09 Raja Pedang

"Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani mereka," kata Sian Hwa. Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama lima bulan.

Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-san untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid keponakannya. Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini menghibur hatinya dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Agak terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu. Apa-lagi terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya.

* * * Pada waktu terjadi perang kecil antara serombongan orang Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Tan Hok melawan pasukan Mongol yang mengakibatkan musnahnya pasukan Mongol di kaki Gunung Hoa-san, beberapa orang tosu Hoa-san-pai melaporkan hal itu kepada Sian Hwa. Memang gadis ini dianggap orang yang paling pandai di antara para tosu. Lian Bu Tojin sendiri sedang bersamadhi dan sama sekali tidak boleh diganggu, maka kepada Sian Hwa mereka itu menuturkan tentang perang di kaki gunung. Mendengar ini, dengan dikawani lima orang tosu kepala yang sudah tinggi kepandaiannya, Sian Hwa lalu berlari turun dari puncak. Kepada anak-anak keponakannya ia berpesan agar supaya jangan meninggalkan taman dan bermainmain di dalam taman saja.

Kedatangan Sian Hwa dan lima orang tosu di tempat pertempuran sudah terlambat.

Tan Hok dan teman-temannya, termasuk Beng San, sudah lama meninggalkan tempat itu dikejar pasukan Mo-ngol lain yang lebih besar jumlahnya dan yang seperti kita telah ketahui, dipancing untuk mengalami kehancuran di Pek-tiok-kok.

Liem Sian Hwa hanya mendapatkan tanah yang baru digali, yaitu tempat di mana mayat-mayat serdadu Mongol dikubur oleh Beng San dan yang kemudian dibantu oleh Tan Hok dan teman-temannya. Melihat adanya sebuah bendera Pek-lian-pai di pohon, timbul kemarahan di hati Sian Hwa. Betapapun juga, Pek-lian-pai sekarang sudah menjadi musuh besarnya. Bukankah, ayahnya terbunuh oleh orang Pek-lian-pai dah Kwee Sin? Saking marahnya, ia merenggutkan bendera itu dari pohon dan merobek-robeknya, Seorang tosu mendekati dan berkata.

"Sumoi, kenapa kau merobek-robek bendera Pek-lian-pai itu? Bukankah itu bendera orang-orang yang melawan pasukan Mongol?" "Pek-lian-pai perkumpulan orang-orang jahat! Kalau aku melihat mereka tadi di sini, akan kulawan dan kubasmi semua!" seru Sian Hwa dengan suara marah. "Suheng sekalian apakah tidak ingat bahwa ayahku terbunuh oleh paku Pek-lian-ting. milik Pek-lian-pai? Bagaimana aku tidak akan memusuhinya?" "Bagus, bagus! Memang Pek-lian-pai jahat sekali, patut dibasmi! tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika Sian Hwa menengok, ternyata yang bicara adalah seorang lakilaki muda yang tampan, selalu tersenyum dan pakaiannya indah sekali. Muka gadis itu seketika menjadi merah karena sinar mata pemuda ini amat tajam, bersinar-sinar tidak menyembunyikan kekagumannya ketika menatap kepadanya. Orang muda itu lalu memberi hormat, menjura sambil mengangkat kedua tangan dengan sikap yang halus sekali sehingga tiada kesempatan bagi Sian Hwa untuk marah.

"Maafkan saya, Nona. Saya Souw Kian Bi dan saya merasa sangat cocok dengan pendapat Nona tadi. Memang Pek-lian-pai adalah perkumpulan orang-orang jahat".

Liem Sian Hwa tak mungkin dapat marah terhadap orang yang bersikap manis dan hormat sungguhpun hatinya tidak senang melihat kelancangan orang ini. Terpaksa oleh sopan santun ia balas menjura dan berkata singkat.

"Saya tidak ada urusan dengan Tua, ini juga tidak mengenal Tuan. Maafkan bahwa saya tidak sempat bercakap-cakap lebih lama lagi." Nona ini membalikkan tubuh hendak pergi.

Souw Kian Bi melangkah maju. "Perlahan dulu, Nona. Apa salahnya kalau kita sekarang berkenalan? Apakah Nona anak murid Hoa-san-pai?" Lima orang tosu yang mengawani Sian Hwa merasa tidak senang melihat ada seorang muda berani menegur sumoi mereka. Dianggapnya pemuda itu kurang ajar.

Seorang di antara para tosu itu mencela.

"Sumoi tidak ada urusan denganmu, orang muda. Harap jangan mengganggu lebih jauh." Sambil berkata demikian, tosu itu menggerakkan tangan bajunya untuk mendorong orang muda itu minggir karena orang itu menghalangi jalan. Tentu saja dia mengerahkan tenaga untuk memperlihatkan kepandaian dan untuk menakut-nakuti orang muda itu. Orang muda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi ketika lengan baju itu mengenai dadanya, bukan pemuda itu yang terdorong, melainkan tosu tadilah yang terpelanting. Tosu itu berseru kaget dan menjadi marah.

"Eh, kau mau main-main?" bentaknya sambil mencengkeram ke arah pundak.

"Suheng, jangan.....!" Sian Hwa memperingatkan tosu itu karena gadis ini melihat bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, terbukti dari gerakan kakinya ketika terdorong tadi. Namun terlambat, tangan tosu itu terpelanting. Hanya kali ini terpelanting keras sampai terbentur batu dan mengeluarkan darah.

Empat orang tosu yang lain menjadi marah sekali. "Keparat, berani kau merobohkan saudara kami?" Serentak empat orang tosu ini menerjang pemuda tadi dengan pukulan-pukulan tangan. Souw Kian Bi, pemuda aneh itu, hanya tersenyum saja tanpa menangkis, hanya menundukkan kepala untuk menghindarkan pukulan yang mengancam mukanya. Terjadi hal yang aneh sekali. Kepalan tangan empat orang tosu itu dengan jelas kelihatan mengenai tubuh pemuda itu sampai terdengar suara bakbik- buk, akan tetapi tosu-tosu itu berteriak kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang sudah menjadi bengkak-bengkak. Mereka merasa seperti memukul baja, bukan badan orang! Sian Hwa tak dapat menahan kesabarannya lagi, karena di samping merasa heran sekali. Biarpun kepandaian empat orang suhengnya belum tinggi benar, namun menerima pukulan dengan badan dari empat orang sekaligus seperti pemuda itu dan membuat si pemukul sendiri bengkak-bengkak tangannya, benar membuktikan bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Tanpa ragu-ragu ia. lalu mencabut pedangnya, meloncat dekat dan membentak.

"Manusia sombong, berani kau bermain gila di depanku?" la melintangkan pedang di dada lalu menantang. "Hayo keluarkan senjatamu, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!" Orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi itu tersenyum dan pandang matanya makin membayangkan kekaguman? "Kau hebat, Nona, hebat sekali. Patut menjadi sahabat baikku. Cantik dan gagah perkasa, hemmm....." Tentu saja muka Sian Hwa menjadi makin merah. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak senang dipuji seorang laki-laki, terutama sekali dipuji akan kecan-tikannya.

Demikian pula Sian Hwa. Akan tetapi di samping rasa senangnya ini, terdapat pula perasaan marah karena dianggapnya laki-laki itu kurang ajar.

"Siapa sudi menjadi sahabatmu? Hayo keluarkan senjatamu, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau habis kesabaranku ....".

Souw Kian Bi tertawa, tampak barisan giginya yang putih dan rapi. "Kau hendak main-main dengan pedang? Oho, bagus sekali. Memang kurang mesra perkenalan kita kalau tidak melalui ujung senjata. Nah, aku sudah siap, kau perlihatkanlah ilmu pedangmu, Nona Manis." Pemuda itu sekarang sudah memegang sebuah pedang yang amat indah karena gagang pedang itu dihias dengan batu-batu kumala. Selain indah bentuknya pedang itu pun nampak amat tajam sampai berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Melihat lawannya sudah bersenjata, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Sian Hwa segera menerjang maju dengan gerakannya yang amat lincah dan cepat. Sepasang pedang di kedua tangannya mengeluarkan suara mengaung ketika ia menghujani Souw Kian Bi dengah serangan-serangan maut. Sepasang pedang itu lenyap berubah menjadi dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, amat luar biasa dipandang.

Souw Kian Bi mengeluarkan seruan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Cepat-cepat dia memutar senjatanya melindungi diri sehingga berkali-kali terdengar suara pedang bertemu pedang. Lima menit sudah Souw Kian Bi hanya menangkis dan melindungi diri saja, kemudian tiba-tiba dia meloncat ke belakang sambil berseru.

"Jadi Nona ini Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, orang termuda dari Hoa-san Sie-eng? Pantas begini lihai dan cantik!" la tersenyum-senyum lagi, senyum memikat dengan sinar mata kagum.

Kembali wajah Sian Hwa menjadi merah "Tak usah banyak cakap, kau sudah merobohkan lima orang suhengku. Kau boleh coba merobohkan aku, baru patut menyombongkan diri!" Kembali gadis ini menubruk maju sambil mainkan sepasang pedangnya.

Souw Kian Bu cepat menangkis lagi sambil tertawa. "Alangkah akan senangnya andaikata aku dapar merobohkanmu, Nona, merobohkan hatimu terutama sekali.

Alangkah senangnya....." "Keparat kurang ajar!" Sian Hwa memperhebat serangannya dan kali ini Souw Kian Bi terpaksa mengeluarkan kepandaiannya untuk melindungi dirinya dari ancaman maut. Gadis itu merasa heran sekali ketika mendapat kenyataan bahwa orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi ini ternyata memiliki ilmu pedang yang amat aneh gerakannya, akan tetapi juga amat lihai. Semua serangannya dapat ditangkis dengan mudah, malah setiap kali pedangnya beradu dengan pedang lawannya, ia merasa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga dalam pemuda itu juga tidak kalah olehnya. Diam-diam ia mengeluh dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. la akan merasa malu sekali kalau sampai kalah oleh pemuda ceriwis ini.

Di lain pihak, Souw Kian Bi juga amat kagum menyaksikan ilmu pedang gadis lawannya. Tidak percuma gadis ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) dan menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang ternama. Kesayangannya terhadap gadis ini yang tadinya timbul karena kecantikan Sian Hwa, menjadi bertambahtambah.

Kesayangan inilah yang membuat Souw Kian Bi tidak mau mempergunakan kepandaiannya untuk merobohkan Sian Hwa. Dia sengaja hendak membuat gadis ini roboh sendiri karena lelah dan di samping ini dia pun hendak memamerkan kepandaiannya agar betul-betul dapat merebut hati gadis cantik dan gagah ini.

Sementara itu, para tosu yang telah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil merobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang di antara lima tosu itu lari naik ke puncak untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin.

Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu, belum pernah ada anak murid Hoa-san-pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersamadhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari samadhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai ilmu silatnya.

Biarpun sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarah-n sehingga dia tenang dan sabar kembali.

"Kau bilang dia bernama Souw Kian Bi?" Kakek ini mengingat-ingat akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber she Souw. Jangan-jangan sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini berbahaya, kalau sampai Sian Hwa benar-benar kalah oleh penjahat itu akan celakalah muridnya. la segera bangkit, menyeret tongkatnya dan berkata, "Antarkan pinto ke sana." Ketika Lian Bu Tojin tiba di tempat pertempuran, dia menahan seruan kagetnya. Sian Hwa sudah terdesak hebat. Pedangnya yang kiri sudah terlepas dan kini gadis itu dengan napas tersengal-sengal mempertahankan diri dari serangan pemuda tampan itu yang tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata menggoda. Jelas sekali terlihat bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi, malah dengan amat mudahnya akan dapat merobohkan Sian Hwa kalau dia mau. Ketika diam-diam Lian Bu Tojin memperhatikan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu, dia mengangguk-angguk.

Itulah ilmu pedang utara yang sudah tinggi tingkatnya. Juga gerakan-gerakan pemuda itu menyatakan bahwa tenaga dalamnya sudah kuat sekali. Pantas saja Sian Hwa terdesak. Andaikata yang melawan pemuda ini bukan Sian Hwa, melainkan Kwa Tin Siong, mungkin akan seimbang dan lebih ramai.

"Sian Hwa, mundurlah. Orang muda ada urusan boleh dirunding dengan pinto!" Seruan Lian Bu Tojin ini biarpun perlahan, namun mengandung tenaga yang amat berpengaruh. Tentu saja sukar bagi Sian Hwa untuk mundur karena ia sudah dikurung sinar pedang lawannya. Kalau bukan lawannya yang menghentikan pertandingan ini, ia sendiri sudah tidak berdaya melepaskan diri. Sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak, Souw Kian Bi menggetarkan pedangnya dan "tringgg.....!" pedang kanan Sian Hwa terlepas pula, terlempar ke udara.

Lian Bu Tojin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu pedang yang terbang itu sudah tertempel oleh tongkat bambunya. Sedangkan Souw Kian Bi melangkah maju mendekati Sian Hwa sambil cengar-cengir dan berkata, "Nona manis, apakah sekarang kau masih belum? mau mengaku kalah padaku? Apakah dengan kepandaianku kau masih menganggap tak pantas kalau aku menjadi sahabat baikmu?" Sian Hwa merasa malu sekali. Dengan kemarahan yang membuat dadanya seolaholah akan meledak, ia menerjang maju, menghantam kepalan tangan kanannya ke dada pemuda itu. Souw Kian Bi cepat mengelak sambil tertawa dan berkata, "Sayang tanganmu yang halus kalau sampai mengenai dadaku, Manis." Sekali lagi dia mengelak ketika pukulan ke dua datang dan kini sambil mengelak dia mempergunakan tangan kirinya untuk mencekal pergelangan tangan kanan Sian Hwa.

Gerakan ini amat cepatnya dan sekali melihat saja Lian Bu Tojin tahu? bahwa pemuda itu pun mahir sekali akan ilmu tangkap dan ilmu cengkeram semacam Engjiauw- kang. Sian Hwa kaget sekali karena percuma saja ia berusaha melepaskan tangannya.

"Orang muda, jangan kurang ajar. Lepaskan!" Tiba-tiba Lian Bu Tojin melangkah maju untuk mencegah kekurang-ajaran pemuda itu terhadap muridnya.

Akan tetapi Souw Kian Bi hanya ter tawa. Mana dia mau memandang mata,kepada kakek tua ini? Sambil tangan kiri masih memegangi tangan Sian Hwa, pedang di tangan kanannya bergerak ke arah dada Lian Bu Tojin dan dia membentak.

"Tosu bau jangan ikut campur. Menggelindinglah kau!" Tetapi kali ini dia salah hitung. Pedangnya yang meluncur ke arah dada tosu tua itu tiba-tiba bertemu dengan tongkat bambu, pedangnya menggetar-getar dan.....

"krakkk!" pedang itu patah menjadi dua, tubuhnya sendiri menggigil, pegangannya pada tangan Sian Hwa terlepas dan dia masih terhuyung-huyung ke belakang lima enam tindak. Mukanya menjadi pucat sekali.

"Kau..... kau siapakah.....? ia memandang kepada kakek tua itu dengan mata terbelalak.

Lian Bu Tojin tidak menjawab, hanya berdiri tegak sambil memandang dengan tajam. Souw Kian Bi menggerak-gerakkan biji matanya, memandangi kakek itu dari atas ke bawah. Agaknya jenggot panjang dan tongkat bambu itu yang menarik perhatiannya dan membuat dia dapat menduga siapa yang berhadapan dengannya.

"Ah, kiranya Totiang adalah Lian Tojin sendiri? Pantas saja aku tak dapat melawannya. Kiranya ketua yang terhormat dari Hoa-san-pai sendiri yang turun tangan!" Ucapan ini merupakan sindiran hebat. Memang sebetulnya amat memalukan bagi Lian Bu Tojin, seorang ciangbunjin (ketua) dari partai besar harus turun tangan sendiri menghadapi seorang muda seperti Souw Kian Bi! Mau tak mau kedua pipi kakek itu menjadi merah. Pemuda ini ternyata bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat tajam kata-katanya.

"Orang she Souw," katanya sabar "murid-muridku sedang turun gunung maka tidak ada yang menyambutmu sehingga terpaksa pinto sendiri menjenguk ke sini. Tak tahu apakah yang menjadi sebabnya maka engkau mengacau di sini?" Souw Kian Bi tertawa mengejek. "Siapa mengacau? Aku lewat di sini, bertemu Nona ini, tertarik dan ingin bersahabat, apa salahnya? Sudahlah, lain kali dia tetap akan menjadi sahabat baikku....." Setelah berkata demikian pemuda itu membalikkan tubuhnya dan pergi. "Sian Hwa yang masih marah sekali cepat menyambar pedangnya yang tadi terpukul jatuh, hendak mengejar. Akan tetapi gurunya mencegahnya.

"Jangan kejar, Sian Hwa. Kulihat orang itu bukan orang sembarangan. Sudah jelas bahwa dia itu dari utara. Akan tetapi mengapa sengaja datang mengacau Hoa-san-pai? Hemmm, kita harus berhati-hati, makin banyak saja musuh-musuh rahasia yang hendak memusuhi kita." Kakek ini lalu mengajak semua muridnya naik ke puncak Hoa-san lagii sambil memesan kepada para muridnya yang menjadi tosu agar supaya mulai saat itu melakukan penjagaan yang kuat siang malam, akan tetapi tidak boleh lancang turun tangan menyerang orang luar.

Kalau di kaki Gunung Hoa-san terjadii hal yang aneh ini, di puncak Hoa-san terjadi pula hal yang ganjil. Pada waktu Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sedang berlatih silat di dalam taman bunga. Antara Thio Ki dan Kui Lok jelas sekali terjadi perlombaan, bukan hanya untuk kemajuan ilmu silat, akan tetapi terang sekali keduanya berlomba untuk bersikap manis kepada Kwa Hong. Keduanya memiliki watak yang hampir sama, yaitu gagah dan tabah, akan tetapi keduanya juga angkuh sekali. Mungkin hal ini timbul karena mereka merasa menjadi putera-putera pendekar Hoa-san-pai. Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga tampak sifat angkuh ini dan merasa seakan-akan mereka adalah anak-anak orang gagah yang berbeda dengan anak-anak lain. Hanya Kwa Hong seorang yang wataknya tetap lincah jenaka, galak akan tetapi tidak angkuh.

Pada saat itu, tiba giliran Kui Lok untuk bersilat pedang disaksikan oleh tiga orang temannya. Kui Lok benar-benar memiliki bakat yang amat baik. Selama beberapa bulan ini kepandaiannya sudah meningkat banyak, ketika dia bersilat tidak saja gerakan pedangnya mantap dan kuat, akan tetapi juga cepat sekali. Tentu saja dia bersilat pedang dengan tangan kiri, karena memang dia lebih pandai mempergunakan tangan kirinya daripada tangan kanannya. Setelah dia selesai bersilat, Kwa Hong bersorak.

"Bagus sekali Lok-ko (kakak Lok), kepandaianmu benar-benar sudah maju pesat!" ia memuji dengan sejujurnya. Juga Thio Bwee mengangguk-angguk membenarkan pujian Kwa Hong. Akan tetapi, pujian itu tidak menyenangkan hati Thio Ki.

"Sayangnya pedang itu dimainkan tangan kiri, jadi tentu saja kurang kuat dan kurang tepat seperti kalau dimainkan tangan kanan," Thio Ko berkata dengan lagak seakanakan seorang yang lebih pandai menilai permainan orang yang lebih rendah tingkatnya.

Ucapan ini diterima oleh Kui Lok dengan muka merah. la merasa disindir dan ditegur karena sifat tangannya yang kidal. "Biarpun dengan tangan kiri kurasa tidak kalah oleh permainan pedang tangan kanan," jawabnya sambil menatap wajah Thio Ki penuh tantangan.

"Phuah.....!" Thio Ki mengejek, membuang muka.

"Phuah.....!" Kui Lok juga mengeluarkan suara mengejek.

Thio Ki naik darah, dirabanya gagang pedang di punggungnya. "Kalau begitu, mari kita buktikan, siapa lebih pandai, si tangan kanan atau si tangan kidal!" "Begitu? Baiklah, tapi kau yang menantang, saudara Ki, bukan aku!" Kui Lok menjawab, pedangnya siap ditangan kiri.

Kwa Hong memperhatikan kejadian ini dengan mata berseri. "Baik sekali begitu!" ia bersorak. "Gembira sekali kalau diadakan pibu persaudaraan." Yang dimaksudkan dengan pibu (adu kepandaian silat) adalah pertandingan untuk menentukan siapa kalah siapa menang. "Dari pada setiap hari kalian bercekcok saja tentang tingkat kepandaian, lebih baik diputuskan dengan bukti." Dua orang anak laki-laki itu sekarang sudah berhadapan dengan pedang di tangan.

Thio Bwee membelalakkan matanya yang lebar, penuh kekhawatiran.

"Jangan!" teriaknya memohon. "Bagaimana kalau ada yang terluka? Sukong akan marah sekali." Kwa Hong tertawa dan melangkah di antara dua orang jago muda itu. "Kalian ini sudah bernafsu untuk saling serang," godanya, "jangan begitu, ah! Kita ini kan saudara-saudara seperguruan. Masa mau main tusuk dengan pedang." "Habis bagaimana untuk menentukan Siapa lebih unggul?" tanya Kui Lok.

"Biarkan saja, Hong-moi (adik Hong). lok-te (adik Lok) ini sombong sekali, tidak mau mengalah terhadap aku yang lebih tua," kata Thio Ki.

"Mana bisa saudara seperguruan saling hantam? Kalau diketahui sukong, apa kaukira aku tidak ikut dipersalahkan? Aku tidak mau! Kalau kalian berkelahi, pergilah jauhjauh dari sini agar aku tidak terbawa-bawa," kata Kwa Hong.

Dua orang anak laki-laki itu saling pandang. Mereka ingin memperlihatkan di depan Kwa Hong bahwa mereka gagah dan tidak kalah oleh yang lain. Sekarang Kwa Hong tidak mau melihat mereka mengadu kepandaian, untuk apa mereka lanjutkan? Akan tetapi kalau tidak pergi mencari tempat lain, juga dapat dianggap takut atau pengecut.

Kwa Hong yang melihat keraguan mereka lalu tertawa. "Sudahlah, simpan pedang kalian. Kalau mau menentukan siapa yang lebih unggul, mudah saja. Kalian pergunakan ranting yang tidak berbahaya, aku akan menyediakan tinta. Ujung ranting diberi tinta dan ranting itu dimainkan seperti ujung pedang. Siapa yang lebih dulu terkena tinta bajunya dialah yang kalah." Usul ini didukung oleh Thio Bwee yang tentu saja juga tidak menghendaki pertempuran sungguh-sungguh antara kakaknya dan Kui Lok. Dua orang anak itu pun setuju dan masing-masing mencari sebatang ranting yang lembek. Segera mereka membasahi ujung ranting masing-masing dengan tinta dan mulailah mereka bertanding, disaksikan oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Kwa Hong bertindak sebagai wasitnya. Tak-tok-tak-tok bunyi dua batang ranting itu beradu dan kedua orang jago muda itu bergerak cepat untuk mendahului lawan mengirim tusukan untuk menodai baju lawan de-ngan tinta di ujung ranting.

"He, Ki-ko! Tidak boleh menyerang mata!" Kwa Hong berseru. Sebagai wasit, ia harus berlaku adil. Menurut perjanjian tadi, masing-masing hanya boleh menyerang baju untuk memberi tanda dengan tinta.

"Lok-ko, tidak boleh menendang!" Ia berseru.

Mula-mula hanya jarang ia berseru melarang, akan tetapi kedua orang jago muda itu makin lama menjadi makin penasaran dan panas karena belum juga mampu mengalahkan lawan. Makin sering mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran dan makin sering pula Kwa Hong berteriak-teriak melarang. Malah sekarang Thio Bwee juga ikut berteriak-teriak karena khawatir melihat dua orang jago muda itu mulai menggunakan serangan sungguh-sungguh yang membahayakan lawan. Pertandingan untuk mengadu kepandaian itu menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh. Kwa Hong marah dan membanting-banting kakinya.

"Kalian curang! Kalian tidak memegang janji. Sudah, jangan berkelahi lagi" Akan tetapi mana dua orang jago muda yang sudah panas perutnya itu mau berhenti? Mereka malah menyerang lebih hebat. Kwa Hong berteriak-teriak marah.

Tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua orang jago muda itu roboh terguling. Mereka tidak terluka karena tadi hanya terdorong saja ke samping, dengan heran mereka merayap bangun. Juga Kwa Hong dan Thio Bwee terheranheran memandang, ternyata Koai Atong sudah berdiri di situ, cengar-cengir dan berkata, "Kalian tidak boleh bikin marah Enci Hong!" Lalu dia berpaling kepada Kwa Hong dan berkata, "Enci Hong, aku datang kembali untuk mengajak kau bermain-main seperti dulu. Hayo ikut aku ke hutan sebelah sana itu, tadi aku melihat seekor kijang muda yang amat indah. Akan kutangkap binatang itu untukmu." la melangkah maju hendak menggandeng tangan Kwa Hong.

"Tidak, Koai Atong. Aku tidak mau pergi. Sukong akan marah nanti." Kwa Hong mengelak.

"Tidak marah, biar kalau marah aku yang tanggung jawab." Koai Atong hendak memaksa, sekali tangannya menyambar dia sudah dapat memegang pergelangan tangan Kwa Hong.

"Tidak, tidak, aku tidak mau...... Mereka berkutetan. Agaknya Koai Atong tidak mau mempergunakan kekerasan terhadap Kwa Hong yang disayanginya sebagai sahabat baik itu, maka mereka berkutetan saling tarik. Kalau Koai Atong mau mempergunakan kekerasan, tentu saja dengan mudah dia akan dapat membawa lari Kwa Hong.

Pada saat itu, dari luar taman berjalan masuk seorang anak laki-laki. Jauh dibelakang nampak beberapa orang tosu berlari-lari sambil berteriak-teriak.

"Anak setan, tak boleh masuk ke sana!" Agaknya anak yang masuk itu tadi dapat meninggalkan para tosu yang sekarang mengejarnya.

Anak ini bukan lain adalah Beng San! Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San sampai di kaki gunung Hoa-san dan bertemu dengan Tan Hok dan temantemannya, para anggota Pek-lian-pai. Setelah berpisah dari Tan Hok, dia segera mendaki gunung itu menuju ke puncak. Beberapa orang tosu melarangnya naik, akan tetapi Beng San berkeras hendak bertemu dengan ketua Hoa-san pai. Anak ini ketika dihalangi lalu berlari menyelinap cepat sampai. para tosu itu tertinggal jauh dan mengejar terus. Akhirnya dia memasuki taman bunga itu.

Melihat betapa seorang gadis cilik ditarik-tarik seorang laki-laki tinggi besar, hati Beng San menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak mengenal Kwa Hong, juga tidak mengenal Koai Atong sungguhpun pernah dia bertemu dengan kedua orang ini.

Dengan langkah lebar dia menghampiri Koai Atong yang masih berkutetan dengan Kwa Hong, memegang lengan Koai Atong sambil berkata keras.

"Seorang laki-laki dewasa menyeret-nyeret seorang anak perempuan kecil, sungguh tak patut. Memalukan sekali!" Suara Beng San amat nyaring sampai terngiang di telinga. Tidak hanya Koai Atong yang kaget, juga Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok terkejut, menoleh dan memandang.

Tiba-tiba Koai Atong melepaskan pegangannya pada lengan Kwa Hong, tubuhnya menggigil, wajahnya yang merah berubah pucat sekali, matanya melotot lebar, mulutnya ternganga dan dia berdiri seperti orang terserang demam. Tangan kanannya dengan telunjuk menggigil menuding ke arah Beng San, mulutnya mengeluarkan suara tidak karuan, akan tetapi masih dapat ditangkap oleh anak-anak itu.

"Ssseeeee..... sssssetannn..... setan.....!" Tiba-tiba dia meloncat jauh dari situ, lalu lari sekerasnya sambil memekik-mekik, "Setan! Dia roh jahat..... hidup lagi..... aduh setan..... ampunkan aku.....!" Sebentar saja Koai Atong sudah tidak tampak lagi bayang-bayangnya.

Tentu saja Beng San terlongong keheranan. la tidak tahu bahwa dahulu dalam keadaan tidak sadar karena menelan pil buatan Siok Tin Cii, dia dipukul dan dilukai oleh Koai Atong yang menggunakan Jing-tok-ciang dan anak tua itu menyangka bahwa dia sudah tewas. Tentu saja sekarang tiba-tiba Beng San dengan mukanya merah kehitaman berdiri di depan kakek yang berwatak anak-anak im membuat Koai Atong ketakutan setengah mati dan membuat dia lari tunggang-langgang, tak berani lagi kembali ke Hoa-san! Kwa Hong dan teman-temannya juga terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki berdiri di situ, pakaiannya com-pang-camping, kakinya tidak bersepatu, rambutnya kusut dan mukanya merah kehitaman. Muka Beng San menjadi merah karena dia tadi marah melihat Koai Atong menarik-narik tangan Kwa Hong. Mukanya merah hitam, matanya tajam seperti mata harimau, benar-benar merupakan seorang anak yang aneh dan patut kalau dianggap setan.

Akan tetapi Kwa Hong segera mengenal Beng San. la melangkah maju dan memperhatikan muka Beng San sementara itu telah mulai berubah, lenyap warna merah hitam menjadi putih bersih kembali akan tetapi perlahan-lahan berubah pula menjadi kehijauan. Hal ini adalah karena sepasang mata Kwa Hong sudah mengenalnya, dan ia merasa agak malu berhadapan dengan empat orang anak-anak yang berpakaian indah-indah dan bersikap gagah ini.

"Eh, kaukah ini? Kau..... bunglon?" Kwa Hong menegur sambil tertawa geli. Setelah mendengar suara Kwa Hong, baru Beng San teringat bahwa gadis cilik baju merah inilah yang dulu pernah bercekcok dengannya di dalam hutan. la pun tersenyum dan berkata.

"Kiranya kau di sini..... kuntilanak!" Kui Lok dan Thio Ki menjadi merah mukanya.

Mereka memandang kepada Beng San dengan mata melotot, marah sekali mereka mendengar betapa anak jembel ini memaki Kwa Hong kuntilanak. Benar-benar kurang ajar sekali! Pada saat itu para tosu yang mengejar Beng San, empat orang jumlahnya, sudah tiba di situ dan mereka berteriak-teriak.

"Penjahat cilik itu jangan sampai terlepas! Di larang masuk ke sini!" "Aku mau berjumpa dengan Lian Bu Tojin," bantah Beng San.

Akan tetapi Kui Lok dan Thio yang sudah marah sekali, melihat para tosu marahmarah kepada anak jembel itu, menjadi makin berani. Keduanya lalu melangkah maju dan memaki, "Jembel busuk hayo pergi dari sini!" Beng San tenang-tenang saja, memandang kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri angkuh di depannya. "Aku tidak mau pergi kalau belum bertemu dengan Lian Bu Tojin." "Keparat! Kau minta dipukul?" bentak Thio Ki marah.

Beng San tertawa dan menggeleng kepalanya. "Siapa yang minta dipukul? Aku tidak! Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin." "Macammu ini mau bertemu dengan sukong? Sukong terlalu mulia untuk bertemu dengan segala jembel busuk. Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, akan kupukul!" kata Kui Lok galak, • Beng San melengak heran. "Kalian ini cucu murid Lian Bu Tojin? Ah, kalau begitu aku salah alamat. Orang bilang Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai seorang, mulia hatinya, dan bahwa orang-orang Hoa-san-pai adalah orang-orang gagah. Kiranya murid kecilnya begini galak." Kui Lok dan Thio Ki adalah keturunan orang-orang gagah, maka ucapan merupakan tamparan bagi mereka. "Kau yang kurang ajar!" bantah Thio Ki membela diri. "Kau berani memaki kuntilanak kepada Hong-moi. Kurang ajar kau!" Beng San menoleh kepada Kwa Hong sambil tertawa kecil. "Dia memang kuntilanak.

Tanyakan saja kepadanya, kami berkenalan sebagai bunglon dan kuntilanak. Betul tidak begitu, kuntilanak?" Kwa Hong membanting kakinya yang kecil. "Bunglon! Kadal monyet kau! Aku bukan kuntilanak!.

"Aku juga bukan bunglon, kadal atau monyet!" bantah Beng San marah.

"Tapi mukamu berubah-ubah seperti bunglon, kau masuk selongsong ular seperti kadal, rupamu buruk cengar-cengir seperti monyet!" maki Kwa Hong dengan muka merah saking marahnya.

"Kau pun galak dan mukamu buruk seperti kuntilanak....." "Plakkk!" tangan Kwa Hong melayang dan pipi kiri Beng San telah ditamparnya.

Beng San terhuyung mundur. Pada saat itu, Kui Lok dan Thio Ki sudah menubruk maju dan menghujani tubuh Beng San dengan pukulan-pukulan keras. Beng San terhuyung-huyung dan roboh. Anak ini memang selama meninggalkan tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, mentaati perintah kakek itu dan tidak pernah mau mempergunakan kepandaiannya. Maka ketika ditampar kemudian dipukuli dia diam saja, "menyimpan" tenaga dalam tubuhnya dan membiarkan dirinya dipukuli. la merasa kulit dada dan mukanya sakit-sakit.

"Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin, jangan pukul aku....." ia berkata.

Akan tetapi dua orang jago muda itu tidak mau memberi ampun lagi kepadanya. Thio Ki memukul lagi ketika Beng San mencoba untuk berdiri, pukulan keras mengenai leher Beng San membuat anak itu terpelanting roboh. Kui Lok lalu menubruknya, menduduki dadanya dan memukuli muka Beng San dengan kedua tangan. Kedua pipi Beng San sampai bengkak-bengkak terkena pukulan ini.

"Hayo, kau minta ampun dan berjanji mau pergi dari sini!" kata Kui Lok terengahengah, menghentikan pukulannya.

Beng San hanya menggeleng kepalanya. "Aku mau bertemu dengan Lian Bu....." Tak dapat dia melanjutkan kata-katanya karena hidungnya dipukul Kui Lok sampai keluar darahnya.

"Lok-te, biar kugantikan engkau!" Thio Ki menarik Kui Lok pergi dan menjambak rambut Beng Sang, menarik anak ini berdiri lalu memukul ke arah dada.

"Blukkk!" Tubuh Beng San terlempar sampai dua meter lebih. Thio Ki mengejar, menjambak rambut lagi mendirikan Beng San lalu dipukul lagi lebih keras. Pakaian Beng San yang sudah cobak-cabik itu makin rusak, koyak-koyak di sana-sini.

"Sudah, Ki-ko, Lok-ko, jangan pukul lagi!" Kwa Hong maju mencegah. Tak tega ia melihat Beng San dipukuli seperti itu. Juga Thio Bwee maju mencegah kakaknya.

Akan tetapi para tosu dengan tertawa lebar memuji-muji kepandaian dua orang kongcu muda itu dan berkata menganjurkan.

"Pukul terus! Pukul sampai dia mau minta ampun." "Hayo lekas berlutut mihta ampun teriak Kui Lok dan Thio Ki berganti-ganti sambil memukul terus.

Sesabar-sabarnya orang, apalagi seorang anak kecil seperti Beng San, kalau didesak terus seperti itu dan disiksa, akhirnya tak kuat juga menahan. Sakit pada tubuhnya bukan apa-apa baginya karena dia sudah sering kali menderita sakit. Akan tetapi sakit pada hatinya yang lebih berat ditanggung. Mukanya yang tadinya kehijauan sekarang sudah mulai menjadi merah kehitaman, tanda bahwa dia tak dapat lagi menahan kemarahannya. Pada waktu itu, Kui Lok memegang tangan kirinya, sedangkan Thio Ki memegang tangan kanannya, keduanya memukul dari kanan kiri sambil membentak-bentak memaksa dia berlutut minta ampun. Karena tak dapa, menahan lagi kemarahannya, tenaga mujijat dalam tubuh Beng San bekerja, hawa Yang di tubuhnya membuat mukanya kehitaman itu menolak pukulan-pukulan dari kanan kiri.

Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan, Kui Lok sehabis memukul terguling roboh, disusul Thio Ki yang juga roboh setelah memukul leher Beng San. Kedua orang anak itu roboh dan pingsan dengan mata mendelik dan mulut berbusa! Bukan main kagetnya Kwa Hong dan Thio Bwee. Mereka melihat jelas betapa dua orang jago muda itu yang memukul, kenapa tahu-tahu roboh pingsan dengan mata mendelik? Para tosu juga melihat ini dan mereka yang percaya akan tahyul menjadi ketakutan.

"Dia benar setan...... dia iblis jahat..... celaka.....!" Para tosu itu cepat mengeluarkan senjata, masing-masing dan siap hendak mengeroyok Beng San.

"Supek sekalian, jangan turun tangan!" Kwa Hong meloncat mencegah. "Biar sukong nanti yang memutuskan urusan ini." Para tosu masih bersikap mengancam. Beng San diam-diam mencatat pembelaan Kwa Hong atas dirinya ini di dalam hatinya. Betapapun juga, kuntilanak cilik ini tidak jahat, pikirnya. la diam saja, hanya menyusuti darah yang tadi mengalir dari lubang hidungnya dan membereskan pakaiannya yang koyak-koyak. Kebetulan sekali pada aaat itu, Lian Bu Tojin dan Sian Hwa datang memasuki taman. Mereka kaget melihat ribut-ribut di taman.

Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa dua orang anak keponakannya yang pingsan dengan mata mendelik. Lian Bu Tojin juga memandang heran. Setelah memeriksa sebentar, kakek ini bertanya dengan suara terheran-heran.

"Mereka pingsan karena terluka hawa pukulan sendiri yang membalik," lalu menoleh kepada Kwa Hong dan Thio Bwee. "Apa yang telah terjadi di sini? Beramai-ramai para tosu yang tadi menghalangi Beng San masuk dan Kwa Hong menceritakan asal mula kejadian itu. Bahwa Beng San memaksa naik ke puncak sampai memasuki taman dan betapa Koai Atong yang hendak membawa pergi Kwa Hong kaget dan lari ketakutan ketika melihat kedatahgan Beng San. Kemudian Kwa Hong menceritakan betapa Thio Ki dan Kui Lok marah karena Beng San tidak mau pergi memukulinya.

"Bunglon..... eh, anak ini tidak lawan, Sukong. Teecu sudah mencegah kedua suheng memukulinya, akan tetapi mereka terus saja memukul. Akhirnya, entah bagaimana, keduanya malah roboh sendiri seperti itu." Setelah berkata demikian, Kwa Hong menoleh kepada Beng San yang kini berdiri menundukkan mukanya yang sudah berubah putih kembali, pulih bersih dengan alisnya yang hitam lebat dan matanya yang seperti mata harimau.

Lian Bu Tojin menghampiri dua orang muridnya. Dengan beberapa kali mengurut punggung mereka, dua orang anak itu waras kembali, bangun dengan muka kemerahan. Lian Bu Tojin memandang mereka dengan muka keren, membuat dua orang anak itu tunduk ketakutan. Kemudian Lian Bu Tojin menghampiri Beng San, untuk beberapa menit lamanya dia menatap wajah anak itu dan amat terheran-heran menyaksikan sinar mata yang luar biasa dari anak jembel yang berdiri di depannya.

"Kau siapakah, anak muda?" Pertanyaan kakek ini halus akan tetapi berpengaruh sedangkan pandang matanya tajam menembus jantung. Hal ini dirasakan oleh Beng San ketika dia mengangkat muka. Cepat-cepat dia menundukkan pandang matanya agar jangan sampai kakek itu dapat membaca rahasia hatinya.

"Nama teecu Beng San," Jawabnya sederhana.

"Apa nama keturunanmu?" "..... nama keturunan? Hemmm, she (nama keturunan) teecu (aku) adalah..... Huangho (Sungai Kuning)." "Apa?" Lian Bu Tojin mengerutkan keningnya. "Di dunia ini, mana ada orang bernama keturunan Huang-ho?" "Teecu hanya tahu bahwa teecu terbawa hanyut Sungai Huang-ho, karena itu teecu tidak tahu lagi siapa orang tua dan siapa pula she, teecu mengambil keputusan untuk memakai nama keturunan Huang-ho saja. Jadi nama teecu Huang-ho Beng San." Lian Bu Tojin mengangguk-angguk, mengelus-elus jenggot dan diam-diam dia memuji sikap anak ini yang dari kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang anak yang tahu akan sopan santun.

"Kenapa Koai Atong lari, tunggang-langgang melihatmu?" "Siapa,itu Koai Atong, Totiang? Teecu tidak mengenalnya»" "Orang tinggi besar yang tadi lari ketakutan melihatmu. Apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?" Beng San menggelengkan kepala. "Teecu tidak merasa pernah bertemu dengan orang tadi." Kembali Lian Bu Tojin mengelus jenggot, sedangkan Sian Hwa, Kwa Hong dan tiga orang temannya, juga para tosu yang berada di situ, mendengarkan dengan heran.

Bocah ini benar-benar aneh.

"Ketika kau dipukuli dua orang anak nakal ini, dengan cara bagaimana kau bisa mengembalikan tenaga dan hawa pukulan mereka? Pernahkah kau belajar silat?" Kembali Beng San menggelengkan kepala. "Teecu tidak tahu, tidak bisa silat" Lian Bu Tojin menoleh kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri sambil tunduk.

Kening kakek ini berkerut. "Kalian ini anak-anak nakal sungguh tak tahu malu.

Mengeroyok dan memukuli seorang anak yang tidak pandai silat? Apakah hal itu termasuk perbuatan gagah? Sungguh memalukan kalian ini. Dan katakanlah, apa sebabnya kalian tadi roboh pingsan?" Kui Lok tidak berani menjawab, Thio Ki juga hanya melirik kepadanya. Setelah Lian Bu Tojin membentak dan mendesak, baru Thio Ki menjawab lirih.

"Tidak tahu, Sukong. Tahu-tahu teecu sudah sadar tadi. Entah apa sebabnya teecu bisa pingsan.

Sian Hwa merasa kasihan melihat murid-murid keponakannya, maka ia berkata.

"Suhu, apakah tidak bisa jadi karena terlampau marah, mereka tidak mengatur tenaga dan hawa kemarahan menyesak ke dada sehingga ketika mereka memukul, tenaga pukulan terpental oleh hawa yang menyesak di dada sendiri itu?" Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Tapi hal ini termasuk hal yang luar biasa sekali." Ia menoleh kepada Beng San. "Apakah badanmu sakit-sakit dipukul tadi? Coba kuperiksa, barangkali kau terluka parah, kalau begitu akan kuobati sampai sembuh." tanpa menanti jawaban Lian Bu Tojin menyodorkan tangannya dan meraba pundak Beng San. Anak ini merasa betapa dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar semacam tenaga dahsyat yang menyerang pundaknya. la kaget sekali dan hampir saja dia mengerahkan tenaga. Baiknya dia seorang yang cerdik. Biarpun dia belum perpengalaman, namun pengertiannya dalam ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee sudah cukup. la mengerti bahwa dirinya diuji, maka segera dia mengumpulkan semangatnya, memaksa diri diam agar hawa di tubuhnya jangan bergerak.

Lian Bu Tojin mendapat kenyataan dari rabaan tangannya pada pundak anak itu bahwa memang anak itu kosong tubuhnya, tidak memiliki tenaga dalam maka lenyaplah kecurigaannya bahwa cucu-cucu muridnya roboh oleh penggunaan tenaga dalam yang luar biasa. la tertawa sambil melepaskan tangannya.

"Ha, kau tidak apa-apa, tidak terluka. Beng San, sekarang ceritakan, apa kehendakmu datang ke Hoa-san mencari pinto." "Teecu datang membawa sepucuk surat dari sahabat lama Totiang. Inilah suratnya." Beng San menyerahkan surat tulisan Lo-tong Souw Lee dengan mengucapkan katakata seperti yang dipesan oleh kakek itu. Memang kakek tua itu memesan kepadanya agar jangan mengucapkan namanya di depan Lian Bu Tojin.

Lian Bu Tojin tersenyum dan menerima surat itu. Jantung kakek ketua Hoa-san-pai ini berdetak keras ketika dia melirik ke arah nama pengirim surat itu akan tetapi kekuatan batinnya yang sudah tinggi itu membuat wajahnya tetap tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan keadaan hatinya. Siapa orangnya tidak akan berdetak keras jantungnya ketika membaca nama Lo-tong Souw Lee? Nama besar Souw Lee dikenal oleh semua orang kang-ouw setelah perbuatannya yang menggemparkan, yaitu setelah dia mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia persilatan. Dia sendiri, sebagai ketua Hoa-san-pai, tentu saja merasa malu untuk ikut memperebutkan senjata pusaka lain orang, apalagi dengan Souw Lee dia dahulu waktu mudanya pernah menjadi sahabat yang amat baik.

Dengan tenang Lian Bu Tojin membaca surat itu. Di dalam suratnya itu, Lo-tong Souw Lee minta pertolongan ketua Hoa-san-pai agar suka melindungi Beng San dari ancaman marabahaya.

"Anak ini yatim piatu," tulis Lo-tong Souw Lee, "aku amat kasihan dan suka kepadanya. Mungkin karena kenal denganku, jiwanya terancam oleh orang-orang jahat. Harap kaulindungi dia sampai saat aku mati dan dia terbebas dari ancaman orang yang hendak memaksanya membawa mereka kepadaku." Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. la mengerti akan maksud Lo-tong Souw Lee.

Agaknya anak ini dikasihi kakek itu dan karena anak ini berkenalan dengan Souw Kian Lee, sangat boleh jadi orang-orang kang-ouw akan menculiknya dan memaksanya menunjukkan di mana tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee.

"Beng San, sudah lamakah kau kenal dengan penulis surat ini?" tanyanya sambil menyimpan surat itu ke dalam saku jubahnya.

"Belum lama, Totiang, baru beberapa bulan," jawab Beng San sejujurnya.

"Jadi kau tidak tahu tempatnya, ya? Bagus, kau tidak tahu tempatnya," kata ketua Hoa-san-pai ini, membuat Beng San terheran-heran. Akan tetapi anak yang cerdik ini segera maklum akan maksud Lian Bu Tojin. Tentu kakek ini memperingatkan kepadanya agar supaya dia tidak mengaku tahu tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee kepada siapapun juga. Maka dia mengangguk dan menundukkan mukanya.

"Apa kau suka belajar silat? Kulihat kau berbakat untuk belajar ilmu silat. Kau boleh belajar dari para tosu murid-murid pinto." Beng San berpikir. Apa artinya mempelajari ilmu silat lain? Ilmu-ilmu yang sudah dia hafalkan pun belum matang dia latih. Pula, kalau dia belajar ilmu silat Hoa-sanpai, berarti dia menjadi murid Hoa-san-pai dan ada bahayanya akan diketahui orang rahasianya apabila dia bergerak dalam bermain silat.

"Teecu lebih senang mempelajari ujar-ujar kuno dan filsafat-filsafat, dalam hal ini mohon petunjuk Totiang." Lian Bu Tojin menggerak-gerakkan alisnya saking herannya. Di mana di dunia ini ada seorang anak belasan tahun umurnya ingin mempelajari filsafat kebatinan? "Pernahkah " kau mempelajari kebatinan?" tanyanya.

"Teecu pernah bekerja sebagai kacung di dalam kelenteng besar dan para losuhu yang baik dari kelenteng itu kadang-kadang mengajar teecu membaca kitab-kltab kuno." "Bagus kaiau begitu. Beng San, mulai sekarang kau kuserahi tugas menjaga kebersihan pondok pinto dan di waktu senggang kau boleh mempelajari filsafat tentang Agama To." Beng San menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Lian Bu Tojin mengangguk-angguk dan mengajak anak itu memasuki pondoknya untuk memberi petunjuk tentang tugas pekerjaannya. Ketika Beng San bangkit berdiri, dia menoleh ke arah Kwa Hong dan tersenyum ramah. Tidak terlupa olehnya betapa tadi Kwa Hong membelanya ketika dia dipukuli dua orang jago cilik murid Hoa-san-pai itu.

Juga dia mengerling manis ke arah Thio Bwee yang tadi pun berusaha mencegah Thio Ki. Akan tetapi dia melihat betapa dua pasang mata jago cilik itu memandang kepadanya penuh kebencian.

* * * Satu bulan sesudah Beng San bekerja di Hoa-san. la bekerja rajin, tidak saja menjaga bersih pondok tempat kediaman ketua Hoa-san-pai, juga taman bunga menjadi bersih dan terjaga baik setelah Beng San berada di situ. Satu-satunya hal yang membuat dia sering kali merasa tersiksa adalah sikap Thio Ki dan Kui Lok. Dua orang anak ini masih saja benci kepadanya, dan setiap kali terdapat kesempatan, pasti, kedua orang anak ini mengejeknya, memaki dan menyebutnya jembel busuk, setan cilik, dan lainlain.

Thio Bwee yang pendiam tak pernah berterang menghinanya, akan tetapi pandang mata anak perempuan ini pun selalu dingin dan selalu menghindarinya, seakan-akan memandang rendah.

Hanya Kwa Hong yang tidak berubah sikapnya. Anak perempuan ini tetap galak, lincah dan suka menggoda seperti dulu, akan tetapi sama sekali tidak pernah menghinanya. Hanya kadang-kadang kalau bertemu Kwa Hong suka menggoda.

"He, bunglon. Coba perlihatkan muka hijau!" Sambil tertawa-tawa, atau kadangkadang berkata, "Bunglon, sudah lama tak pernah melihat muka hitammu!" Beng San hanya tertawa saja kalau digoda oleh Kwa Hong, akan tetapi sekarang dia tidak berani lagi memaki "kuntilanak" setelah tahu bahwa anak ini adalah cucu murid terkasih dari Lian Bu Tojin. Terhadap Kui Lok dan Thio Ki pun Beng San bersikap sabar sekali. Sudah beberapa kali dua orang anak ini sengaja mencari-cari dan menantangnya, namun Beng San tidak mau melayaninya.

Pada suatu hari menjelang senja, karena pekerjaannya sudah habis, Beng San memasuki taman dengan maksud untuk beristirahat. la melihat empat orang anak itu sedang giat berlatih silat. Biasanya kalau mereka berlatih silat, dia hanya melihat dari Jauh saja, sama sekali tidak tertarik karena dia tahu bahwa kepandaian mereka itu sama sekali tidak ada artinya. Selama beberapa bulan ini setelah latihan-latihan yang dia lakukan makin matang, dia merasa betapa mudah dia menguasai hawa dan tenaga dalam tubuh dan amat mudahnya dia mainkan ilmu-ilmu silat yang sudah dia pelajari.

Terutama sekali Im-yang Sin-kiam-sut dapat dia mainkan dengan mudah dan tepat.

Penggunaan tenaga dalam dapat dia atur sekehendak hatinya. Semua ini adalah hasil dari latihan-latihan napas dan samadhi seperti yang diajarkan oleh Lo-tong Souw Lee.

Dengan pandang matanya yang sudah tajam berkat tenaga dalamnya, Beng San dapat melihat betapa gerakan empat orang anak itu amat lemah dasarnya dan sungguhpun ilmu silat mereka indah dipandang, terutama ilmu pedangnya, namun dia anggap tidak ada gunanya dalam pertandingan.

Karena dia sudah memasuki taman, Beng San tidak mau keluar lagi dan malah duduk di atas sebuah batu hitam dekat kolam ikan, menonton mereka yang bersilat. Pada saat itu, Kwa Hong sedang bermain pedang. Sekali lirik saja gadis cilik ini melihat kedatangan Beng San dan aneh sekali, mendadak timbul di dalam pikirannya untuk bersilat lebih hebat. la mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya yang berpakaian merah itu melayang ke sana ke mari merupakan bayangan merah, diselingi berkelebatnya pedangnya yang bergerak menyambar-nyambar. Setelah ia berhenti bersilat, tiga orang kawannya bertepuk tangan memuji. Beng San tak terasa lagi juga ikut bertepuk tangan karena harus dia akui bahwa permainan Kwa Hong itu betulbetul indah dipandang. Kwa Hong menoleh ke arah Beng San dan matanya berseri gembira, akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki melirik ke arah kacung itu sambil berjebi mengejek.

"Dia tahu apa tentang ilmu silat?" kata Kui Lok.

"Seperti monyet saja. Orang lain bertepuk dia ikut bertepuk," sambung Thio Ki.

Dia memuji aku, apa salahnya?" Kwa Hong berkata, agak marah. Dua orang anak laki-laki itu segera diam dan tidak mau mencela Beng San lagi.

Sementara itu Thio Bwee sudah meloncat maju dan bersilat pedang pula. Agaknya seperti juga Kwa Hong atau semua anak perempuan, Thio Bwee tidak terluput dari sifat ingin dipuji. Pujian yang ia terima dari tiga orang kawannya sudah membosankan hatinya, sekarang terdapat Beng San di situ yang sudah memuji Kwa Hong, tentu saja ia pun ingin memancing pujian.

Diam-diam Beng San memperhatikan. Dalam gerakan-gerakan ilmu pedang Hoa-sanpai itu, ternyata Kwa Hong jauh lebih mahir, lebih cepat dan lebih ringan gerakannya.

Akan tetapi dalam gerakan menyerang, harus dia akui bahwa Thio Bwee ini lebih kuat, lebih ganas dan lebih berbahaya. Setelah Thio Bwee selesai bermain pedang, kembali Beng San tanpa ragu-ragu ikut memuji, malah berkata, "Bagus......

bagus.....!" Mendadak terdengar suara pujian lain, "Bagus, bagus Nona-nona kecil yang manis." Ketika anak-anak itu menengok mereka melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah berjalan menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum. Kemudian, sebelum anak-anak itu dapat menduga apa yang akan terjadi, laki-laki ini sudah meloncat ke depan dan sekali sambar saja dia sudah menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee dengan kedua tangannya dan mengempit pinggang dua orang anak perempuan itu. Kwa Hong dan Thio Bwee tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berusaha untuk meronta dan memberontak, namun percuma, dalam kempitan yang amat kuat dari laki-laki itu mereka tidak mampu melepaskan diri. Kui Lok dan Thio Ki sudah dapat mengatasi kekagetan hati mereka. Dengan marah mereka mencabut pedang dan menerjang maju.

"Penjahat busuk, lepaskan mereka bentak dua orang anak ini sambil menyerang dengan pedang.

Laki-laki itu tertawa bergelak, kedua kakinya bergerak cepat melakukan tendangan berantai dan tubuh Kui Lok dan Thio Ki terlempar, pedang mereka terlepas dan pegangan. Sambil tertawa-tawa orang itu lalu keluar dari taman dengan langkah yang amat cepat. Dua orang gadis cilik itu tetap meronta-ronta di dalam kempitannya.

Sebentar saja laki-laki itu lenyap dari situ, meninggalkan Kui Lok dan Thio Ki yang meringis dan mengeluh kesakitan ketika mereka merayap bangun. Beng San sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, entah kemana perginya anak itu. Namun tentu saja Kui Lok dan Thio Ki tidak menaruh perhatian terhadap Beng San, sebaliknya mereka lalu dengan wajah pucat berlari-lari memasuki pondok Lian Bu Tojin untuk melaporkan tentang penculikan itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Lian Bu Tojin, dan terutama sekali Sian Hwa.

"Bagaimana macamnya orang itu" tanya Lian Bu Tojin, sementara itu Sian Hwa sudah berkelebat keluar untuk melakukan pengejaran.

Dia laki-laki pakaiannya indah.....," kata Thio Ki yang masih gugup dan pucat.

"Masih muda wajahnya, tampan pesolek dan tersenyum-senyum?" Ketika Kui Lok dan Thio Ki membenarkan, tahulah Lian Bu Tojin bahwa penculik dua orang muda cucu muridnya itu bukan lain adalah orang muda yang pernah mengganggu Sian Hwa dan yang mengaku bernama Souw Kian Bi. Ah, berbahaya kalau dibiarkan Sian Hwa mengejar sendiri, pikirnya. Kakek ini sudah maklum akan kelihaian orang she Souw itu, maka terpaksa dia lalu bangkit dari tempat duduknya dan segera melakukan pengejaran sendiri, bukan saja untuk merampas kembali dua orang cucu muridnya, juga untuk menjaga keselamatan Sian Hwa. Ketika kakek ini turun dari puncak, dia melihat beberapa orang muridnya, yaitu para tosu yang berjaga, sudah menggeletak karena tertotok orang jalan darahnya. Ini membuktikan bahwa orang she Souw itu memasuki Hoa-san-pai dengan menggunakan kekerasan.

Dugaan Lian Bu Tojin memang tidak keliru. Laki-laki yang menculik Kwa Hong dan Thio Bwee itu memang bukan lain orang adalah orang yang pernah mengganggu Sian Hwa dan mengaku bernama Souw Kian Bi. Siapakah dia ini? Souw Kian Bi bukanlah orang sembarangan. Dia ini sebetulnya seorang putera pangeran bangsa Mongol yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat nakal. Dengan mempergunakan kekuasaannya sebagai putera pangeran, ditambah dengan kepandaiannya yang tinggi, anak bangsawan yang menggunakan nama Han, yaitu Souw Kian Bi ini mengumbar nafsunya. Dia seorang pemuda hidung belang, terkenal suka mengganggu anak isteri orang lain. Entah berapa banyaknya keonaran dia sebabkan, dan entah berapa banyak anak-anak dan isteri orang lain dia ganggu. Akan tetapi siapa berani menentangnya? Andaikata ada yang tidak takut menghadapi kedudukannya, setidaknya orang akan segan bermusuhan dengan putera pangeran yang tinggi ilmu silatnya ini.

Ayahnya seorang bangsawan Mongol, tentu saja mendengar tentang sepak terjang puteranya yang amat tercela itu. Maka dia lalu memanggil Souw Kian Bi, memakimakinya habis-habisan, kemudian untuk menjaga kebersihan nama keluarganya, dia memerintahkan Souw Kian Bi untuk ikut bekerja guna pemerintah. Karena Souw Kian Bi pandai silat, maka dia lalu diberi tugas untuk membantu pemerintah dalam membasmi pemberontak-pemberontak, terutama sekali dalam usahanya membasmi Pek-lian-pai.

Inilah sebabnya mengapa Souw Kian Bi sampai tiba di daerah Hoa-san, daerah yang dianggap menjadi tempat persembunyian sebagian dari para pemberontak Pek-lianpai.

Akan tetapi dasar pemuda bermoral rendah, di samping menjalankan tugasnya memimpin pasukan besar untuk menumpas pemberontak, Souw Kian Bi tak pernah melupakan kesenangannya. Di mana-mana, terutama di desa-desa, dia menggunakan kekuasaannya untuk menculik wanita-wanita cantik. Akhirnya, seperti telah dituturkan di bagian depan, dia bertemu dengan Liem Sian Hwa. Kecantikan jago muda Hoa-san-pai ini membangkitkan semangatnya dan biarpun dia telah diusir oleh Lian Bu Tojin, namun hatinya masih penasaran kalau dia belum bisa berkenalan dengan Sian Hwa. Selain ini, juga rombongannya menaruh curiga terhadap Hoa-sanpai dengan adanya kenyataan bahwa beberapa pasukan Mongol telah dihancurkan dan tewas di daerah ini. Maka sambil melakukan penyelidikan akan keadaan Hoa-san-pai, Souw Kian Bi sekalian mencari kesempatan untuk mendapatkan diri Liem Sian Hwa! Ketika memasuki taman Hoa-san-pai dan melihat Kwa Hong dan Thio Bwee, timbul pikiran Souw Kian Bi untuk memancing keluar Sian Hwa. Kalau bukan untuk akal ini, kiranya dia takkan mau menculik dua orang bocah perempuan itu. Souw Kian Bi memang tinggi kepandaiannya, maka biarpun dua orang bocah itu sudah mempelajari ilmu silat, di dalam kempitan kedua tangannya mereka tidak berdaya. Di samping ini, Souw Kian Bi masih mampu berjalan dengan cepat sekali, turun dari puncak melalui sebelah utara. Cepat dia meloncati jurang-jurang, mendaki batu-batu, nampak tubuhnya ringan dan enak saja melalui jalan yang sukar itu. Ketika sudah jauh dia berlari dan menengok ke belakang, dari jauh dia melihat bayangan seorang anak kecil melakukan pengejaran.

"Hemmm, sudah kutendang masih berani mengejar?" Souw Kian Bi berpikir penasaran. la melepaskan Thio Bwee dan cepat menotok jalan darah anak ini sehingga menggeletak tak dapat bergerak lagi. Tangan kanannya yang kini bebas merogoh saku, mengeluarkan sebuah pelor besi. la menanti sampai bayangan anak yang mengejar itu agak dekat, lalu menyambit. Jelas sekali sambitannya ini, tepat mengenai sasaran karena anak itu roboh terguling.

Sambil tertawa-tawa Souw Kian Bi mengempit lagi tubuh Thio Bwee dengan tangan kanannya, lalu melanjutkan larinya. Siapakah bocah yang dia sambit tadi? Bukan lain adalah Beng San! Beng San yang pada saat Souw Kian Bi menculik Kwa Hong dan Thio Bwee berada pula di taman, diam-diam melakukan pengejaran. Biarpun jalan itu sukar sekali, namun bagi Beng San yang sekarang bukan Beng San dahulu lagi, sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukanlah merupakan jalan yang sukar.

Akan tetapi dia sengaja tidak mau menyusul Kian Bi, hanya mengikuti dari jauh untuk melihat ke mana dibawanya dua orang anak perempuan itu. la memang bermaksud menolong Kwa Hong dan Thio Bwee, akan tetapi secara diam-diam agar jangan diketahui orang bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian.

Ketika Souw Kian Bi menyerang dengan pelor baja yang disambitkan, tentu saja Beng San dapat melihat jelas datangnya pelor. Dengan mudah tangannya menyambar, menangkap pelor itu, akan tetapi dia pura-pura menggulingkan tubuh? agar jangan dicurigai lawan. Benar saja, Kian Bi terpedaya dan mengira dia roboh binasa, tidak memeriksa lebih lanjut. Setelah Kian Bi melanjutkan larinya, Beng San mengejar lagi, kini berhati-hati sekali agar jangan kelihatan oleh orang yang dikejarnya.

Kurang lebih dua puluh li Jauhnya Kian Bi membawa lari dua orang anak perempuan itu. Akhirnya dia tiba di sebuah hutan yang berada di kaki Gunung Hoa-san sebelah utara. Dalam hutan ini terdapat perkemahan yang besar, dan terjaga kuat oleh tentara Mongol. Di tengah-tengah berkibar bendera Mongol yang ditandai gambar naga hitam. Para penjaga tertawa ketika melihat putera pangeran ini datang menggondol dua orang bocah perempuan yang mungil-mungil.

"Aduh, Souw-kongcu, kau mendapatkan dua tangkai bunga yang belum mekar? Sayang bunga-bunga masih kuncup dipetik," demikian komentar seorang kepala jaga.

"Hush, diam kau? Kau tahu apa?" Souw Kian Bi membentak, akan tetapi mulutnya tersenyum sambil menurunkan Kwa Hong dan menotoknya pula. "Nih, kaubawa dua orang bocah mungil ini ke kamar di kemahku, jaga baik-baik jangan sampai lari atau ada yang menolongnya. Aku menggunakan mereka untuk memancing datangnya seseorang yang kunanti-nanti. Awas, penjagaan harus diperkuat di sebelah depan.

Sebelah belakang boleh kalian kosongkan, karena takkan mungkin bocah-bocah itu lari melalui jalan belakang yang penuh dengan rawa." Setelah menyerahkan dua orang anak itu kepada penjaga yang segera membawa mereka ke tempat yang dimaksud, Souw Kian Bi memasuki perkemahan terbesar di mana berkumpul beberapa orang panglima dan tokoh-tokoh penting dalam usaha pembasmian Pek-lian-pai. Sementara itu, hari telah menjadi gelap karena senja lewat terganti malam. Di dalam kemah terbesar itu dipasangi penerangan yang besar pula, terjaga kuat-kuat oleh belasan orang serdadu di sekelilingnya.

Souw Kian Bi memasuki kemah itu dari depan, langsung menuju ke dalam, di mana terdapat ruangan yang lebar dan di sini berkumpul lima orang mengelilingi sebuah meja. Hidangan arak dan makanan nampak mengebul di atas meja, dilayani oleh wanita-wanita cantik. Ketika Kian Bi masuk, orang-orang itu segera berdiri dari tempat duduk masing-masing, kecuali seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam berkepala gundul dan berpakaian seperti seorang hwesio. Hwesio tinggi besar ini acuh tak acuh, malah ketika Kian Bi memasuki ruangan dia segera menyumpit sepotong daging besar dan dimasukkannya ke dalam mulut, terus dikunyah sambil mengeluarkan suara seperti babi makan. Di dekat bangkunya bersandar sebuah dayung perahu yang amat besar, terbuat dari logam hitam kebiruan. Usia hwesio ini tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, mungkin sudah enam puluh, akan tetapi tubuhnya masih tetap tegap kuat, kepalanya yang licin belum nampak putih, sepasang matanya lebar bundar seperti mata kerbau. Adapun empat orang yang lain adalah panglima-panglima Mongol yang bertugas mengadakan "pembersihan" di daerah ini terhadap para pemberontak, terutama orang-orang Pek-lian-pai.

"Souw-kongcu baru datang?" kata seorang diantara para panglima. "Silakan duduk.

Kebetulan sekali, sambil makan-makan kami sedang berunding dengan Lo-suhu untuk mengambil sikap terhadap Hoa-san-pai." Hwesio tinggi besar itu melink ke arah Souw Kian Bi, lalu mengeluarkan suara melalui hidung seperti orang mengejek, kemudian disusul suaranya yang kasar, parau dan keras, "Souw-kongcu selalu pergi mencari kesenangan dengan perempuan. Kalau berlarut-larut, tugas bisa kacau kesehatan rusak dan menurun. Kau tersesat, Kongcu." Souw Kian Bi tertawa bergelak sambil menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi yang berhadapan dengan hwesio itu. Dengan lagak gembira dia menerima sebuah cawan arak yang dihidangkan oleh seorang nona pelayan manis sambil mencolek pipi pelayan itu, kemudian dia berkata.

"Losuhu, dalam bersenang saya tak pernah melupakan tugas. Kali ini saya berhasil membawa dua orang cucu murid Hoa-san-pai, perlu untuk memancing datangnya orang-orang Hoa-san-pai dan melihat bagaimana sikap mereka terhadap kita dan Peklian- pai." la lalu menjelaskan maksudnya yang merupakan siasat untuk menjauhkan Hoa-san-pai dari para pemberontak itu.

"Bagus sekali, Kongcu!" Seorang komandan berseru girang memuji akal putera pangeran ini. Juga hwesio itu mengangguk-angguk akan tetapi karena otaknya tidak biasa berpikir tentang hal yang ruwet-ruwet, dia lalu minum araknya dengan lahap.

Siapakah hwesio tua ini? Dia bukan lain adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, seorang tokoh besar dari timur yang berilmu tinggi. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang besar, misalnya Hek-hwa Kui-bo, Song-bun-kwi dan Siauw-ong-kwi, juga seperti yang lain dia ingin mendapatkan Liong-cu Siang-kiam. Begitu turun dari pertapaannya, dia bertemu dengan anak perempuan yang menangisi mayat Thio Sian tokoh Pek-lian-pai kemudian hwesio ini yang tertarik oleh bakat baik dalam diri anak perempuan itu, lalu membawa pergi anak itu bersama mayat Thio Sian. Anak itu bernama Thio Eng, puteri tunggal Thio Sian yang semenjak saat itu ia jadikan muridnya. Hal ini sudah dituturkan di bagian depan, yaitu ketika kakek hwesio yang membawa lari Thio Eng ini dilihat oleh Kun-lun Sam-hengte.

Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang adalah seorang sakti, akan tetapi dia amat jujur dan mudah sekali dihasut atau dibujuk orang. Akhirnya dia bertemu dengan putera pangeran yang bernama Souw Kian Bi ini. Souw Kian Bi yang amat licin dan cerdik segera dapat membujuk Swi Lek Hosiang untuk membantunya. Memang sebelumnya dia sudah mengenal Swi Lek Hosiang yang dahulu adalah seorang sahabat dari pamannya, yaitu Lo-tong Souw Lee. Tentu pembaca masih ingat kepada Lo-tong Souw Lee, pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam itu. Memang, Souw Lee bukanlah orang biasa, melainkan dia juga seorang bangsawan Mongol yang sakti dan yang tidak suka melihat kelakuan bangsanya menindas orang-orang Han. Oleh karena itu Souw Lee mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam dan melarikan diri.

Dalam percakapan ketika keduanya bertemu, Souw Kian Bi dengan cerdik menjanjikan bantuan kepada Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang untuk mencari Souw Lee yang masih terhitung saudara kakeknya, malah memberi janji bahwa kelak akan memberi kedudukan tinggi kepada Swi Lek Hosiang di depan kaisar. Hwesio yang jujur tetapi kurang cerdik ini masuk dalam perangkap, apalagi ketika diceritakan tentang adanya pemberontakan-pem-berontakan yang jahat dan yang mengacau rakyat, hwesio ini serta merta menjanjikan bantuannya.

Demikianlah sebab-sebabnya mengapa orang sakti ini sekarang berada di dekat Souw Kian Bi untuk membantu pemerintah Mongol menindas para pemberontak. Untuk keperluan ini, Swi Lek Hosiang ikut pergi ke Hoa-san di mana banyak tentara Mongol telah menjadi korban gempuran orang-orang Pek-lian-pai. Thio Eng yang sudah menjadi muridnya dia titipkan pada sebuah kelenteng di kota Tiong Kwan.

"Yang berbahaya adalah Lian Bu Tojin," kata Souw Kian Bi sambil mengerling ke arah hwesio yang ma$ih lahap makan daging dan arak itu. "Hoa-san Sie-eng sih mudah untuk menghadapinya, Ketua Hoa-san-pai itulah yang nnembikin khawatir, dia lihai sekali....." "Hemmm, berapa sih kuatnya Lian Bu Tojin? Tosu bau itu kalau betul memihak pemberontak dan mengacau, biar pinceng (aku) lawannya!" Suara Tai-lek-si Swi Lek Hosiang mengguntur.

"Saya bukan kurang percaya akan kepandaian Losuhu, akan tetapi tosu tua itu tak boleh dipandang sebelah mata. Pedang pusakaku sekali bertemu dengan tongkat bambunya patah menjadi dua. Wah, bukan main lihainya dia!" Souw Kian Bi berkata memperlihatkan sikap kekhawatiran besar. Dia cerdik sekali, kata-kata dan sikapnya ini sengaja membakar hati kakek yang jujur dan polos itu.

"Suruh dia datang! Suruh ketua Hoasan-pai datang! Pinceng hendak melihat sampai di mana kelihaiannya!" Suara hwesio itu makin keras.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar kemah, "Tai-lek-sin, tak perlu kau berteriak-teriak, pinto (aku) sudah datang!" Suara ini lirih dan halus, akan tetapi terdengar dari dalam seolah-olah yang bicara berada di dalam ruangan itu.

"Nah, itu dia Hoa-san-pai ciangbujin (ketua)," bisik Souw Kian Bi, kini benar-benar dia ketakutan karena orang sudah bisa berada di luar kemah tanpa diketahui para penjaga, itu saja sudah membuktikan betapa lihainya orang yang datang ini.

Tak-lek-sin Swi Lek Hosiang menggerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pintu tenda. Angin pukulan menyambar dan pintu itu terbuka dengan sendirinya. la berkata sambil tertawa.

"Ketua Hoa-san-paikah yang datang? Harap masuk, pintu terbuka lebar-lebar!" Semua orang memandang ke pintu yang terbuka. Cuaca di luar remang-remang karena malam hanya diterangi bintang-bintang. Dengan tenang berjalanlah kakek ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, masuk sambil bersandar pada tongkatnya. Di belakangnya bukan hanya Liem Sian Hwa yang mengikutinya, melainkan lengkap dengan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng. Ternyata? Hoa-san Sie-eng sudah lengkap datang ke situ di belakang guru mereka! Bagaimana tiga orang murid Hoa-san-pai itu dapat muncul di saat itu? Hal ini adalah suatu kebetulan belaka. Ketika Liem Sian Hwa dan kemudian Lian Bu Tojin melakukan pengejaran terhadap penculik Kwa Hong dan Thio Bwee, berlari turun dari puncak, di tengah jalan Sian Hwa dapat disusul gurunya dan pada saat itulah munculnya Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng yang sedang menuju ke puncak. Tiga orang ini memang bersama datang untuk memenuhi janji dengan pihak Kun-lun-pai yang akan datang di Hoa-san. Dengan singkat mereka mendengar dari Sian Hwa bahwa Kwa Hong dan Thio Bwee diculik orang, maka cepat-cepat mereka lalu beramai melakukan pengejaran. Demikianlah, sekarang Hoa-san Sie-eng lengkap empat orang mengiringkan guru mereka memasuki perkemahan barisan Mongol yang bermarkas di tempat itu.

Melihat Sian Hwa, putera pangeran itu memandang penuh kasih sayang dan tersenyum sambil berkata, "Nona Sian Hwa, alangkah gembira hatiku bahwa kau sudah sudi datang menjenguk tempat kediamanku....." Sian Hwa sudah gatal-gatal mulut hendak memaki, akan tetapi oleh karena gurunya berada di situ, ia tidak berani membuka mulut mendahului suhunya, melainkan memandang dengan mata melotot penuh kemarahan. Adapun Lian Bu Tojin ketika menyaksikan bahwa Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang berada di situ, segera berkata.

"Siancai (seruan pendeta), kiranya Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang menjadi agulagul di sini. Tidak heran jika manusia she Souw ini berani bersikap kurang ajar dan tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai....." Setelah berkata demikian dia mendekat ke arah hwesio tinggi besar itu dan melanjutkan kata-katanya dengan suara berubah keren, "Tai-lek-sin, kalau kau dan teman-tennan-mu hendak memusuhi Hoasan- pai, akulah orangnya yang bertanggung jawab. Kenapa manusia she Souw itu kaubiarkan mengganggu dua orang cucu muridku?" Tai-lek-sin tertawa bergelak. "Ha..ha..ha, Lian Bu Tojin tosu tua bangka. Pernahkah kau mendengar Tai-lek-sin manusia tiada guna seperti aku ini mengotorkan tangan mencampuri dunia? Hanya karena penjahat-penjahat merajalela, pemberontakpemberontak macam Pek-lian-pai mengotori suasana dan mengganggu rakyat dan pemerintah, terpaksa pinceng turun tangan. Hoa-san-pai selamanya memiliki nama bersih, sayang sekali sekarang bersekongkol dengan Pek-lian-pai, terpaksa pinceng tidak dapat menyalahkan Souw-kongcu mengganggu cucu murid Hoa-san-pai!" Lian Bu Tojin merasa dadanya panas sekali, akan tetapi kakek ini masih dapat menyabarkan hati, suaranya tetap lemah lembut ketika dia berkata.

"Bagus sekali sikapmu, hwesio! Sudah terang-terangan bahwa kau menjadi begundal pemerintah, hal itu bukanlah urusan pinto. Terserah siapa saja yang akan menjadi penjilat. Akan tetapi tuduhanmu bahwa Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lianpai, sungguh tak berdasar samat sekali. Selamanya Hoa-san-pai tak pernah sudi bersekongkol dengan siapa saja, apalagi dengan Pek-lian-pai....." "Fitnah bohong!" tiba-tiba Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya. "Pek-lian-pai bahkan memusuhiku, membunuh ayahku....." "Sian Hwa, diamlah kau." Lian Bu Tojin mencela muridnya yang segera diam dengan muka merah.

"Pinceng tidak tahu urusannya, akan tetapi kalau hendak jelas biarlah Souw-kongcu yang menerangkan." Hwesio itu kembali menghadapi hidangan di atas meja, makan minum tanpa pedulikan lagi orang-orang lain yang berada di situ. Para tamu itu kini menghadapi Souw Kian Bi yang berdiri sambil tersenyum tenang.

"Totiang, aku hanya membawa dua orang anak cucu muridmu main-main di tempat kami yang indah ini dan kalian pihak Hoa-san-pai sudah menyerbu datang dan mengatakan aku jahat. Sebaliknya, Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai para pemberontak itu, membunuh puluhan bahkan ratusan orang tentara pemerintah yang bertugas menjaga keamanan. Manakah yang lebih jahat dan keji?" "Orang she Souw, tutup mulutmu yang busuk sebelum aku paksa kau menutupnya!" tiba-tiba Thio Wan It yang terkenal berangasan membentak. "Kami dari Hoa-san-pai tak pernah bersekongkol dengan Pek-lian-pai!" Souw Kian Bi memandang sambil tersenyum mengejek "Hemmm, kiranya tidak akan semudah kau membuka mulut untuk dapat menutup mulutku, Sobat. Sekarang dengarlah dulu. Banyak pasukan tentara pemerintah terjebak dan tewas di kaki Gunung Hoa-sah, di sekitar daerah yang dikuasai Hoa-san-pai. Kalau bukan kalian orang-orang Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, mana dapat terjadi hal itu?" "Kau boleh mengoceh dan berkata apa saja, pokoknya kami tak pernah berhu-bungan dengan Pek-lian-pai. Pendeknya lekas kaubebaskan puteriku, kalau ti-dak....." kata Thio Wan It yang merasa khawatir sekali atas nasib anaknya, Thio Bwee.

"Betul, bebaskan anak-anak kami jangan bersikap pengecut. Urusan boleh diurus, kalau perlu di ujung pedang, tapi jangan mengganggu anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa!" Baru kali ini Kwa Tin Siong berkata, suaranya tenang mantap dan matanya penuh ancaman.

Akan tetapi Lian Bu Tojin berpikir lain. Sekarang kakek ini mengerti bahwa orang she Souw itu ternyata adalah seorang yang penting dalam pemerintah Mongol, maka amatlah tidak baik kalau Hoa-san-pai tersangkut dalam urusan pemberontakan Peklian- pai. Andaikata Pek-lian-pai benar-benar merupakan perkumpulan patriotik yang bersih, tentu saja. Hoa-san-pai akan senang sekali menggabungkan diri. Akan tetapi pada waktu itu dia sendiri masih sangsi terhadap Pek-lian-pai yang seolah-olah sedang memusuhi Hoa-san-pai, maka kurang baik kalau Hoa-san-pai dianggap bersekongkol dengan Perkumpulan Teratai Putih itu. la lalu melangkah maju, menghalangi kedua pihak yang sudah panas. Kalau terjadi pertempuran, agaknya pihaknya akan mengalami kerugian, pikir ketua Hoa-san-pai ini. Dia sendiri mendapat lawan berat, yaitu Tai-lek-sin yang dia tahu tentu memiliki ilmu yang tak boleh dipandang ringan. Empat orang muridnya sungguhpun boleh diandalkan, akan tetapi bagaimana kalau mereka itu dikurung dan dikeroyok oleh ratusan orang tentara Mongol? Apalagi selain Souw Kian Bi, empat orang komandan dan yang duduk di situ pun agaknya bukan orang-orang lemah.

"Tai-lek-sin, mengapa kau diam saja? Apakah sengaja kami dipancing datang hendak diajak bertanding? Ataukah berdamai? Apa maksud kalian memancing kami datang?" "Aku tidak tahu apa-apa. Bicaralah dengan Souw-kongcu," jawab hwesio itu sambil tertawa-tawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar