Akan tetapi Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah ia menarik lepas rambut kepala Siu Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.
"Siapakah gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih memandang dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.
"Dia Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu....." jawab Yo Wan, suaranya menggetar dan lemah. Karena keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang. Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!
"Iblis betina jahat! Hayo kauceritakan tentang fitnah keji yang kalian rencanakan, tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan aku!"
"Tipu muslihat apa? Berlaku galak terhadap aku setelah aku berada dalam keadaan tertotok, barulah disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah dan tipu muslihat!" jawab Siu Bi seenaknya, sepasang matanya yang bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.
"Plak! Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.
"Kalau kau tidak mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo mengakulah bahwa Ang-hwa-pai telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu dan aku melakukan perbuatan hina!"
"Hi..hi..hik, kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi..hi..hik, tak tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh cemburu. la mencinta Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya setelah ia membuntungi lengan pemuda itu, maka teringat bahwa gadis ini pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu dan benar Lee Si makin marah.
Ranting pohon di tangannya menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biarpun dalam keadaan marah, Lee Si masih teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon itu tidak akan menewaskan Siu Bi.
"Apakah yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan. Yo Wan menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia sendiri pun menjadi sakit hati dan marah maka biarpun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan oleh Ang-hwa-pai di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.
"Lee Si dan Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah sekali.
"Hemmm, keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si yang memuaskan dendamnya, biarlah."
Mereka berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi sudah penuh jalur-jalur. merah bekas sabetan, bajunya sudah robek sana-sini dan kulit tubuhnya matang biru.
"Kau masih tidak mau mengaku? Keparat, apakah kau ingin mampus?" Lee Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak ranting ini. Sebagai puteri ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiki dasar watak berangasan dan keras pula, sungguhpun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang sekali melepaskan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap tenang, sabar dan halus budi.
Tiba-tiba Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, mengejutkan dan mengherankan hati Cui Sian dan Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa masih tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan tidak kenal takut.
"Hi..hi..hik, Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala tipu muslihat curang, akan tetapi kau memaksa-maksa aku mengaku. Apa kaukira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi..hi..hik, kau marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta padaku, ahhh..... dan aku cinta padanya....." Suara ketawa tadi kini terganti isak tertahan.
Wajah Lee Si sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan membentak, "Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus" Pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.
"Tranggg.....!" Lee Si menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir tidak tampak.
"Yo-twako..... kenapa kau...."
"Adik Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu, apalagi dia sudah tertawan dan sudah kaulepaskan amarahmu kepadanya tadi. Siu Bi, kau tutuplah lulutmu, jangan menghina orang."
"Hi..hi..hik, kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku kalau memang jantan!"
Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi, sungguh sayang.....! Aku tidak akan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu kami lagi....." la melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan Siu Bi dari cabang pohon.
"Yo-twako, tahan dulu.....!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"
Yo Wan menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa tajam menentangnya, seakan-akan sinar mata itu mengandung hawa amarah kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri. Mungkinkah ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ah, sukar dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja Pedang..... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dijadikan tanda cinta kasih.
Sepasang pipi halus itu tiba menjadi merah dan Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia..... dia telah membuntungi lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kaupikir begitu seadilnya, Twako?"
Yo Wan mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapapun juga, kalau Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."
Terdengar Swan Bu mengerang dan mereka bertiga cepat menghampiri pemuda itu. Girang hati mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang tubuh. "Auhhh..... hemmm; bibi Cui Sian, dan....." wajahnya menjadi merah sekali. "..... dan kau, Lee Si Moi-moi....." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat berdiri.
"Kau..... kau.....?"
Yo Wan mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute....."
"Kau Yo Wan..... eh, Yo suheng" Dan keduanya berangkulan.
Pada saat mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.
"Eh..... dia..... dia kenapa.....?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan Yo Wan.
"Aku telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah ia membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.
Swan Bu melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat muka dan leher gadis itu penuh jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan diikatkan pada cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan. Hatinya trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan. Suatu ketidakmungkinan besar kalau dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!
"Swan Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia kira tentu karena demam, "katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya? Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang, sepatutnya ia dihukum dan....."
"Tidak, Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi!"
Yo Wan yang memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah normal kembali. Siu Bi membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum,
"Swan Bu, selamanya aku akan menantimu....." Setelah berkata demikian, gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.
"Ahhh.....!" Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali! Cui Sian dan Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. la dapat menduga sedalam-dalamnya. Tak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam pertempuran, apalagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.
"Hemmm, seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan....." kata Cui Sian sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.
"Sian-moi, kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san, akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan main-main, kurasa kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan kalau tidak ada bukti yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantar adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya, memaksanya membuka rahasia itu kalau mungkin di depan Tan-loenghiong sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."
Cui Sian mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung indah, "Aku tahu watak Kong Bu koko amatlah keras. Seperti baja kata ayah. Akan tetapi dia tidak dapat disalahkan kalau sekarang marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi seorang gagah."
"Itulah, Bibi, yang amat menggelisahkan hatiku." kata Lee Si. "Pada waktu itu aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat terlalu pandai. Memang nasibku yang buruk....." Lee Si menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena menyaksikan sikap Siu Bi tadi dan terutama karena Swan Bu membebaskan dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membntungi lengannya!
"Sudah, tenanglah, Lee Si. Dengan twako di sampingmu, yang akan mengurus penjernihan persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."
"Sian-moi, kau lebih mengerti tentang pengobatan daripada aku, kalau tidak demikian agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh, kalau salah perawatan bisa berbahaya....."
"Tidak apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."
Yo Wan sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tak terduga-duga ini, akan tetapi tugas lebih penting daripada perasaan pribadi, maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si. Dengan gadis ini di sampingnya, tentu saja perjalanan tidak dapat dilakukan secepat kalau dia pergi seorang diri. Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga tidaklah akan terlalu lambat.
Tidak demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia mengajak pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat untuk pemuda itu. Swan Bu jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai di Kong-goan.
"Kong Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu jujur untuk dapat menduga bahwa semua itu hanya fitnah yang diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui Sian menarik nafas panjang. Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan keluar dari dalam hutan setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, hanya hutan dan gunung yang mreka lalui, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, biarpun lambat, mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.
"Itulah yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan mendengar suaranya ketika itu, aku yakin bahwa dia tidak ragu-ragu untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani melawannya? Aku cukup inaklum betapa pedihnya urusan ini baginya..... dan aku tidak tahu bagaimana harus mengatasinya."
"Jangan khawatir. Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."
Biarpun keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah wajah gadis itu di sampingnya. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi kalau aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh..... dan sekarang dia mati-matian hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"
"Kau..... memanahnya?"
Swan Bu tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan manja, kurasa tidak ada orang yang dapat melawanku ketika itu." la lalu menceritakan kejadian di waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya berada di puncak Hoa-san. Kemudian datang ketua Sin- tung-kai-pang yang hendak mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biarpun sudah terpanah pundaknya oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.
Cui Sian kagum bukan main dan makin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di hatinya. "Hebat dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali tidak marah ketika itu! Dan sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam, malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."
"Mudah-mudahan, Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerimanya begitu saja, entahlah. Keadaan adik Lee Si ketika itu memang..... memang..... ah, kasihan dia, tentu saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."
Cui Sian termenung, lalu tiba-tiba la berkata, "Memang sukar menghapus luka itu, baik dari hati Lee Si maupun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan Bu."
"Jalan apakah itu, Sukouw?"
"Tiada lain, kau menikah dengan Lee Si!"
Wajah pemuda itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.
"Tidak..... tidak mungkin....."
Cui Sian sudah berhenti melangkah dan kini mereka berdiri berhadapan, Swan Bu menundukkan mukanya.
"Swan Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya tajam seperti pandang matanya.
Swan Bu mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia menunduk kembali, hatinya risau dan ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa kalau dia memaksa bicara, suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara hatinya.
"Swan Bu, aku tidak akan menyalahkan orang mencinta, sungguhpun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkfan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!"
Dengan suara rata dan lirih Swan Bu berkata, "Dia memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya."
Cui San menarik nafas panjang. "Betapapun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakanmu kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi makin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si." Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tiada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apalagi..... apalagi melihat lenganku yang buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?"
Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu derdengar lapat-lapat dari tempat jauh.
"Ada pertempuran di sana!" Kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi. Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tidak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.
Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Terang bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.
"Paman Kong Bu ....!!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi.....??"
Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu..... aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini..... tidak tampak orang lain..... ah, koko..... tidak dinyana begini nasibmu....."
Tiba-tiba Swan Bu menjerit dan melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanan menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "..... tak mungkin ini..... tak mungkin..... pedang..... Kim-seng-kiam....."
Cui Sian mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).
"Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya keren dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan penasaran terbungkus kemarahan.
"Kim-seng-kiam..... pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu....."
Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi. "Hem, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapapun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum jauh! Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.
"Sukouw....." Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.
"Sukouw, tunggu dulu? Tak mungkin ibu....." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya dan Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa Jia sendiri merasa ragu-ragu apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi kalau paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan..... ah, mungkin berakibat begini.
"Ah, paman Kong Bu, mengapa begini.....?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya. Kemudian, sambil menekan kedukaan hatinya, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada, kemudian setelah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya. Kemudian, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung, pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya.
* * *
Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah. Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh dan mereka di sepanjang jalan meneari keterangan tentang putera mereka, maka lama juga baru mereka sampai di luar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, keduanya beristirahat di dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya.
Kun Hong bersandar pada sebatang pohon dan hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh. Hui Kauw tak pernah pat (melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung, dan pada saat itu ia pun duduk termenung dalam bayangan pohon. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali dan ia menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw melompat-lompat ke arah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.
Gadis ini masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk. Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.
"Kasihan....." Hui Kauw berkata, tanpa ragu-ragu ia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula. la dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya.
"Siapakah dia?" Kun Hong bertanya. "Entah, seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan," jawab Hui Kauw.
Tanpa diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan tangan.
"Luka-lukanya tidak ada artinya, hanya luka kulit, tapi ia terserang hawa nafsu kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kaubantulah dengan Yang-kang pada punggung."
Hui Kauw sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu pengobatan dan sudah biasa ia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu nenempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui punggungnya.
Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu sudah siuman kembali dan jalan pernafasannya tidak memburu seperti tadi, malah akhirnya ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.
"Tenang dan kau berbaring saja, Nak. Biar kuobati luka-lukamu," kata Hui Kauw sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk. Gadis itu meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.
"Mula-mula memang perih rasanya, akan tetapi sebentar pun akan sembuh," kata Hui Kauw dan memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih, kemudian kelihatan tenang.
"Terima kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi....." Gadis itu bangkit duduk dan ketika ia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan ia nampak kaget.
"Siapa dia.....??"
Hui Kauw tersenyum. "Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah kau?"
Gadis itu menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia berkata, "Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara tentang diriku?"
Kembali Hui Kauw tersenyum, sama sekali tidak marah melihat kecurigaan orang. Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan sehingga mudah menaruh curiga terhadap orang lain.
"Jangan khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa Kun Hong dan aku isterinya..... he, kenapa kau.....?" Hui Kauw terheran-heran melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.
"Aku..... aku takut kalau..... kalau, mereka mengejar...."
"Jangan takut, kalau ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu," Kun Hong berkata, suaranya halus, akan tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. "Kau siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?"
Gadis itu duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong daii isterinya. "Aku Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku."
"Siapa mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?" tanya Hui Kauw.
Gadis itu kelihatan tenang sekarang. la duduk dan menarik nafas beberapa kali, kemudian ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap. "Aku seorang yang yatim piatu, hidup sebatangkara. Keluargaku habis dengan meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya dan bertemu, tapi..... tapi..... aku tidak dapat benci kepadanya, betapapun juga..... aku harus melaksanakan balas dendam. Baru berhasil sebagian, aku lalu dikeroyok..... dan ditawan, dicambuki dan disiksa. Akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan lari sampai di sini." la menengok lagi ke sana ke mari, tampak ketakutan. "Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku tidak berani pergi seorang diri....."
Hui Kauw mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak terjadi pertandingan dan darah mengalir, semua hanya karena dendam-mendendam yang tiada habisnya.
"Kau perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Kalau sampai besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan."
"Terima kasih, Bibi. Kau baik sekali." Gadis itu masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab kalau ditanya, itu pun singkat saja. la tidak menolak ketika Kun Hong dan Hui Kauw memberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan perjalanan. Atas pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja di mana katanya berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi tentu saja ia tidak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar kota Kong-goan. Kalau besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis ini melanjutkan perjalanan sendiri"
Malam itu dingin hawanya, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menanripung hasil panen tiap tahun, hanya merupakan sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding bambu biarpun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.
Kegelisahan hati, kelelahan, ditambah dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah atau susah menjadi lelah sekali dan memang sukar tidur, akan tetapi apabila tidur sudah menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas. Suami isteri ini tidur pulas di sudut pondok bambu. Kun Hong telentang, nafasnya panjang-panjang berat sedangkan isterinya tidur miring menghadapinya, nafasnya halus tidak terdengar.
"Bibi.....!" Hening tiada jawaban.
"Paman.....!" Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.
Siu Bi bangkit perlahan. la tadi rebah di sudut lain, tak pernah meramkan matanya. Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan bibi, malah kali ini agak dikeraskan suaranya. Akan tetapi sia-sia, mereka agaknya amat nyenyak tidurnya, tidak mendengar panggilannya. la menahan nafas lalu bangkit berdiri, mengerahkan seluruh tenaga ke arah matanya untuk memandang. Bulan di luar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dingin menerobos di antara celah-celah atap dan dinding yang tidak rapat, meinberi sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu tidur.
Pendekar Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya berdebar keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, melaksanakan dendam kakeknya! Sepasang matanya beringas dan nafasnya agak terengah mudah sekali. Satu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan..... lengan mereka akan buntung! Sungguh suatti hal yang sama sekali tak pernah ia mimpikan bahwa akhirnya ia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya sehingga ia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat kesempatan begini baik.
"Singgg!!" Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya. Siu Bi kaget sendiri mendengar suara ini cepat ia memandang ke sudut itu dan telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga pernafasan mereka masih biasa, tidak berubah.
la berpikir sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu ia masukkan kembali ke sarung pedang. Dia tidak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri. Akan tetapi ia teringat bahwa biarpun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka sadar, ia tak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Membuntungi seorang di antara mereka tentu menimbulkan pekik dan mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.
Ada sepuluh menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat. Tubuhnya agak menggigil tadi karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan ini, karena apa, yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup. la menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi rendekar Buta dan menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan sekarang. sekaligus menghadapi suami isteri itu dalam keadan yang amat menguntungkan!
Siu Bi membiasakan pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu. Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut di mana mereka tidur nyenyak. Dadanya kembali berdebar, terasa amat panas sukar baginya untuk bernafas punggungnya terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tidak menggigil lagi. la menahan nafas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya tertuju ke arah Hui Kauw. Nyonya itu tidurnya miring sehingga memudahkannya untuk menotok jalan darah di punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur terlentang, lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekah totokan. Oleh karena inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.
Setelah dekat sekali dan matanya dapat memandang dengan jelas, Siu Bi menahan nafas mengerahkan tenaga dalam, tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya yang kanan menotok punggung Hui Kauw. la merasa betapa ujung jari-jarinya dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus. Hui Kauw tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh, sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
Siu Bi yang merasa takut sekali kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri, kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat lunak, lebih lunak daripada kulit punggung Hui Kauw tadi. Pendekar Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat Siu Bi menotoknya pada punggung dan..... tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tak dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan tetapi karena dia tidak tertotok jalan darah di lehernya, dia dapat mengeluarkan suara yang terheran-heran,
"Eh..... eh..... apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi.....?" Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!
Saking tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan totokan-totokan tadi, ia telah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia terengah-engah lemas tubuhnya dan..... ia menangis terisakisak.
"Eh, anak baik, Kim Hoa..... apa yang terjadi? Kenapa kau menangis, dan Bibimu kenapa?" Kun Hong bertanya.
Siu Bi merasa betapa nafasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya. la melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!
"Eh-eh-eh, kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?"
Siu Bi menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. la sendiri berdiri menengadah, menarik nafas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin yang bersilir dan sinar bulan membuat nafasnya menjadi lega. la tidak gelisah lagi.
"Pendekar Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu." la tersenyum dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah Hui Kauw. Nyonya ini terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru,
"Bocah, kau siapa? Kenapa kau menyerang kami secara membuta?"
Siu Bi tersenyum lagi. "Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukah hal ini karena aku ingin membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta, ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, sekarang aku akan memenuhi sumpahku, membalas kalian dengan membuntungi lengan kiri kalian seperti yang kaulakukan terhadap kakek!" Siu Bi mencabut pedangnya. "Singgg!" lalu ia mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan,
"Kakek yang baik, kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangku..... sekarang kau tiada lagi..... tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek..... lihatlah dari sana betapa saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan tenang....."
Setelah berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah lengan kiri Kun Hong.
"Crakkk!" Sebuah lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil melompat ke belakang. Di depannya, entah dari mana datangnya, telah berdiri seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya!
"Kakek.....!" Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini. Akan tetapi ia melihat betapa lengan kiri yang buntung itu masih meneteskan darah segar sedangkan atas tanah menggeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang terbelalak ke arah orang di depannya, wajahnyaa pucat sekali.
"Siu Bi..... anakku.,..." Orang itu berkata, biarpun lengannya sudah buntung dan wajahnya pucat keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, namun mulutnya tersenyum, wajahnya yang setengah tua dan tatapan dibayangi kedukaan hebat.
"Kau..... kau...." Siu Bi berbisik ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kiri sehingga bukan lengan Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!
"Aku ayahmu, Siu Bi..... lama sekali dan susah payah aku mencarimu....."
"Bukan, kau bukan ayahku! Pergi.....!"
The Sun menggeleng kepalanya. "Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tidak boleh menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang diperbuat mendiang kakekmu dan aku....."
"Kau..... kau membunuh kakek, kau bukan ayahku..... sa..... salahmu sendiri.....,. kau menangkis pedangku....."
"Memang sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biarpun lengan suhu buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya sudah sepatutnya aku pula yang menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu. Kakekmu dan aku yang dahulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan, akan kedudukan dan harta, karena itu kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya.....! Aku bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan majikan-majikannya, aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau..... kau anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di Go-bi-san, siapa kira..... penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu..... dia mendidikmu untuk membalas dendam...,, akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di tanganku..... dan sekarang, Tuhan menghukum hambaNya kau sendiri membuntungi lenganku. Ah, aku puas..... seharusnya beginilah....."
Tiba-tiba Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan Swan Bu yang sudah ia buntung lengannya. Pada saat itu suami isteri yang tadinya rebah lumpuh, bersama melompat bangun,
"The Sun, hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapapun juga," kata Kun Hong.
The Sun tercengang dan membalikkan tubuhnya. Siu Bi menurunkan tangannya dan memandang bengong. "Kau..... kau..... sudah kutotok kalian....." katanya gagap.
Hui Kauw melangkah maju dan "plak! plak!" dua kali kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi bengkak.
"Bocah yang dididik menjadi binatang liar, dan keji!" kata nyonya ini, senyumnya mengejek. "Kaukira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta? Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak menanti apa yang akan kaulakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia sudah siap menangkis dan merobohkanmu. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan berkorban lengan. Benar, Tuhan menghukum hamba-Nya!"
Siu Bi kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan sudah menyembunyikan diri di dalam awan.
"Siu Bi..... tunggu....." The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah berceceran dari lengannya.
Kun Hong memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi. Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkangnya yang luar biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan diseret keluar menurut saja. Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu. Ketika The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.
"Hebat....." bisiknya.
"Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali, siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya.....? Anak itu sebetulnya tidak jahat..... dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik."
"Hemm, suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat? Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, kau bilang sudah menjadi manusia baik-baik?" Hui Kauw sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya, akan tetapi dibandingkan dengan suaminya, ia kadang-kadang merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah, dan terlalu sabar.
"Aku tidak mau menilai orang dari kebodohannya, isteriku. Menilai orang harus dari segi-segi baiknya, kalau ia melakukan, itu hanya karena ia lupa dan terseret oleh sesuatu yang membuat ia menyeleweng dari kebenaran. Gadis itu pada dasarnya baik, hanya ia dimabukkan oleh rasa dendam untuk membalas sakit hati kakeknya. Bukankah itu wajar bagi seorang gadis yang terdidik ilmu silat di pegunungan yang sunyi? Adapun The Sun, mendengar suaranya, ternyata dia telah mendapatkan kemajuan pesat dalam hatinya. Agaknya kalau kali ini kita menghadapi tentangan-tentangan, tentu bukan dari The Sun datangnya dan..... he, ada orang di pondok!" Cepat bagaikan kilat tubuh Pendekar Buta ini sudah mencelat ke arah pondok, disusul isterinya. Akan tetapi Hui Kauw hanya melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menghilang di balik pondok itu. Ketika mereka memeriksa, ternyata buntalan pakaian mereka masih ada juga tongkat Kun Hong masih ada. Akan tetapi pedang Kim-seng-kiam, pedang Hui Kauw, lenyap dari tempatnya semula, yaitu tadinya disandarkan pada bilik.
"Pedangku hilang! Mari kejar.....!" seru Hui Kauw, akan tetapi Kun Hong memegang lengannya.
"Jangan, percuma saja. Tentu dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Biarlah, kelak tentu kita akan bertemu dengan pencurinya. Bukan tidak ada maksudnya mencuri pedangmu.....?
"Ah, tentu gadis iblis tadi..... atau mungkin The Sun! Memang mereka jahat.....!"
Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya dan alisnya berkerut. "Bukan mereka..... The Sun terluka parah, lengannya buntung, tak mungkin dia melakukan hal ini, juga puterinya tidak. Mereka takkan senekat itu. Eh, bagaimana kau lihat orang tadi, ataukah kau tidak sempat melihatnya?"
"Hanya bayangan berkelebat cepat, kurasa lebih cepat daripada gerakan Siu Bi, entah laki-laki entah wanita, akan tetapi kalau laki-laki, tentu dia seorang bertubuh kurus kecil. Mungkin wanita."
"Hemmm, isteriku. Kalau tidak meleset dugaanku, orang yang mencuri pedangmu dan orang yang melakukan fitnah atas diri anak kita sehingga membuat Kong Bu marah, adalah sama. Entah siapa dia, akan tetapi yang jelas dia atau mereka adalah pengecut-pengecut yang tiada berharga, tidak berani menghadapi kita secara langsung melainkan dengan cara mengadu domba dan melakukan fitnah. Kita harus cepat ke Kong-goan dan menyelidiki ke kuil tua. Sekarang juga kita berangkat.
Apakah sesungguhnya yang terjadi dengan diri Tan Kong Bu, pendekar dari Min-san? Pedang Kim-seng-kiam milik Hui Kauw telah lenyap dicuri orang dari pondok itu, bagaimana tahu-tahu bisa menancap di dada Kong Bu yang mayatnya ditemukan oleh Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu seperti telah dituturkan di bagian depan?
Untuk mengetahui hal ini, mari kita mengikuti pengalaman mendiang Kong Bu, jago tua yang berhati sekeras baja dan berwatak jujur dan terbuka itu.
Dapat dibayangkan betapa malu, sedih, menyesal yang kesemuanya menimbulkan kemarahan besar di dalam hati Tan Kong Bu ketika dia menyaksikan puteri tunggalnya yang terkasih, mendapat penghinaan dari Kwa Swan Bu. Biarpun Swan Bu putera Pendekar Buta yang dia kagumi dan dia sayang pula, namun perbuatan pemuda itu melebihi segala batas dan jalan satu-satunya hanya memberi hukuman mati kepadanya! Lebih sakit hatinya ketika dia mendaki puncak Liong-thouw-san bertemu dengan Pendekar Buta suami isteri terjadi percekcokan dan dia tak mainpu menandingi suami isteri sakti itu. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan dia segera kembali menuju ke Kong-goan untuk mencari jejak Swan Bu lagi dan dia takkan mau berhenti sebelum bertemu dengan pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya!
Pada suatu pagt yang riaas baginya, dia memasuki sebuah hutan kecil. Di tengah hutan itu, di atas lapangan rumput yang luas, dia melihat tiga orang berdiri memandangnya, seakan-akan mereka sengaja menanti dan mencegat perjalanannya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw, tentu saja Kong Bu dapat menduga niat mereka itu, maka dia pun bersiap-siap sambil memandang tajam penuh selidik. Akan tetapi ternyata bahwa dia tidak mengenal orang-orang itu, sungguhpun dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang di dunia kang-ouw yang berkepandaian tinggi. Seorang di antara mereka adalah nenek tua yang berkulit kehitaman, pakaiannya berkembang merah, di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua adalah seorang kakek pendek gendut, mukanya seperti seorang dari utara, tidak membawa senjata, sedangkan orang ketiga adalah seorang kakek yang mulutnya tersenyum-senyum mengejek, juga pakaiannya serba merah sehingga kelihatan lucu sekali dan aneh, seperti seorang gila, tangannya memegang sebatang tongkat panjang. Melihat kakek ketiga ini, Kong Bu mengerutkan keningnya, serasa pernah dia melihat muka ini, tapi lupa lagi kapan dan di mana.
la hendak berjalan terus, tanpa menoleh, hanya melirik dari sudut matanya. Kalau mereka tidak mengganggunya, dia pun tidak akan mencari perkara selagi perkara sendiri yang cukup gawat belum selesai. Namun dia maklum bahwa ketiga orang itu bukanlah tokoh baik-baik, maka dia bersikap waspada.
"Bukankah dia itu jago Min-san? Kenapa berkeliaran sampai di sini?" tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek pendek gendut.
"Aha, apa kau tidak tahu, Sianjin? Anak perempuannya dihina orang, akan tetapi dia tidak berani berkutik karena yang menghina adalah putera Pendekar Buta!" jawab si nenek.
"Aih..aih..aih..... yang begitu mana patut disebut pendekar? Pengecut besar dia....." kata kakek berpakaian merah. Akan tetapi kakek ini terpaksa menghentikan kata-katanya dan cepat dia melempar diri ke kiri sambil menggerakkan tongkatnya menangkis ketika sesosok sinar cemerlang menyambarnya. Sinar itu adalah sinar pedang di tangan Kong Bu yang sudah menerjangnya dengan kecepatan kilat menyambar.
"Swiiinggg.....!" Sinar pedang menyambar, merupakan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin tajam!
"Hayaaaaa.....!" Kakek berpakaian merah berseru kaget dan cepat membanting tubuh ke kiri, berjungkir balik dan tongkatnya sudah diputar melindungi tubuhnya. Di lain detik Kong Bu sudah berdiri dengan kaki terpentang ebar, pedang melintang di depan dada, mata memandang tiga orang itu dengan sinar bernyalanyala.
"Siapakah kalian dan apa maksud kalian menghina orang lewat tanpa sebab?"
Nenek itu tertawa mengejek. "Hi..hi..hik, kau bilang tanpa sebab? Apakah kau hendak menyangkal betapa puterimu di kuil tua di Kong-goan tidur di samping putera Pendekar Buta yang telanjang.....? Hi..hi..hik, dan kau tidak berani....."
Nenek itu menghentikan tawanya karena Kong Bu sudah melangkah maju setindak, mukanya beringas, pedang di tangannya tergetar. "Bagaimana kau bisa tahu? Ah..... tahulah aku sekarang. Agaknya kalian inilah manusia-manusianya yang sengaja mengatur itu..... ah, betapa bodohku! Dan kau....." la menuding muka kakek berpakaian merah dengan pedangnya. "Kau Ang Mo-ko. Ya, ingat aku sekarang, kau bekas pengawal kaisar muda. He, Ang Mo-ko, apa kehendakmu menghadang dan menghinaku? Dan dua orangj ini siapa?"
Nenek itu melangkah maju, pedangnya sudah tercabut dan berada di tangannya, pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. "Kau putera Raja Pedang kan? Hi..hi..hik, Raja Pedang dan Pendekar Buta musuh-musuh kami, keluarga mereka pun musuh kami. Memang kami yang mengatur di kuil tua di Kong-goan. Hi..hi..hik, Tan Kong Bu, kau mau mengenal kami? Aku Ang-hwa Nio-nip, Kui Ciauw....."
"Ah, kau sisa dari Ang-hwa Sam-ci-moi? Bagus, kiranya musuh besar!" bentak Kong Bu.
"Dan sahabatku ini adalah Bo Wi Sianjin, sute dari mendiang Ka Chong Hoatsu....."
"Hemmm, semua adalah musuh-musuh besar ayah. Pantas, pantas..... heee, Ang-hwa Nio-nio, apa yang telah kalian lakukan terhadap anakku? Kalau memang kalian mendendam, mengapa tidak langsung menghadapi ayah atau aku, tua lawan tua. Kenapa mesti mengganggu bocah? Tak tahu malu engkau!"
Ang-hwa Nio-nio tertawa terkekeh. "Kami tawan anakmu dan anak Pendekar Buta, kami menotok mereka dan menjajarkan di dalam kuil, memancing kau masuk. Ihhh, kiranya kau begitu goblok, tidak dapat membunuh putera Pendekar Buta, ataukah..... kau tidak berani?"
"Keparat" Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Pedangnya Sudah berkelebat menyambar dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada Ang-hwa Nio-nio. Serangan ini hebat sekali, didorong oleh tenaga Yang-kang yang luar biasa, tak mungkin dapat dielakkan lagi saking cepatnya. Kalau bukan Ang-hwa Nio-nio yang diserang, tentu telah tembus dadanya oleh pedang. Akan tetapi wanita tua ini bukan orang lemah dan ia pun maklum bahwa mengelak berarti menghadapi bahaya maut. Maka sambil menjatuhkan diri ke kanan, pedangnya bergerak menangkis, berubah menjadi sinar keemasan.
"Tranggggg.....!" Tangan Kong Bu tergetar dan dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya. Diam-diam dia mengakui kelihaian nenek ini, akan tetapi yang membuat dia lebih bingung dan kaget adalah ketika dia melihat pedang bersinar keemasan di tangan si nenek. IA mengenal pedang ini, serupa benar dengan pedang isteri Pendekar Buta yang baru beberapa pekan ini dihadapinya. Ketika bertanding dengan Hui Kauw, nyonya itu pun menggunakan pedang ini. Apakah pedang mereka memang kembar?
"Iblis, pedang siapa kaupakai?" Kong Bu membentak dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi pedangnya bertemu dengan tongkat panjang dan kiranya Ang Mo-ko sudah maju pula mengeroyok.
"Hi..hi..hik, mau tahu? Pedang nyonya Pendekar Buta ini, dan sebentar lagi pedang ini yang akan mengambil nyawamu!"
Kong Bu seorang yang jujur, akan tetapi dia bukanlah orang bodoh pertemuannya dengan tiga orang ini siidah cukup baginya untuk membuka matanya, untuk memecahkan rahasia itu. Tahulah dia sekarang bahwa peristiwa antara Swan Bu dan Lee Si adalah peristiwa buatan mereka ini, musuh-musuh besar, ayahnya dan musuh-musuh Pendekar Buta pula. Me.reka sengaja memancing kemarahannya agar dia bermusuhan dengan Pendekar Buta. Agaknya melihat bahwa ia belum dapat membunuh Swan Bu, mereka tidak sabar dan kini mereka hendak turun tangan sendiri, membunuhnya dan kembali mereka hendak menjalankan siasat mengadu domba, yaitu hendak membunuhnya menggunakan pedang isteri Pendekar Buta yang entah bagaimana bisa terjatuh ke tangan Ang-hwa Nio-nio.
"Jangan kira gampang!!" la membentak dan segera ketua Min-san-pai ini mainkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat yang ampuh. Pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan lebar melibatlibat dan melayang-layang seperti seekor naga di angkasa yang mengamuk dan bermain-main di antara awan putih.
"Kok-kok-kok?" Bo Wi Sianjin si kakek gendut pendek sudah berjongkok dan melancarkan pukulan Katak Saktinya.
Pada saat itu baru saja Kong Bu menangkis pedang Ang-hwa Nio-nio dan melompat ke kanan menghindarkan diri dari tongkat Ang Mo-ko yang menyapu pinggangnya. Kagetlah dia ketika tiba-tiba mendengar suara aneh itu dari belakang dan tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat. Melihat sikap dan kedudukan kakek itu aneh sekali, Kong Bu tidak berani menghadapinya dengan kekerasan, melainkan mengelak sambil berjongkok. Angin pukulan menyambar lewat di atas kepalanya dan alangkah kagetnya ketika kain pembungkus kepalanya hancur berkeping-keping. Baru diserernpet hawa pukulan itu saja sudah demikian hebat akibatnya, dapat dibayangkan betapa akibatnya kalau pukulan aneh itu tepat mengenai perutnya!
Maklumlah pendekar ini bahwa di antara tiga orang lawannya, kakek pendek yang bertangan kosong inilah yang paling berbahaya.
Karena itu, Kong Bu segera mengubah siasat. la sengaja bergerak dan melayang cepat, sengaja . dia menjauhkan diri dari Bo Wi Sianjin, atau dia sengaja mengambil posisi sedemikian rupa agar kakek pendek itu selalu terhalang oleh Ang Mo-ko atau Ang-hwa Nio-nio sehingga tidak berani melancarkan pukulan jarak jauh yang mujijat tadi karena jika demikian, tentu ada bahayanya memukul kawan sendiri.
Setelah dalann pertempuran seperempat jam lamanya belum juga mereka dapat merobohkan Kong Bu, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran sekali. Nenek ini mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloneat bagaikan seekor burung walet, pedangnya diputar menerjang Kong Bu dari atas, dan tangan kirinya mengirim pukulan Ang-tok-ciyng yang tak kalah berbahayanya.
"Cring-cring-cring.....!" Tiga kali pedang Kong Bu menangkis serangan beruntun itu. Serangan Ang-hwa Nio-nio memang aneh dan hebat. Begitu pedangnya tertangkis, pedang itu terpental bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan terus menjadi gerak serangan susulan yang makin lama makin hebat. Terpaksa Kong Bu mainkan Yang-sin Kiam-hoat bagian pertahanan setelah melihat betapa tiga kali tangkisannya tidak membuyarkan rangkaian serangan lawan. Kini pedangnya diputar seperti payung dan jangankan baru serangan pedang Ang-hwa Nio-nio, biarpun hujan deras menyiramnya, tak setetes pun air akan dapat mengenai bajunya.
Pukulan Ang-hwa Nio-nio dengan tangan kiri, tak berani Kong Bu menerimanya langsung. la dapat melihat betapa tangan nenek itu menjadi merah, tanda bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. la hanya menggeser kaki miringkan tubuh sambil menangkis dari samping. Sebagai ahli Yang-sin Kiam-hoat, tentu saja Kong Bu memiliki tenaga Yang-kang istimewa kuatnya, maka benturan ini membuat nenek tadi terhuyung-huyung dan serangannya otomatis gagal.
Ang Mo-ko menanti kesempatari baik. Selagi kedua pedang tadi berkelebatan beradu cepat, dia tidak berani sembrono dengan tongkatnya, karena selain hal ini dapat mengacaukan permainan pedang Ang-hwa Nio-nio, juga salah-salah tong, katnya akan kena benturan pedang kawannya. Kini melihat betapa libatan sinar-sinar pedang itu sudah teriepas dan Kong Bu juga terhuyung ke kanan oleh benturan tenaga tadi, cepat laksana kilat tongkatnya menyelonong maju, digetarkan sehingga ujungnya berubah menjadi belasan batang yang kesemuanya menyerang dengan totokan-totokan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Hebat memang ilmu tongkat Ang Mo-ko. Bagian tubuh yang berbahaya dimulai dari ubun-ubun kepala terus ke bawah dalam jarak sejengkal tangan, yaitu dari ubun-ubun ke mata, telinga, tenggorokan, pundak, ulu hati, pusar dan seterusnya. Anehnya, ujung tongkat yai g hanya satu ini, setelah dia getarkan sedemikian kuatnya, seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan menyerang semua bagian berbahaya itu sambil mengeluarkan suara mendengung-dengung!
Melihat penyerangan yang luar biasa ganasnya ini Kong Bu mengeluarkan suara melengking tinggi dari kerongkongannya. Inilah pengerahan sinkang yang istimewa, disertai suara melengking, sebuah ilmu kesaktian yang dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung! Bunyi lengking tinggi ini selain menambah daya pemusatan sinkang, juga mengandung tenaga yang menggetarkan jantung lawan. Sambil melengking-lengking Kong Bu menggerakkan pedangnya yang menerobos di antara bayangan ujung tongkat.
Terdengar suara keras ketika tongkat di tangan Ang Mo-ko patah-patah menjadi lima potong dan disusul pekik mengerikan karena tanpa dapat dielakkan lagi oleh Ang Moko, pedang di tangan Kong Bu sudah menancap tenggorokannya sampai tembus dan sekali Kong Bu merenggut ke kanan, leher itu hampir putus! Tubuh Ang Mo-ko roboh miring, kepala yang lehernya hampir putus tertindih paha, darah menyembur-nyembur dan kaki tangan berkelojotan, kaku kejang seakan-akan tubuh yang rusak lehernya oleh pedang itu masih tak tega berpisahan dengan nyawa!
"Keparat, terimalah pukulanku!" terdengar bentakan dari belakang Kong Bu disusul suara "kok-kok-kok!" seperti tadi. Kong Bu maklum bahwa kakek pendek itu sekarang mendapat kesempatan melancarkan pukulannya yang aneh dan mujijat. Cepat dia memutar tubuhnya, berusaha mengelak sambil mengerahkan sinkang di kedua lengannya, mendorong ke depan untuk menahan gelombang serangan tenaga yang tidak tampak. Nampak pukulan Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin ini bukan main hebat dan kuatnya.
Kong Bu merasa betapa tubuhnya seperti ditembus angin taufan yang tak tertahankan, dorongannya membalik dan tubuhnya melayang seperti layang-layang putus talinya! Pada saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio meluncur dan membabat pinggangnya. Baiknya Kong Bu adalah seorang jagoan yang sudah matang kepandaiannya, maka biarpun tubuhnya melayang di udara, dia cepat dapat menguasai dirinya lagi sehingga melihat sinar pedang berkelebat mengancam pinggang, dia masih dapat menggerakkan pedangnya sekuat tenaga menangkis.
"Tranggggg.....!!" Tubuh Kong Bu melompat sambil berjungkir-balik, membuat salto sampai tiga kali sebelum kedua kakinya menginjak bumi. Akan tetapi kagetlah dia ketika melihat bahwa pedangnya telah patah di dekat gagangnya. Dengan hati geram dia membanting gagang pedang, lalu melolos sarung pedang yang dipegang di tangan kanannya, juga melepaskan ikat pinggang yang terbuat dari sutera kuning. Biarpun tidak sehebat pedangnya yang patah, namun dengan sarung pedang dan ikat pinggang di tangan, Kong Bu masih merupakan lawan yang amat tangguh!
Kembali Ang-hwa Nio-nio menyerang, kali ini nenek itu memperlihatkan ginkangnya. Sekali kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang seperti terbang ke arah Kong Bu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah menjadi segulung sinar bundar, diiringi suara seruannya yang nyaring, Kong Bu maklum akan keampuhan pedang di tangan nenek itu, pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. la maklum pula bahwa kalau dia menangkis dengan sarung pedang, tentu senjatanya ini akan terbabat putus, maka dia lalu membentak keras, ikat pinggangnya di tangan kiri bergerak seperti seekor ular nienyambar, ujungnya menyambut pedang lawan dengan maksud melibat pedang atau lengan yang memegang pedang. Namun Ang-hwa Nio-nio juga bukan seorang ahli silat sembarangan. Tak mau ia mengadu pedangnya dengan benda lemas itu. la menarik pedangnya, turun ke atas tanah lalu mengubah serangannya, menusuk dan membabat bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya.
Kong Bu melengking keras ketika dari belakang terdengar suara "kok-kok-kok", pukulan mujijat dari Bo Wi Sianjin. Terpaksa dia menghindar ke kiri, akan tetapi di sini dia disambut oleh tusukan pedang yang dapat ditangkisnya dari samping dengan sarung pedang. Ikat pinggangnya dikelebatkan ke sbelakang menyerang kaki Bo Wi Sianjim Serangan ini kelihatannya sepele, akan tetapi kiranya akan celakalah kakek pendek itu kalau? kakinya sarnpai kena terlibat ikat pinggang! Bo Wi Sianjin tertawa mengejek, sambil melompat tinggi, kemudian turuni dan melancarkan pukulan Katak Sakti lagi yang juga dapat dielakkan oleh Kong Bu, walau dengan susah payah.
"Heh..heh..heh, ada apa ini ribut-ribut? terdengar suara yang kaku dan ganjil, suara orang asing. Kong Bu melirik dan melihat seorang kakek asing berkulit hitam, tinggi besar bersorban, telinganya memakai anting-anting, jalan mendatangi bersama seorang hwesio yeng juga tinggi besar akan tetapi sudah tua sekali, hwesio yang pakaiannya sederhana dan bajunya dibuka lebar di bagian dada. Mereka itu bukan lain adalah Maharsi dan Bhok Hwesio
"Ji-wi Lo-suhu mengapa baru datang? Ang Mo-ko tewas oleh keparat ini" teriak Ang-hwa Nio-nio, setengah menyesal akan tetapi juga girang.
"Dia mampus pun salahnya sendiri, karena kepandaiannya masih rendah," jawab Maharsi seenaknya. "Inikah jago Min-san putera Raja Pedang? Heh..heh..heh, ingin kucuba!"
Kong Bu kaget sekali. la masih sibuk menghadapi desakan pedang Ang-hwa Nio-nio dan pukulan mujijat Bo Wi Sian-jin. Sekarang tiba-tiba pendeta India yang tinggi itu berjalan miring-miring mendekatinya, lengan tangannya bergerak dan lengan itu seperti mulur, tahu-tahu sudah dekat dengan kepalanya, didahului angin pukulan yang tak kalah mujijatnya oleh angin pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin.
Kong Bu cepat menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan. Hanya dengan cara ini dia tadi dapat terbebas dari bahaya maut. Saking marahnya, Kong Bu mengeluarkan lengking tinggi bersambung-sambung, melompat bangun dan mengamuk. Namun pihak lawan terlalu banyak dan terlalu tangguh. Pada suatu saat dia berhasil menghindar dari pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin, akan tetapi tidak dapat mengelak dari pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi.
Punggungnya kena dorongan dahsyat ini, dia terbanting roboh, nafasnya sesak dan setengah pingsan. Pada saat itulah Ang-hwa Nio-nio melompat dekat dan menusukkan Kim-seng-kiam ke dadanya. Pedang ini imblas sampai setengahnya lebih, tepat menghunjam dada kiri dan menembus jantung sehingga jagoan sakti pendekar Min-san ini tewas di saat itu juga tanpa dapat mengeluh lagi.
Dan demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu dari jauh mendengar lengking tinggi dari Kong Bu, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, hanya melihat mayat Tan Kong Bu dengan pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Melihat pedang ini yang diakui sebagai pedang ibunya oleh Swan Bu, Cui Sian marah bukan main. la dapat menduga bahwa kakaknya yang berdarah panas dan berwatak keras itu tentu tewas di tangan isteri Pendekar Buta. la pun maklum bahwa tentu kakaknya itu marah-marah kepada Pendekar Buta suami isteri, menuduh Swan Bu melakukan perbuatan hina terhadap Lee Si, dan mungkin suami isteri itu pun merasa marah karena puteranya dimaki-maki sehingga timbul percekcokan. Akan tetapi, kalau sampai membunuh kakaknya, ini keterlaluan namanya dan ia tidak akan menerima begitu saja!
Jangankan Cui Sian, sedangkan Swan Bu sendiri diam-diam juga menduga demikian. Mana bisa lain orang yang membunuh Kong Bu kalau pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Pedang itu tak mungkin terlepas dari tangan ibunya! Swan Bu gelisah sekali, bingung dan berduka. Akan tetapi ada satu kenyataan yang menghibur hatinya, yakni bahwa pedang itu masih tertancap di dada Kong Bu dan ditinggalkan begitu saja. Mungkinkah kalau memang ibunya yang membunuh Kong Bu, ibunya meninggalkan pedang itu tertancap di dada lawannya? Apakah karena mendengar kedatangannya bersama Cui Sian tadi, ibunya lalu tergesa-gesa pergi sehingga tak sempat mencabut pedangnya? Ah, sukar dipercaya kemungkinan ini. Apa sukarnya mencabut pedang apalagi bagi ibunya! Agaknya lebih patut kalau ada orang yang SENGAJA meninggalkan pedang itu di dada Kong Bu. Dan siapapun orangnya, tak mungkin orang itu ibunya! Jadi, tentu ada orang lain yang kembali melakukan fitnah untuk kali ini memburukkan nama ibunya. Akan tetapi bagaimana orang itu dapat menggunakan pedang Kim-seng-kiam?
Swan Bu berjalan terhuyung-huyung, kesehatannya masih belum pulih seluruhnya, kini hatinya terhimpit perasaan yang tidak karuan, jiwanya tertekan oleh peristiwa-peristiwa yang hebat. la berjalan perlahan memandangi pedang ibunya di tangan.
"Ah, Kim-seng-kiam..... kalau saja kau bisa bicara..... tentu kau akan dapat bercerita banyak....." keluhnya.
"Swan Bu.....!"
Pemuda itu tersentak kaget. Suara itu! Cepat dia membalikkan tubuh dan sejenak wajahnya yang tampan dan pucat itu berseri. Dilihatnya gadis yang selama ini mengaduk-aduk hatinya, yang mendatangkan derita, bahagia, kecewa dan harapan di hatinya, Siu Bi, berdiri hanya beberapa meter jauhnya di depannya! Gadis itu mukanya pucat, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, sinar matanya sayu dan pipi yang masih berbekas air mata itu kini kembali digenangi air mata yang mengalir turun.
"Siu Bi....." Swan Bu berbisik, tak sengaja melirik ke arah lengan kirinya yang buntung dan ujungnya dibalut.
Lirikan ke arah lengan buntung inilah yang agaknya memecahkan bendungan yang menahan gelora di hati Siu Bi yang ditahan-tahan. Gadis ini menjerit, lalu lari maju, menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu, memeluk kedua kaki pemuda itu dan menangis tersedu-sedu.
"Swan Bu..... Swan Bu..... kauampunkan aku.....Swan Bu..... ampunilah aku..."
Tak kuat hati Swan Bu menahan air matanya yang turun bertitik-titik ketika dia menunduk memandang kepala Siu Bi yang kusut rambutnya. Kedua kakinya terasa lemas dan dia pun berlutut pula.
"Siu Bi, selalu aku memaafkanmu....."
Mereka berpandangan melalui air mata, kemudian bagaikan besi tertarik semberani, keduanya berangkulan, bertangisan dan berpelukan. Dengan air mata mereka saling membasahi muka masing-masing dalam ciuman-ciuman yang digerakkan oleh hati penuh kasih sayang, penuh iba dan haru.
Setelah gelora hati mereka mereda, Siu Bi menyembunyikan mukanya ke dada Swan Bu dan mereka terhenyak duduk di atas tanah, tak bergerak, seluruh tubuh lemas, tenaga habis oleh letupan gelora hati tadi, terasa nikmat penuh damai di hati. Dengan tangan kanannya Swan Bu membelai dan mengelus-elus rambut hitam yang awut-awutan itu.
"Siu Bi aku selamanya mengampunkan engkau, karena aku cinta kepadamu, Siu Bi, karena aku tahu apa yang mendorongmu melakukan semua itu....." bisik Swan Bu.
Siu Bi mengangkat mukanya dari atas dada Swan Bu dan memandang. Kedua muka itu berpandangan, dekat sekali, masih basah oleh air mata.
"Swan Bu aku... aku tidak turut dalam tipu muslihat busuk itu ..... aku bukan sekutu Ang-hwa Nio-nio....."
Swan Bu mendekap muka yang kelihatan begitu pucat dan penuh kekhawatiran itu. "Siu Bi jiwaku..... tidak, aku tidak percaya itu, kau bukanlah jahat seperti mereka....."
Siu Bi menarik nafas panjang, hatinya lega dan ia kembali membaringkan kepalanya di atas dada Swan Bu, sepasang matanya dimeramkan."
"Aku memang jahat, Swan Bu, tapi..... tapi..... untuk menyenangkan hatimu, hati seorang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku, aku..... aku mau belajar baik! Kaubimbinglah aku, Swan Bu, ajarilah aku bagaimana bisa menjadi orang baik..."
Swan Bu tersenyum. "Kau adalah orang baik, Siu Bi....."
"Tidak, aku tak tahu harus berbuat apa kalau terpisah dari padamu, Swan Bu. Jangan kita berpisah lagi, aku..... aku takut hidup sendiri. Aku ikut denganmu....." Tiba-tiba ia memegang lengan yang buntung itu, memandangnya dan kembali ia menangis tersedu-sedu, menciumi ujung lengan yang dibalufr. "Ahhh... aku tak dapat mengganti lenganmu, Swan Bu..... biarlah kuganti dengan seluruh tubuhku, dengan nyawaku..... aku..... aku selamanya akan mendampingimu, melayanimu...
Dengan mesra Swan Bu memeluk dan menciuminya, kemudian pemuda ini teringat akan sesuatu dan menarik nafas panjang. "Tak mungkin....." katanya lirih dengan nada sedih.
Siu Bi tampak kaget, "Apa katamu? Apa yang tak mungkin?"
"Siu Bi, kau tahu bahwa aku mencintamu, dan takkan ada kebahagiaan yang lebih besar daripada selalu berada di sampingmu selama hidupku. Akan tetapi agaknya hal ini hanya lamunan kosong..... karena..... apa pun yang terjadi, apalagi setelah paman Kong Bu tewas...... agaknya jalan satu-satunya bagiku hanya..... mengawini Lee Si."
"Apa.....?" Siu Bi merenggutkan dirinya dan memandang dengan mata terbelalak.
Swan Bu menunduk sedih, tidak tahan menatap pandang mata yang penuh keperihan hati itu. Menarik nafas panjang lagi lalu berkata,
"Siu Bi, kau sendiri mengerti betapa tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio menimbulkar kejadian yang amat hebat. Ayah Lee Si, yaitu paman Kong Bu, marah sekali dan tentu saja marah kepadaku dan kepada orang tuaku. Dan tadi..... aku mendapatkan paman Kong Bu telah tewas, terbunuh orang di dalam hutan. Peristiwa di Kong-goan ini akan merusak nama Lee Si untuk selamanya, kecuali kalau..... kalau aku..... mengawininya. Hanya itu jalan satu-satunya, dan demi menjaga kerukunan kedua keluarga, demi mencuci bersih nama Lee Si yang tidak berdosa, agaknya..... agaknya..... jalan itulah satu-satunya....."
"Swan Bu..... tapi kau..... kau cinta padaku kan?"
"Aku cinta padamu, Siu Bi."
Siu Bi menubruk dan memeluknya lagi. Cukup bagiku. Kau boleh mengawininya, kalau itu kau anggap penting. Bagiku, asal kau cinta padaku, asal aku boleh menebus dosaku kepadamu dengan jiwa ragaku, asal....." Tiba-tiba Siu Bi bangun, juga Swan Bu bangkit berdiri. Keduanya sudah mencabut pedang dan memandang ke arah seorang pemuda yang jalan mendatangi, pemuda yang bukan lain adalah Ouwyang Lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar