"Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."
Sian Li cemberut. "Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!" Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah, mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!"
"Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kauberitahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."
"Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu," kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
"Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat," kakek itu memuji.
"Ah, dia masih terlalu lambat," kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.
"Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu."
Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu. "Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan...."
"Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu."
"Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?"
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?"
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya. "Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu."
Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.
"Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah."
"Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang...."
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."
Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu. "Mari kita pulang, Suhu."
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. "Aihhh.... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"
"Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!" kata Sian Li. "Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!"
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu.
Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.
Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai.
Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya. Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian, tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
"Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!" Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.
"Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah."
"Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!" Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
"Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?" Sian Li bertanya dengan lembut.
Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. "Kaulihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?" Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata, "Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?"
Sian Li membelalakkan mata. "Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?"
"Ha-ha-ha-ha," kakek itu tertawa. "Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."
Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.
"Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!" Sian Li berseru gembira. "Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han...." Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. "Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!" Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. "Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku."
Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.
"Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.
Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. "Ku-kong aku ikut!"
Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. "Aih, Sian Li, kaukira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"
"Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"
Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini," kata Kam Bi Eng.
"Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...." Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum.
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. "Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."
Suma Ciang Bun berkata, "Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini."
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka.
"Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat." Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
"Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat."
"Baik, Suhu!" kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.
"Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
"Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang. Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka.
Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum.
Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu.
Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya. "Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?"
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merongrong Kerajaan Ceng.
"Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan," pesan Gangga Dewi. Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri! Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi.
Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li "Dewi Merah"!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun itu. Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking, memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka. "Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
"Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!" katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
"Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!" Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
"Dewi Merah....! Dewi Merah....!"
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu, "Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah"
Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan "Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!"
Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan "Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!" Kembali orang bersorak. Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!
Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti. "Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!"
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan.... tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya.
Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.
"Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!" Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
"Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya.
Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah. "Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?
Serentak terdengar jawaban, "Tidak....! Tidak....!"
Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun. "Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"
Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.
"Suheng, jangan mencari keributan!" Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata, "Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!"
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak, nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, "Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba." Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton. "Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!"
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, "Dewi Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!" Dan dia memberi isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan makin lama tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking, "Saudara lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!" Kembali dia mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang semakin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit dan Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan mengerti. Suhengnya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
"Suheng," bisik Sian Li kepada suhengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang itu. "Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir."
Mendengar bisikan ini, Sian Lun melepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
"Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!" Sian Lun berkata untuk melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan ketika asap lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. "Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu," bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
Kini Lulung Ma sudah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para penonton. "Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari ular!"
Kakek raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu muncul kepala ular-ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar, mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan, mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu, nyawa dapat melayang!
Kini belasan ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya. Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh ke kiri kanan dan nampak seperti belasan orang penari yang memiliki gerakan lemah gemulai! Para penonton memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan ular-ular itu.
Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pawang ular, bahkan Suma Ciang Bun pernah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari bibirnya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja yang dapat disuruh menari seperti itu. Belum tentu raksasa hitam itu mampu menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar pikirnya.
Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar "membuka jalan" untuk barisan ular.
"Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk mengadakan pesta ular!" katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den mengembalikan mereka ke dalam keranjang masing-masing. Cara dia menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang, pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arah dirinya. Ia merasa yakin bahwa pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
Kini pemuda jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi memanggil ular yang amat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular itu tidak dapat dikendalikan dan menyerang orang?
Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang berteriak-teriak.
"Ular....! Ular....!"
Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang, "Harap tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!"
Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak, ular-ular itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan melalui dekat kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil namun amat berbisa!
Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut kalau-kalau kaki mereka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri, bukan takut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Seorang gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat sekali dan gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu menjerit. Dua ekor ular itu kaget dan membalik. Melihat itu, seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu. Gerakan mereka ini membuat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu adalah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.
Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan tewas seketika! Adapun ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun mati seketika.
Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menjadi panik dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.
Melihat hal ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan mereka lari secepatnya meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!
Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah semua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang Bun.
"Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari silat yang jelek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian."
Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua kurus, akan tetapi keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat.
Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. "Agaknya dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!"
Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang.
Setelah meletakkan keranjang itu di depan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
Badhu yang gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk, memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantaman batu.
"Bukkk!" Pukulan itu membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
"Bukk!!" Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu selalu mental kembali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
"Darr....!" Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala orang dapat begitu kebal dan keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!
Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan membanting sekuat tenaga.
"Bukkk....!" Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gendut, menangkap lengannya, dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepenuh tenaga.
"Bukkk!" Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama sekali tidak dirasakannya.
Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang. Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor harimau bertarung. Memang hebat sekali perkelahian itu, apalagi diiringi musik tambur dan genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya, Lulung Ma yang memukul gendang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun menghentikan pertandingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
"Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, tidak dapat disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!" Dengan sikap menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya, "Bolehkah kami melayani tantangan mereka?"
Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang Han dengansengaja. Ia mengangguk dan menjawab. "Biar Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha."
Sian Lun yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke depan dua orang itu.
"Aku orang dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara kalian!" kata Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia seorang pemuda Han.
Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura sebagai penghormatan.
"Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar."
Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan pemain musik tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.
"Suheng, jangan sampai membunuh orang!"
Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih menabuh gendang, menjawab. "Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan khawatir, kami juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!"
Dua orang itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu bahwa membiarkan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam. Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan gerakan kakinya tetap waspada.
"Kongcu, silakan menyerang lebih dulu," kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang nampak lemah itu.
"Badhu, engkau yang memantang, engkau pula yang harus menyerang lebih dulu," jawab Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
"Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas seranganku ini!" Tangan kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiarkan saja karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja, sedangkan yang sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar ke arah pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangkanya akan begitu mudah dia tangkap!
Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangannya bagaikan cakar biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan menangkap. Sian Lun maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun mengelak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.
Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil itu menubruk seperti seekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung lawan.
"Desss....!" Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet, dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.
"Plakkk!"
Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawanyang jauh lebih tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
"Brukk....!" Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka suara tepuk tangannya amat nyaring.
Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
"Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu denganmu. Bersiaplah!"
Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah. "Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!"
Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.
"Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.
"Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara remaja!"
Sian Li tersenyum mengejek. "Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar