12 Pusaka Pulau Es

"Ah, Kun-ko.... urusan begituan.... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka. "Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main.Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!

Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri dan matanya bersinar-siinar, mereka sudah dapat menduga. Apalagi melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!

Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai mantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin.

***

Bi-kiam Nio-cu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, ia belum pernah merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Apalagi dengan penekanan dari subonya bahwa semua pria itu jahat dan palsu, ia bahkan membenci kaum pria. Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi semenjak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah itu membuatnya tergila-gila. Bahkan ia menjadikan pemuda, itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama saking cintanya. Akhirnya ia minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya walaupun maksud ini bertentangan dengan ajaran subonya. Ia berani menentang maut demi cintanya terhadap pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya. Sakit sekali rasa hatinya dan ingin ia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata ia tidak mampu mengalahkan Keng Han bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah, apalagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilihnya, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu dan mulailah ia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.

Masuknya seorang wanita seperti Niocu, cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Nio-cu disambut seorang pelayan dan diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah terbiasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli. Akan tetapi ia tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, matanya lebar dan wajahnya berbentuk bundar. Pemuda itu duduknya menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekalipun pemuda itu tidak memandang kepadanya! Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja dengan agak membantingnya untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikannya. Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya.

Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.

Kalau pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.

 

"Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!" terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Nio-cu.

"Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?" kata orang kedua.

"Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?" kata yang ketiga.

"Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!" kata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.

"Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Semua pesanan Nona kami yang akan membayarnya!

Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!"

Niocu mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda inii tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walaupun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.

"Terima kasih. Aku ingin makan sendiri di sini, tidak ingin ditemani siapapun juga." jawabnya dingin.

"Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan amat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu."

Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.

"Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah!" kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. "Pergi atau engkau akan menyesal nanti!"

Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.

"Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera, jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami." Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.

"Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!" Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.

Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.

"Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?" Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum, lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!

Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apalagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.

"Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!" kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu. Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka. Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!

Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk berkata, "terima kasih atas bantuanmu."

Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, keluar lebih dulu. Tak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu. Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.

Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap-siap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar. Dan Ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.

Pemuda itu benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka membagi pukulan dan tendangan. Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera lari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang! Pemuda itu pun merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jerih dan mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh.

 

Pemuda itu berhadapan dengan Niocu. "Terima kasih atas bantuanmu!" katanya sambil mengangguk. Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya. Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.

Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Huenam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Biarpun ia melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Ia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu,

Perlahan dulu, Nona?" terdengar suara pemuda itu dan Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya.

Kini ia berhadapan dengan pemuda itu. "Ah, kiranya engkau!" katanya dengan wajar.

"Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?"

Aku hendak pergi ke Bu-tong-san." Wajah pemuda yang tampan itu berseri. "Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!"

Niocu memandang dengan tajam seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. "Apakah engkau murid Bu-tong-pai?"

"Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apabila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama." Ucapan pemuda itu wajar saja. "Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa."

Niocu diam-diam merasa gembira sekali. ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama! Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi telah mengamatinya dan tahu bahwa ia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!

"Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?"

"Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuari itu sebagai tamu agung."

"Aih, kebetulan sekali kalau begitu."

"Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?" "Tentu saja tidak.

"Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gu Lam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?"

"Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw mengenalku sebagai Bikiam Nio-cu."

"Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bikiam Nio-cu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama?"

Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.

"Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?" Gu Lam Sang menjawab cepat. "Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Akan tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing."

Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gu Lam Sang. Ah, aku harus menyebut apa padamu? "

"Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu." kata Gu Lam Sang merendah. "Baiklah, Gu Lam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?"

"Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet."

"Aih, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Kenapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gu Lam Sang?"

"Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?"

"Ah, aku sendiri tidak mempunyai urusan dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama."

Berdebar jantung dalam dada Gu Lam Sang. Tentu saja dia sudah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han! Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apalagi mendengar bahwa nona ini Bikiam Nio-cu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini agar suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia dapat berkenalan dengan gadis ini.

 

"Niocu, sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?"

Niocu menoleh sambil terus berjalan. "Cita-cita? Apa maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang."

"Ah, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya."

Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Ia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The-ciangkun, hidup di kota raja!

"Aku saat ini belum memiliki cita-cita, Gu Lam Sang. Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?"

"Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta dan juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?"

 

Niocu diam saja, alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian ia mengangguk. "Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gu Lam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?"

"Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai dari dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!"

Hati Bi-kiam Nio-cu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gu Lam Sang telah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gu Lam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Gu Lam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu! Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gu Lam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya dan Gu Lam Sang berjaga semalam suntuk untuk menjaga agar perapian yang-dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam. Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gu Lam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini Niocu melihat bahwa Gu Lam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gu Lam Sang jatuh cinta kepadanya! Dan hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati kepadanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.

Bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting baginya. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga. Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang kini menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya. Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa merupakan tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gu Lam Sang!

Ketika mereka tiba di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang disambut para murid dengan sikap hormat karena orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gu Lam Sang memesan kepada para muridnya agar memperlakukan Gu Lam Sang sebagai tamu terhormat karena Gu Lam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!

Bi-kiam Nio-cu sudah mempunyai nama besar maka orang-orang Bu-tong-pai sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu maka semua orang menghormatnya. Oleh Gu Lam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gu Lam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini seringkali mengurung diri di dalam ruangan bersamadhi dan tidak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar samadhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.

Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gu Lam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai! Tentu saja tidak ada yang tahu kecuali Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gu Lam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang dihadap para murid itu. Selain dua orang ini yang diancam bahwa Thian It Tosu yang aseli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia, orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gu Lam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biarpun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gu Lam Sang.

 

Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gu Lam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apalagi melihat sikap Gu Lam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat. Ia sudah terlalu mengenal Gu Lam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gu Lam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Nio-cu di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gu Lam Sang telah lupa kepadanya.

Pada hari yang ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai. Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apalagi membongkar rahasia Gu Lam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gu Lam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gu Lam Sang.

Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.

"Engkau telah dapat menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan."

"Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?"

Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu telah mengangkat engkau menjadi muridku."

"Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadaku."

"Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!" kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu. Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara. Manusia memang sukar membebaskan diri daripada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.

Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang itu yang tertangkap hidup mengaku bahwa mereka itu orang Thian-li-paag, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

"Keparat!" Yo Han marah sekali. "Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Kalau pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!"

"Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang mengenal aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar maupun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu."

Han Li lalu bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.

"Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah."

Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah, dan puterinya.

Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu. Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Dan banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, melalui bertapa, menyiksa diri dan sebagainya. Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia kepada perbuatan jahat dan permusuhan. Mengapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah sudah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah! Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang mengatakan bahwa manusianya mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.

Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak. Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpan dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah-gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir maupun batin.

Kalau sudah begitu, bagaimana kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Kekuasaan Tuhan yang dapat menyingkirkan nafsu, yang dapat mengembalikan nafsu ke tempat semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada hal tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.

Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah untuk pergi berkunjung ke Bu-tong-pai, semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan.

***

"Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto(saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi hari ini berkumpul di Bu-tong-pai untuk melakukan pemilihan bengcu baru!" demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.

"Kami setuju....!!" Banyak seorang orang berteriak. Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang telah diatur terlebih dahulu oleh Gu Lam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju. "Tunggu dulu!" Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.

Melihat ini, Thian It Tosu merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lantang, "Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru agar kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?"

Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga terdengar semua orang. "Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tidak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dahulu, kini pun aku melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk melakukan pemilihan bengcu!"

 

"Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan." jawab Thian It Tosu.

"Tidak!" bentak Yo Han. "semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui ikutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!" Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.

 

Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek. "Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!"

"Tutup mulutmu yang kotor!" Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. "Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Sudah kukatakan dahulu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara yang curang dan keji. Justeru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai."

"Kami mengaku orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah melainkan untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang agaknya menjadi lemah." kata pula Koai Tosu penuh semangat.

 

"Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu dengan pertandingan!" Yo Han berseru dengan tegas.

"Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!"

Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu. "Siancai tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!" kata Thian Yang Ji.

Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.

"Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai.

Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!"

"Siancaii Ketika itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?

"Sama sekali tidak!" jawab Yo Han. "Akan tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!"

Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju melerai. "Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Samwi (Kalian berdua) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan di sini."

Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu maka dia pun memberi hormat dan berkata, "Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!"

Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Ketika semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet telah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun. Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.

Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang laki-laki yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, "Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gu Lam Sang!" Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang terkulai lemas. Tewas seketika!

Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja. Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gu Lam Sang yang menyamar! Kalau begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu dibunuh karena membocorkan rahasia itu.

Dia mencari terus tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia tidak melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu. Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

"Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?" katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.

"Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu." kata murid itu dengan heran.

"Dan di mana adanya Pangeran Tao Seng?"

"Tidak ada pangeran di sini!"

Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya, "Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?"

"Ada...." Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.

"Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!" Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.

"Di sana tempat tahanan itu?" Orang itu menunjukkan ke pondok lalu ke bawah.

Terpaksa Keng Han membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sehingga dia tidak berani berteriak.

"Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?"

"Benar, merupakan penjara rahasia."

"Bagaimana caranya masuk?"

"Di sana ada arca dan setelah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah."

"Kau tidak berbohong?"

"Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!"

"Terima kasih! Terpaksa aku membuatmu tidak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi." Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai dan tidak mampu bersuara. Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak dan berindap-indap dia memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Dia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.

Keng Han menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi lampu-lampu dinding. Dia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia mengintai. Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang! Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak maupun bersuara. Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersamadhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang aseli!

"Totiang....!" Keng Han berseru lirih. Akan tetapi cukup untuk menggugah tosu itu dari samadhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Siapa engkau orang muda?"

"Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang."

Pendeta itu terkejut dan girang lalu meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi. "Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol." kata kakek itu.

Keng Han teringat. "Akan saya cari kuncinya!" Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.

Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Peklian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggauta pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh!

"Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?"

Dengan singkat Keng Han menceritakan. "Gu Lam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai untuk bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama telah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yaing membunuh. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gu Lam Sang."

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berada di depan mereka.

"Niocu, kau.... di sini?" Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.

"Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamu Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?"

"Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona."

"Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gu Lam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?"

"Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah."

"Tapi....tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han."

"Engkau memang tidak berbohong, melainkan dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gu Lam Sang yang menyamar. Gu Lam Sang menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah."

"Ihhh.... rasanya tidak mungkin. Gu Lam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa."

"Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasihat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gu Lam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka."

"Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?"

"Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!"

Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gu Lam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang. "Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita."

"Tahan dulu....!" Terdengar teriakan nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.

"Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?"

Keng Han tidak menjawab melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.

"Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?" Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.

Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu. "Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapapun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Kenapa engkau menanyakannya?"

"Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu Dia adalah Thian It Tosu palsu!"

"Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, kenapa engkau bilang palsu?"

"Cu-wi menghendaki bukti?" suara Keng Han nyaring mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu. Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!

Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang, "Nah, saudara sekalian telah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang aseli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!"

Tentu saja Gu Lam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu dan kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru. "Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang aseli. Akulah yang aseli dan dia itu palsu!" Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gu Lam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.

 

"Tranggg....!" Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gu Lam Sang. Pemuda itu diharapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu menipu dan membohonginya.

"Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!"

"Engkaulah yang palsu, Gu Lam Sang!" bentak Bi-kiam. Nio-cu. Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang luar biasa.

Keng Han meloncat ke depan Niocu dan berkata, "Mundurlah, Niocu. Jahanam ini musuhku biarkan aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!"

Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian. "Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau lebih dulu!" Dengan bentakan ini, Gu Lam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih. Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gu Lam Sang, sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi, Gu Lam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak dan tidak mampu balas menyerang.

Saat itu Bi-kiam Nio-cu berteriak, "Keng Han, pakailah pedangku ini!" Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan. Sekarang dia juga memegang sebatang pedang dan ketika Gu Lam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.

"Tranggggg....!!" Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya dan Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu telah putus bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gu Lam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang amat ampuh.

Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gu Lam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han lalu balas menyerang dengan pedang buntungnya dan dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu merupakan serangan yang dahsyat. Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gu Lam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.

Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang aseli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana. Akan tetapi ketika Keng Han mainkan ilmu Hongin-bun-hoat, mereka bertiga memandang heran. Pemuda itu mainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal sedemikian hebatnya. Bahkan biarpun pedangnya sudah buntung, dia kini mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gu Lam Sang yang didesak terus itu mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat. Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu aseli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak menggunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!

Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, "Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu."

Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat akan tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gu Lam Sang benar-benar terdesak hebat.

Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, "Bocah lancang. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?"

Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan. Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gu Lam Sang terancam bahaya. Apalagi setelah melihat betapa Gu Lam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja dan ketiganya lalu keluar dan melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han gagal menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.

Melihat tiga orang datuk itu maju, Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali melihat Gu Lam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung dan berseru, "Main keroyokan bukan watak orang gagah!" Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biarpun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.

Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya pada Bi-kiam Nio-cu sambil berseru, "Enci pakailah pedangku ini!"

Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya lalu menghadapi Swathai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang. Pada saat itu, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li sudah mencabut suling emas yang diselipkan di pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong.

Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lomo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. "Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!" Dan tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengar suara berdesing nyaring dan suling itu menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.

Kini tinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han menghadapinya dan berkata, "Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!"

Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Dan selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang, "Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!"

Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya. Thian It Tosu lalu menghampirinya dan berkata, "Gu Lam Sang, engkau yang menjadi gara-gara keributan ini. Pinto tidak ingin Bu-tong-pai menjadi tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gu Lam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!"

Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu mundur dan melihat ini, Bi-kiam Nio-cu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu, Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. "Gu Lam Sang, untuk membuktikan siapa di antara kita berdua yang aseli dan palsu, marilah kita bertanding ilmu di sini, disaksikan semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tidak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?"

"Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang aseli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!" Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu. Kedua orang kakek itu kini saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang. Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Butong-pai yang aseli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang aseli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.

"Bunuh saja keparat itu!" demikian banyak orang berteriak-teriak marah. Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.

"Gu Lam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami."

Gu Lam Sang menyeringai. "Bagus kalau kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!" katanya dan karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, "Tubuhmu sudah penuh racun yang berada dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali."

Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, lalu diminumnya air teh itu. Setelah obat itu memasuki perutnya, di dalam perutnya mengeluarkan bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang. Tadi pun dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Kalau dilanjutkan agaknya dia akan kalah karena kalau mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri. Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkangnya. Tidak terjadi sesuatu. Itu merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.

"Lepaskan dia!" kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.

Biarpun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang. Dia tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu sambil berkata, "Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?"

"Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!"

Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.

"Tahan dulu!!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.

"Omitohud....! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau agar kami tidak harus menggunakan kekerasan!"

Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, telah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia dapat meloloskan diri dan bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.

"Kalian tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!" setelah membentak demikian, dia lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.

"Desss....!" Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan lalu diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!

"Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat malapetaka bagi dirinya sendiri!" kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.

"Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?"

"Benar."

"Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk mengadakan upacara membakar mayat di sini. Bolehkah?"

"Tentu saja boleh."

Thian It Tosu dia kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ. "Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian Semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Dan hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!"

Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, termasuk mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggauta Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.

 

Kini yang masih tinggal hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Nio-cu masih berada di situ.

Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya, "Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya." kata Keng Han.

"Tidak mengapa engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu." kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.

Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.

"Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi." katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bikiam Nio-cu.

"Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya."

"Totiang, saya ingin mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah ada murid Totiang yang mengetahui di mana dia bersembunyi?"

Seorang murid Bu-tong-pai cepat maju dan berkata, "Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe."

"Ya itulah orangnya!" seru Keng Han. "Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?"

"Tadinya mereka semua bersembunyi di kamar rahasia akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia dan melarikan diri melalui pintu belakang."

"Wah, aku harus mengejarnya!" kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ dan lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman.

 

Dia mengejar dan mencari terus, namun tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil dan kini tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersama ke Khitan, menghadap ibunya!

Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan.

Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi sudah memegang pedangnya, Tung-hai Lo-mo sudah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu telah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.

"Ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!" kata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.

"Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biarpun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!"

Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak, "Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!"

"Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!"

"Ha-ha-ha, jangan engkau membual!" kata Lam-hai Koai-jin. "Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?"

"Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!" jawab Keng Han.

"Sudahlah, kawan-kawan, tidak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!" Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya menyerang Keng Han. Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya! Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah. Baru saja dia hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya!

Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan kini kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu.

Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apalagi dia tidak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.

Tiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali dia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya merasa hawa yang amat panas menyerang dirinya.

Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.

"Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!"

Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.

"Kami harus membunuhnya! Dialah yang menggagalkan semua usaha!" Dan dia menyerang semakin gencar kepada Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih.

Tao Seng melihat betapa Keng Han terdesak hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya! Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, melainkan dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!

"Heiii! Apa yang kaulakukan ini, Ji-wangwe!" bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.

"Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!" Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.

"Keparat!" Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lokwi telah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.

"Ayahhh....!" Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong.

Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya dan ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya! Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindarkan semua serangan dan kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kaki pada dua senjata itu tubuhnya berjungkir balik ke belakang dan selamatlah dia dari tiga serangan yang dilakukan serentak itu. Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia meloncat ke dekat tubuh ayahnya.

"Ayah, engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

"Keng Han, larilah selagi ada kesempatan....aku.... aku tidak apa-apa....!"

Akan tetapi tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat tenaga. Selagi keadaan amat gawat bagi Keng Han itu tiba-tiba terdengar seruan, "Keng Han, terimalah pedangmu ini!"

Ternyata yang datang adalah Cu In! Gadis itu melemparkan pedang bengkok milik Keng Han yang telah diberikan kepadanya. Keng Han menyambut pedang bengkok itu dan melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In. Cu In menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia menyerang kepada Tung-hai Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata yang ampuh, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah dan dengan sin-kangnya ia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat melecut dengan ganasnya!

Bagaimana Cu In dapat datang pada saat yang amat gawat bagi Keng Han itu! Ternyata berita tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan terdengar pula oleh The-ciangkun, ayah Cu In. Mendengar ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya. Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai. "Aku dapat sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu, Ayah." katanya kepada ayahnya. Ayah dan ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya.

Ternyata ia datang terlambat dan pertemuan itu telah selesai dengan terbongkarnya rahasia penyamaran Gu Lam Sang dan ketika ia mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang Tung-tiai Lo-mo yang dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya dan melihat mukanya.

Diserang dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lomo lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju putih itu memiliki gin-kang istimewa. Selain gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan kecepatan kilat yang menyambar-nyambar. Biarpun hanya sabuk sutera, namun berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, didesak oleh Cu In yang penuh semangat untuk merobohkan lawan.

Sementara itu, Keng Han juga mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar