"Wuuut-wuut-wuuuttt....!" Tiga kali ia menampar susul menyusul dan.... luput! Bagaikan seekor kera yang amat lincah. Yo Han sudah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti telah melihat lebih dulu datangnya tamparan.
Tentu saja Ang I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi, mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau memukul, melainkan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh jurus, berturut-turut ia memukul dengan pukulan ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan beracun yang amat dahsyat, yang dikuasai oleh para murid Pek-lian-kauw. tingkat tinggi saja. Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang yang menghisapnya roboh pingsan! Namun, Yo Han dengan gerakannya yang lincah selalu dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja tersedot olehnya sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan dia masih sempat berseru, "Aih, baunya harum!"
Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang I Moli merupakan tamparan dan ejekan. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring. Tinggal tiga jurus lagi karena ia sudah menyerang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!
Terdengar suara bercuitan seperti tikus-tikus terjepit ketika ia melancarkan pukulan ampuh Toat-beng Tok-hiat itu. Pukulan ini baru saja dirampungkannya latihannya dan merupakan pukulan tingkat tinggi yang amat hebat. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang Hui saja belum tentu akan mampu menahan pukulan maut itu! Diam-diam Lauw Kang Hui terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu betapa sayangnya supeknya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang I Moli tidak akan dapat diselamatkan lagi!
Akan tetapi, Yo Han yang sama sekali belum menyadari bahwa semua latihan yang dilakukan secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar dari waktunya dia berada di dalam guha yang gelap dan remang-remang. Maka, kini dia dapat melihat atau mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga memudahkan dia untuk berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali hantaman berturut-turut yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang, mengenai tubuhnya.
Ang I Moli penasaran bukan main sehingga ia lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah membuat ia kehilangan muka itu.
"Takkk!" Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya karena disodok ujung tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek itu masih duduk bersila, dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mulur atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan Moli dan membuat wanita itu terjengkang.
"Moli, apa engkau ingin mampus? Sudah dua puluh jurus dan engkau masih ingin menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.
Ang I Moli cepat bangkit, dan memberi hormat. "Maaf, Locianpwe, aku salah menghitung."
"Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo kausembuhkan tiga orang itu kemudian cepat pergi dari sini, jangan sekali lagi sampai bertemu denganku, karena aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupakan seorang tokoh langka yang tidak pernah mencampuri urusan dunia. Dikalahkan Thian-te Tok-ong masih belum merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tok-hiat yang dianggapnya akan dapat membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seorang bocah berusia empat belas tahun yang tidak pandai ilmu silat! Maka, setelah ia memandang kepada Yo Han dengan sinar mata mengandung penuh kebencian, dan di dalam hatinya ia mencatat bahwa kelak pada suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal setetespun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap dari tempat itu.
"Heh-heh-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kaubunuh, kalau tidak engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh!"
Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau membunuh siapapun juga!"
"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang mengantar perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun akan menagih janji, bukan?"
Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini. Kakek ini bukan saja merupakan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, akan tetapi juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang sejak dahulu dibunuhnya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka, dia pun cepat menyembah sambil berlutut.
"Teecu memberanikan diri mengantar Ang I Moli karena ia desak-desak, Supek. Adapun tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"
"Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak seperti suhengmu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walaupun kepandaiannya lebih tinggi. Aku mendengar tentang siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan berhasil baik. Ha-ha, sungguh, aku sendiri tidak akan memikirkan sejauh itu. Engkau memang pandai dan aku suka sekali menambahkan satu dua pukulan untukmu agar engkau lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"
"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan dengan suara lirih. "Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu kalau Suhu memarahi teecu karena ini."
"Gurumu? Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban. Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pantatnya sampai bengkak-bengkak, heh-heh-heh! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang) padamu. Hafalkan baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru engkau akan dapat mahir."
"Terima kasih, Supek!"
Lauw Kang Hui memasuki mulut guha dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar silat, lalu masuk ke dalam guha untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan guha dan mengirimkan makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.
Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk kedua ilmu itu dari Thian-te Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tidak ada yang berani. Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut menghaturkan terima kasih kemudian meninggalkan guha yang menjadi sunyi kembali. Dan dia pun mulai lagi setiap hari belajar ilmu menari dan senam, karena sampai hari itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar ilmu memukul orang!
Ketika usianya sudah lima belas tahun dan tetap juga dia berkeras tidak mau belajar silat, hampir habis kesabaran Thian-te Tok-ong. Dia memanggil muridnya menghadap. Yo Han berlutut di depannya. Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam guha sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
"Yo Han, apakah engkau sudah gila? Kaulihat sendiri, kalau engkau tidak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang I Moli. Kenapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."
"Tidak Suhu. Teecu tetap tidak mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan pukul orang, apalagi membunuh orang. Hidup bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Tolol! Kaukira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
"Teecu tetap tidak mau! Sejak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."
"Huh, hal itu karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu! Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, lalu membiarkan muridnya menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu. "Tidak perlu banyak bertanya, kau lihatlah saja sendiri," katanya dan setelah mereka memasuki dusun, tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.
Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat dia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan. Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia telah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling. Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu. Yo Han yang telah mahir "menari" itu melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, akan tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring, "Engkau orang jahat, pergilah!" dan sungguh luar biasa sekali akibatnya. Terkena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar seperti daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding, dan dia pingsan seketika karena kepalanya terbanting pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tidak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang macam ini masih kaukasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu terkekeh-kekeh. "Dan kau mau bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka dan memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemm, kaukira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kaulihat, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Dan andaikata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tidak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo Han, kaulihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu. saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau aku memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kaukira kalau kita mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga...." kakek itu menggumam. Sudah sering dia melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu!
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras. Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu. membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu, tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia. Akan tetapi, kalau timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh. Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu. Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!
Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.
"Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!"
Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil, Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!"
Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar. Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena selain dilarang suhunya, juga dia tidak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main. Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun pandang mata Yo Han maslh dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.
Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.
"Desss....!" Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bress....!" Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dijungkirbalikkan akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki. Kini penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan mahluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pakaian" lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.
Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wajah itu kini nampak nyata. Wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, Bahkan mulut yang sebagian tetutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau tidak mati....? Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut dikasihani dia pun berkata,
"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu." Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It Im It Yang Wi Ci To....!"
"Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Eh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu, memang dia memiliki kelebihan, bahkan keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan, itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebaginya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bi jaksana, Maha Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya Kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Lima belas tahun? Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehhh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!" Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini berloncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."
"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus, itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."
"Uhhhh...!" Tiba-tiba tubuh itu "terbang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han. "Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun gigi lagi.
"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"
"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong dan mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari?
"Ha-ha-ha...."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kaubilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"
"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu. "Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu, Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya. Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah bergulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han. Pemuda ini terkejut dan kembali dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, lalu tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek! itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu yang menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu "senam", berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai....! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam mendorong bukit. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!
"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku amat tertariik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"
"Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan.... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.
"Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, biarpun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.
"Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa....? Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang sering didengar Yo Han!
Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kaulakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.
Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu. "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."
"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian, Ciu Lam Hok meninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suhengnya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi), hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur mereka yang dia anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu, berpura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar. Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai sekarang.
"Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang telah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertaubat. Biasanya, pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertaubat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka."
Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"Heh-heh, engkau memang anak aneh!" kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi menandingi mereka.
Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kupergunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah, tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-rahasia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"
"Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi...."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang kaupelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"
"Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis sesenggukan!
"Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."
"Eh, kenapa begitu, Suhu?"
"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya kupergunakan untuk membuat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han....!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.
"Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kaulempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kausuruh turun membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas. "Suheng, muridmu tentu telah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan jahat. Maka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu, dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sutenya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han? Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."
Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir sereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah. Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki tangannya buntung, akan tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."
Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya. Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun ! Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
"Ah, apakah itu, Suhu?"
"Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira, orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang dapat bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."
"Suhu, kenapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"
"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Mengerti? Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andaikata membeli pun, mereka akan melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"
"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu...."
Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya. "Waduhhh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kauperlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kautinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu.
"Kaulihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelelak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, lalu menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kaukehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kautinggalkan saja sebuah di tempat engkau mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ! Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan "tari cecak" ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang. Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah guha yang kecil. Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya. Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang demikian sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan kembali keluar setelah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, nampak genteng banyak rumah.
Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung. Dia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia meninggalkan potongan batu emas, di meja di mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirim Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya. Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap. Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulut, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."
"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dari bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan suaranya terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang kauucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kaupikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasihatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar