disapu ular-ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang dapat mendekatinya! Giam Kin mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan, sekaligus pemuda murid Siauw-ong-kwi ini mengirim serangan maut dengan suling ularnya, berturut-turut menikam leher dan menotok ulu hati.

"Heh..heh..heh, bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau di sini." Orang itu berkata perlahan, dengan sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin terhuyung-huyung. Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang itu melayang dan "plak" pipi kanan Giam Kin sudah ditamparnya. Giam Kin menjerit, merasa pipinya seperti terbakar dan pada pipi itu tampak jelas membayang bekas jari tangan menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin lalu meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti suara ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.

Setelah Giam Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan berubah menjadi putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la tadi memang sengaja menggunakan hawa dalam tubuhnya yang mengandung Yang-kang untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak dikenal oleh Giam Kin dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi mengganggu Thio Bwee. Setelah melihat Giam Kin pergi, diapun meloncat dan tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-san.

Di lain bagian dari puncak itu,dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Thio Ki yang memiliki watak keras hati itu setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Dua orang jago muda Hoa-san-pai ini sekarang berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka mengancam.

"Thio-heng (kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang bukan-bukan itu?" Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.

"Sudah tentu!" jawab thio Ki marah. "Kui-te (adik Kui), kita masih terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apabila kau menyeleweng dari kebenaran! Sungguh tak patut apabila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi, tak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-san-pai!" Kui Lok tersenyum mengejek, sengaja tertawa masam. "Heh..heh..heh, bagus sekali ucapanmu, Suhengl Di dunia mi, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi? Ha..ha..ha, kau sendiri pun selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?" Kui Lok menantang.

"Aku lain?" bentak Thio Ki. "Aku cinta kepadanya dan..... dan..... Kwa supek agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi" Kui Lok tertawa mengejek. Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta? Tentang persetujuan Kwa-supek, hemmm..... kita lihat dulu nanti, Suheng.

Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara resmi." Thio Ki yang berwatak keras itu tak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh rasa cemburu, "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu manis!" Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam persoalan ini dia pun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah. "Thio-heng, kau keterlaluan sekali. Ada hak apakah kau melarang aku? Kau adalah suheng dari Hongmoi, aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlumba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang sendiri?" "Cukup! Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong" "Eh..eh..eh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?" Thio Ki mencabut pedangnya. "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!" "Bagus! Orang she Thio, kaukira aku takut padamu?" Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda ifu sudah saling berhadapan dengan pedang terhunus, siap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh. Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang di antara mereka? Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.

"Bagus...... bagus..... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat" Beng San muncul dari balik sebatangpohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.

Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi kaget dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel.

Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tak senang dengan datangnya seorang asing ini.

"Kau siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?" tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.

Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri. "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San." Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka. Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.

"Uuuhhhhh...... Beng San.....?" Thio Ki berkata dengan suara menghina.

"Hemmm, kau di sini? Mau apa kau ke sini? Kau mengintai kami, ya?" kata Kui Lok, mengancam.

"Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku ingin melihatnya. Dahulu pun kalian amat pandai, apalagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian." Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar pertengkaran mereka tadi! "Kau tadi sudah lama mengintai kami? Mendengar apa yang kami bicakan?" Thio Ki menuntut.

Beng San tersenyum. "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau burung." la sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata-kata Hong dapat diartikan angin atau juga nama burung hong! Thio Ki yang keras hati itu timbul keangkuhannya. "Beng San, kau kurang ajar sekali. Orang macam kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin? Kau patut dipukul".

"Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar minggat dari sini!" kata Kui lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San. Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul pundak. Betapapun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-san mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.

"Eh, eh, eh..... kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa....." Beng San terhyyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang.

Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli, mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu melarikan diri. Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak, "Jangan pukul...... jangan pukul!" "Ki-ko dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?" Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri di situ. Wajah dara ini agak pucat, apalagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus. Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang. Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu mengadu nyawa, maka melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu silat.

Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur.

Setelah dua orang pemuda yang keranjingan itu mundur, baru Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, dari pihak Beng San penuh kekaguman. Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang melebihi beningnya mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, ah ... bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu telah berubah menjadi seorang dara yang jelita. Di pihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.

"Kau..... kau..... eh, si bunglon.....!" Beng San cemberut. "Benar," katanya dingin, "dan kau si kuntilanak masih tetap galak...." Thio Ki dan Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah maklum akan maksud mereka, segera mendahului.

"Aha, Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-ko dan Lok-ko, apakah kalian lupa? Dia ini Beng San. Hi..hi..hi, benar Beng San.....!" Serta-merta Kwa Hong melangkah maju dan memegang tangan Beng San, mengamat-amati wajah pemuda itu yang seketika menjadi agak kemerahan.

"Hi..hi..hi, kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi..... orang sekarang. Ah, hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu.

Kau dari mana? Hendak ke mana? Ada keperluan apa datang ke sini?" Bingung juga Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu.

"Aku..... aku sengaja datang, mendengar bahwa Hoa-san-pai hendak mengadakan perayaan seratus tahun. Aku datang sampai ke sini, melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang. Mereka agaknya tidak mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak dipukuli. Baiknya kau keburu datang...... eh, Nona Hong.......".

Kwa Hong tertawa. Lega bahwa dua orang suhengnya itu tidak jadi mengadu nyawa.

la seorang yang cerdik sekali. Tentu dua orang itu tadinya memang sudah hendak bertempur, buktinya sudah mencabut pedang. Kalau hanya menghadapi seorang lemah seperti Beng San, tak mungkin dua jago muda itu menghunus pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, membuat mereka marah dan memukulinya.

"Bagus sekali kau datang, Beng San. Apa kau sudah bertemu dengan ayah? Dengan sukong? Mereka tentu terheran-heran melihat atau datang. Baik sekali kau mau datang, jadi tidak melupakan hubungan lama." Dengan ramah-tamah Kwa Hong bicara dan dua orang kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak pernah Kwa Hong memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.

"Ki-ko dan Lok-ko, masa kalian tidak mengenalnya" Lihat itu sepasang matanya, mana ada orang lain bermata seperti dia? Semestinya kalian mengenalnya dan tidak memukulinya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk menghadiri perayaan, menjadi seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali, kalau terdengar ayah atau sukong bukankah mendapat marah?" Tiba-tiba ia berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tak lama kemudian muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga ini baru saja kembali dari tempat di mana mereka bertemu dengan Giam Kin.

Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang anak murid Hoa-san-pai berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi, segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat menghampiri sambil memandang tajam.

"Siapakah saudara muda yang asing ini?" tanyanya.

Kwa Hong lari menghampiri ayahnya memegang tangan ayahnya dengan sikap manja. "Ki-ko dan Lok-ko, jangan beri tahu ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik, dan Bibi juga. Kau pun lihatlah baik-baik Enci Bwee, perhatikan dia dan coba katakan, siapa dia ini?" Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang dari Hoa-san Sie-eng ini tidak dapat mengenal pemuda tampan berbadan tegap yang berpakaian seperti seorang pelajar itu. Terlalu banyak persoalan dan urusan yang meruwetkan pikiran membuat mereka sama sekali tidak dapat ingat lagi kepada Beng San. Akan tetapi tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini pernah ditolong oleh Beng San, biarpun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia lupakan begitu saja.

"Bukankah kau..... saudara Beng San?" tanyanya penuh ragu karena biarpun ia masih mengenal pemuda yang bermata tajam aneh ini, namun ia tetap ragu-ragu melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar. la tidak ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak kecil adalah seorang yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai daripada dia sendiri maupun para murid Hoa-san-pai yang lain.

Karena itulah sukongnya, Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi pelajaran tentang kebatinan To.

Kwa Hong tertawa. "Enci Bwee masih ingat." la memuji dan Beng San juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.

"Ah, benar..... kau Beng San.....!" Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah mendengar kata-kata Thio Bwee, juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum ketika Beng San menjura untuk memberi hormat kepada mereka.

Kwa Tin Siong teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai tewas di Hoa-san-pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela pihak Kun-lun. Biarpun ucapan bocah ini dahulu ternyata cocok dengan keadaannya, yakni bahwa Ngo-lian-kauw yang melakukan fitnah sehingga dua partai besar itu bermusuhan, namun sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan. Mengapa membela Kun-lun-pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-san? "Beng San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang ke sini dengan maksud apakah?" tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan.

Kwa Hong memandang ayahnya dengan kening berkerut dan ia menoleh ke arah Beng San, pandang matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum kepadanya penuh arti, minta supaya dara itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada Kwa Tin Siong dan berkata.

"Kwa-enghiong, mohon maaf sebanyaknya kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap Lo-enghiong sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-san ini mempunyai dua maksud. Pertama, karena saya merasa rindu kepada Lian Bu totiang dan Lo-enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam perjalanan saya mendengar bahwa sebentar lagi Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya sengaja datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapapun juga, saya masih belum lupa akan kebaikan budi Lian Bu totiang sekalian yang dulu sudah sudi menerima saya menjadi kacung di sini." Ucapan ini terang sekali amat merendahkan diri, dua orang pemuda Hoa-san-pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung, perlu apa diladeni? Kwa Tin Siong dan Lienn Sian Hwa mendengarkan dengan hati senang menyaksikan sikap yang amat sopar santun dari Beng San, sedangkan Thio Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri. Dua orang dara ini mana bisa melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak ketika menyeberangi rawa-rawa? Dan sekarang Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa Hong, di dalam lubuk hati kecilnya ia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua orang suhengnya, dalam hal ketampanan Beng San jauh lebih menang! Di dalam pergaulannya dahulu dengan Beng San, ia memandang Beng San sebagai seorang anak perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula. Akan tetapi sekarang, pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.

"Bagus kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tapi kedatanganmu agak terlampau pagi. Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu kau berada di sini. Mari kubawa kau pergi menghadap suhu." Beramai-ramai mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki dan Kui Lok yang merasa tidak puas. Pertama karena urusan di antara mereka belum juga diselesaikan, kedua kalinya mereka merasa iri hati dan cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu sebagai tamu, apa-lagi melihat sikap Kwa Hong yang tersenyum-senyum dan manis terhadap Beng San.

Beng San dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, kakek tua ketua Hoasan- pai yang baik hati itu sekarang kelihatan amat tua, mukanya berkerut-kerut tanda bahwa di hari tuanya kakek ini menderita tekanan batin yang hebat. Beng San dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah pertentangan dengan Kun-lunpai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.

"Totiang yang mulia, teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang selalu bahagia dan panjang usia." Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus daripada delapan tahun yang lalu, tongkat bambu yang butut selalu masih dipegangnya dan tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan yang sekarang sudah hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum tenang.

"Ah, Beng San, kau mengingatkan pinto akan kejadian dahulu." la menarik napas panjang. "Ternyata kau lebih waspada daripada pinto. Kalau saja pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil..... ah, kau benar, memang Hoasan- pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi dari sini, kalau tidak, kiranya kau pun akan terseret." Tosu itu menarik napas berulang-ulang dan nampaknya berduka. Beng San merasa kasihan sekali.

"Totiang, tidak baik dalam usia tua bersedih! Teecu teringat akan ujar-ujar dalam Totik- king yang berbunyi: "Aku menderita karena mempunyai diri, Andaikan tak mempunyai diri, penderitaan apa dapat kualami?" Tosu tua itu tertawa. Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikianlah, Beng San. Malapetaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia selalu mementingkan diri sendiri. Karena manusia mementingkan diri pribadi maka selalu hendak menang, selalu hendak senang sendiri, enak sendiri tanpa mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam ujarujar nomor dua puluh tiga?" Beng San berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang sudah dihafalnya baik-baik itu dengan keadaan yang dihadapi oleh tosu in. la lalu menjawab, "Apakah yang Totiang maksudkan itu kalimat yang berbunyi: Angin keras takkan berlangsung sepenuh pagi, hujan lebat takkan berlangsung sepenuh hari.

Siapakah penyebab ini selatedar pada langit dan bumi? Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti, apalagi seorang manusia?" "Ha..ha..ha, bagus sekali, Beng San Ah, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik mempelajari filsafat dan mengerti, sadar, dan menuruti inti sannya disesuaikan dalam hidup, daripada mempelajari segala macam ilmu kasar seperti ilmu silat yang hanya mendatangkan malapetaka dan permusuhan belaka..... Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya berseri lagi ketika dia bertanya, "Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan Lo-tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itu pun masih kuat menentang kehendak alam?" "Tidak ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-tong Souw Lee sudah kembali ke tempat asalnya, beberapa bulan yang lalu." "Aaahhh, ke sanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia raja maupun jembel, semua akan berakhir sama. Bertentangan? Pertempuran matimatian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang menang akhirnya takkan mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-tong Souw Lee, mana letak kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia ingat akan hal ini....." Beng San merasa betapa kata-kata Ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil memperhatikan filsafat, termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi. Di waktu menghadap ini, Beng San menghadap seorang diri, karena semua murid Hoasan- pai maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak boleh mengganggu kakek itu.

"Kedatanganmu ini apakah hanya untuk menengok kami?" tiba-tiba kakek itu bertanya setelah sadar dari lamunannya.

"Teecu mendengar berita bahwa Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun yang ke seratus, maka teecu sengaja datang untuk memberi selamat dan juga menonton keramaian." "Tidak diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-san-pai.

Diperingati pasti akan memancing datangnya kekeruhan. Di jaman yang keruh ini, setiap peristiwa memancing datangnya peristiwa lain yang selalu iriemusingkan. Beng San, pinto mempunyai firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-lun-pai makin menjadi-jadi, makin diperpanas oleh para anak murid kedua pihak. Aku mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri akan datang. Baik sekali demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan secara damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto girang sekali kau datang, kau tinggallah di sini dan kau menjadi saksi dari usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu di sini, pinto merasa lebih tenang." Beng San merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini dalam hati Lian Bu Tojin? la merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, maka tanpa ragu-ragu dia berkata, "To-tiang, percayalah, teecu yang bodoh pasti akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini".

"Beng San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-tong Souw Lee?" pertanyaan ini tiba-tiba diajukan dan ketika Beng San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong dengan tajamnya memandangnya penuh selidik.

Celaka, pikirnya. la hendak menyembunyikan kepandaiannya, dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong kepada kakek ini.

"Semenjak kecil teecu amat suka mempelajari filsafat dan kiranya selama teecu berkumpul dengan Lo-tong Souw Lee, semua petuah dan wejangan orang tua itu telah teecu pelajari dengan baik". Jawabannya menyimpang dan dia berpura-pura tidak tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan pelajaran ilmu silat "Kau tidak mempelajari ilmu silat?" Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati Beng San. la tak usah berbohong lagi sekarang.

"Teecu pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas disebut-sebut di depan Totiang." Kakek itu menarik napas panjang. "Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan, karena hanya mendatangkan keributan belaka. Andaikata Hoa-san-pai dahulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai sekarang pun Hoa-san-pai takkan mempunyai musuh." Mulai hari itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-san, malah mendapat kehormatan, untuk, tinggal satu rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini amat suka bercakap-cakap dengan Beng San yang Juga amat rajin tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu, yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal kakek itu, melayani segala keperluan Lian Bu Tojin. Pada suatu hari Lian Bu Tojin yang melihat Beng San mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan berkata.

"Sayang kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, pinto tentu akan merasa senang dan lega sekali menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik, kau mengenal bakti, mengenal pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas. Pinto benarbenar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi percobaan beberapa hari yang akan datang ini. Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat membantu banyak untuk meredakan ketegangan.

"Akan teecu coba sekuat tenaga teecu, Totiang," demikian jawaban Beng San, jawaban yang keluar dari lubuk hatinya.

Sementara itu, sikap Thio Ki dan Kui Lok masih angkuh sekali terhadap Beng San.

Kwa Hong dan Thio Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah. Tentu hal ini karena mereka berempat merasa menjadi murid-murid Hoa-sanpai yang memiliki ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda apakah? Lemah dan "hanya pandai membersihkan lantai" kata Thio Ki. Malah Kui Lok pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu akan membujuk Lian Bu Tojin untuk menurunkan ilmunya.

"Ha..ha..ha, andaikata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu silat, mana dia bisa berlatih?" Kadang-kadang kalau Beng San berada di taman, empat orang murid Hoa-san-pai ini berlatih silat dengan sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, masingmasing memiliki gaya tersendiri dan memiliki keampuhan sendiri. Agaknya mereka sengaja memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San dan pemuda ini cukup cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat Thio Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar