07 Pendekar Buta

"Tai-su, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!" kata Ching-toanio dengan suara gemas.

"Bocah Kwa, lihat tongkat!" bentak Ka Chong Hoatsu dan Kun Hong cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya. Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya. Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah pinggangnya. Sengaja dia memperlambat gerakannya dan begitu tongkat itu sudah menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia meloncat ke atas. Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya, malah mungkin tidak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si tua bangka Pak Thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir di sini.

Kekaguman tidak hanya berada di fihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi benar-benar di luar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu. Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan Kim-tiauw-kun dalam menghadapi penyerangan ini, melainkan mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-yang-kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.

Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanan ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti menunjuk, seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegap segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri.

Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu, tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapapun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh. Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar dengan Pak Thian Locu, hanya kalau Pak Thian Lo-cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha. Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Semenjak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu.

Malah dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang mempunyai harapan untuk merampas kembali kerajaan yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan seorang pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi? Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dan dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benarbenar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.

Kedua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biarpun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.

"Bun-taihiap dari Kun-lun-pai yang terhormat telah tiba untuk bertemu dengan toanio.......!!" terdengar seruan wanita penjaga dari jauh. Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.

"Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kebetulan kedatanganku!" kata pemuda itu.

Ka Chong Hoatsu sudah dari tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak. "Sungguh tak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!"

Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang mata penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.

"Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan mengapa hendak bertempur melawanmu?"

Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lunsan dan dia mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka dan bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.

"Ha-ha, Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw......."

Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh, ejekan.

"Hemm, kiranya setelah kedua matamu buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"

Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biarpun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi (baca Rajawali Emas)? Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biarpun dahulu terus pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya (baca Rajawali Emas), namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya. Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada.

"Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari Kun-lun-pai.

Tapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dahulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang......."

Kembali Bun Wan, pemuda itu mendengus mencemooh atas ucapan ini.

Kemudian dia menoleh ke arah Ching-toanio dan berkata, "Toanio, karena aku telah datang di sini, kuharap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir. Tentu ayah akan menegurku."

Ching-toanio menggerutu, "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?"

Akan tetapi Ka Chong Hoatsu segera berkata, "Ching-toanio, biarlah, melihat muka Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apalagi mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati."

Melihat kesempatan baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata, "Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!" Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan bibir dan melerok ke sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!

"He-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!" kata Ka Chong Hoat-su. Mendengar ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan takkan terlepas daripada hukuman dan pembalasannya juga!

"Betul, Nona. Kau tidak boleh pergi dulu setelah menjadi tamu kami. Kami hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!" katanya.

Loan Ki memutar otaknya. Ia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Ia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur, "Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada di sini, dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Kalau nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini takkan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"

Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal) pikirnya, tidak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah jelas bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!

"Ha-ha-ha-ha, pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkan tongkat pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"

"Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda dan aku lebih cepat daripadamu. Kalau aku lari cepat, mana kau mampu mengejarku?"

Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak.

Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apalagi dalam soal kepandaian silat, maka biarpun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.

"Tentu saja, pinceng sudah tua mana dapat lari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti pinceng, ha-ha-ha!"

"Eh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Kalau kau kalah, kau dan semua orang ini tidak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?"

Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Kenapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah, mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu? "Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"

"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"

Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari situ. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!

"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"

"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.

"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"

"Ha-ha-ha, boleh....... boleh......." jawab Ka Chong Hoatsu, gembira juga menyaksikan permainan kanak-kanak ini.

Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri sambil mengerutkan keningnya yang bagus.

"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.

Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma....... aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"

Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"

"Orang gagah lebih baik mati daripada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"

"Pinceng berjanji, gadis liar!"

Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"

"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng takkan lari selamanya kalau kalah cepat lariku daripada larimu. Hayo mulai!"

"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama." Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.

"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli.

Loan Ki tidak perduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di situ, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!" Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu......."

Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biarpun semua orang yakin bahwa gadis itu akan kalah, namun menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apakah gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun telah siap memasang kuda-kuda untuk segera "tancap gas" kalau hitungan itu sudah sampai tiga.

"Dua......"

Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu makin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan "tiga" tidak keluarkeluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu. Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba Loan Ki berteriak nyaring sekali, "..... tiga.......!!" dan ia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak "Aku menang.......! Hihik hwesio tua, kau kalah!"

Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.

"Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.

Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.

"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini kau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi.

Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"

Ka Chong Hoatsu terkesima, tak dapat bicara untuk beberapa lama. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya sehingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja. "Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"

Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau akal udang, itu sih tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu." Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.

Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat ia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka.

Loan Ki mengangkat kedua pundaknya dan membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.

"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.

Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan....... ternyata mahkota kuno yang berada di buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.

"Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, Ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.

Ka Chong Hoatsu makin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng takkan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat daripadamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."

"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!" Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah ia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari" "Kau memang cerdik, nakal dan....... aneh......." kata Kun Hong.

"Kalau tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."

Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memujimuji.

"Dia putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai."

Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.

"Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-ko," katanya tiba-tiba.

"Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?" tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali, tadi memuji sekarang tidak suka. Bagaimana ini? "Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang suka merayu hati wanita. Sungguhpun pernyataan itu memang betul!"

"Eh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu......."

"Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching-toanio main mata dengan orang she Bun dari Kunlun- pai itu. Hemmm, memang cantik jelita sekali Hui Siang itu, Hong-ko, cantik seperti bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa."

Kun Hong menarik napas panjang. "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga, Ki-moi....... kau tidak tahu......."

Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis, dan mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.

"Heeeiii, Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tak tahu malu untuk melanggar janjimu sendiri?" Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang.

Tidak terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek, "Ular-ular bukan manusia, tidak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan Chingcoa- to harus dapat melalui barisan ular hijau." Biarpun hanya lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang galak itu.

"Hui Siang budak genit!" Loan Ki berteriak marah. "Kau kira kami tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"

Kun Hong sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.

"Hati-hati," bisik Kun Hong. "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."

Loan Ki mengikik tertawa. "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-ko, jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!" ia menyombong dan menarik tangan Kun Hong untuk maju terus.

Kun Hong merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.

"Eh, bagaimana ini....... Ki-moi, kenapa ular-ular itu......." tiba-tiba dia tersenyum, "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiaramutiara mustika itu kau ambil dari mahkota."

"Hussh, diam saja, Hong-ko. Kau biarpun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu pantai sudah tampak dari sini." Dari jauh Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah.

Sementara itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggir telaga. Di situ tidak ada perahu, akan tetapi Loan Ki cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya ia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja mereka akan menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai seberang. Sebentar saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat daripada cabang pohon yang besar dan kuat.

"Ahooi.......! Orang-orang Ching-coa-to.......!" Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu itu didayung ke tengah. "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-coa-to, kalau kalian memang ada nyali, lain waktu kunanti kunjungan balasan kalian di Pek-tiok-lim pantai Pohai."

Namun tidak ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak di seberang sana. Ia tersenyum-senyum dan kelihatan gembira sekali. Ditepuknya pundak Kun Hong.

"He, Hong-ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita berangkat."

Melihat betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan mengejek, "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-ko!"

Ucapan ini mendebarkan jantung Kun Hong. "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang. Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

"Eh, siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara pernikahan denganmu" Kun Hong makin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat membingungkan. "Loan Ki moi-moi yang baik, kalau kau tahu akan persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih bingung sekali, tidak mengerti mengapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku dan mengapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."

Loan Ki tertawa. "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku dianggap oleh mereka "orang sendiri" maka aku boleh mendengarkan semua perundingan mereka, hi-hik. Setelah kau menyembuhkan Hui Kauw, ibunya itu mendatangi Hui Kauw dan membujuknya supaya suka menikah denganmu. Ibunya, si toanio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau dengan Hui Kauw sudah menjadi buah bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tak boleh dilakukan orang lain, yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biarpun ia tidak bilang apa-apa, buktinya ia tidak menolak ketika dirias seperti pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak tahu malu!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia merasa amat berkasihan kepada Hui Kauw si nona bersuara bidadari itu. Kini dia dapat menerka apa yang telah terjadi, dapat menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya. Sebelumnya dia sudah mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan ibunya yang hendak memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas oleh Hui Kauw. Lalu terjadi kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia lakukan. Agaknya karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan dia, ataukah di sana lain dasar? Cinta kasih? Tak mungkin! Mungkinkah kalau seorang gadis bidadari seperti Hui Kauw sampi jatuh cinta kepada seorang buta macam dia? Tak mungkin, bantah hatinya. Betapapun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hai ini sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan sembahyangan pengantin, dia telah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh penolakannya itu. Gadis itu menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi mengira bahwa dia pun sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu. Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat itu? "Tak mungkin!" kini jawaban hati Kun Hong disertai suara bibirnya yang bergerak.

"Apa yang tak mungkin, Hong-Ko?" Loan Ki bertanya.

Kun Hong kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya. "Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada di pulau. Ketika aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku dengan totokan? Mengapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu aneh sekali, Ki-moi?"

Gadis itu cemberut. "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"

Kun Hong makin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri hati? Apakah gadis ini....... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepala keras-keras. Tak mungkin lagi ini! "Ki-moi, kau benarbenar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau malah membelaku ketika Ching-toanio hendak menghabisi nyawaku, kemudian kau bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh sembahyang. Kau diam saja malah mentertawakan."

"Tentu saja. Biar mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau....... kau kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puteri Hui-houw-pangcu itu dan seperti kau cinta si janda muda.

Cih, orang mata keranjang macammu mana patut dibantu?"

"Hemmm, lidahmu tajam sekali, adik Loan Ki. Akan tetapi kenapa kau tadi kembali membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"

Suara Loan Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya, "Habis, kau tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"

Makin heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang mencinta.

"Kau melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja tidak mengerti, Hong-ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"

"Ki-moi......." suara Kun Hong agak gemetar karena dia amat khawatir kalaukalau dugaannya betul, bahwa gadis ini cinta kepadanya. "Tentang hal itu.......

andaikata aku tergila-gila kepada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"

"Sangkutan apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm.......

pendeknya aku tidak suka, dan habis perkara!"

Kun Hong makin tidak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin jatuh cinta kepadanya.

"Sudah sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"

Perahu batang pohon itu berhenti, menabrak karang.

"Sudah, mari kita melompat!" Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan.

Tapi begitu mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas tanah, menutupi mukanya dengan saputangan, Kun Hong heran dan kaget sekali, "Eh....... kenapa kau menangis?"

Sampai lama Loan Ki tak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di depannya dan berkali kali mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.

"Kau kenapakah? Sakitkah kau?" Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata tidak ada gangguan kesehatannya. "Kau tidak apa-apa, kenapa menangis?"

"Tidak apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (pribudi), melihat orang terhina serendah-rendahnya malah pura-pura tidak tahu dan masih bertanya-tanya segala!"

"Terhina? Kau? Oleh siapa dan bagaimana?" Kun Hong benar-benar bingung.

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung.

Benar-benar dia tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti itu.

"Ki-moi, aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"

"Berkali-kali aku dikalahkan orang di pulau Ching-coa-to, aku tidak berdaya, bukankah itu berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya lagi?" Ia membentak marah.

Kun Hong tersenyum, "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, kalah atau menang dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, kenapa kau merasa terhina? Biar kalah dalam, pertempuran asalkan tidak salah. Orang yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin senantiasa merasa menang."

"Enak saja! Aku puteri tunggal dari Pek-tiok-lim, selama hidupku tak pernah kalah dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan orang, sedangkan kau seorang buta saja tak pernah kalah.

Bukankah ini memalukan sekali? Ah, celaka....... celaka......." dan ia menangis lagi dengan amat sedihnya.

Kun Hong merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.

"Ki-moi, mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah dikalahkan orang lagi."

Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak.

Malah suaranya mengandung kegembiraan besar, "benarkah, Hong-ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"

"Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!" Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata, "Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal."

Dasar seorang gadis jujur, tanpa bai-sengki (sungkan) lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh. Lewat tiga puluh jurus ia berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

"Wah, Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, jangan cepat-cepat!" katanya gembira sekali. Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

"Hong-ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?"

Kun Hong bingung. Ketika dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, lalu dengan cerdik dia berkata, "Inilah Ilmu Langkah Hui-thian-jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang." Dengan cerdik Kun Hong mengatakan "dirobohkan orang" karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang, namun untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.

Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya ia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

"Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar."

Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh. "Kau....... hendak ke mana, Hong-ko?"

Kun Hong tersenyum, "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku....... aku akan pergi ke mana saja nasib membawaku."

"Ih, jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah tentu senang bertemu denganmu."

Kun Hong menggeleng kepala. "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku.

Jangan lupa, jangan kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukan untuk mendahului Tuhan, mencabut nyawa orang.

Selamat tinggal." Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.

"Hong-ko.......!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, sukar baginya untuk dapat berpisah, maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari seperti terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak dapat mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.

Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya.

Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang rata.

Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain daripada biasanya. Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, setelah lalu takkan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw? Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu sebagai "nona muka buruk" atau "nona muka hitam"? Benar-benar dia tidak dapat menjawab, juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu menggores dalamdalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!

"Cui Bi....... ah, Bi-moi....... kau bantulah aku....... kenapa hatiku begini lemah?" gerutunya beberapa kali dan setelah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan tentang Hui Kauw dan bangkit kembali kegembiraannya. Sejam kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk hutan sambil berdendang dengan suara nyaring, "Wahai kasih, aku di sini...."

Kalau kebetulan dia memasuki sebuah dusun, nyanyiannya terhenti dan diganti terikan-teriakan nyaring, "Usir penyakit........ sembuhkan penyakit......! Jika di antara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk memeriksa dan mengobati!

Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si miskin!" Ucapan ini dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak sampai kehabisan bekal di perjalanan.

Banyak orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih, malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan cuma-cuma malah yang obatnya pun dibelikan oleh Kun Hong!

Tiga hari semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seperti biasa di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia menyembuhkan seorang sakit. Wah, mana bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi, tentu hanya tukang tipu kata yang lain. Malah ada yang secara mengejek menyakitkan hati berkata, "Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih tak tahu malu hendak mengobati orang lain!"

Sekarang juga di dalam dusun itu, tak seorang pun menghiraukannya kecuali beberapa orang anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, malah ada yang meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya menebal.

Memang luar biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan amatlah mengharukan ketika ada beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya, dia berhenti berjalan, menengok ke arah anak-anak itu dan berkata dengan suara halus tapi penuh peringatan.

"Anak-anak, senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta.

Andaikata kalian tiba-tiba menjadi buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian....... kemudian kalian....... kalian diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?"

Ucapan ini halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk jantung anak-anak dusun itu. Memang jauh bedanya bocah dusun dengan bocah kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup bersih dan mudah mereka menerima halhal yang langsung menyinggung perasaan. Oleh karena ini, ucapan halus ini rnembuat mereka sejenak berdiam. Malah di antara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.

Kun Hong girang sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga, "Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang kecil ini bagi-bagilah rata di antara kalian."

Anak-anak itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan dibagi-bagilah uang itu merata. Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biarpun nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.

"Paman buta ini baik sekali!" berteriak seorang anak kecil.

"Hari ini hari baik!" kata yang lain. "Kita bertemu dengan kakek tua hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Kalau banyak orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!"

Kun Hong tertarik lalu mendekat. "Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir mati?"

"Dia seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan hampir mati. Biarpun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan uangnya kepada kami!" kata seorang anak.

"Apakah dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?" Kun Hong mendesak, hatinya terharu.

"Dia bilang tidak punya keluarga, sebatangkara dan kuil rusak itu memang tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh banyak sekali darahnya keluar."

Kun Hong segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak seorang pun di antara mereka ingat betapa anehnya seorang buta dapat menangkap tangan anak itu seperti dapat melihat saja.

"Anak baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu," katanya.

"Mau apa kau ke sana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya," anak itu ragu-ragu.

"Aku bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya."

"Wah, baik sekali ini!" Anak-anak itu bersorak. "Bawa dia ke sana, dua orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa menyembuhkannya, tentu dia senang hati!" Beramai-ramai tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di luar dusun, sunyi dan tak pernah didatangi orang kecuali anak yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu.

Anak-anak itu mengajak Kun Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam. "Ah, dia sudah pergi.......!" kata anakanak itu setelah mencari ke sana ke mari tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi. Akan tetapi Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang bersembunyi di atas! Hemm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.

"Anak-anak, kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana mainmain, jangan ganggu aku yang hendak mengaso di sini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapa pun juga, ya?"

Seperti burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak saking tua dan tak terpelihara. Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah. Namun masih dapat bersembunyi di atas membuktikan bahwa orang itu, bukanlah orang sembarangan.

"Bertemu seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauw-te (aku yang muda) dapat membantu luka-lukamu," katanya perlahan.

Terdengar napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Lalu menyambar turun tubuh seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkangnya kurang hebat, mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Kau....... kau....... bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?" tiba-tiba orang itu berkata, suaranya besar.

Kun Hong cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan. "Ah, kiranya Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada di sini, cocok dengan dugaanku. Benar, Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong......."

Belum habis Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara terharu.

"Ah, anakku....... kasihan sekali kau....... siapa kira kau akan menjadi begini."

Kun Hong menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu dia bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar kepercayaan kaisar di kota raja, kemudian untuk kedua kalinya bertemu di puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas). Sekarang, agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.

"Tan-taijin....... kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri terluka parah, menderita karena menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa menaruh kasihan kepada seorang seperti aku......."

Tan Hok melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.

"Kun Hong....... bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?"

"Tan-taijin......."

"Hushh, jangan sebut aku taijin lagi aku bukan pembesar. Aku lebih patut menjadi pamanmu!" tukas bekas pembesar itu, "Maaf, Paman Tan Hok, memang betul ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati lukalukamu."

Kakek tinggi besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya amat terkenal sebagai seorang diantara pemimpin pasukan Pek-lian-pai, berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu diangkat menjadi pembesar di kota raja. Di dalam perjuangannya itu, Tan Hok malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang ketua Thai-sanpai.

Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah. Benar-benar nasib manusia tak dapat disangka sebelumnya.

Cepat Kun Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak lukaluka, akan tetapi yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata tajam. Karena tidak segera mendapat pengobatan, luka-luka itu keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat. Kun Hong segera mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu, mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia di dalam buntalannya, malah memberi sebungkus untuk diminum.

"Syukur keadaan luka-lukamu belum terlalu lama," katanya menghibur.

"Setelah minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman.

Biarlah aku mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat."

"Tidak usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja namanya obat-obat itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarangpun rasanya sudah banyak enakan, terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami perampokan?"

Kun Hong tersenyum. "Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok." Dengan tangan gemetar Tan Hok tiba-tiba memegang lengan Kun Hong.

"Betulkah itu? Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu......."

"Melihat sih tak mungkin Paman......"

"Ah, maafkan, sampai lupa aku....... tapi, tahukah kau di mana sekarang mahkota itu?" Suara yang penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah, begini loba akan harta benda? Pula, kalau betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan keadaannya malah seperti tidak perduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta menanyakan mahkota itu? Kun Hong merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara. "Paman Tan Hok, mengapa agaknya amat penting benda itu untukmu. Milik Pamankah benda itu?"

Mendengar nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok menarik napas panjang. Memang kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tidak ada yang lebih penting daripada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante. Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku."

Tan Hok lalu bercerita. Seperti telah diketahui, semenjak kaisar pertarna Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Namun karena para pangeran atau mereka yang sudah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan Mongol merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang. Diam-diam terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar juga diam-diam terbunuh oleh seorang di antara saingannya, terbunuh dengan racun. Kemudian cucu kaisar, putera pangeran mahkota yang meninggal, yaitu Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.

Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan makin lemah, boleh dibilang segala keputusannya tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.

Sayang sekali bahwa pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang. dan pemuda yang mudah sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam. Hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.

Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andaikata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.

"Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.

"Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kemudian kaisar menyerahkan sebuah surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apabila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo di waktu keadaan memerlukannya."

Kun Hong sebetulnya tidak perduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.

"Kemudian bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang.

"Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Karena tahu akan ancaman bahaya, surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di antaranya termasuk aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia dan tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang dan menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguhpun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."

"Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"

"Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga daripada nyawaku!"

Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.

"Paman Tan Hok, surat itu hanya surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka.

Bagaimana kau anggap lebih berharga daripada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"

Sejenak Tan Hok tidak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

"Hiante....... Hiante........ kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja, saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang tahu akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar terkejut. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kauanggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."

Tan Hok memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau seorang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan kepadamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar sematamata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!"

Kun Hong kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."

"Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintahan yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula kesejahteraan rakyat, kemajuan, kemakmuran, ketenteraman hidup, semua berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Biarpun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orangorang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga kalau pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa memperdulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai sebrang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya."

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, maupun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot. Akan tetapi oleh karena dasar daripada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat daripada diri sendiri, yaitu sifat yang amat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat mcnerimanya.

"Terima kasih, Paman. Sekarang aku mengerti dan maafkan prasangkaku yang bukan-bukan atas usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu.

Nah, sekarang giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."

Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok.

Bahwa mahkota itu dijadikan perebutan antara Hui-houw-pang dan Kiangliong- pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan dan mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.

Mendengar ini, Tan Hok menjadi girang. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andaikata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."

Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Chingtoanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang amat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yahg paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai, apalagi Ka Chong Hoatsu, benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."

Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Chingcoa- to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."

Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beritahukah kepadaku resep obat itu."

Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak hanyak macamnya dan yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.

Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu amat mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini kalau tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, maupun nyawa. Alangkah mulianya, alangkah besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu. Tapi dia seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya.

Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok? Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau-balau. Orangorang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masingmasing.

Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Kalau para pembesar dan yang menyebut diri sendiri atau disebut orang pemimpinpemimpin itu saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.

Semua renungan ini membuat Kun Hong. berduka karena dia tidak berdaya untuk ikut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot.

Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Penting sekali surat itu, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa banyak terjadi pertumpahan darah.

Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Inipun akan merupakan sebuah usaha perjuangan membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.

"Duhai Cui Bi......." keluhnya sedih, "...... ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak merugikan aku sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka......"

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san.

Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhirakhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biarpun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kangouw tidak mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San? Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Adapun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tekkiam- ong (Raja Pedang Tiada Bandingan). Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sukar dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apalagi Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.

Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu amat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.

Seperti telah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.

Beberapa bulan setelah menikah. Tan Sin Lee membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia memiliki sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati karena keramahan dan kedermawanan mereka, oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu.

Adapun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang amat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang aseli. Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabung ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat, di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.

Demikianlah, biarpun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai dan isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satusatunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, telah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan (baca Rajawali Emas), membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.

Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu, Puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahirlah seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang. "Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh daripada mendiang cicinya, ha-ha!"

Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu dan dua titik air mata menghias bulu matanya. "Siapa....... siapa namanya.......?" tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya....... dia Cui Sian......" Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata kedua orang suami isteri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar